Share

3. Terenggut Paksa

Penulis: Aww Dee
last update Terakhir Diperbarui: 2024-09-04 15:07:51

“A-apa maksud Kakek?” Radha dan Krisna spontan saling pandang. Mereka berusaha mencoba mencerna kembali ucapan yang baru saja keluar dari mulut Kakek Felix.

Kata-kata —pengganti— itu, membuat udara di sekitar mereka semakin tegang.

Kakek Felix masih dengan ekspresi datar, dan sorot mata yang tak pernah lepas dari Krisna. "Radha harus melahirkan seorang putra, calon pewaris keluarga Harlingga," lanjutnya, dan kali ini terdengar lebih tajam. "Jika tidak, jangan harap kalian bisa menjalani hidup dengan nyaman."

Emosi Krisna yang semula sudah tertahan, kini kembali meluap. “Aku tidak mencintai Radha, Kakek. Bagaimana bisa aku melakukannya!”

"Keputusanku sudah bulat," ucapnya dengan nada yang dingin namun penuh wibawa. “Kau boleh tidak mencintai Radha, tapi kau tetap seorang Harlingga. Tanggung jawabmu adalah memastikan garis keturunan ini terus berlanjut. Jika kau tidak bisa, maka persiapkan dirimu untuk kehilangan semuanya.”

Radha kembali termenung. Lagi, untuk kedua kalinya ia dibuat terkejut oleh perkataan Kakek Felix.

"Aku beri waktu kalian sebulan. Kuharap kalian berdua bisa memberikanku kabar bahagia. Jika tidak, kalian tahu apa yang akan terjadi," ucap Kakek Felix, mempertegas ultimatum yang baru saja disampaikan.

Krisna menggertakkan giginya, matanya memancarkan kemarahan. Tangannya mengepal erat, seakan ingin menghancurkan apa saja di dekatnya. "Sebulan?" suaranya bergetar, setengah tak percaya. "Kakek, ini gila! Kau tidak bisa memaksakan sesuatu yang mustahil terjadi dalam waktu sesingkat itu!"

Tatapan dingin Kakek Felix tetap tak berubah. "Sebulan, Krisna," ulangnya dengan nada tanpa kompromi. "Tak peduli apa pun alasanmu, tugasmu tetap harus dijalankan. Jika kau gagal, semua yang kau miliki—semua yang pernah kuberikan padamu—akan lenyap."

Ancaman itu menggantung di udara, menusuk Krisna dan Radha dengan rasa ketakutan yang tak terucapkan. Kakek Felix tak memberi ruang untuk negosiasi. Kalimatnya seperti vonis yang tak dapat dihindari.

Kakek Felix melangkah pergi, meninggalkan Krisna dan Radha dalam keadaan kacau dan syok.

Ancaman kakek tua itu terus terngiang-ngiang meski pria itu telah meninggalkan Krisna dan Radha.

Mereka hanya punya waktu sebulan—dan Kakek Felix tak peduli bagaimana caranya… Radha harus hamil.

Radha terduduk lemas di lantai, tubuhnya gemetar hebat. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, namun ia berusaha menahannya. Pikirannya berkecamuk, dipenuhi oleh ketakutan dan keputusasaan yang tak terbendung.

"Bagaimana mungkin?" bisiknya lirih, lebih kepada dirinya sendiri. Radha menatap kosong ke arah lantai, tangannya mencengkeram erat ujung bajunya. "Sebulan... hamil dalam sebulan..." Kata-kata itu terasa pahit di lidahnya.

Kenyataan pahit menghantam Radha seperti ombak yang menerjang karang. Hubungannya dengan Krisna selama ini hanyalah sebuah pernikahan tanpa cinta.

Bagaimana mungkin ia bisa mengandung anak dari pria yang bahkan tak sudi menyentuhnya?

Di sisi lain, Krisna tampak bergetar, bukan karena ketakutan, tetapi kemarahan yang semakin memuncak. Ia menatap tajam ke arah pintu yang baru saja ditutup oleh kakeknya, "Sial!" umpatnya pelan.

Lalu tanpa peringatan, Krisna berbalik dan menatap Radha dengan penuh kebencian. "Ini semua pasti rencanamu!"

Radha tersentak, menatap suaminya dengan kaget. "Apa maksudmu, Krisna?" tanyanya, suaranya bergetar penuh kebingungan.

Krisna berjalan mendekat dengan langkah tergesa-gesa. Dia menarik Radha bangkit dari lantai dengan kasar, membuat wanita itu terdorong paksa berdiri. "Jangan berpura-pura bodoh. Pasti kau yang mengadu pada Kakek Felix soal Nindy. Kau menjebakku, agar aku tidur denganmu dan memberimu anak, kan? Itu rencanamu!"

Radha menggeleng cepat, air matanya mulai jatuh. "Aku tak pernah melakukan itu," jawabnya dengan nada pelan, namun penuh rasa sakit.

Krisna mencengkeram bahu Radha semakin keras. Wajahnya mendekat, suaranya penuh dengan ejekan. "Jangan bohong, Radha. Kau pikir aku tak tahu? Kau sangat licik."

“Argh, lepaskan aku, Krisna. Kau menyakitiku.” Radha berteriak dan berusaha sekuat tenaga melepaskan diri dari cengkeraman Krisna yang semakin menyakitkan. "Aku bahkan tidak tahu kalau Kakek Felix tahu soal wanita itu!”

Namun, Krisna tak mendengarkan. Senyumannya semakin sinis. "Kau merasa sakit?" cibirnya. "Bagus. Kau pantas merasakannya.”

Bagi Krisna, hidupnya telah berubah menjadi neraka sejak hari pernikahannya dengan Radha. Setiap pagi ia terbangun dengan perasaan tercekik, seolah-olah rantai tak kasat mata mengikat lehernya, memaksanya untuk menjalani kehidupan yang tak pernah ia inginkan.

Dinding-dinding rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung kini terasa seperti sel penjara yang mengurungnya.

Kini, saat ia menatap Radha dengan kebencian yang tak disembunyikan, Krisna merasakan kepuasan. Setidaknya, pikirnya, ia bisa membuat wanita itu merasakan secuil penderitaan yang ia alami setiap hari.

Dengan satu tarikan kuat, Krisna menarik tubuh Radha semakin dekat, hingga nyaris tak ada jarak di antara mereka.

Radha menggigil, merasakan hawa dingin dari sikap Krisna yang begitu kasar. Ia tahu ada bahaya yang mengancam. Amarah suaminya sudah terlalu jauh untuk ditenangkan.

Radha kembali mencoba mendorong tubuh Krisna, tetapi sia-sia. Tubuhnya yang kecil tak mampu melawan kekuatan Krisna yang jauh lebih besar.

"Krisna, aku mohon... lepaskan aku," ucap Radha terisak, namun permohonannya diabaikan.

Krisna malah semakin kasar. Ia mendorong Radha hingga punggung wanita itu menghantam dinding dingin dan keras.

“Ah….” Jeritan kecil lolos dari bibir Radha saat rasa sakit menjalar di punggungnya. Tapi Krisna tak berhenti. Tindakan gilanya semakin tak terkendali.

Tanpa peringatan, Krisna mencengkeram wajah Radha dan mencium bibirnya dengan kasar. Air mata Radha berderai tanpa henti, rasa takut dan ketidakberdayaan menyelimuti tubuhnya.

Krisna adalah suaminya, lelaki yang begitu ia cintai. Tapi tindakan ini, ciuman paksa yang kasar adalah bentuk penghinaan. Ia terus menggelengkan kepalanya dan berpikir, apa yang sedang terjadi pada pria yang dulu ia kenal?

"Ada apa, Radha?" tanya Krisna, dengan suara serak dan penuh cemoohan. "Kau begitu mendambakan diriku, kan? Jadi kenapa sekarang kau menangis?"

Radha menangis semakin keras. Terlebih ketika dengan satu gerakan keras, Krisna menyentak tubuh Radha dan melemparkannya ke atas sofa.

Pria itu kembali menghimpit tubuh mungil Radha dengan sikap yang brutal.

“L-lepas….” Radha berusaha menjerit, tetapi suaranya tertahan di tenggorokan.

Tidak ada lagi yang bisa dilakukan Radha untuk melawan Krisna. Semua tenaganya terkuras habis, tubuhnya terasa hancur baik fisik maupun batin.

Amarah Krisna akhirnya mereda setelah ia mencapai puncak kepuasan. Sementara itu, Radha duduk dengan perasaan yang hancur berkeping-keping. Tangannya gemetar saat mencoba merapikan pakaian yang sudah berantakan, usai harga dirinya direnggut secara kejam.

Ketika Radha bangkit dari sofa. Sebuah noda merah di sana menjadi pusat sorotan, baik itu oleh Radha ataupun Krisna.

Sebuah senyum sinis dilayangkan pria itu. "Selamat, akhirnya kau telah berhasil menjadi Nyonya Harlingga seutuhnya."

PLAK!

Tamparan keras mendarat di pipi Krisna, membuat kepala lelaki itu terpaksa berbalik. Radha yang gemetar tak lagi menahan emosinya.

"Sudah cukup, Krisna!" teriaknya, suaranya serak dan dipenuhi amarah bercampur kesedihan. "Jika kau begitu membenciku dan ingin aku pergi dari hidupmu, maka ceraikan aku sekarang juga!"

Bab terkait

  • Tuan CEO, Mari Bercerai!   4. Kita Bercerai Saja

    "Apa kau sedang mengajakku bercanda?" Krisna menyentuh pipinya yang perih, keningnya berkerut samar. Ia menyeringai dingin. “Kau harusnya bersyukur. Kakek Felix pasti sangat senang saat tahu ‘boneka’ cantiknya telah berhasil memberikan seorang ‘pengganti’ diriku.” Radha menatap Krisna dengan sorot mata yang penuh luka. Ia masih tak menyangka bahwa Krisna bisa menilainya serendah itu. Dengan tangan gemetar, Radha menyeka air matanya dan mencoba mengambil napas dalam-dalam. “Krisna …,” suara Radha bergetar, menahan tangis. “Kalau memang itu yang kau pikirkan tentang diriku … maka … aku tidak akan membantahnya lagi.” "Akhirnya, kau menunjukkan warna aslimu yang sebenarnya,” ujar Krisna dengan suara rendah namun sarat akan ejekan. “Jika itu yang kau percayai, maka anggap saja begitu.” Ucap Radha. Ia berpikir, tak ada gunanya menjelaskan apapun pada Krisna, sebab pria itu sudah mempunyai label buruk untuknya. Ketegangan kembali memenuhi udara saat Krisna menatap Radha dengan penu

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-04
  • Tuan CEO, Mari Bercerai!   5. Simalakama

    Radha menarik napas panjang saat berdiri di depan pintu rumah Freya, ibu tirinya. Untuk sesaat, ada semacam beban berat yang menggantung di hatinya. “Bu, ada yang ingin aku bicarakan,” kata Radha, berusaha tetap tenang.Freya sedang duduk di ruang tamu dengan ponsel genggamnya ketika Radha masuk. Perhatiannya seketika teralihkan, ia melayangkan pandangan tajam yang begitu menusuk ke arah Radha. “Soal apa? Jika ini menyangkut masalah rumah tanggamu dengan Krisna, maka simpan saja untuk dirimu sendiri.” Freya mengangkat alisnya, tanda tidak sabar. “Aku sudah memberikanmu begitu banyak saran yang bisa kau lakukan, tapi tetap saja tak bisa memenangkan hati suamimu sendiri. Kau memang payah!”Radha tertunduk sejenak, lalu menggeleng pelan. Menciptakan kerutan halus di dahi Freya. Sementara itu, kedua tangan Radha yang terasa dingin, meremas kuat gagang tasnya.“Bukan? Lalu tentang apa? Katakan dengan cepat, karena sejam lagi aku harus pergi arisan dengan ibu-ibu pejabat di Bunga Rampai.”

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-04
  • Tuan CEO, Mari Bercerai!   6. Amukan Gayatri

    Radha seketika terdiam. Tubuhnya membeku usai mendengar ucapan Freya. Kalimat tanpa perasaan yang keluar dari bibir Freya, bagaikan anak panah yang melesat begitu cepat dan menghancurkan jantung Radha. 'Nyawaku?' Sungguh sangat sulit dipercaya bahwa wanita di depannya, sosok orang tua yang seharusnya melindungi anak-anaknya, dengan begitu enteng meminta sesuatu yang sangat mengerikan. Mata Radha berkaca-kaca. Namun belum sempat ia merespon, Freya kembali mengikis jarak antara mereka berdua dan mendekatkan wajahnya ke telinga kanan Radha dengan senyuman penuh kebencian. “Pilihannya ada di tanganmu. Dan mari kita lihat, entah aku atau dirimu yang mati dalam pertaruhan ini.” Bisik Freya. Radha merinding, seluruh tubuhnya bergidik hebat. Dia ingin membantah ucapan ibu tirinya itu. Namun sebelum kata-kata itu bisa keluar dari bibirnya, Freya mencengkeram pergelangan tangan Radha dengan sangat kasar dan menyeretnya keluar dari rumah secara paksa. “Pergi kau dari sini!” Freya

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-09
  • Tuan CEO, Mari Bercerai!   7. Satu Lawan Dua

    “Wanita tidak tahu malu. Kau ingin aku merobek mulutmu yang kurang ajar itu, hah?!” Gayatri memekik, tangannya menunjuk Radha seolah ingin menerkamnya. “Kau pikir kau siapa?! Istri yang tak becus menjaga suaminya sendiri, berani bicara seolah kau lebih baik dariku?” Di tengah amukan Gayatri, Nindy melangkah maju berusaha menenangkannya dengan tatapan licik yang tidak bisa disembunyikan. “Sudah, Ma, tenanglah. Tolong jaga tensi Mama. Dan jangan biarkan orang seperti dia merusak suasana hati kita,” Nindy menyindir dengan suara lembut namun sarat sindiran. “Seseorang yang tumbuh dalam keluarga yang hanya mementingkan uang, tidak akan pernah bisa menghormati orang lain dengan benar. Mereka hanya tahu soal uang. Tidak dengan kesopanan.” “Kalau begitu, tindakan yang menjerumuskan anaknya dengan menawarkan wanita lain sebagai pengganti yang dianggapnya ‘layak’, apakah pantas disebut sebagai orang tua yang baik?” Balas Radha, balik menatap tajam ke arah Nindy dan Gayatri secara bergantian.

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-10
  • Tuan CEO, Mari Bercerai!   8. Penolakan Krisna

    Baik Gayatri maupun Nindy, keduanya terdiam sejenak dan memandang Radha dengan tatapan penuh keterkejutan yang berubah menjadi ketidakpercayaan. Nindy, yang berada di sebelahnya, menggigit bibir bawahnya, tampak gelisah mendengar ucapan Radha yang begitu tegas. “Apa maksudmu?” Gayatri akhirnya membuka suara dengan nada dingin. “Cucu pengganti Krisna?” Radha mengangguk pelan, tetapi tetap mempertahankan ketenangan di wajahnya. “Kakek Felix tahu apa yang dia inginkan. Dia ingin memastikan masa depan keluarga Harlingga tetap terjaga, dan baginya, cucu dari garis keturunan langsung adalah solusi terbaik.” Kepala Gayatri menggeleng lemah. "Tidak. Ini... ini pasti tipuanmu," suara Gayatri bergetar, namun berusaha tetap terdengar keras. "Kau pasti telah menjebak putraku dengan menghasut Kakek Felix agar beliau marah besar dan menjatuhkan hukuman seperti itu!” Radha menatap Gayatri dengan senyum pahit yang tak kunjung hilang dari bibirnya. "Bahkan kali ini pun, saat semuanya jelas-jelas b

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-11
  • Tuan CEO, Mari Bercerai!   9. Serangan Ibu Mertua

    “Apa yang sudah terjadi sama Krisna, Ma?” bisik Nindy, mempersempit jaraknya dengan Gayatri. “Bukankah waktu itu dia yang paling ingin berpisah dari Radha?” “Mama juga tidak tahu, Nindy,” kesal Gayatri, terlihat semakin geram. Perkiraannya bahwa ia bisa menyingkirkan Radha dengan mudah, nyatanya meleset sangat jauh. Krisna malah menolak bercerai dari Radha. “Seperti telah terjadi sesuatu. Dan mama yakin, penyebabnya adalah dia! Perempuan licik ini pasti telah menggunakan ilmu hitam untuk mempengaruhi pikiran Krisna!" Satu lagi tudingan kasar yang dilontarkan oleh Gayatri membuat Radha tersentak. Bagaimana mungkin pemikiran tak masuk akal itu hinggap dalam benak ibu mertuanya? Ilmu hitam? Astaga. Nindy memandang Gayatri dengan gelisah. "Ilmu hitam? Semacam pelet, begitu?" Kejutnya, yang dibalas spontan dengan anggukan kecil dari calon ibu mertuanya. “Ya ampun, Ma. Mama masih percaya begituan? Aku tahu Radha itu memang menyebalkan. Tapi apa iya, Ma, Radha menggunakan ilmu hitam untu

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-13
  • Tuan CEO, Mari Bercerai!   10. Permintaan Radha

    Radha duduk terdiam di atas ranjang rumah sakit. Tubuhnya masih terasa sakit akibat kekerasan yang baru saja ia alami. Wajahnya sedikit memucat, dan luka-luka yang terlihat di beberapa bagian tubuhnya menjadi saksi bisu atas tindakan kasar yang baru saja dialaminya. Gayatri memang tidak pernah menyukainya, tapi tetap saja Radha tak pernah membayangkan bahwa kebencian itu bisa berubah menjadi tindakan fisik yang begitu brutal. Entah apa yang akan terjadi jika seandainya ayah mertuanya tidak datang di waktu yang tepat, Radha mungkin tidak akan selamat dari serangan Gayatri. Tubuhnya pasti sudah hancur lebih parah dari ini. Kini, Radha hanya bisa menatap ke luar jendela dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Sakit fisik yang dirasakannya seakan menyatu dengan luka batinnya yang semakin dalam. Bagaimana bisa hidupnya berubah begitu dramatis? Di tengah lamunannya, tiba-tiba suara ketukan pintu memecah keheningan. Radha segera menghapus air matanya begitu melihat Nakula, adik tirinya, mas

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-14
  • Tuan CEO, Mari Bercerai!   11. Radha Minggat

    Radha duduk di kursi penumpang. Tubuhnya terasa lelah, tapi hatinya jauh lebih berat. Pandangannya mengarah ke luar jendela mobil, menatap kosong jalanan yang sepi. Di sebelahnya, Saga, yang bersedia mengantarnya pulang dari rumah sakit, tetap fokus mengemudi. Sepanjang perjalanan, mereka hampir tidak berbicara. Hanya ada keheningan yang mencekam. Namun Radha menghargai karena Saga tidak memaksanya bicara. Dia pasti memaklumi, bahwa saat ini Radha hanya butuh waktu untuk memproses semua yang terjadi.Ketika mereka tiba di rumah, Saga mematikan mesin mobil dan membuka pintu untuk Radha. Radha turun dengan pelan, dengan gerakan cukup yang hati-hati karena luka di tubuhnya masih terasa nyeri.“Terima kasih, Kak Saga,” ucap Radha dengan suara lirih.Saga menatap Radha dengan penuh perhatian. “Jangan katakan itu, Radha. Kau sudah seperti adikku sendiri. Jadi, cepatlah masuk dan istirahat. Kalau ada apa-apa, kau bisa hubungi aku

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-17

Bab terbaru

  • Tuan CEO, Mari Bercerai!   71. Paket Untuk Krisna

    Krisna membuka pintu rumahnya dengan gerakan lambat. Langkahnya berat, seakan ada beban tak kasat mata yang mengikat kedua kakinya. Helaan napas panjang lolos dari bibirnya saat ia melangkah masuk. Rumah itu terlihat suram, sunyi, dan terasa lebih besar dari biasanya. Lampu-lampunya menyala, tapi cahaya yang memancar terasa dingin dan asing. Biasanya, ketika ia pulang, Radha selalu ada di sana. Meski Krisna tak pernah benar-benar memerhatikannya, Radha akan selalu menunggunya pulang, menyambutnya di pintu dengan segelas air hangat atau teh. Lalu Radha akan bertanya bagaimana harinya di kantor, meski jawaban Krisna selalu singkat dan ketus. Tapi malam ini berbeda. Tak ada sosok Radha di depan pintu. Tak ada sapaan lembut atau senyum kecil yang dulu sering ia abaikan. Kini, setiap sudut rumah seakan mengingatkan Krisna pada ketidakhadiran wanita itu. Langkah kakinya bergema hampa di lantai marmer, dan keheningan yang menyelimuti membuat dadanya terasa sesak. Ia menjatuhkan tubuhny

  • Tuan CEO, Mari Bercerai!   70. Mendapatkan Sekutu

    “Perkenalkan, nama saya Joshua.” Clara berdiri di ambang pintu, mengamati pria jangkung di depannya yang mengenakan jas gelap rapi. Wajah pria itu tidak terlalu asing, tetapi senyumnya yang tipis dan sorot matanya yang tajam membuatnya merasa tidak nyaman. “Joshua?” ulang Clara dengan nada tidak ramah. “Seingatku aku tidak punya teman atau pun kolega yang bernama Joshua. Apa kau orang suruhannya Papa?” Joshua mengangkat satu alis, senyum kecilnya tetap terukir. “Sayangnya bukan. Ini adalah pertemuan kita yang pertama.” “Oh, jadi kau ini seorang penguntit, ya?” Duga Clara, berkacak pinggang, menatap pria itu dari ujung rambut ke ujung kaki. “Wajahmu lumayan, tapi maaf saja. Kau bukan tipeku. Jadi, pergilah. Aku tidak punya waktu bermain-main denganmu.” “Tunggu sebentar, Nona Clara,” tahan Joshua, saat Clara membalikkan tubuhnya, berniat masuk kembali ke dalam rumah. “Aku bukanlah penguntit seperti yang Anda kira. Aku datang ke sini, bermaksud ingin membicarakan sesuatu. Itu saja.

  • Tuan CEO, Mari Bercerai!   69. Keputusan Radha Dan Pria Bernama Joshua

    Radha membuka pintu vila dengan langkah cepat, nyaris terburu-buru. Napasnya terdengar berat, dan ekspresi wajahnya menunjukkan kemarahan yang tertahan. Ia tidak memedulikan Nakula yang sedang duduk di sofa, menonton televisi dengan santai. Tanpa sepatah kata, Radha langsung menuju kamar, membuka lemari, dan mulai mengemasi barang-barangnya. Nakula mengernyit bingung melihat tingkah kakaknya. Ia segera bangkit dan berjalan menyusul ke kamar. “Kak, ada apa?” tanyanya, nada suaranya penuh kebingungan. Namun, Radha tidak menjawab. Ia membuka lemari pakaian dengan kasar, terus menarik pakaian dari gantungan, melipatnya sekadarnya, dan memasukkannya ke dalam tas besar di atas tempat tidur. Tangannya bergerak cepat, seperti dikejar waktu, sementara wajahnya menyiratkan kegelisahan. “Kak Radha!” Nakula kembali bertanya, kali ini dengan nada lebih tegas. “Kenapa tiba-tiba mengemasi semua pakaianmu, Kak? Apa yang terjadi?” Radha berhenti sejenak, menarik napas panjang, lalu menjawab dengan

  • Tuan CEO, Mari Bercerai!   68. Memutuskan Untuk Pergi

    "Pergi dari sini sekarang, atau kau akan melihat versi terburukku yang belum pernah kau lihat." Clara tergagap, napasnya memburu. Tatapan dingin Saga terasa menusuk hingga ke tulangnya, membuat kakinya goyah. Ia menelan saliva dengan susah payah, namun tenggorokannya terasa kering seolah ada batu besar yang mengganjal. “S-Saga… aku… aku hanya—” "Pergi." Suara Saga terdengar lebih rendah, hampir seperti desisan, namun sarat dengan ancaman yang membuat nyali Clara ciut. Clara mundur selangkah, tangannya bergetar di sisi tubuhnya. Ia menatap Radha dengan kebencian yang belum reda, namun ketakutan pada Saga lebih kuat. Tanpa berkata lagi, ia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan restoran dengan langkah tergesa. Saga lalu beralih menatap Radha yang masih berdiri di tempatnya, wajahnya kaku, dan tangan gemetar di sisi tubuhnya. Suara pengunjung di restoran perlahan menghilang, tergantikan oleh denyut jantung yang terdengar jelas di telinga Saga. Ia menarik napas dalam-dalam, menco

  • Tuan CEO, Mari Bercerai!   67. Tamparan Keras Buat Clara

    Clara memandang surat di tangannya dengan ekspresi penuh keterkejutan. Tulisan "Hasil Pemeriksaan Kehamilan: Positif" terus berputar dalam pikirannya. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Matanya beralih ke Radha, yang kini berdiri dengan wajah tenang namun terlihat sedikit canggung. "Apa ini?" tanya Clara dengan suara tertahan, sambil menunjuk surat itu. "Kau hamil?" Radha mengangguk, senyumnya tipis namun tetap tenang. Ia mengulurkan tangan untuk mengambil surat itu dari Clara. "Ya, aku hamil," jawabnya singkat, lalu memasukkan surat itu ke dalam tasnya dengan hati-hati. Kata-kata itu menghantam Clara seperti badai. Dadanya berdebar, dan pikirannya berputar liar. Semua potongan puzzle seolah mulai menyatu dalam pikirannya. Radha hamil, dan itu menjelaskan semuanya. Perubahan sikap Saga, jarak yang tiba-tiba muncul di antara mereka, dan kini—jawabannya menjadi jelas. "Tentu saja," ujar Clara dengan nada sarkastik, tangannya terlipat di depan dada. "Jadi ini alasan

  • Tuan CEO, Mari Bercerai!   66. Hal Yang Tak Bisa Dipaksakan

    Clara menyandarkan punggungnya ke kursi, matanya menyipit menatap Saga dengan tajam. "Tidak hidup di masa lalu, huh? Kau pikir aku bisa melupakan semuanya begitu saja, Saga?" Clara menyilangkan tangan di depan dadanya, nada suaranya naik satu tingkat. Saga mengaduk pelan kopinya yang mulai dingin. "Bukan soal mudah atau tidak, Clara. Tapi kita harus memilih apa yang ingin kita jalani. Dan aku telah memilih untuk melangkah ke depan." Clara tertawa pendek, sarkastik. "Oh, tentu. Kau memilih melangkah ke depan dengan dia, bukan? Wanita itu tampaknya tidak punya latar belakang seperti kita, tidak punya kedudukan yang setara, dan—" "Clara." Saga memotong dengan suara tegas, menatapnya langsung. "Jangan mulai membandingkan dirimu dengan Radha." Clara meletakkan cangkir tehnya dengan sedikit keras. "Kenapa? Karena kau tahu aku benar? Apa yang dia punya yang aku tidak miliki, Saga?" "Entahlah, mungkin dia bukan tipe wanita yang suka membuat keputusan secara sepihak lalu pergi tanpa penj

  • Tuan CEO, Mari Bercerai!   65. Wanita Masa Lalu Saga

    Saga langsung bangkit dari kursinya, langkahnya cepat dan mantap menuju arah di mana ia melihat kilatan kamera. Radha dan Clara sempat terdiam, saling pandang dengan kebingungan. “Kak Saga!” panggil Radha, suaranya tertahan. "Tunggu sebentar," jawab Saga singkat. "Aku harus memastikan sesuatu." Sebelum Radha bisa menahannya, Saga sudah berjalan cepat menerobos kerumunan restoran. Clara hanya melirik sekilas, tampak tidak terlalu peduli. Ia kembali menyibukkan diri dengan gelas anggurnya, sementara Radha menatap punggung Saga yang semakin menjauh. Ia melangkah cepat ke antara meja-meja, melintasi pelayan yang membawa nampan, dan menggeser kursi-kursi yang menghalangi jalannya. Matanya menyapu seluruh area restoran, mencari jejak seseorang dengan kamera. Saga akhirnya melihat sesosok pria berjaket hitam dengan topi abu-abu yang tampak terburu-buru menuju pintu keluar. Tanpa pikir panjang, Saga mempercepat langkahnya dan menyusul pria tersebut. Tangan Saga hampir menyentuh bahu pria

  • Tuan CEO, Mari Bercerai!   64. Sosok Mencurigakan Di Tengah Keramaian

    "Tentu, Dok. Terima kasih atas sarannya. Saya pasti akan menjaga istri saya sebaik mungkin.” Dr. Sasmitha tersenyum puas. Sementara Radha, di sisi lain, hanya bisa memandang Saga dengan bingung. Hingga setelah keluar dari ruang pemeriksaan, ia langsung menoleh ke arah pria itu. “Kenapa tadi Kak Saga bilang seperti itu? Dr. Sasmitha mungkin akan salah paham dengan kita berdua,” ujarnya setengah berbisik. Saga terkekeh pelan. “Aku hanya ingin mempercepat proses pemeriksaannya saja. Kalau nanti dia tahu kau datang ke sini bukan bersama suamimu tapi dengan pria lain, malah akan jadi panjang urusannya. Meskipun sebenarnya kau dan Krisna akan segera bercerai. Jadi aku rasa itu tidak masalah, 'kan?” Radha mendesah panjang. “Tapi tetap saja Kak, tolong lain kali jangan lakukan itu lagi. Aku tidak mau ada orang lain yang salah paham dengan hubungan kita." “Baiklah, tidak akan lagi,” jawab Saga sambil tersenyum kecil. "Maaf, ya?" Radha menghela napas panjang dan mengangguk pelan. “Kak, b

  • Tuan CEO, Mari Bercerai!   63. Mengaku Sebagai Suami Radha

    Pagi itu, cahaya matahari mengintip lembut dari balik jendela ruang makan. Aroma kopi yang baru diseduh memenuhi ruangan, bersanding dengan aroma roti panggang yang masih hangat. Namun, di tengah suasana yang terasa nyaman, Radha duduk diam, menatap kosong ke arah piringnya yang masih kosong. Pikirannya melayang pada percakapan mereka berdua semalam. Di mana ungkapan hati Saga masih terngiang jelas di telinganya. “Aku hanya ingin kau tahu... aku akan selalu ada di sini—di sampingmu. Tidak peduli sebagai apa pun yang kau butuhkan.” kalimat itu kembali terngiang, membuatnya semakin resah. Radha meneguk ludah, merasa canggung setiap kali mengingat kata-kata itu. Tak pernah terlintas dalam benaknya bahwa pria yang selama ini ia anggap seperti kakaknya sendiri, ternyata memiliki perasaan lebih. Saga selalu ada untuknya, menjadi tempatnya bersandar di saat sulit. Namun, Radha tak ingin merusak hubungan baik mereka hanya karena perasaannya yang tak bisa ia balas. Jadi, pagi itu, ia memutus

DMCA.com Protection Status