“Krisna….” Suara Radha bergetar melihat Krisna ternyata menyusulnya keluar. “Krisna, aku mohon padamu, jangan marah pada Kak Saga. Dia hanya berniat menolongku.”
Dengan satu sentakan kuat, Krisna melepaskan mengempas tubuh Radha dari Saga hingga membuat tubuh wanita mungil itu menghantam dinding. “Krisna, apa begitu caramu memperlakukan istri?!” Krisna tidak menyahuti pertanyaan kakaknya dan berpaling menatap tajam ke arah Radha. “Jadi, tidak berhasil mendapatkanku, sekarang kau beralih mengejar Saga? Begitu?” Hati Radha mencelos mendengar tuduhan Krisna. Tiap perkataan yang keluar dari bibir Krisna, terasa seperti ribuan pisau yang menusuk jantung Radha. Serendah itukah dirinya di mata Krisna? Cairan bening kembali mengambang di pelupuk mata Radha yang menatap Krisna dengan tatapan terluka. “Apa kau gila, Krisna?” Saga maju selangkah mendekati Krisna. “Bagaimana bisa kau berpikiran seperti itu pada istrimu sendiri?!” “Diam kau, anak haram!” Krisna balas meneriaki Saga dengan emosi yang memuncak. Krisna meraih pergelangan tangan Radha dan menyeret paksa untuk ikut bersamanya. “Ayo pulang, Kakek Felix sedang menunggu kita.” Iris coklat Radha yang masih tampak sembab, membulat sempurna. “Kakek Felix ada di rumah?” Krisna tersenyum sinis. “Memangnya kau pikir apa alasanku datang ke sini?” Setelah itu, tanpa memedulikan Saga, Krisna menyeret serta Radha memasuki mobilnya. Beberapa puluh menit kemudian, deru mesin Rolls Royce yang dikendarai Krisna akhirnya berhenti begitu mereka sampai di rumah. Namun tidak membuat keduanya, baik Radha ataupun Krisna, langsung turun dari mobil. Krisna menoleh ke arah Radha dengan wajah serius dan sorot mata yang tajam. “Aku tidak ingin ada masalah lagi. Jadi, jangan bicara yang aneh-aneh di depan Kakek Felix. Apalagi menyinggung tentang Nindy.” Tegas Krisna. “Haruskah kau bertindak sejauh itu demi dia, Kris?” tanya Radha, lirih. Hatinya sudah cukup hancur, dan sekarang Krisna ingin menambahkan sayatan luka itu lagi dengan memperingatkannya seperti ini? “Cukup ikuti saja apa yang kukatakan, jika tak ingin kehilangan semua kemewahan yang kau dapatkan selama lima tahun ini.” Jawab Krisna seketika, dengan ekspresi yang jauh lebih dingin dari biasanya. “Cepat turun!” Manik coklat Radha kembali mengembun, menatap punggung Krisna yang semakin jauh. Entah sudah berapa kali Radha menangisi pria itu. Berharap Krisna akan peduli. Tapi nyatanya, hal itu tidak pernah terjadi. Air matanya kembali lolos perlahan di pipi. Lamunan Radha tersentak kala mendengar suara gaduh dari dalam rumah. Praaang! Baru saja Radha akan melangkahkan kaki menuju ruang keluarga untuk melihat apa yang sedang terjadi, suara berat Kakek Felix yang begitu mendominasi dan penuh amarah, menyurutkan niat Radha dalam seketika. “Dasar anak kurang ajar!” bentak Kakek Felix, murka. Tangan kanannya yang tengah memegang stik golf, menunjuk tepat di depan wajah Krisna yang setengah tertunduk, dengan luka goresan di pelipis kirinya. “Berani sekali kau membawa wanita licik itu ke Keraton, Krisna!” Krisna tak menjawab. Ia hanya terdiam, dengan wajah tak suka saat mendengar Kakek Felix menyebut Nindy sebagai wanita licik. “Apa yang kau pikirkan? Apa kau sengaja ingin membunuh kakekmu ini lebih cepat?” Berang Kakek Felix. Kepala Krisna terangkat dan menggeleng. “Tidak, Kakek.” Bantah Krisna. “Aku hanya ....” “Tidak bisa meninggalkannya?” sergah Kakek Felix, membuat tenggorokan Krisna tercekat. “Jauhi dia, atau kupastikan wanita licik itu akan jauh lebih menderita dari apa yang telah orang tuanya dapatkan.” “Kakek, tolong ...,” Krisna memohon dengan suara serak, “jangan hukum dia karena kesalahan orang tuanya. Dia ....” “Cukup!” Potong Kakek Felix dengan suara bergetar karena marah. Wajahnya yang sudah keriput tampak merah padam, menunjukkan bahwa amarahnya telah mendidih hingga ke ubun-ubun. Krisna tak mampu lagi berkata-kata. Ia hanya berdiri di sana, menahan emosi yang berkecamuk di dalam dadanya. Radha yang berdiri tidak jauh dari mereka, merasa hatinya turut hancur melihat kondisi Krisna yang tampak tidak berdaya di hadapan Kakek Felix. Tak bisa dipungkiri, bahwa penyebab semua hal menyedihkan dan menyakitkan yang terjadi dalam kehidupan Krisna adalah karena Nindy. Dan Krisna, yang begitu gigih mempertahankan wanita itu, membuat Radha merasa semakin tidak berarti di dalam hidup suaminya sendiri. “Radha?” Suara Kakek Felix mengejutkan Radha yang tengah tenggelam dalam pikirannya sendiri. Buru-buru Radha meraih tangan Kakek Felix dan mencium punggung tangannya dengan takzim. “Kakek ...,” salam Radha. Kakek Felix dengan suara yang dingin, berkata, “aku datang ke sini bukan untuk menerima keramahtamahan kalian berdua. Tapi untuk memberi peringatan. Termasuk kau, Radha.” Radha kembali tertunduk. Menahan sebisa mungkin ketegangan yang melanda dirinya. “Radha, kau pasti ingat bahwa aku pernah memintamu untuk menjaga Krisna dengan menjauhkannya dari wanita bernama Nindy itu, sebelum aku menerimamu. Tapi ...,” suara sumbang tawa Kakek Felix, semakin menciutkan nyali Radha, “Krisna masih tetap bersama wanita sialan itu.” Perasaan bersalah sontak menggerogoti hati Radha. Dia telah berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi permintaan Kakek Felix, dengan mencoba segala cara untuk menjauhkan Krisna dari Nindy. Namun, semakin Radha berjuang, hanya membuat jarak di antara mereka berdua semakin lebar. Dan hal itu membuat Radha merasa frustasi sekaligus putus asa. Rasanya seperti berlari tanpa arah, meski kakinya sudah kehabisan tenaga. Tidak ada satu pun istri di dunia ini yang sanggup melihat suaminya lebih bahagia bersama wanita lain. Terutama jika wanita itu pernah menjadi bagian terpenting dari masa lalu suaminya. Namun apa lagi yang bisa Radha lakukan setelah semua usahanya untuk mendapatkan hati Krisna berakhir sia-sia? Tatapan menghunus Kakek Felix semakin intens ke arah Radha. “Kau benar-benar telah mengecewakanku. Membuatku berpikir ulang untuk tetap mempertahankanmu sebagai cucu menantuku, atau menggantikanmu dengan wanita lain yang lebih berkompeten darimu.” “Kakek, ini sudah keterlaluan!” Krisna akhirnya bersuara kembali, menarik perhatian Radha yang tadi tersentak dan juga Kakek Felix ke arahnya. “Harus berapa banyak wanita lagi yang akan jadi menjadi korban dari keegoisan Kakek?” Cengkeraman tangan Kakek Felix yang keriput pada stik golf yang dipegangnya semakin erat, usai mendengar perkataan Krisna yang begitu lantang padanya. Matanya menatap tajam ke arah Krisna, "Baiklah, Krisna. Akan kubiarkan kau bersama Nindy ...,” kalimat Kakek Felix menggantung di udara, membuat Krisna sejenak tertegun. Matanya melebar, terkejut mendengar kata-kata yang tak pernah ia duga akan keluar dari mulut kakeknya. Namun bagi Radha, pernyataan itu terasa seperti palu godam yang menghantam keras ke dalam dadanya, membuat segala harapan dan upayanya selama ini runtuh dalam sekejap. Radha menatap Kakek Felix dengan mata yang mulai memanas, sementara bibirnya bergetar, menahan emosi yang siap meledak. Ia tahu bahwa mungkin saat ini tidak ada kata-kata yang bisa ia sampaikan untuk membela dirinya. Karena pada akhirnya, Kakek Felix memang harus menyerahkan Krisna kepada Nindy, seolah menegaskan bahwa Radha tidak pernah pantas untuk berdiri di samping Krisna. "… tapi dengan satu syarat," lanjut Kakek Felix, membuat Krisna yang semula merasa lega, kini kembali menegang. Sorot matanya yang semula penuh harap berubah menjadi waspada. Kakek Felix dikenal jarang sekali memberikan kelonggaran tanpa imbalan. “Kau harus memberikanku pengganti dirimu.”“A-apa maksud Kakek?” Radha dan Krisna spontan saling pandang. Mereka berusaha mencoba mencerna kembali ucapan yang baru saja keluar dari mulut Kakek Felix. Kata-kata —pengganti— itu, membuat udara di sekitar mereka semakin tegang.Kakek Felix masih dengan ekspresi datar, dan sorot mata yang tak pernah lepas dari Krisna. "Radha harus melahirkan seorang putra, calon pewaris keluarga Harlingga," lanjutnya, dan kali ini terdengar lebih tajam. "Jika tidak, jangan harap kalian bisa menjalani hidup dengan nyaman."Emosi Krisna yang semula sudah tertahan, kini kembali meluap. “Aku tidak mencintai Radha, Kakek. Bagaimana bisa aku melakukannya!”"Keputusanku sudah bulat," ucapnya dengan nada yang dingin namun penuh wibawa. “Kau boleh tidak mencintai Radha, tapi kau tetap seorang Harlingga. Tanggung jawabmu adalah memastikan garis keturunan ini terus berlanjut. Jika kau tidak bisa, maka persiapkan dirimu untuk kehilangan semuanya.”Radha kembali termenung. Lagi, untuk kedua kalinya ia dibuat t
"Apa kau sedang mengajakku bercanda?" Krisna menyentuh pipinya yang perih, keningnya berkerut samar. Ia menyeringai dingin. “Kau harusnya bersyukur. Kakek Felix pasti sangat senang saat tahu ‘boneka’ cantiknya telah berhasil memberikan seorang ‘pengganti’ diriku.” Radha menatap Krisna dengan sorot mata yang penuh luka. Ia masih tak menyangka bahwa Krisna bisa menilainya serendah itu. Dengan tangan gemetar, Radha menyeka air matanya dan mencoba mengambil napas dalam-dalam. “Krisna …,” suara Radha bergetar, menahan tangis. “Kalau memang itu yang kau pikirkan tentang diriku … maka … aku tidak akan membantahnya lagi.” "Akhirnya, kau menunjukkan warna aslimu yang sebenarnya,” ujar Krisna dengan suara rendah namun sarat akan ejekan. “Jika itu yang kau percayai, maka anggap saja begitu.” Ucap Radha. Ia berpikir, tak ada gunanya menjelaskan apapun pada Krisna, sebab pria itu sudah mempunyai label buruk untuknya. Ketegangan kembali memenuhi udara saat Krisna menatap Radha dengan penu
Radha menarik napas panjang saat berdiri di depan pintu rumah Freya, ibu tirinya. Untuk sesaat, ada semacam beban berat yang menggantung di hatinya. “Bu, ada yang ingin aku bicarakan,” kata Radha, berusaha tetap tenang.Freya sedang duduk di ruang tamu dengan ponsel genggamnya ketika Radha masuk. Perhatiannya seketika teralihkan, ia melayangkan pandangan tajam yang begitu menusuk ke arah Radha. “Soal apa? Jika ini menyangkut masalah rumah tanggamu dengan Krisna, maka simpan saja untuk dirimu sendiri.” Freya mengangkat alisnya, tanda tidak sabar. “Aku sudah memberikanmu begitu banyak saran yang bisa kau lakukan, tapi tetap saja tak bisa memenangkan hati suamimu sendiri. Kau memang payah!”Radha tertunduk sejenak, lalu menggeleng pelan. Menciptakan kerutan halus di dahi Freya. Sementara itu, kedua tangan Radha yang terasa dingin, meremas kuat gagang tasnya.“Bukan? Lalu tentang apa? Katakan dengan cepat, karena sejam lagi aku harus pergi arisan dengan ibu-ibu pejabat di Bunga Rampai.”
Radha seketika terdiam. Tubuhnya membeku usai mendengar ucapan Freya. Kalimat tanpa perasaan yang keluar dari bibir Freya, bagaikan anak panah yang melesat begitu cepat dan menghancurkan jantung Radha. 'Nyawaku?' Sungguh sangat sulit dipercaya bahwa wanita di depannya, sosok orang tua yang seharusnya melindungi anak-anaknya, dengan begitu enteng meminta sesuatu yang sangat mengerikan. Mata Radha berkaca-kaca. Namun belum sempat ia merespon, Freya kembali mengikis jarak antara mereka berdua dan mendekatkan wajahnya ke telinga kanan Radha dengan senyuman penuh kebencian. “Pilihannya ada di tanganmu. Dan mari kita lihat, entah aku atau dirimu yang mati dalam pertaruhan ini.” Bisik Freya. Radha merinding, seluruh tubuhnya bergidik hebat. Dia ingin membantah ucapan ibu tirinya itu. Namun sebelum kata-kata itu bisa keluar dari bibirnya, Freya mencengkeram pergelangan tangan Radha dengan sangat kasar dan menyeretnya keluar dari rumah secara paksa. “Pergi kau dari sini!” Freya
“Wanita tidak tahu malu. Kau ingin aku merobek mulutmu yang kurang ajar itu, hah?!” Gayatri memekik, tangannya menunjuk Radha seolah ingin menerkamnya. “Kau pikir kau siapa?! Istri yang tak becus menjaga suaminya sendiri, berani bicara seolah kau lebih baik dariku?” Di tengah amukan Gayatri, Nindy melangkah maju berusaha menenangkannya dengan tatapan licik yang tidak bisa disembunyikan. “Sudah, Ma, tenanglah. Tolong jaga tensi Mama. Dan jangan biarkan orang seperti dia merusak suasana hati kita,” Nindy menyindir dengan suara lembut namun sarat sindiran. “Seseorang yang tumbuh dalam keluarga yang hanya mementingkan uang, tidak akan pernah bisa menghormati orang lain dengan benar. Mereka hanya tahu soal uang. Tidak dengan kesopanan.” “Kalau begitu, tindakan yang menjerumuskan anaknya dengan menawarkan wanita lain sebagai pengganti yang dianggapnya ‘layak’, apakah pantas disebut sebagai orang tua yang baik?” Balas Radha, balik menatap tajam ke arah Nindy dan Gayatri secara bergantian.
Baik Gayatri maupun Nindy, keduanya terdiam sejenak dan memandang Radha dengan tatapan penuh keterkejutan yang berubah menjadi ketidakpercayaan. Nindy, yang berada di sebelahnya, menggigit bibir bawahnya, tampak gelisah mendengar ucapan Radha yang begitu tegas. “Apa maksudmu?” Gayatri akhirnya membuka suara dengan nada dingin. “Cucu pengganti Krisna?” Radha mengangguk pelan, tetapi tetap mempertahankan ketenangan di wajahnya. “Kakek Felix tahu apa yang dia inginkan. Dia ingin memastikan masa depan keluarga Harlingga tetap terjaga, dan baginya, cucu dari garis keturunan langsung adalah solusi terbaik.” Kepala Gayatri menggeleng lemah. "Tidak. Ini... ini pasti tipuanmu," suara Gayatri bergetar, namun berusaha tetap terdengar keras. "Kau pasti telah menjebak putraku dengan menghasut Kakek Felix agar beliau marah besar dan menjatuhkan hukuman seperti itu!” Radha menatap Gayatri dengan senyum pahit yang tak kunjung hilang dari bibirnya. "Bahkan kali ini pun, saat semuanya jelas-jelas b
“Apa yang sudah terjadi sama Krisna, Ma?” bisik Nindy, mempersempit jaraknya dengan Gayatri. “Bukankah waktu itu dia yang paling ingin berpisah dari Radha?” “Mama juga tidak tahu, Nindy,” kesal Gayatri, terlihat semakin geram. Perkiraannya bahwa ia bisa menyingkirkan Radha dengan mudah, nyatanya meleset sangat jauh. Krisna malah menolak bercerai dari Radha. “Seperti telah terjadi sesuatu. Dan mama yakin, penyebabnya adalah dia! Perempuan licik ini pasti telah menggunakan ilmu hitam untuk mempengaruhi pikiran Krisna!" Satu lagi tudingan kasar yang dilontarkan oleh Gayatri membuat Radha tersentak. Bagaimana mungkin pemikiran tak masuk akal itu hinggap dalam benak ibu mertuanya? Ilmu hitam? Astaga. Nindy memandang Gayatri dengan gelisah. "Ilmu hitam? Semacam pelet, begitu?" Kejutnya, yang dibalas spontan dengan anggukan kecil dari calon ibu mertuanya. “Ya ampun, Ma. Mama masih percaya begituan? Aku tahu Radha itu memang menyebalkan. Tapi apa iya, Ma, Radha menggunakan ilmu hitam untu
Radha duduk terdiam di atas ranjang rumah sakit. Tubuhnya masih terasa sakit akibat kekerasan yang baru saja ia alami. Wajahnya sedikit memucat, dan luka-luka yang terlihat di beberapa bagian tubuhnya menjadi saksi bisu atas tindakan kasar yang baru saja dialaminya. Gayatri memang tidak pernah menyukainya, tapi tetap saja Radha tak pernah membayangkan bahwa kebencian itu bisa berubah menjadi tindakan fisik yang begitu brutal. Entah apa yang akan terjadi jika seandainya ayah mertuanya tidak datang di waktu yang tepat, Radha mungkin tidak akan selamat dari serangan Gayatri. Tubuhnya pasti sudah hancur lebih parah dari ini. Kini, Radha hanya bisa menatap ke luar jendela dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Sakit fisik yang dirasakannya seakan menyatu dengan luka batinnya yang semakin dalam. Bagaimana bisa hidupnya berubah begitu dramatis? Di tengah lamunannya, tiba-tiba suara ketukan pintu memecah keheningan. Radha segera menghapus air matanya begitu melihat Nakula, adik tirinya, mas
Krisna menegang sesaat. Kata "sayang" yang diucapkan Radha dengan nada menggoda seolah nyaris menghantam benteng pertahanannya. Mata hitamnya menatap wanita di sampingnya yang kini tersenyum manis seakan benar-benar menikmati perannya. "Apa kau sangat menikmatinya?" gumamnya pelan. Radha tertawa kecil. "Bukankah kau sendiri yang menyuruhku bersikap layaknya istri yang baik?" Krisna hanya mendengus dan menatap lurus ke depan. Langkahnya mantap saat memasuki gedung mewah tempat acara amal berlangsung. Sejak mereka muncul di pintu masuk, mata para tamu undangan yang ada di dalam ruangan itu, kompak tertuju pada mereka. Bisik-bisik di antara mereka pun mulai samar terdengar. "Oh, lihat itu! Mereka datang!" “Astaga, aku pikir ini seperti acara pengobatan raja dan ratu. Mereka berdua terlihat sangat menawan!” “Aku hanya mendengar bahwa menantu perempuan mereka sangat cantik, dan ternyata itu benar.” “Rasanya beruntung sekali bisa datang ke tempat ini. Bisa melihat wajah tampan cuc
“Seberapa berpengaruhnya dia?” Andre tersenyum tipis, tetapi kali ini senyumnya lebih dingin. “Cukup untuk bisa masuk ke dalam lingkaran bisnis kelas atas tanpa harus membawa nama Harlingga. Dan cukup untuk membuat banyak orang bertanya-tanya… siapa sebenarnya yang berdiri di belakangnya.” Aresha membatu seketika. Jadi, Joshua bukan hanya sekadar putra Baskara yang tersembunyi. Dia lebih dari itu. Dia seseorang yang memiliki kekuatan, pengaruh, dan—kemungkinan besar—rencana tersendiri. Ini jauh lebih rumit dari yang ia bayangkan. “Jika kau ingin tahu lebih banyak, aku bisa menyelidikinya lebih dalam,” tawar Andre. Aresha menghembuskan napas panjang. “Kalau begitu lakukanlah.” Andre mengangguk, lalu bangkit. Sebelum pergi, ia menatap Aresha dengan pandangan tajam. “Tapi Aresha, aku sarankan satu hal.” “Apa?” “Berhati-hatilah.” Suaranya rendah, nyaris seperti peringatan. “Joshua bukanlah orang yang bisa disentuh dengan mudah.” Aresha hanya tersenyum kecil. Namun di dalam hatin
Aresha merasakan detak jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Kata-kata yang baru saja keluar dari bibirnya menggantung di udara, menciptakan keheningan yang memekakkan telinga. Joshua adalah putra lain dari Baskara. Jika itu benar, berarti… dia dan Joshua memiliki darah yang sama. Perutnya terasa mual. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, meskipun udara di sekitar masih dikuasai angin sepoi-sepoi yang seharusnya menenangkan. Tetapi dirinya sama sekali tidak bisa tenang dengan kondisi pikirannya yang kacau balau saat ini. “Saga,” bisiknya, mencoba memastikan kembali. “Apa kau benar-benar yakin dengan apa yang kau ucapkan barusan? Barangkali saja yang kau maksud adalah Joshua yang lain?” Di seberang telepon, suara Saga terdengar lebih berat, seolah ia sendiri belum siap menerima kenyataan ini. “Ya, aku juga tidak menutup kemungkinan akan hal itu,” katanya pelan. “Tapi tetap saja, Aresha. Tidak ada salahnya untuk bersikap waspada terhadap segala hal yang bisa menghancur
Aresha mengedarkan napas perlahan, menyembunyikan keterkejutannya di balik senyum tipis yang tak terbaca. Namun, tatapannya menajam, menyelidik pria yang berdiri di hadapannya. Joshua. Nama yang terdengar asing, tetapi caranya berbicara seolah ia tahu lebih banyak daripada yang seharusnya. Sorot matanya yang tajam, tak menunjukkan sedikit pun celah yang bisa dimanfaatkan Aresha. Dia jelas bukanlah orang biasa. Aresha menggeser sedikit berat badannya ke satu sisi, menyilangkan tangan di depan dada, seolah percakapan ini bukan hal besar baginya. “Aku tak tahu siapa yang memberimu informasi, tapi aku rasa kau sedang salah paham, Tuan Joshua,” ujarnya, suaranya tetap ringan namun berhati-hati. Joshua tersenyum kecil, seolah mengapresiasi usaha Aresha untuk tetap tenang. "Salah paham?" ulangnya, seakan mengecap kata itu di lidahnya. "Apakah itu benar? Aku rasa aku tidak mungkin salah." Aresha tertawa pelan, seolah menertawakan ketidakmasukakalan kata-kata pria itu. Namun, hatinya be
"Astaga, aku mencarimu sejak tadi, Tuan Saga." Radha mengernyit. Dia tidak memahami bahasa itu, tetapi jelas dari ekspresi Saga bahwa dia mengenal wanita ini. Saga, yang sejak tadi menegang, akhirnya menghela napas, lalu menatap wanita itu dengan sorot penuh kewaspadaan. “Aresha…” gumamnya, seolah tak percaya bahwa wanita itu benar-benar ada di sini. Aresha tersenyum tipis, lalu mengarahkan tatapannya pada Radha. "Dan siapa wanita cantik ini?" tanyanya, kini berbicara dalam bahasa Inggris dengan lancar. "Apakah dia kekasihmu, Tuan Saga?" Saga yang sedang meneguk napas panjang langsung tersedak mendengar pertanyaan itu. Dia terbatuk pelan, lalu menoleh dengan tatapan penuh peringatan ke arah Aresha. "Berhenti bersandiwara," desisnya. Namun, Aresha hanya mengangkat bahunya ringan, seolah tak peduli dengan reaksi Saga. Radha, yang sejak tadi hanya diam memperhatikan, akhirnya tersenyum sopan. "Saya Radha," katanya dengan tenang. "Adik iparnya Kak Saga." Aresha pura-pura terkejut,
Saga membawa Radha keluar dari dalam gedung, melewati lorong panjang yang berlapis marmer, lalu menuruni beberapa anak tangga. Radha tidak mengerti ke mana pria itu akan membawanya, tetapi ia tetap mengikuti langkah panjang Saga tanpa banyak bertanya. Udara pagi yang terik hari itu masih tetap terasa sejuk, dengan angin lembut yang berembus perlahan, menyingkap beberapa helai rambut panjangnya. Setelah beberapa menit berjalan, mereka akhirnya sampai di sebuah taman kecil yang tersembunyi di balik gedung pertemuan. Tempat itu tampak tenang, jauh dari hiruk-pikuk para tamu yang masih bercengkerama di dalam. Dedaunan berguguran di sekitar bangku-bangku kayu yang kosong, dan aroma bunga mawar samar tercium di udara. Saga akhirnya berhenti, membiarkan Radha mengambil napas sejenak sebelum berbalik menghadapnya. Radha mengamati pria itu dengan saksama. "Kenapa kau bisa tiba-tiba ada di sini, Kak Saga?" tanyanya, suaranya masih mengandung sedikit keraguan. Saga menyandarkan dirinya ke ti
Radha menelan ludah, tubuhnya menegang saat jarak antara dirinya dan Krisna semakin tipis. Udara di sekitar mereka terasa berat, seakan dipenuhi ketegangan yang tak kasat mata. Mata pria itu membara, dipenuhi dengan kemarahan dan penghinaan yang menyelinap tajam dalam setiap kata-katanya. “Sejauh apa kau akan bertahan demi permainan yang kau ciptakan bersama kakekku, Radha?” suaranya rendah, tetapi tajam seperti pisau yang menusuk langsung ke jantungnya. Radha mengalihkan pandangan, tidak sanggup menatap mata itu terlalu lama. “Aku tidak sedang bermain, Krisna. Aku hanya… mencoba bertahan.” Krisna terkekeh sinis, jemarinya terangkat, menyentuh dagu Radha sebelum mencengkeramnya dengan tekanan yang cukup kuat hingga memaksa wanita itu mendongak menatapnya. “Bertahan?” Krisna mengulangi dengan nada penuh ejekan. “Jangan membuatku tertawa, Radha. Kau bilang ingin bercerai, tapi kau tetap saja mengikuti semua perintah Kakek Felix seperti anjing yang setia.” Radha merasakan amarah men
Ketegangan menyelubungi ruangan pertemuan seperti kabut yang enggan beranjak. Di balik pintu kayu mahoni yang tertutup rapat, hanya ada mereka berempat—Kakek Felix yang duduk dengan tenang di kursi utama meja bundar, Krisna dengan sorot mata yang menyala oleh kemarahan yang ditahan, Radha yang masih terdiam dalam pusaran dilema, dan seorang sekretaris pribadi yang berdiri di samping Kakek Felix, wajahnya tanpa ekspresi, seolah sudah terbiasa dengan apa yang dilihatnya. Di antara mereka, hanya suara detik jam yang terdengar. Sebuah jeda yang nyaris tak tertahankan sebelum akhirnya Krisna bersuara, memecahkan keheningan dengan nada tajam dan penuh amarah. "Aku masih tidak mengerti hukuman macam apa ini," ucapnya dingin. "Kenapa aku harus datang ke acara itu bersama Radha? Aku sudah bilang, aku tidak mau." Radha yang sejak tadi duduk diam, mengeratkan jemarinya di pangkuan. Ia sudah menduga Krisna akan menolak. Jika dia tidak ingin datang bersamanya, lalu kenapa dirinya juga harus dip
Di sebuah kafe mewah yang terletak di dekat bukit lapangan golf, Radha duduk diam di salah satu sudut ruangan. Penampilannya cukup anggun dalam balutan blouse berwarna pastel yang sederhana, namun tetap memancarkan kesan berkelas. Tatapannya lurus tertuju pada pria tua di hadapannya, yang tengah menyeruput teh dengan santai—seolah percakapan mereka bukanlah sesuatu yang penting. Padahal, bagi Radha, perbincangan ini bisa menentukan arah hidupnya selanjutnya. “Jadi, bagaimana?” Kakek Felix akhirnya angkat bicara, meletakkan cangkirnya perlahan. “Apa kau sudah membuat keputusan atas tawaran yang aku berikan padamu semalam?” Radha menghela napas perlahan. Ia meremas jemarinya sendiri di pangkuannya, berusaha menyusun kalimat yang tepat. “Saya...” Kakek Felix mengangkat satu alisnya, menunggu Radha melanjutkan kalimatnya. Pancaran matanya yang tajam, yang telah menyaksikan puluhan tahun intrik bisnis dan politik, seakan sedang menelanjangi kebimbangan Radha. “Kau bisa mengatakan tida