Radha duduk di kursi penumpang. Tubuhnya terasa lelah, tapi hatinya jauh lebih berat. Pandangannya mengarah ke luar jendela mobil, menatap kosong jalanan yang sepi. Di sebelahnya, Saga, yang bersedia mengantarnya pulang dari rumah sakit, tetap fokus mengemudi. Sepanjang perjalanan, mereka hampir tidak berbicara. Hanya ada keheningan yang mencekam. Namun Radha menghargai karena Saga tidak memaksanya bicara. Dia pasti memaklumi, bahwa saat ini Radha hanya butuh waktu untuk memproses semua yang terjadi.Ketika mereka tiba di rumah, Saga mematikan mesin mobil dan membuka pintu untuk Radha. Radha turun dengan pelan, dengan gerakan cukup yang hati-hati karena luka di tubuhnya masih terasa nyeri.“Terima kasih, Kak Saga,” ucap Radha dengan suara lirih.Saga menatap Radha dengan penuh perhatian. “Jangan katakan itu, Radha. Kau sudah seperti adikku sendiri. Jadi, cepatlah masuk dan istirahat. Kalau ada apa-apa, kau bisa hubungi aku
“Jangan bersikap kekanak-kanakan, Radha,” ucap Krisna dengan nada dingin, seolah peristiwa ini tidak berarti apa-apa baginya. “Aku sudah mengingatkanmu untuk tidak membuat drama baru lagi.” Radha tetap diam, namun cengkeramannya pada gagang koper mengencang, menunjukkan bahwa dia takkan mundur dari keputusannya. “Apa ini karena perlakuan mamaku?” Krisna melanjutkan, suaranya terdengar kesal. “Kalau itu masalahnya, besok aku akan datangi mama dan memintanya untuk berhenti ikut campur. Kalau perlu, aku akan memaksa mama untuk minta maaf padamu.” Radha tersenyum kecil, penuh kepahitan. "Tidak perlu, Krisna," katanya tenang. “Sebelum dia minta maaf, aku sudah memaafkannya. Tapi keputusanku tetaplah sama. Aku ingin segera pergi dari sini dan bercerai darimu." Namun, Krisna tidak mendengarkan. Wajahnya mengeras, amarah yang ditahannya kembali menggelembung di dalam dadanya. “Aku sudah pernah bilang, Radha,” suaranya sekarang lebih rendah, namun penuh dengan ancaman, “Aku tidak akan perna
“Kenapa kau membawanya ke sini, Krisna?” tanya Gayatri langsung, tanpa basa-basi. Wanita paruh baya itu, dengan rambutnya yang selalu tersisir rapi dan pakaiannya yang selalu anggun, menatap Radha seolah-olah dia adalah gangguan tak diinginkan. Krisna hanya tersenyum tipis, menahan diri untuk tidak bereaksi terhadap sikap dingin ibunya. Sebelum Krisna bisa menjawab, Baskara yang mendengar suara Gayatri dari ruang kerjanya segera muncul. Dengan wajah yang lebih tenang dan bijaksana, dia langsung menegur istrinya, “Gayatri, apa kau lupa apa yang sudah kita bicarakan sebelumnya?” Gayatri terdiam seketika, menahan diri agar tidak meledak lagi. Dia memalingkan wajah dengan kesal, jelas tidak senang, tetapi memilih untuk tidak berdebat lebih lanjut. Baskara mendekati Radha, memberi senyum lembut yang berbeda dari sikap istrinya. “Ayah pikir, kau tidak akan mau datang lagi ke sini, setelah apa yang terjadi kemarin. Ayah benar-benar minta maaf atas sikap kasar Gayatri padamu, Radha,” kata
Sejak mereka meninggalkan rumah orang tua Krisna, Radha tampak berbeda. Selama perjalanan pulang, Krisna memperhatikan perubahan itu meski ia berusaha tak terlalu memedulikannya. Radha biasanya keras kepala dan sering memancing debat, tapi hari ini dia jauh lebih pendiam. Matanya tampak kosong, seolah-olah pikirannya terbang ke tempat lain, entah memikirkan apa. Yang jelas, ini bukan sifat Radha yang biasa. Krisna mengakui, biasanya dia lebih suka suasana tenang seperti ini. Radha yang pendiam berarti tidak ada cekcok atau suara-suara sumbang yang mengganggu pikirannya. Seharusnya ini membuatnya merasa lega, bukan? Tapi anehnya, kali ini Krisna merasa terganggu dengan keheningan itu. Sesuatu tentang cara Radha bertingkah membuatnya resah, meskipun ia tidak tahu pasti apa. Krisna mencoba menyingkirkan perasaan itu. Apa yang ia pedulikan? Radha hanya istri ‘bonekanya’—tidak ada alasan baginya untuk memikirkan tentang perubahan sikapnya. Setibanya di rumah, Krisna segera melepaskan
“Apa yang sebenarnya kau inginkan, Bu?” tanya Radha, usai menutup pintu kamarnya dengan perlahan. Radha tahu ibunya tidak akan datang sejauh ini hanya karena kekhawatiran. Selalu ada sesuatu di balik tindakan ibunya yang terlihat peduli. Freya mendekat dengan ekspresi yang sulit diterka. Tanpa peringatan, dia meraih wajah Radha dan memeriksanya dengan kasar. Tangannya menekan pipi Radha, membuat Radha sedikit tersentak. "Jadi, benar Gayatri sudah menyerangmu?" desis Freya, matanya memperhatikan setiap tanda memar atau luka di wajah Radha. Radha mengerutkan kening, merasa bingung sekaligus curiga. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya bagaimana Freya bisa mengetahui hal itu? Radha bahkan tidak memberitahu Nakula, sebagai satu-satunya anggota keluarga yang bisa ia percayai. “Dari mana Ibu tahu?” tanya Radha sambil menyentak lepas tangan Freya dari wajahnya. Freya hanya mendengus, tampak tak terpengaruh oleh reaksi Radha. "Tidak perlu banyak bertanya. Yang jelas, aku punya informan terp
“Jadi, apa lagi yang diinginkan ibumu kali ini?” Krisna tiba-tiba muncul dan berdiri di ambang pintu kamar, semenit setelah kepergian Freya dari rumahnya, dengan nada bicara yang dingin dan tatapan menyelidik. Radha, yang masih berusaha menguasai perasaannya, menahan napas. Dia tahu, jika Krisna mulai berbicara tentang ibunya, maka percakapan ini tidak akan berujung baik. "Tidak ada hal seperti itu," jawab Radha, mencoba bersikap tenang. "Ibu hanya khawatir, itu saja." Krisna mendengus pelan, langkah kakinya membawa dirinya lebih dekat ke arah Radha. Senyum sinis muncul di bibirnya, membuat sorot matanya terlihat semakin tajam. "Khawatir, ya?" tanyanya, seolah mengejek. "Radha, kau bukan tipe orang yang pandai berbohong. Aku tahu betul siapa ibumu itu. Jangan harap aku akan percaya jika kau bilang dia datang karena benar-benar khawatir." Radha berusaha menahan kegelisahan yang mengintip dari sorot matanya. "Kalau kau tidak percaya, ya sudah. Tidak ada yang perlu dijelaskan." Ia be
"Hey, apa yang kau lakukan?!" Radha justru semakin mengeratkan pelukannya, tubuhnya gemetar ketakutan. Tanpa mengindahkan protes Krisna, ia menutup telinga dan memejamkan mata dengan kuat. Suara petir yang bergemuruh kembali membuat Radha semakin mendekap Krisna, seolah-olah dia adalah satu-satunya tempat aman di dunia. “Radha, lepaskan!” Krisna mendesis sambil berusaha menahan rasa jengah yang membuncah. Namun, usahanya sia-sia. Radha tidak bergerak sedikit pun, dan tubuhnya justru makin erat melingkupi Krisna. Krisna menghela napas panjang. “Ya ampun, kau ini ....” gumamnya dengan lelah. Bagaimanapun, rasa kantuk dan lelah akhirnya membuatnya menyerah. Mata Krisna yang sudah berat akhirnya tertutup. Sambil mengomel pelan, dia berkata, "hanya kali ini saja. Lebih dari ini, kau benar-benar akan dapat masalah dariku." Radha tidak menjawab. Tubuhnya perlahan mulai tenang. Krisna pun akhirnya membiarkan dirinya terlelap dalam posisi yang tidak biasa. Saat pagi menjelang, Radha terba
“Apa maksud kalian melarang kami masuk?!” Freya membentak, tangannya mengepal di pinggang. "Kalian ini cuma pegawai di rumah ini. Beraninya menghalangi saya dan anak saya untuk masuk ke dalam!" “Maaf, Nyonya. Kami tidak bisa mengizinkan itu,” salah satu penjaga menjawab dengan tegas, wajahnya tampak serius. “Tanpa izin dari Tuan Felix, tidak ada yang boleh masuk.” “Dasar penjaga bodoh!” Nirmala melangkah maju, mendekatkan wajahnya ke wajah penjaga. “Memangnya kalian tidak tahu siapa kami? Kalian tidak tahu apa akibatnya jika berani bersikap lancang pada kami yang jelas-jelas anggota keluarga Harlingga?” Freya mengangguk setuju, menambahkan, “Jadi cepatlah minggir, dan biarkan kami masuk. Atau aku akan melaporkan kalian pada Krisna karena perlakuan tidak sopan kalian!” Dia melotot, memandang tajam penjaga yang berdiri di hadapannya. Penjaga itu hanya menggelengkan kepala, berusaha tetap tenang meski emosi Freya semakin memuncak. “Saya hanya menjalankan tugas, Nyonya. Jika Anda teru
“Kau bertanya karena ingin tahu, atau ingin cepat-cepat menemui kekasih gelapmu itu?” sindir Gayatri dengan nada penuh keangkuhan. Semua orang yang berada di dalam ruangan itu, termasuk Baskara dan Mega, menatapnya dengan ekspresi terkejut. Hanya Nindy yang tampak biasa saja. Bahkan ada senyum tipis yang terukir di bibirnya, seolah menunggu reaksi yang akan diberikan Saga. Saga mengepalkan kedua tangannya, menahan gejolak amarah yang mulai merayapi dadanya. Ia menatap Gayatri dengan sorot mata tajam. “Tolong jangan mengucapkan sesuatu yang sama sekali tidak benar tentang hubungan saya dan Radha.” Gayatri mendengus sinis. “Tidak benar, katamu?” Ia melipat kedua tangannya di dada. “Jadi, menurutmu, kepedulianmu yang berlebihan terhadap Radha itu hal yang wajar? Jangan munafik, Saga. Aku sudah melihat bagaimana kau yang selalu berada di sisinya tiap kali dia bermasalah dengan suaminya. Bahkan caramu menatap Radha, aku bisa tahu bahwa ada sesuatu di antara kalian berdua. Jangan kira ak
Gayatri mengepalkan jemarinya dengan erat, menahan amarahnya yang meluap-luap. Napasnya terdengar memburu, wajahnya memerah, dan matanya menyorotkan kemarahan yang tidak bisa lagi terbendung. “Berani-beraninya Krisna menutup telepon Mamanya sendiri!” batin Gayatri, geram."Apa yang terjadi?" Suara berat dan penuh wibawa khas milik Baskara terdengar dari belakangnya. Pria itu baru saja keluar dari kamar tempat Kakek Felix beristirahat. Wajahnya terlihat lelah dan cemas. "Apa kau sudah memberi tahu Krisna tentang kondisi Ayah?"Gayatri menoleh dengan ekspresi jengkel. "Tentu saja, Mas! Aku juga sudah menyuruhnya untuk segera pulang. Tapi dia justru membantahku dan bersikeras untuk tetap menemani Radha. Kata Krisna, wanita itu pingsan!" Nada suaranya penuh kejengkelan dan ketidakpercayaan.Baskara mengernyit. "Radha pingsan?""Iya, Mas! Dan Krisna membawanya ke rumah sakit. Seolah-olah itu lebih penting daripada kondisi kakeknya sendiri!" Gayatri mendengus sinis. "Aku sudah menduga wani
Krisna terperangah. Napasnya tercekat saat melihat tubuh Radha ambruk ke tanah tanpa daya. Untuk sesaat, dunia terasa berhenti. Pikirannya kosong dan tubuhnya membeku. Tetapi detik berikutnya, tanpa sadar, ia sudah berlari ke arah wanita itu."Radha!" Krisna berlutut di sampingnya, tangannya terulur untuk menyentuh wajah Radha yang pucat pasi. Dada wanita itu naik turun tak beraturan, napasnya tersengal-sengal, dan keringat dingin mulai membasahi dahinya.
Krisna menarik tangan Radha dengan erat, membawanya keluar dari ruangan yang penuh dengan kekacauan. Langkahnya cepat, hampir menyeret Radha yang masih terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Napasnya memburu, sementara pikirannya berputar liar, mencoba memahami mengapa dia tiba-tiba merasa perlu melindungi Radha. Radha hanya bisa menurut, mengikuti Krisna dengan langkah goyah. Jantungnya masih berdegup kencang, kepalanya pening akibat kilatan kamera dan suara-suara menghakimi yang terus terngiang di telinganya. Namun, genggaman tangan Krisna yang kuat seolah memberinya perlindungan di tengah badai yang mengamuk. Mereka terus berjalan hingga mencapai taman belakang gedung, jauh dari sorotan kamera dan kerumunan orang-orang yang menggila serta haus akan berita penuh sensasi dari salah satu anggota keluarga Harlingga. Saat akhirnya Krisna melepaskan genggamannya, Radha terhuyung sedikit ke belakang. Napasnya masih tersengal, dadanya naik turun dengan cepat. “Apa... yang baru saj
Radha berdiri terperangah di tengah kerumunan wartawan yang tak kenal ampun. Kilatan kamera terus menyambar wajah Radha dan menyilaukan matanya. Suara-suara tajam dan penuh desakan dari wartawan pun turut menusuk telinganya, membuat kepalanya berdengung tanpa henti. “Nyonya Radha, benarkah Anda telah menggugat cerai Tuan Krisna?” salah satu wartawan melemparkan pertanyaan dengan nada mendesak. “Apakah benar penyebabnya adalah orang ketiga?” yang lain menambahkan tanpa memberi waktu bagi Radha untuk menjawab. Sebuah mikrofon mendekat dari arah lain, “menurut informasi yang kami terima, Anda memiliki hubungan tersembunyi dengan seorang pria dari keluarga kaya. Bisakah Anda memberi klarifikasi tentang itu?” “Dan apakah benar Anda tengah mengandung anak dari pria tersebut?” pertanyaan terakhir dilontarkan dengan nada yang lebih tajam dan mengintimidasi. Radha hanya bisa membeku, tubuhnya terasa seolah kehilangan tenaga. Kilatan kamera yang terus-menerus membuat pandangannya semakin
Krisna menegang sesaat. Kata "sayang" yang diucapkan Radha dengan nada menggoda seolah nyaris menghantam benteng pertahanannya. Mata hitamnya menatap wanita di sampingnya yang kini tersenyum manis seakan benar-benar menikmati perannya. "Apa kau sangat menikmatinya?" gumamnya pelan. Radha tertawa kecil. "Bukankah kau sendiri yang menyuruhku bersikap layaknya istri yang baik?" Krisna hanya mendengus dan menatap lurus ke depan. Langkahnya mantap saat memasuki gedung mewah tempat acara amal berlangsung. Sejak mereka muncul di pintu masuk, mata para tamu undangan yang ada di dalam ruangan itu, kompak tertuju pada mereka. Bisik-bisik di antara mereka pun mulai samar terdengar. "Oh, lihat itu! Mereka datang!" “Astaga, aku pikir ini seperti acara pengobatan raja dan ratu. Mereka berdua terlihat sangat menawan!” “Aku hanya mendengar bahwa menantu perempuan mereka sangat cantik, dan ternyata itu benar.” “Rasanya beruntung sekali bisa datang ke tempat ini. Bisa melihat wajah tampan cuc
“Seberapa berpengaruhnya dia?” Andre tersenyum tipis, tetapi kali ini senyumnya lebih dingin. “Cukup untuk bisa masuk ke dalam lingkaran bisnis kelas atas tanpa harus membawa nama Harlingga. Dan cukup untuk membuat banyak orang bertanya-tanya… siapa sebenarnya yang berdiri di belakangnya.” Aresha membatu seketika. Jadi, Joshua bukan hanya sekadar putra Baskara yang tersembunyi. Dia lebih dari itu. Dia seseorang yang memiliki kekuatan, pengaruh, dan—kemungkinan besar—rencana tersendiri. Ini jauh lebih rumit dari yang ia bayangkan. “Jika kau ingin tahu lebih banyak, aku bisa menyelidikinya lebih dalam,” tawar Andre. Aresha menghembuskan napas panjang. “Kalau begitu lakukanlah.” Andre mengangguk, lalu bangkit. Sebelum pergi, ia menatap Aresha dengan pandangan tajam. “Tapi Aresha, aku sarankan satu hal.” “Apa?” “Berhati-hatilah.” Suaranya rendah, nyaris seperti peringatan. “Joshua bukanlah orang yang bisa disentuh dengan mudah.” Aresha hanya tersenyum kecil. Namun di dalam hatin
Aresha merasakan detak jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Kata-kata yang baru saja keluar dari bibirnya menggantung di udara, menciptakan keheningan yang memekakkan telinga. Joshua adalah putra lain dari Baskara. Jika itu benar, berarti… dia dan Joshua memiliki darah yang sama. Perutnya terasa mual. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, meskipun udara di sekitar masih dikuasai angin sepoi-sepoi yang seharusnya menenangkan. Tetapi dirinya sama sekali tidak bisa tenang dengan kondisi pikirannya yang kacau balau saat ini. “Saga,” bisiknya, mencoba memastikan kembali. “Apa kau benar-benar yakin dengan apa yang kau ucapkan barusan? Barangkali saja yang kau maksud adalah Joshua yang lain?” Di seberang telepon, suara Saga terdengar lebih berat, seolah ia sendiri belum siap menerima kenyataan ini. “Ya, aku juga tidak menutup kemungkinan akan hal itu,” katanya pelan. “Tapi tetap saja, Aresha. Tidak ada salahnya untuk bersikap waspada terhadap segala hal yang bisa menghancur
Aresha mengedarkan napas perlahan, menyembunyikan keterkejutannya di balik senyum tipis yang tak terbaca. Namun, tatapannya menajam, menyelidik pria yang berdiri di hadapannya. Joshua. Nama yang terdengar asing, tetapi caranya berbicara seolah ia tahu lebih banyak daripada yang seharusnya. Sorot matanya yang tajam, tak menunjukkan sedikit pun celah yang bisa dimanfaatkan Aresha. Dia jelas bukanlah orang biasa. Aresha menggeser sedikit berat badannya ke satu sisi, menyilangkan tangan di depan dada, seolah percakapan ini bukan hal besar baginya. “Aku tak tahu siapa yang memberimu informasi, tapi aku rasa kau sedang salah paham, Tuan Joshua,” ujarnya, suaranya tetap ringan namun berhati-hati. Joshua tersenyum kecil, seolah mengapresiasi usaha Aresha untuk tetap tenang. "Salah paham?" ulangnya, seakan mengecap kata itu di lidahnya. "Apakah itu benar? Aku rasa aku tidak mungkin salah." Aresha tertawa pelan, seolah menertawakan ketidakmasukakalan kata-kata pria itu. Namun, hatinya be