“A-apa maksud Kakek?” Radha dan Krisna spontan saling pandang. Mereka berusaha mencoba mencerna kembali ucapan yang baru saja keluar dari mulut Kakek Felix.
Kata-kata —pengganti— itu, membuat udara di sekitar mereka semakin tegang. Kakek Felix masih dengan ekspresi datar, dan sorot mata yang tak pernah lepas dari Krisna. "Radha harus melahirkan seorang putra, calon pewaris keluarga Harlingga," lanjutnya, dan kali ini terdengar lebih tajam. "Jika tidak, jangan harap kalian bisa menjalani hidup dengan nyaman." Emosi Krisna yang semula sudah tertahan, kini kembali meluap. “Aku tidak mencintai Radha, Kakek. Bagaimana bisa aku melakukannya!” "Keputusanku sudah bulat," ucapnya dengan nada yang dingin namun penuh wibawa. “Kau boleh tidak mencintai Radha, tapi kau tetap seorang Harlingga. Tanggung jawabmu adalah memastikan garis keturunan ini terus berlanjut. Jika kau tidak bisa, maka persiapkan dirimu untuk kehilangan semuanya.” Radha kembali termenung. Lagi, untuk kedua kalinya ia dibuat terkejut oleh perkataan Kakek Felix. "Aku beri waktu kalian sebulan. Kuharap kalian berdua bisa memberikanku kabar bahagia. Jika tidak, kalian tahu apa yang akan terjadi," ucap Kakek Felix, mempertegas ultimatum yang baru saja disampaikan. Krisna menggertakkan giginya, matanya memancarkan kemarahan. Tangannya mengepal erat, seakan ingin menghancurkan apa saja di dekatnya. "Sebulan?" suaranya bergetar, setengah tak percaya. "Kakek, ini gila! Kau tidak bisa memaksakan sesuatu yang mustahil terjadi dalam waktu sesingkat itu!" Tatapan dingin Kakek Felix tetap tak berubah. "Sebulan, Krisna," ulangnya dengan nada tanpa kompromi. "Tak peduli apa pun alasanmu, tugasmu tetap harus dijalankan. Jika kau gagal, semua yang kau miliki—semua yang pernah kuberikan padamu—akan lenyap." Ancaman itu menggantung di udara, menusuk Krisna dan Radha dengan rasa ketakutan yang tak terucapkan. Kakek Felix tak memberi ruang untuk negosiasi. Kalimatnya seperti vonis yang tak dapat dihindari. Kakek Felix melangkah pergi, meninggalkan Krisna dan Radha dalam keadaan kacau dan syok. Ancaman kakek tua itu terus terngiang-ngiang meski pria itu telah meninggalkan Krisna dan Radha. Mereka hanya punya waktu sebulan—dan Kakek Felix tak peduli bagaimana caranya… Radha harus hamil. Radha terduduk lemas di lantai, tubuhnya gemetar hebat. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, namun ia berusaha menahannya. Pikirannya berkecamuk, dipenuhi oleh ketakutan dan keputusasaan yang tak terbendung. "Bagaimana mungkin?" bisiknya lirih, lebih kepada dirinya sendiri. Radha menatap kosong ke arah lantai, tangannya mencengkeram erat ujung bajunya. "Sebulan... hamil dalam sebulan..." Kata-kata itu terasa pahit di lidahnya. Kenyataan pahit menghantam Radha seperti ombak yang menerjang karang. Hubungannya dengan Krisna selama ini hanyalah sebuah pernikahan tanpa cinta. Bagaimana mungkin ia bisa mengandung anak dari pria yang bahkan tak sudi menyentuhnya? Di sisi lain, Krisna tampak bergetar, bukan karena ketakutan, tetapi kemarahan yang semakin memuncak. Ia menatap tajam ke arah pintu yang baru saja ditutup oleh kakeknya, "Sial!" umpatnya pelan. Lalu tanpa peringatan, Krisna berbalik dan menatap Radha dengan penuh kebencian. "Ini semua pasti rencanamu!" Radha tersentak, menatap suaminya dengan kaget. "Apa maksudmu, Krisna?" tanyanya, suaranya bergetar penuh kebingungan. Krisna berjalan mendekat dengan langkah tergesa-gesa. Dia menarik Radha bangkit dari lantai dengan kasar, membuat wanita itu terdorong paksa berdiri. "Jangan berpura-pura bodoh. Pasti kau yang mengadu pada Kakek Felix soal Nindy. Kau menjebakku, agar aku tidur denganmu dan memberimu anak, kan? Itu rencanamu!" Radha menggeleng cepat, air matanya mulai jatuh. "Aku tak pernah melakukan itu," jawabnya dengan nada pelan, namun penuh rasa sakit. Krisna mencengkeram bahu Radha semakin keras. Wajahnya mendekat, suaranya penuh dengan ejekan. "Jangan bohong, Radha. Kau pikir aku tak tahu? Kau sangat licik." “Argh, lepaskan aku, Krisna. Kau menyakitiku.” Radha berteriak dan berusaha sekuat tenaga melepaskan diri dari cengkeraman Krisna yang semakin menyakitkan. "Aku bahkan tidak tahu kalau Kakek Felix tahu soal wanita itu!” Namun, Krisna tak mendengarkan. Senyumannya semakin sinis. "Kau merasa sakit?" cibirnya. "Bagus. Kau pantas merasakannya.” Bagi Krisna, hidupnya telah berubah menjadi neraka sejak hari pernikahannya dengan Radha. Setiap pagi ia terbangun dengan perasaan tercekik, seolah-olah rantai tak kasat mata mengikat lehernya, memaksanya untuk menjalani kehidupan yang tak pernah ia inginkan. Dinding-dinding rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung kini terasa seperti sel penjara yang mengurungnya. Kini, saat ia menatap Radha dengan kebencian yang tak disembunyikan, Krisna merasakan kepuasan. Setidaknya, pikirnya, ia bisa membuat wanita itu merasakan secuil penderitaan yang ia alami setiap hari. Dengan satu tarikan kuat, Krisna menarik tubuh Radha semakin dekat, hingga nyaris tak ada jarak di antara mereka. Radha menggigil, merasakan hawa dingin dari sikap Krisna yang begitu kasar. Ia tahu ada bahaya yang mengancam. Amarah suaminya sudah terlalu jauh untuk ditenangkan. Radha kembali mencoba mendorong tubuh Krisna, tetapi sia-sia. Tubuhnya yang kecil tak mampu melawan kekuatan Krisna yang jauh lebih besar. "Krisna, aku mohon... lepaskan aku," ucap Radha terisak, namun permohonannya diabaikan. Krisna malah semakin kasar. Ia mendorong Radha hingga punggung wanita itu menghantam dinding dingin dan keras. “Ah….” Jeritan kecil lolos dari bibir Radha saat rasa sakit menjalar di punggungnya. Tapi Krisna tak berhenti. Tindakan gilanya semakin tak terkendali. Tanpa peringatan, Krisna mencengkeram wajah Radha dan mencium bibirnya dengan kasar. Air mata Radha berderai tanpa henti, rasa takut dan ketidakberdayaan menyelimuti tubuhnya. Krisna adalah suaminya, lelaki yang begitu ia cintai. Tapi tindakan ini, ciuman paksa yang kasar adalah bentuk penghinaan. Ia terus menggelengkan kepalanya dan berpikir, apa yang sedang terjadi pada pria yang dulu ia kenal? "Ada apa, Radha?" tanya Krisna, dengan suara serak dan penuh cemoohan. "Kau begitu mendambakan diriku, kan? Jadi kenapa sekarang kau menangis?" Radha menangis semakin keras. Terlebih ketika dengan satu gerakan keras, Krisna menyentak tubuh Radha dan melemparkannya ke atas sofa. Pria itu kembali menghimpit tubuh mungil Radha dengan sikap yang brutal. “L-lepas….” Radha berusaha menjerit, tetapi suaranya tertahan di tenggorokan. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan Radha untuk melawan Krisna. Semua tenaganya terkuras habis, tubuhnya terasa hancur baik fisik maupun batin. Amarah Krisna akhirnya mereda setelah ia mencapai puncak kepuasan. Sementara itu, Radha duduk dengan perasaan yang hancur berkeping-keping. Tangannya gemetar saat mencoba merapikan pakaian yang sudah berantakan, usai harga dirinya direnggut secara kejam. Ketika Radha bangkit dari sofa. Sebuah noda merah di sana menjadi pusat sorotan, baik itu oleh Radha ataupun Krisna. Sebuah senyum sinis dilayangkan pria itu. "Selamat, akhirnya kau telah berhasil menjadi Nyonya Harlingga seutuhnya." PLAK! Tamparan keras mendarat di pipi Krisna, membuat kepala lelaki itu terpaksa berbalik. Radha yang gemetar tak lagi menahan emosinya. "Sudah cukup, Krisna!" teriaknya, suaranya serak dan dipenuhi amarah bercampur kesedihan. "Jika kau begitu membenciku dan ingin aku pergi dari hidupmu, maka ceraikan aku sekarang juga!""Apa kau sedang mengajakku bercanda?" Krisna menyentuh pipinya yang perih, keningnya berkerut samar. Ia menyeringai dingin. “Kau harusnya bersyukur. Kakek Felix pasti sangat senang saat tahu ‘boneka’ cantiknya telah berhasil memberikan seorang ‘pengganti’ diriku.” Radha menatap Krisna dengan sorot mata yang penuh luka. Ia masih tak menyangka bahwa Krisna bisa menilainya serendah itu. Dengan tangan gemetar, Radha menyeka air matanya dan mencoba mengambil napas dalam-dalam. “Krisna …,” suara Radha bergetar, menahan tangis. “Kalau memang itu yang kau pikirkan tentang diriku … maka … aku tidak akan membantahnya lagi.” "Akhirnya, kau menunjukkan warna aslimu yang sebenarnya,” ujar Krisna dengan suara rendah namun sarat akan ejekan. “Jika itu yang kau percayai, maka anggap saja begitu.” Ucap Radha. Ia berpikir, tak ada gunanya menjelaskan apapun pada Krisna, sebab pria itu sudah mempunyai label buruk untuknya. Ketegangan kembali memenuhi udara saat Krisna menatap Radha dengan penu
Radha menarik napas panjang saat berdiri di depan pintu rumah Freya, ibu tirinya. Untuk sesaat, ada semacam beban berat yang menggantung di hatinya. “Bu, ada yang ingin aku bicarakan,” kata Radha, berusaha tetap tenang.Freya sedang duduk di ruang tamu dengan ponsel genggamnya ketika Radha masuk. Perhatiannya seketika teralihkan, ia melayangkan pandangan tajam yang begitu menusuk ke arah Radha. “Soal apa? Jika ini menyangkut masalah rumah tanggamu dengan Krisna, maka simpan saja untuk dirimu sendiri.” Freya mengangkat alisnya, tanda tidak sabar. “Aku sudah memberikanmu begitu banyak saran yang bisa kau lakukan, tapi tetap saja tak bisa memenangkan hati suamimu sendiri. Kau memang payah!”Radha tertunduk sejenak, lalu menggeleng pelan. Menciptakan kerutan halus di dahi Freya. Sementara itu, kedua tangan Radha yang terasa dingin, meremas kuat gagang tasnya.“Bukan? Lalu tentang apa? Katakan dengan cepat, karena sejam lagi aku harus pergi arisan dengan ibu-ibu pejabat di Bunga Rampai.”
Radha seketika terdiam. Tubuhnya membeku usai mendengar ucapan Freya. Kalimat tanpa perasaan yang keluar dari bibir Freya, bagaikan anak panah yang melesat begitu cepat dan menghancurkan jantung Radha. 'Nyawaku?' Sungguh sangat sulit dipercaya bahwa wanita di depannya, sosok orang tua yang seharusnya melindungi anak-anaknya, dengan begitu enteng meminta sesuatu yang sangat mengerikan. Mata Radha berkaca-kaca. Namun belum sempat ia merespon, Freya kembali mengikis jarak antara mereka berdua dan mendekatkan wajahnya ke telinga kanan Radha dengan senyuman penuh kebencian. “Pilihannya ada di tanganmu. Dan mari kita lihat, entah aku atau dirimu yang mati dalam pertaruhan ini.” Bisik Freya. Radha merinding, seluruh tubuhnya bergidik hebat. Dia ingin membantah ucapan ibu tirinya itu. Namun sebelum kata-kata itu bisa keluar dari bibirnya, Freya mencengkeram pergelangan tangan Radha dengan sangat kasar dan menyeretnya keluar dari rumah secara paksa. “Pergi kau dari sini!” Freya
“Wanita tidak tahu malu. Kau ingin aku merobek mulutmu yang kurang ajar itu, hah?!” Gayatri memekik, tangannya menunjuk Radha seolah ingin menerkamnya. “Kau pikir kau siapa?! Istri yang tak becus menjaga suaminya sendiri, berani bicara seolah kau lebih baik dariku?” Di tengah amukan Gayatri, Nindy melangkah maju berusaha menenangkannya dengan tatapan licik yang tidak bisa disembunyikan. “Sudah, Ma, tenanglah. Tolong jaga tensi Mama. Dan jangan biarkan orang seperti dia merusak suasana hati kita,” Nindy menyindir dengan suara lembut namun sarat sindiran. “Seseorang yang tumbuh dalam keluarga yang hanya mementingkan uang, tidak akan pernah bisa menghormati orang lain dengan benar. Mereka hanya tahu soal uang. Tidak dengan kesopanan.” “Kalau begitu, tindakan yang menjerumuskan anaknya dengan menawarkan wanita lain sebagai pengganti yang dianggapnya ‘layak’, apakah pantas disebut sebagai orang tua yang baik?” Balas Radha, balik menatap tajam ke arah Nindy dan Gayatri secara bergantian.
Baik Gayatri maupun Nindy, keduanya terdiam sejenak dan memandang Radha dengan tatapan penuh keterkejutan yang berubah menjadi ketidakpercayaan. Nindy, yang berada di sebelahnya, menggigit bibir bawahnya, tampak gelisah mendengar ucapan Radha yang begitu tegas. “Apa maksudmu?” Gayatri akhirnya membuka suara dengan nada dingin. “Cucu pengganti Krisna?” Radha mengangguk pelan, tetapi tetap mempertahankan ketenangan di wajahnya. “Kakek Felix tahu apa yang dia inginkan. Dia ingin memastikan masa depan keluarga Harlingga tetap terjaga, dan baginya, cucu dari garis keturunan langsung adalah solusi terbaik.” Kepala Gayatri menggeleng lemah. "Tidak. Ini... ini pasti tipuanmu," suara Gayatri bergetar, namun berusaha tetap terdengar keras. "Kau pasti telah menjebak putraku dengan menghasut Kakek Felix agar beliau marah besar dan menjatuhkan hukuman seperti itu!” Radha menatap Gayatri dengan senyum pahit yang tak kunjung hilang dari bibirnya. "Bahkan kali ini pun, saat semuanya jelas-jelas b
“Apa yang sudah terjadi sama Krisna, Ma?” bisik Nindy, mempersempit jaraknya dengan Gayatri. “Bukankah waktu itu dia yang paling ingin berpisah dari Radha?” “Mama juga tidak tahu, Nindy,” kesal Gayatri, terlihat semakin geram. Perkiraannya bahwa ia bisa menyingkirkan Radha dengan mudah, nyatanya meleset sangat jauh. Krisna malah menolak bercerai dari Radha. “Seperti telah terjadi sesuatu. Dan mama yakin, penyebabnya adalah dia! Perempuan licik ini pasti telah menggunakan ilmu hitam untuk mempengaruhi pikiran Krisna!" Satu lagi tudingan kasar yang dilontarkan oleh Gayatri membuat Radha tersentak. Bagaimana mungkin pemikiran tak masuk akal itu hinggap dalam benak ibu mertuanya? Ilmu hitam? Astaga. Nindy memandang Gayatri dengan gelisah. "Ilmu hitam? Semacam pelet, begitu?" Kejutnya, yang dibalas spontan dengan anggukan kecil dari calon ibu mertuanya. “Ya ampun, Ma. Mama masih percaya begituan? Aku tahu Radha itu memang menyebalkan. Tapi apa iya, Ma, Radha menggunakan ilmu hitam untu
Radha duduk terdiam di atas ranjang rumah sakit. Tubuhnya masih terasa sakit akibat kekerasan yang baru saja ia alami. Wajahnya sedikit memucat, dan luka-luka yang terlihat di beberapa bagian tubuhnya menjadi saksi bisu atas tindakan kasar yang baru saja dialaminya. Gayatri memang tidak pernah menyukainya, tapi tetap saja Radha tak pernah membayangkan bahwa kebencian itu bisa berubah menjadi tindakan fisik yang begitu brutal. Entah apa yang akan terjadi jika seandainya ayah mertuanya tidak datang di waktu yang tepat, Radha mungkin tidak akan selamat dari serangan Gayatri. Tubuhnya pasti sudah hancur lebih parah dari ini. Kini, Radha hanya bisa menatap ke luar jendela dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Sakit fisik yang dirasakannya seakan menyatu dengan luka batinnya yang semakin dalam. Bagaimana bisa hidupnya berubah begitu dramatis? Di tengah lamunannya, tiba-tiba suara ketukan pintu memecah keheningan. Radha segera menghapus air matanya begitu melihat Nakula, adik tirinya, mas
Radha duduk di kursi penumpang. Tubuhnya terasa lelah, tapi hatinya jauh lebih berat. Pandangannya mengarah ke luar jendela mobil, menatap kosong jalanan yang sepi. Di sebelahnya, Saga, yang bersedia mengantarnya pulang dari rumah sakit, tetap fokus mengemudi. Sepanjang perjalanan, mereka hampir tidak berbicara. Hanya ada keheningan yang mencekam. Namun Radha menghargai karena Saga tidak memaksanya bicara. Dia pasti memaklumi, bahwa saat ini Radha hanya butuh waktu untuk memproses semua yang terjadi.Ketika mereka tiba di rumah, Saga mematikan mesin mobil dan membuka pintu untuk Radha. Radha turun dengan pelan, dengan gerakan cukup yang hati-hati karena luka di tubuhnya masih terasa nyeri.“Terima kasih, Kak Saga,” ucap Radha dengan suara lirih.Saga menatap Radha dengan penuh perhatian. “Jangan katakan itu, Radha. Kau sudah seperti adikku sendiri. Jadi, cepatlah masuk dan istirahat. Kalau ada apa-apa, kau bisa hubungi aku
Krisna menegang sesaat. Kata "sayang" yang diucapkan Radha dengan nada menggoda seolah nyaris menghantam benteng pertahanannya. Mata hitamnya menatap wanita di sampingnya yang kini tersenyum manis seakan benar-benar menikmati perannya. "Apa kau sangat menikmatinya?" gumamnya pelan. Radha tertawa kecil. "Bukankah kau sendiri yang menyuruhku bersikap layaknya istri yang baik?" Krisna hanya mendengus dan menatap lurus ke depan. Langkahnya mantap saat memasuki gedung mewah tempat acara amal berlangsung. Sejak mereka muncul di pintu masuk, mata para tamu undangan yang ada di dalam ruangan itu, kompak tertuju pada mereka. Bisik-bisik di antara mereka pun mulai samar terdengar. "Oh, lihat itu! Mereka datang!" “Astaga, aku pikir ini seperti acara pengobatan raja dan ratu. Mereka berdua terlihat sangat menawan!” “Aku hanya mendengar bahwa menantu perempuan mereka sangat cantik, dan ternyata itu benar.” “Rasanya beruntung sekali bisa datang ke tempat ini. Bisa melihat wajah tampan cuc
“Seberapa berpengaruhnya dia?” Andre tersenyum tipis, tetapi kali ini senyumnya lebih dingin. “Cukup untuk bisa masuk ke dalam lingkaran bisnis kelas atas tanpa harus membawa nama Harlingga. Dan cukup untuk membuat banyak orang bertanya-tanya… siapa sebenarnya yang berdiri di belakangnya.” Aresha membatu seketika. Jadi, Joshua bukan hanya sekadar putra Baskara yang tersembunyi. Dia lebih dari itu. Dia seseorang yang memiliki kekuatan, pengaruh, dan—kemungkinan besar—rencana tersendiri. Ini jauh lebih rumit dari yang ia bayangkan. “Jika kau ingin tahu lebih banyak, aku bisa menyelidikinya lebih dalam,” tawar Andre. Aresha menghembuskan napas panjang. “Kalau begitu lakukanlah.” Andre mengangguk, lalu bangkit. Sebelum pergi, ia menatap Aresha dengan pandangan tajam. “Tapi Aresha, aku sarankan satu hal.” “Apa?” “Berhati-hatilah.” Suaranya rendah, nyaris seperti peringatan. “Joshua bukanlah orang yang bisa disentuh dengan mudah.” Aresha hanya tersenyum kecil. Namun di dalam hatin
Aresha merasakan detak jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Kata-kata yang baru saja keluar dari bibirnya menggantung di udara, menciptakan keheningan yang memekakkan telinga. Joshua adalah putra lain dari Baskara. Jika itu benar, berarti… dia dan Joshua memiliki darah yang sama. Perutnya terasa mual. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, meskipun udara di sekitar masih dikuasai angin sepoi-sepoi yang seharusnya menenangkan. Tetapi dirinya sama sekali tidak bisa tenang dengan kondisi pikirannya yang kacau balau saat ini. “Saga,” bisiknya, mencoba memastikan kembali. “Apa kau benar-benar yakin dengan apa yang kau ucapkan barusan? Barangkali saja yang kau maksud adalah Joshua yang lain?” Di seberang telepon, suara Saga terdengar lebih berat, seolah ia sendiri belum siap menerima kenyataan ini. “Ya, aku juga tidak menutup kemungkinan akan hal itu,” katanya pelan. “Tapi tetap saja, Aresha. Tidak ada salahnya untuk bersikap waspada terhadap segala hal yang bisa menghancur
Aresha mengedarkan napas perlahan, menyembunyikan keterkejutannya di balik senyum tipis yang tak terbaca. Namun, tatapannya menajam, menyelidik pria yang berdiri di hadapannya. Joshua. Nama yang terdengar asing, tetapi caranya berbicara seolah ia tahu lebih banyak daripada yang seharusnya. Sorot matanya yang tajam, tak menunjukkan sedikit pun celah yang bisa dimanfaatkan Aresha. Dia jelas bukanlah orang biasa. Aresha menggeser sedikit berat badannya ke satu sisi, menyilangkan tangan di depan dada, seolah percakapan ini bukan hal besar baginya. “Aku tak tahu siapa yang memberimu informasi, tapi aku rasa kau sedang salah paham, Tuan Joshua,” ujarnya, suaranya tetap ringan namun berhati-hati. Joshua tersenyum kecil, seolah mengapresiasi usaha Aresha untuk tetap tenang. "Salah paham?" ulangnya, seakan mengecap kata itu di lidahnya. "Apakah itu benar? Aku rasa aku tidak mungkin salah." Aresha tertawa pelan, seolah menertawakan ketidakmasukakalan kata-kata pria itu. Namun, hatinya be
"Astaga, aku mencarimu sejak tadi, Tuan Saga." Radha mengernyit. Dia tidak memahami bahasa itu, tetapi jelas dari ekspresi Saga bahwa dia mengenal wanita ini. Saga, yang sejak tadi menegang, akhirnya menghela napas, lalu menatap wanita itu dengan sorot penuh kewaspadaan. “Aresha…” gumamnya, seolah tak percaya bahwa wanita itu benar-benar ada di sini. Aresha tersenyum tipis, lalu mengarahkan tatapannya pada Radha. "Dan siapa wanita cantik ini?" tanyanya, kini berbicara dalam bahasa Inggris dengan lancar. "Apakah dia kekasihmu, Tuan Saga?" Saga yang sedang meneguk napas panjang langsung tersedak mendengar pertanyaan itu. Dia terbatuk pelan, lalu menoleh dengan tatapan penuh peringatan ke arah Aresha. "Berhenti bersandiwara," desisnya. Namun, Aresha hanya mengangkat bahunya ringan, seolah tak peduli dengan reaksi Saga. Radha, yang sejak tadi hanya diam memperhatikan, akhirnya tersenyum sopan. "Saya Radha," katanya dengan tenang. "Adik iparnya Kak Saga." Aresha pura-pura terkejut,
Saga membawa Radha keluar dari dalam gedung, melewati lorong panjang yang berlapis marmer, lalu menuruni beberapa anak tangga. Radha tidak mengerti ke mana pria itu akan membawanya, tetapi ia tetap mengikuti langkah panjang Saga tanpa banyak bertanya. Udara pagi yang terik hari itu masih tetap terasa sejuk, dengan angin lembut yang berembus perlahan, menyingkap beberapa helai rambut panjangnya. Setelah beberapa menit berjalan, mereka akhirnya sampai di sebuah taman kecil yang tersembunyi di balik gedung pertemuan. Tempat itu tampak tenang, jauh dari hiruk-pikuk para tamu yang masih bercengkerama di dalam. Dedaunan berguguran di sekitar bangku-bangku kayu yang kosong, dan aroma bunga mawar samar tercium di udara. Saga akhirnya berhenti, membiarkan Radha mengambil napas sejenak sebelum berbalik menghadapnya. Radha mengamati pria itu dengan saksama. "Kenapa kau bisa tiba-tiba ada di sini, Kak Saga?" tanyanya, suaranya masih mengandung sedikit keraguan. Saga menyandarkan dirinya ke ti
Radha menelan ludah, tubuhnya menegang saat jarak antara dirinya dan Krisna semakin tipis. Udara di sekitar mereka terasa berat, seakan dipenuhi ketegangan yang tak kasat mata. Mata pria itu membara, dipenuhi dengan kemarahan dan penghinaan yang menyelinap tajam dalam setiap kata-katanya. “Sejauh apa kau akan bertahan demi permainan yang kau ciptakan bersama kakekku, Radha?” suaranya rendah, tetapi tajam seperti pisau yang menusuk langsung ke jantungnya. Radha mengalihkan pandangan, tidak sanggup menatap mata itu terlalu lama. “Aku tidak sedang bermain, Krisna. Aku hanya… mencoba bertahan.” Krisna terkekeh sinis, jemarinya terangkat, menyentuh dagu Radha sebelum mencengkeramnya dengan tekanan yang cukup kuat hingga memaksa wanita itu mendongak menatapnya. “Bertahan?” Krisna mengulangi dengan nada penuh ejekan. “Jangan membuatku tertawa, Radha. Kau bilang ingin bercerai, tapi kau tetap saja mengikuti semua perintah Kakek Felix seperti anjing yang setia.” Radha merasakan amarah men
Ketegangan menyelubungi ruangan pertemuan seperti kabut yang enggan beranjak. Di balik pintu kayu mahoni yang tertutup rapat, hanya ada mereka berempat—Kakek Felix yang duduk dengan tenang di kursi utama meja bundar, Krisna dengan sorot mata yang menyala oleh kemarahan yang ditahan, Radha yang masih terdiam dalam pusaran dilema, dan seorang sekretaris pribadi yang berdiri di samping Kakek Felix, wajahnya tanpa ekspresi, seolah sudah terbiasa dengan apa yang dilihatnya. Di antara mereka, hanya suara detik jam yang terdengar. Sebuah jeda yang nyaris tak tertahankan sebelum akhirnya Krisna bersuara, memecahkan keheningan dengan nada tajam dan penuh amarah. "Aku masih tidak mengerti hukuman macam apa ini," ucapnya dingin. "Kenapa aku harus datang ke acara itu bersama Radha? Aku sudah bilang, aku tidak mau." Radha yang sejak tadi duduk diam, mengeratkan jemarinya di pangkuan. Ia sudah menduga Krisna akan menolak. Jika dia tidak ingin datang bersamanya, lalu kenapa dirinya juga harus dip
Di sebuah kafe mewah yang terletak di dekat bukit lapangan golf, Radha duduk diam di salah satu sudut ruangan. Penampilannya cukup anggun dalam balutan blouse berwarna pastel yang sederhana, namun tetap memancarkan kesan berkelas. Tatapannya lurus tertuju pada pria tua di hadapannya, yang tengah menyeruput teh dengan santai—seolah percakapan mereka bukanlah sesuatu yang penting. Padahal, bagi Radha, perbincangan ini bisa menentukan arah hidupnya selanjutnya. “Jadi, bagaimana?” Kakek Felix akhirnya angkat bicara, meletakkan cangkirnya perlahan. “Apa kau sudah membuat keputusan atas tawaran yang aku berikan padamu semalam?” Radha menghela napas perlahan. Ia meremas jemarinya sendiri di pangkuannya, berusaha menyusun kalimat yang tepat. “Saya...” Kakek Felix mengangkat satu alisnya, menunggu Radha melanjutkan kalimatnya. Pancaran matanya yang tajam, yang telah menyaksikan puluhan tahun intrik bisnis dan politik, seakan sedang menelanjangi kebimbangan Radha. “Kau bisa mengatakan tida