[Aku melihat pacarmu di hotel Agooley]
Anna menerima sebuah pesan singkat dari teman dekatnya – Sherin, gadis itu juga menambahkan tautan lokasi. Rasa penasaran bercampur curiga telah mengalahkan kepercayaan Anna pada kekasihnya dan di sanalah dia berakhir, tempat Sherin melihat kekasihnya. “Semoga saja penglihatan Sherin salah.” Anna menghela nafas masih berharap dia tak menemukan kekasihnya di sana.
Satu detik kemudian pintu lift kembali terbuka. Ruangan sempit itu kini menjadi sesak setelah segerombolan orang memaksa masuk. Posisinya semakin terjepit di belakang. Anna mengutuk dalam hati. Selapar itukah mereka sehingga memaksa masuk seperti ini?
Tepat saat itu, Anna merasakan sesuatu bermain di bagian paha hingga pinggulnya. Pertama kali ia merasakan belaian. Dia biarkan. Kedua kali, dia kembali merasakan sesuatu seperti menusuk pinggulnya. Akhirnya dia menoleh ke samping dan mendapati seorang pria yang juga menoleh padanya.
Anna menyeringai. “Bisakah kamu berhenti?” Anna memperingatkan. Dia sudah cukup kesal.
“Apa?” Pria di sampingnya tampak bingung. “Tidak usah mengelak. Aku sudah sering bertemu orang berjas sepertimu yang melakukan tindakan seperti ini di dalam lift!” Anna memprovokasi pria yang mengenakan setelan jas hitam di sampingnya. Rambutnya rapi dengan potongan wajah khas asia.
“Kau mengenalku?” Pria itu tampak semakin bingung sambil menunjuk dirinya sendiri. Dia memperhatikan keadaan sekitar. Tentu saja semua perhatian orang dalam lift tertuju pada mereka.
“Ya. Tentu aku sangat mengenalmu,” jelas Anna tak mau kalah. Dia semakin geram karena pria di sampingnya itu masih tampak bodoh. “Karena aku sering kali berurusan dengan orang sepertimu!”
Alis pria itu terangkat masih tak mengerti. “Bisakah kamu berhenti membelai pinggulku? Dasar orang mesum!” Semua orang di lift berseru tak percaya dengan yang Anna katakan. Semua orang menatap jijik pada pria berjas hitam itu. “Bukan. Aku bukan orang seperti itu,” seru pria itu sambil mengibas-ngibaskan kedua tangan. Mencoba untuk meluruskan kesalahpahaman yang terjadi di dalam lift yang masih terus bergerak naik. Tepat saat itu pintu lift terbuka. Mereka tiba di lantai sembilan. Beberapa orang keluar. Ruang di dalam lift sedikit lapang.
Pria berjas itu mundur selangkah. “Kenapa kau menyebutku mesum?” pria berjas itu masih saja mengelak membela diri. “Ya…. Karna kau menyentuh pahaku dan mengelus-ngelusnya,” jelas Anna sekali lagi. Suaranya sudah mulai meninggi karena pria berjas di sampingnya itu masih mengelak.
“Mengapa aku menyentuh bagian belakangmu? Tak ada untungnya bagiku,” sahut pria itu tak mau kalah. Suaranya juga mulai meninggi – berusaha membela diri.
“Huh! Mana aku tau mengapa kau menyentuhnya. Seharusnya aku yang bertanya seperti itu.”
“Aku tidak menyentuhmu,” tegas pria itu sekali lagi membela diri. Kemudian dia menatap beberapa orang yang masih berada dalam lift. “Aku tidak pernah menyentuhnya,” pria itu menjelaskan pada beberapa orang yang masih berada di dalam lift kemudian kembali menatap Anna. “Kau punya buktinya? Kenapa kau menuduh orang sembarangan?”
“Astaga!” Anna mendengus, tak tahan dengan sikap bodoh pria itu. “Ayo ikut denganku.” Anna langsung menarik pria berjas itu keluar tepat saat pintu lift terbuka. “Kena kau, akan aku laporkan ke polisi,” gumam Anna. Tepat di depan mereka terdapat petugas keamanan hotel.
“Permisi pak,” salam Anna pada pria yang tak terlalu muda. Sepertinya dia berusia awal tiga puluhan. “Bisakah kau melaporkan orang mesum ini ke polisi?” Anna menarik kasar pria berjas itu ke hapadan petugas keamanan yang berjaga. “Dasar mesum!” ungkap Anna. Dia menekankan setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya.
“Apa maksudmu? Siapa yang mesum? Lihat saja nanti! Hei!” teriak pria berjas itu ketika Anna hendak meninggalkannya dengan petugas keamanan yang sudah bersiap melaporkannya ke polisi. Anna berbalik, lalu menunjukkan senyuman picik dan puas padanya.
“Tidak pak, saya sumpah tidak menyentuhnya,” jelas pria berjas itu sambil mengangkat kedua tangan layaknya seseorang yang ditodong oleh pistol. Tetapi petugas keamanan itu tak bergeming. Dia menuruti perintah Anna. Pria berjas hitam itu menghela nafas. Pasrah dengan kejadian yang menimpanya.
***
Tepat saat Anna hendak menuju ke arah lift lagi, saat itulah mata Anna terpaku pada seorang pria yang tengah tersenyum manja dengan sebelah tangan yang merangkul seorang gadis di sampingnya. Mata mereka bertemu, tapi mulutnya kelu. Dengan cepat Anna membalikkan badan, menghindari tatapan mata Kevin. Saat itu dunianya serasa runtuh.
“Anna,” panggil Kevin – kekasih Anna. Dia sudah berdiri di depan Anna dengan wajah setengah panik, sedangkan gadis yang dirangkulnya tadi sudah pergi lebih dulu. Anna terlonjak kaget. Dia termenung untuk beberapa detik di tempat yang sama. “Hm?” gumamnya setelah Kevin memanggil namanya lagi.
Suasana hening bergelut diantara mereka. Anna memutuskan untuk membicarakan masalah yang baru saja terjadi dengannya di lounge hotel. “Tidak adakah yang mau kau jelaskan padaku?” tanyanya sembari menatap tajam pada Kevin. Dia berusaha terlihat tegar dan tak menunjukkan kalau dirinya sedang terluka. “Aku masih tidak percaya dengan apa yang baru saja kulihat.”
“Anna,” bujuk Kevin pelan. Dia tahu kalau Anna berusaha menahan marah.
“Aku baru saja melihatmu berdua dengan wanita lain di sebuah hotel, di malam hari, tapi kenapa kau diam saja?”
“Ini tidak seperti yang kau pikirkan,” bantah Kevin masih terlihat setengah santai dan setengah panik.
“Lalu?”
“Aku memang melakukan kesalahan, tapi perasaanku padamu tak pernah berubah, kau tetap menjadi gadis yang paling aku cintai,” lanjut Kevin lagi berusaha meraih tangan Anna yang terletak bebas di atas meja.
Anna menyeka sudut matanya yang mulai berair. Untunglah ia masih tertawa, setidaknya bisa menutupi air matanya yang hendak melepaskan diri. “Kesalahan? Ini bukan yang pertama, kan?” Anna semakin merasa kalau selama ini hanya dirinyalah yang mencintai Kevin. Sedangkan Kevin hanya bermain dan suka menggoda wanita lain.
“Apa?” alis Kevin terangkat. Tak menyangka dengan pertanyaan Anna.
“Sudah berapa kali kau melakukannya?” desak Anna menyudutkan Kevin.
Kevin mendesah. “Lagi pula kau tak akan percaya pada apapun yang akan kukatakan, bukan?”
“Setidaknya kau harus berusaha menjelaskan situasi ini, bukannya malah membujukku seperti orang bodoh. Aku harus bagaimana jika kau bersikap seolah ini bukanlah masalah besar?” kali ini suara Anna meninggi hingga menjadi pusat perhatian bagi pengunjung lainnya. Dada Anna terasa panas dan sesak. Ia tak pernah menyangka kalau Kevin akan mengkhianati perasaannya yang tulus. Setelah apa yang mereka lakukan bersama. Selama ini Anna selalu mengalah ketika ada perdebatan. Dia selalu menghilangkan kecurigaan ketika Sherin memergoki Kevin sedang jalan dengan wanita lain. Dia memilih untuk percaya dan menunggu. Selalu berpura-pura bodoh dan tidak tahu apa-apa agar hubungan mereka tetap berjalan. Tapi apa?
Kevin menghela nafas dengan berat. “Baiklah. Aku memang melakukan kesalahan. Akhir-akhir ini aku sedang banyak pikiran. Itu hanya cinta satu malam. Hanya satu malam. Tidak lebih besar dari rasa sayangku padamu. Aku akan minta maaf padamu, maafkan aku.” Kevin meletakkan kedua tangannya di atas paha. Tetapi raut wajahnya tak menunjukkan rasa bersalah sedikitpun.
Anna berusaha menahan air matanya sekuat tenaga agar tak jatuh. Ia tak mau Kevin menganggap kalau dirinya sangat mencintainya. Memang dirinya sangatlah bodoh dan terlalu polos untuk mempercayai seorang pria dengan mulut manis di depannya ini. “Kau pikir aku bercanda?”
“Lalu apa yang harus aku lakukan?”
“Setidaknya cobalah untuk jujur dan bersikap serius dengan memasang wajah penuh penyesalan!” seru Jenna. Tanpa sadar, Anna sudah berdiri dari kursinya. Suaranya memenuhi langit-langit. “Kau pikir aku juga tak bisa melakukannya?” Kesabaran Anna hampir mencapai batas.
“Apa?”
“Lihat saja nanti. Dasar brengsek!” Anna memukul meja dengan keras sebelum meninggalkan Kevin yang hendak menyusulnya. Anna berjalan dengan cepat. Ia sudah tak dapat menahan air matanya lagi yang perlahan sudah jatuh dan membasahi pipi. Tangan Anna terangkat bergerak menyekanya dengan cepat.
Secepat apapun langkahnya, Kevin tetap bisa menyusulnya. Dia menahan lengan Jenna. “Aku kan sudah minta maaf.” Dengan cepat Anna menepis tangan Kevin dengan keras namun gagal. “Kau pikir dengan minta maaf saja cukup,”
“Lalu apa? Apa yang kau inginkan dariku? Kau mau putus dariku?”
“Tidak,” kata Anna tegas. “Aku yang akan memutuskan apakah kita harus putus atau lanjut. Tunggu saja, aku akan menunjukkannya. Apa? Cinta satu malam? Kau pikir hanya kau saja yang bisa? Aku juga bisa, jadi kau harus menunggu sampai saat itu.” Anna melepaskan cengkraman tangan Kevin yang semakin keras.
Namun ternyata tangannya yang terlepas menjadi bebas tak terkendali hingga hampir mengenai nampan wine yang dibawa oleh salah satu waiter yang tengah berjalan ke arahnya. Anna bergegas membalikkan badannya agar tak mengenai nampan itu, namun situasi tak berpihak padanya. Ia kehilangan keseimbangan, sedetik kemudian Anna mulai memejamkan mata ketika wajahnya sudah berhadapan dengan lantai. Tepat saat itu sepasang tangan yang entah dari mana tiba-tiba menangkap pinggang Anna dan menariknya kuat ke dalam sebuah dekapan. Anna mendongak melihat siapa pemilik tangan itu. Sial! Betapa terkejutnya dia. Pemilik sepasang tangan itu adalah seorang pria mesum dalam balutan jas hitam yang bertemu dengannya satu jam yang lalu.
***
“Ayo kita lakukan!” Eden memberi Anna tatapan nakal. “Cinta satu malam.”Malam itu, Eden memiliki janji makan malam dengan keluarganya di hotel yang sama. Namun semuanya gagal karena sore itu suasana hati Eden terlanjur berantakan setelah bertemu seorang gadis aneh yang menuduhnya sembarangan di dalam lift. Di tambah dengan ibunya yang terus saja membahas masalah pernikahannya yang tak kunjung usai. Belum lagi ditambah dengan rumor yang sudah beredar hampir satu tahun.Eden berjalan santai keluar dari lounge – menghindari omelan ibunya sebisa mungkin. Ketika hendak mendekati pintu keluar, suasana lounge menjadi ribut. Dia mengikuti arah pandang semua orang yang tertuju pada sepasang kekasih yang sedang bertengkar hebat tak jauh dari posisinya kini. Matanya langsung membesar ketika mendapati seorang gadis yang sudah membuatnya berurusan dengan polisi tadi siang. Ia menyimak pasangan yang tengah beradu mulut itu.Tak berselang lama, dia juga melihat seorang pelayan yang membawa nampan
“Ya, aku bisa melihatmu.” Anna menutup panggilan dari Sherin. Dia melihat sebuah mobil SUV berwarna hitam mendekat. Gadis berambut panjang bergelombang di dalam mobil itu membuka kaca mobil. “Ayo,” katanya. Anna langsung masuk mobil ketika mobil sudah berhenti. Mobil melaju membelah jalanan kota yang ditemani langit senja. Mereka tiba di sebuah club paling terkenal di kota, Channel A Bar and Club. Suasananya sangat ramai dan berisik. “Ingat! Tidak ada kata sedih. Kita di sini bersenang-senang. Oke?” Sherin kembali mengingatkan sebelum mereka melangkah masuk. Suara musik yang begitu keras langsung terdengar. Lampu yang redup dan berkilauan sudah menyadarkan Anna kalau mereka memang tengah berada di club.“Ayo!” Sherin menarik lengan Anna ke tengah kerumunan, menari hingga puas melampiaskan semua rasa sakitnya lalu kembali ke meja. Mereka langsung menenggak segelas wiski lagi dalam sekali tegukan. “Oh ya, tadi seorang pria mengajakku berkenalan, kau mau minum b
Langkah Anna terhuyung-huyung ketika berjalan menuju kamar mandi dengan sebelah tangan memegangi kepala. Sesekali dia mengerjap. Mencoba kembali tersadar. Tetapi keseimbangannya hilang ketika tak sengaja menubruk punggung seseorang di depannya. Kakinya tak lagi kuat menahan tubuhnya hingga badannya terjatuh dan terhempas ke lantai. Anna terduduk di lantai dengan rambut berantakan menutupi wajah. “Maaf, kamu tidak apa-apa?” Pria yang ditabrak Anna tadi membantunya kembali berdiri. Bukannya berterima kasih, tetapi Anna malah menatap pria yang menolongnya itu dengan tatapan tak suka. Tak ingin terlibat lagi dengan pria itu, Anna memilih untuk berbalik. “Anna?” Kevin memanggilnya pelan. Dari semua tempat, kenapa mereka harus bertemu di sini. “Apa yang kau lakukan di sini? Tidak seperti biasanya. Bukannya kau tak suka dengan tempat-tempat seperti ini? Jangan bilang kau sampai harus datang ke sini karena tak bisa melupakanku?” Kevin menaruh curiga pada An
Anna terkekeh pelan. “Balas dendam?” Anna berhenti tertawa, sedetik kemudian wajahnya kembali serius. Dia memang terluka, tapi tak pernah terpikirkan untuk balas dendam. Anna lebih memilih untuk melepaskan Kevin sepenuhnya dan tak berurusan lagi dengannya.“Sudahlah, aku tak tertarik untuk balas dendam seperti yang kau katakan. Mengurus hidupku saja sudah sangat sulit, terlalu melelahkan jika harus memikirkan orang lain juga. Untuk kali ini, aku akan berterima kasih atas bantuanmu tadi dengan tulus. Aku tak mau lagi dicap sebagai orang yang tidak tahu sopan santun. Kalau begitu, aku pamit dulu.” Anna membungkukkan badannya sembilan puluh derajat kemudian berbalik, berjalan mengabaikan Eden.Eden mengeluh dalam hati. Keras kepala sekali gadis ini. Eden melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, sudah pukul satu malam. Hanya beberapa jam sebelum matahari terbit.Eden menyusul Anna yang sudah agak jauh. “Dengarkan aku dulu,” dia menahan lengan Anna. “Begini…”
“Apa yang kau lakukan?” seru Anna lagi sambil menutupi badan Eden dengan jas yang menutupinya tadi. Sontak Anna langsung menyilangkan tangan di dada dan menatap Eden dengan tajam.Eden menunduk menatap dadanya dengan polos kemudian ikut menyilangkan kedua tangan di dada. “Ini karena kau muntah di bajuku.” Eden membela diri.“Apa? Muntah? Aku?” Anna menjadi serba salah, tapi dia tak ingat.Anna melirik Eden sebentar kemudian segera keluar dari mobil. Bagaimanapun permintaan Eden untuk menemui orang tuanya cukup mendadak. Setidaknya dia ingat akan perjanjian tak tertulis mereka semalam.Sontak Eden menjadi panik. Waktu mereka semakin menipis. Dia hanya punya waktu kurang dari satu jam lagi untuk sampai ke rumah orang tuanya. Anna berjalan cepat dengan bertelanjang kaki. Eden pun langsung keluar mobil. Mengejar Anna. Tetapi dia berhenti ketika menyadari badannya yang tak pakai apapun.“Astaga,” gumamnya sambil melirik badan polosnya. “Hei! Kau mau kemana?” Eden kembali ke mob
Suara burung pagi menyapa tak lagi terdengar. Bahkan suara anak-anak yang hendak berangkat ke sekolah yang melewati mereka luruh ke tanah. Mereka terdiam sejenak dengan mata yang saling bertatap tatapan. Namun, tak ada reaksi apapun setelahnya hingga Anna mengalihkan pandangannya. Pertanyaan Eden sangat tiba-tiba dan terkesan blak-blakan. “Apa? Tentu saja tidak,” tolak Anna mentah-mentah.“Makanya itu, buat apa kau memikirkan tanggapan dari orang tuaku nanti,” jelas Eden. “Tapi….” Anna masih beralasan. Dengan sekuat tenaga Eden menarik Anna masuk ke dalam rumah. Kenop pintu di putar. Pintu terbuka. “Ganti dengan ini!” Eden menyodorkan sepasang sandal rumah berwarna abu-abu pada Anna.“Astaga,” seru Anna. Dia membelalak ketika melihat kakinya yang kotor. Dia lupa membersihkannya dengan tisu basah tadi. “Pakai saja,” kata Eden tak peduli. Dia menyarungkan sandal ke kakinya.Anna menahan lengan Eden. “Kenapa lagi?” tanya Eden.“Pinjam kunci mobilmu,
Anna menyelam di tengah gelapnya kamar. Sherin masih belum pulang karena masih pukul delapan malam. Mungkin jam segini masih siang padanya. Gadis yang belum berganti pakaian semenjak siang tadi merebahkan badannya di ranjang. Terlalu malas untuk berjalan ke arah pintu untuk menghidupkan lampu. Berbagai pikiran menjalari benaknya. Langit langit kamar sunyi. Hanya sayub-sayub klakson mobil di jalan bawah sana yang menyelinap masuk. Anna mendesah lantas mengangkat sebelah tangan menutupi wajah. Apakah keputusannya sekarang sudah benar. Jawaban Eden atas pertanyaannya cukup untuk mengoyak hati Anna yang sudah terluka. “Tapi bagaimana jika mereka benar-benar ingin kita menikah?” Anna bertanya setengah panik. Eden terkekeh pelan. “Tidak semua pasangan yang berkencan berakhir dengan pernikahan. Jangan bilang kalau selama ini kau berpikiran seperti itu?” Eden melirik Anna yang menatap lurus ke depan. “Apa kau juga mengharapkan sebuah pernikahan
“Bagaimana kau bisa menemukanku di sini?” Anna dan Eden berbicara empat mata di tempat duduk yang sama. Sementara Sherin sudah tertidur di meja. Baiklah. Anna akan menggendongnya nanti.“Lagi-lagi kau menatapku dengan tatapan penuh curiga seperti itu,” jawab Eden dengan setengah hati.Eden meletakkan sebuah dompet berwarna hitam di atas meja. “Aku ingin menyerahkan ini padamu.”Sontak Anna langsung meraih dompetnya di atas meja dengan mata berbinar. Padahal dia sudah hampir menyerah saat mencari dompetnya sesaat akan keluar rumah tadi. Dia mungkin akan melapor ke polisi jika besok dia tidak kunjung menemukan dompetnya itu.“Syukurlah kau menemukannya,” ungkapnya sambil tersenyum lega pada Eden. “Terima kasih,” lanjutnya lagi.“Kenapa harus repot-repot jauh mengantar ke sini. Kau bisa telfon saja jadi aku akan menjemputnya besok.”Kali ini Eden meletakkan ponselnya di atas meja. “Bagaimana aku bisa menghubungimu jika nomormu saja tidak punya,” celetuk Eden lagi.Ah, betul juga. Pertemu
“Kau dari mana pagi-pagi sekali?” “Tidak ada, aku keluar memang mau menemuimu,” Eden langsung melingkarkan tangan dan menarik Anna ke dalam dekapannya. “Bohong!” Anna mencubit manja hidung mancung milik Eden. “Mana ada, pakaianmu saja lengkap seperti ini. Kau habis dari mana?” “Rumah orang tuaku,” Anna menjauhkan badan dan mengangkat kepala. “Kenapa? Apa terjadi sesuatu di rumah?” Suara Anna terdengar khawatir. Eden menggeleng. Dia kembali memeluk Anna, kali ini lebih erat. “Bisa izin aja gak hari ini? Kerjanya,” “Tidak bisa, aku sudah terlalu sering tidak masuk. Tidak enak jika terus merepotkan Rian yang harus menggantikan shiftku terus. Tapi memangnya di rumahmu terjadi sesuatu? Sampai-sampai kau harus pulang sepagi ini? Tumben banget.” “Tidak ada. Atau kau mau berhenti bekerja saja?” Eden terus saja mengalihkan topik pembicaraan. “Hei!” Kali ini Anna mendorong tubuh Eden cukup jauh hingg
“Ya. Aku memang bertengkar hebat di Departemen Store waktu itu,” jawab Nyonya Arini dengan suara yang lantang. “Tapi bukan dengan Anna,” lanjutnya lagi, suaranya mulai melunak. “Lalu?” “Aku tidak tau masalah mereka apa, tapi tiba-tiba saja seorang gadis menampar Anna bahkan menjambak rambutnya. Aku tidak terima dia mengatakan hal-hal buruk padanya di tengah keramaian seperti itu.” “Apa?” Eden mendengus tidak percaya. Siapa yang berani beraninya menampar kekasihnya itu. “Bagaimana dengan Anna? Dia tidak mungkin diam saja kan? Apa dia terluka?” “Tentu saja tidak, justru Anna balas menampar gadis itu. Aku segera berlari menghampirinya. Awalnya berniat untuk membantu tapi saat Anna memanggilku dengan sebutan ibu, gadis gila itu justru ikut menarik rambut Anna sambil mengatakan kalau aku tidak mendidik anakku dengan baik.” Nyonya Arini tertawa getir. Dia ingat betul bagaimana kata-kata itu meluncur dari mulut gadis yang berlagak sombong itu.
“Boleh aku bertanya bagaimana perasaanmu lebih jauh?” Sontak Anna langsung menoleh setelah mendengar pertanyaan Eden barusan. Mereka memilih kembali ke salah satu kedai tepi pantai setelah makan malam bersama di rumah Anna. “Hm?” Anna bingung perasaan mana yang dimaksud Eden. Bukankah mereka sudah sama-sama saling mengetahui perasaan masing-masing. “Sudah jauh lebih lega?” “Ah, tentang itu,” sahut Anna mengerti dengan arah pertanyaan Eden. Hampir saja dia salah paham. “Atau masih ada yang kau khawatirkan? Katakan saja padaku, aku akan menyelesaikannya untukmu,” Anna menggeleng. “Tidak ada, kini semuanya terasa lebih lega. Tapi – “ “Tentang ibuku?” Eden menyela lebih dulu. Jika masalah keluarga Anna sudah selesai, berarti hanya tinggal masalah keluarga. Eden pun mengerti tantangan yang akan dihadapi Anna walaupun ibunya sudah memberi restu. Tapi itu masih terasa fana sampai hubungan mereka b
Mereka duduk bertiga di meja makan. Tak ingin melibatkan nenek Anna yang masih asik menonton televisi di ruang tengah. “Maafkan aku bu, semua ini salahku bu. Aku yang meminta Anna untuk berpura-pura menjadi kekasihku untuk membuat ibuku berhenti menyuruhku menikah atau menjodokanku dengan beberapa kenalannya. Tapi sekarang hubungan kami tidak palsu lagi bu. Aku serius dengan Anna dan kami menjalani hubungan sungguhan. Bahkan ibuku juga sudah mengetahui semuanya dan memberi restu pada kami bu,” “Tapi itu – ?” Genggaman tangan Eden mengencang membuat Ana berhenti berbicara. Mereka saling berpengangan tangan untuk menunjukkan keseriusan mereka di depan Ibu Anna. Tapi perkara restu Nyonya Arini itu urusan lain. Ibu Anna cukup hanya tau dengan masalah mendapatkan restu atau tidak. Sebatas itu saja. Untuk masalah sampai mana batasan restu yang mereka dapatkan itu urusan nanti. Yang jelas kini mereka sudah mengatakan yang sebenarnya. Dan Anna menginginkan semuanya ter
Senyum gadis yang mengenakan skirt berwarna putih itu cerah secerah mentari pagi. Dia mendapati pria yang kini tengah tersenyum itu merentangkan tangan. Anna berlari-lari kecil segera menghampiri Eden lalu segera memeluk pria itu. Aroma kayu dan laut berpadu begitu menyegarkan. Eden menyipitkan kedua matanya, menilik penampilan Anna pagi itu dari bawah sampai kepala. “Oh, kau pakai lipstip baru ya? Oh pipimu juga.” Eden menggoda Anna sambil mengelus pelan pipi manis gadisnya itu. “Hei! Jangan merusak penampilanku. Aku harus bangun pagi-pagi untuk dandan dan memilih baju yang paling bagus yang aku punya.” Eden memanyunkan bibirnya pura-pura prihatin dengan perjuangan Anna untuk berdandan demi pertemuan mereka hari ini. “Tumben sekali.” Eden menyelipkan poni Anna ke belakang telinga. “Padahal kau tetap cantik tanpa berdandan, bahkan kau cantik memakai apa saja.”“Dasar pembohong!” Anna menyerngitkan kening. “Aku tau kau pura-pura saat bil
Eden memberikan kecupan pelan. “Hm?” Sebaliknya Anna membalas kecupan Eden. “Jangan malam ini, aku harus pulang.” “Hanya segitu?” Eden pura-pura merajuk layaknya anak kecil umur lima tahun. “Kalau kau mau pulang seharusnya lakukan dengan benar, kan?” Anna mendengus pelan. Dia kembali mendekatkan wajahnya pada Eden. Bibirnya beradu dengan lembutnya bibir milik Eden. Perlahan mulai mengulum dan hanyut dalam di dalamnya. Begitu sebaliknya dengan Eden yang membalas setiap ciuman yang diberikan Anna. Malam semakin gelap. “Kau janji besok akan menginap kan?” Eden tak melepaskan tangan Anna dari genggamannya semenjak mobil mereka meninggalkan gedung klinik. Kini mobil mereka terparkir tepat di depan gedung apartemen milik Anna. Anna mendongakkan kepala, melihat lampu apart di lantai tujuh masih menyala atau masih mati. Hanya ada dua kemungkinan, Sherin belum pulang atau memang dia sudah tidur lebih awal. Sebelah tangan Anna menyentu
Senyum Anna langsung merekah saat dirinya melihat kedatangan pria gagah yang berjalan mendekat ke arahnya. Gelapnya senja tak menghalangi Anna untuk mengenali sosok pria yang berhasil mencuri hatinya belakangan ini. “Jangan berlari,” katanya saat Eden mulai berlari-lari kecil begitu melihat Anna keluar dari pintu. “Sudah lama menunggu?” kata Eden dengan nafas yang masih tersengal setelah berlari. Anna memberi gelengan pelan sebagai jawaban. “Kenapa kau berlari?” Eden meraih tangan Anna lalu mengenggamnya. “Aku ingin segera melihatmu.” “Tapi..” Kepala Anna menoleh ke kanan dan kiri. Mencari sesuatu. “Mana mobilmu?” “Ah itu, aku meninggalkannya di kantor.” “Kenapa?” “Supaya aku bisa menghabiskan lebih banyak waktu denganmu.” Anna meninju pelan pada dada bidang milik Eden. Ada-ada saja kelakuannya. Padahal mereka pasti akan menghabiskan waktu bersama karena Eden pasti mengantar Anna pulang.
“Bagaimana bisa? Kenapa kalian terlihat begitu santai?” Mereka duduk berhadapan di meja makan dengan kedua tangan saling tertaut di atas meja. Sedari tadi Eden tidak melepaskan genggamannya dari tangan Anna. “Aku sudah bilang semuanya pada ibumu,” “Semuanya? Dari mana? Dari awal kita bertemu?” Anna mengangguk. Memang tidak semuanya, tapi secara garis besar mencakup semuanya. “Dia tidak marah?” “Tidak, dia justru menyalahkan dirinya sendiri.” Tampak wajah khawatir dari raut wajah Eden. “Kau yakin? Ibuku orang yang pandai menyembunyikan perasaannya. Kau pasti tau sendiri, kan?” “Kenapa?” tanya Anna ikut khawatir. Dia menangkap raut wajah Eden yang tak fokus dan memikirkan banyak hal. “Firasatku tidak enak,” jawab Eden pelan. Ibunya bukan orang yang mudah berubah. Terlebih jika menyangkut masalah dirinya. Aneh sekali jika tiba-tiba ibunya memberi restu setelah sebelumny
Suara tombol pintu di luar membuat Anna tersentak dan membuka mata. Matanya menangkap Eden yang masih terlelap di sampingnya. Seulas senyum tersungging di wajahnya. Digesernya tangan Eden yang mendekapnya semalaman. Kali ini suara pintu terbuka berhasil membuat Anna bangun dan menapakkan kakinya di lantai. Anna terperanjat bukan main saat mendapati Nyonya Arini sudah berdiri di depan pintu kamar mereka. Ya. Semalam Anna menginap di rumah Eden dan disinilah dia berakhir. “Ibu,” kata Anna pelan. Dia kembali menjadi seperti anak kecil berusia lima tahun yang baru saja dimarahi ibunya karena mencuri permen setelah di larang beberpa hari terakhir. Nyonya Arini melengos dan berjalan ke arah sofa di ruang tengah, seperti sudah menduga kejadian seperti ini akan terjadi. “Kau sudah nyaman sekali rupanya.” Anna mengikuti langkah Nyonya Arini di belakang, tapi langkahnya tertahan dan terhenti saat wanita paruh baya itu duduk menyilangka