“Apa maksud kalian melarang kami masuk?!” Freya membentak, tangannya mengepal di pinggang. "Kalian ini cuma pegawai di rumah ini. Beraninya menghalangi saya dan anak saya untuk masuk ke dalam!" “Maaf, Nyonya. Kami tidak bisa mengizinkan itu,” salah satu penjaga menjawab dengan tegas, wajahnya tampak serius. “Tanpa izin dari Tuan Felix, tidak ada yang boleh masuk.” “Dasar penjaga bodoh!” Nirmala melangkah maju, mendekatkan wajahnya ke wajah penjaga. “Memangnya kalian tidak tahu siapa kami? Kalian tidak tahu apa akibatnya jika berani bersikap lancang pada kami yang jelas-jelas anggota keluarga Harlingga?” Freya mengangguk setuju, menambahkan, “Jadi cepatlah minggir, dan biarkan kami masuk. Atau aku akan melaporkan kalian pada Krisna karena perlakuan tidak sopan kalian!” Dia melotot, memandang tajam penjaga yang berdiri di hadapannya. Penjaga itu hanya menggelengkan kepala, berusaha tetap tenang meski emosi Freya semakin memuncak. “Saya hanya menjalankan tugas, Nyonya. Jika Anda teru
“Radha,” suara Kakek Felix terdengar tegas, menekankan setiap kata yang terucap. “Aku sudah terlalu banyak memberi kesempatan pada keluargamu. Aku juga mencoba memahami dan menerima mereka layaknya keluarga, tapi tingkah mereka yang terus-menerus membuat onar ini bisa mencoreng nama baik keluarga Harlingga.”Radha menundukkan kepala, menahan rasa bersalah yang menyelubungi dirinya. Dengan suara lirih, ia menjawab, "Saya minta maaf, Kakek. Saya janji akan memastikan hal ini tidak terulang lagi."Kakek Felix mengangguk kecil, tetapi ekspresinya tetap serius. Lalu, ia mengalihkan pandangannya ke Krisna, yang duduk dengan tubuh tegap namun tampak tegang di bawah tatapan kakeknya.“Krisna, kau seharusnya bisa mencegah ini sejak awal,” ujar Kakek Felix dengan nada tak kalah tegas. “Sebagai bagian dari keluarga Harlingga, kau punya tanggung jawab untuk menjaga kehormatan kita. Aku tidak mau masalah internal kita jadi tontonan bagi orang luar.”
Krisna menarik tangan Radha dengan kasar, menyeretnya keluar dari ruang kerja Kakek Felix tanpa menghiraukan tatapan kaget dari para pelayan yang kebetulan melihat. Mereka berjalan cepat, hampir berlari melewati lorong-lorong panjang rumah besar keluarga Harlingga, hingga akhirnya Krisna membawanya ke taman belakang yang sepi, jauh dari pendengaran siapa pun.Setelah memastikan tidak ada orang di sekitar, Krisna melepaskan cengkeraman tangannya, menatap Radha dengan tatapan tajam penuh kemarahan. "Apa-apaan kau ini, Radha?" suaranya terdengar tegas dan mengandung nada ancaman. "Apa kau sadar dengan yang kau ucapkan barusan?"Radha menghindari tatapan Krisna, berusaha mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Keberaniannya untuk mengungkapkan keinginan bercerai tadi seketika sirna begitu berhadapan langsung dengan kemarahan Krisna. Namun, ia mencoba untuk tetap tenang. Ia tidak ingin menunjukkan kelema
Radha baru saja tiba di rumah setelah hari yang panjang dan melelahkan. Ia berharap bisa menemukan ketenangan di dalam rumah, tetapi pemandangan yang menyambutnya jauh dari apa yang ia bayangkan. Di ruang keluarga, Freya dan Nirmala, ibu tiri dan adik tirinya, tengah asyik menonton televisi sambil makan camilan dengan santai. Remah-remah berserakan di atas meja, lantai penuh dengan bungkus makanan yang dibiarkan berserakan, dan sofa pun terlihat berantakan karena mereka meletakkan kaki tanpa ragu. Seketika seorang pelayan datang menghampiri Radha dengan wajah cemas. "Maaf, Nyonya Radha, kami tak sengaja membiarkan mereka masuk. Tadi mereka langsung masuk tanpa permisi," kata pelayan itu dengan nada menyesal. Radha hanya tersenyum kecil dan menggelengkan kepala. “Tidak apa-apa. Terima kasih sudah memberitahu. Kau bisa lanjutkan pekerjaanmu saja,” jawab Radha dengan nada lembut. Setelah pelayan itu pergi, Radha melangkah mendekati Freya dan Nirmala. Baru saja ia sampai di depan s
Radha menatap Nindy yang berdiri di ambang pintu dengan senyuman kecil di wajahnya. Kejutan tadi berubah menjadi ekspresi senang yang tak bisa ditutupi. “Benarkah kau ingin bercerai, Radha?” tanyanya dengan nada hampir penuh kegembiraan. “Itu berarti Krisna akan lepas darimu, dan aku—kami—bisa hidup bahagia bersama tanpa gangguan.” “Jangan asal bicara kau, ya?!” ujar Freya dengan nada tajam. “Tidak ada yang akan bercerai di sini. Kau pikir kami akan membiarkan Krisna dan Radha berpisah begitu saja? Tidak semudah itu.” Nindy mendengus pelan, menatap Freya dengan tatapan meremehkan. “Tante Freya, bukankah lebih baik jika mereka berpisah saja? Radha sendiri yang ingin berpisah, dan Krisna jelas tidak lagi menyukainya. Jadi, apa gunanya mempertahankan pernikahan yang sudah tidak diinginkan oleh kedua belah pihak?” Freya melipat tangan di dada, menatap Nindy tajam. “Siapa bilang? Kalau Krisna memang tidak menyukai Radha, terus kenapa sampai sekarang Krisna tidak juga menceraikan Radha?
"Selama ini aku sudah cukup diam dan mendengarkan semua kata-kata kalian," ucapnya, menatap tajam ke arah Freya. "Tapi kali ini, giliran kalian yang harus mendengarkanku." Freya menatap Radha dengan mata menyipit, jelas tidak suka dengan nada tegas yang digunakan Radha. Nirmala, yang tampak tidak terima melihat ibunya ditegur, langsung menyela, "Kak Radha, kau tidak bisa memperlakukan Ibuku seperti ini! Apa hakmu—" Radha menoleh tajam pada Nirmala, suaranya dingin namun tegas, "Tolong, Nirmala. Jangan menyela pembicaraan orang dewasa saat kami bicara." Nirmala terdiam seketika, wajahnya memerah karena malu dan marah, namun tak ada lagi kata-kata yang keluar dari bibirnya. "Ini adalah hidupku, pernikahanku, dan itu juga berlaku untuk Krisna. Biarkan kami berdua yang memutuskan apa yang terbaik untuk kami, bukan kalian," ujar Radha, suaranya tegas namun tidak terburu-buru. Dan setiap kata yang keluar seolah menghantam langsung ke hati pendengarnya. Freya tampak ingin membuka mulut
Radha duduk termenung di depan meja riasnya. Tatapan matanya kosong menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya sudah dipoles sempurna, gaun anggun berwarna biru tua membalut tubuhnya, rambutnya ditata dengan elegan. Namun, di balik keindahan penampilannya, ada luka yang tak terlihat. Luka yang terus menggerogoti hatinya.Pesta penting yang diadakan Kakek Felix seharusnya menjadi ajang untuk menunjukkan bahwa ia masih istri yang layak di mata keluarga Harlingga. Namun semua kejadian hari ini membuat Radha nyaris kehilangan energi untuk sekadar berdiri.Pikiran Radha berkelana ke peristiwa yang baru saja ia alami. "Apa lagi yang harus aku hadapi di pesta nanti?" ia bergumam, suaranya hampir tak terdengar.Dadanya terasa sesak saat mengingat bagaimana dirinya memergoki Krisna bersama Nindy, sahabat yang katanya paling Krisna cintai. Melihat mereka berdua saling berpelukan dengan sangat intim di dalam kamar pagi tadi masih terbayang jelas di p
“Selamat tinggal, Krisna ....”Saat kembali ke ruang tamu, Radha terlihat lebih nyaman dalam pakaian barunya. Nakula tersenyum kecil. “Nah, sekarang lebih masuk akal. Kalau begitu, kita bisa langsung pergi?”Radha mengangguk. Ia mengambil tas kecilnya dan memeriksa sekali lagi untuk memastikan semua barang penting sudah terbawa. “Aku sudah siap.”“Tunggu,” ujar Nakula tiba-tiba. “Kakak yakin tidak ada yang perlu diberi tahu? Bibi Maryam, mungkin?”Radha menggeleng. “Aku sudah memberitahu Maryam bahwa aku akan pergi ke pesta Kakek Felix dan pulangnya bersama Krisna. Aku juga meminta dia dan para pelayan lain untuk istirahat lebih awal malam ini. Jadi mereka tidak akan curiga.”Nakula mengangguk, meski raut wajahnya masih dipenuhi kekhawatiran. “Baiklah. Ayo pergi sekarang, Kak. Sebelum ada siapa pun yang menyadarinya.”Radha mengangguk. Keduanya pun berjalan menuju tempat masuk Nakula tadi. Namun baru saja Radha membuka sedikit pintu dapur yang terhubung dengan gerbang samping, ada Pak
“Kau bertanya karena ingin tahu, atau ingin cepat-cepat menemui kekasih gelapmu itu?” sindir Gayatri dengan nada penuh keangkuhan. Semua orang yang berada di dalam ruangan itu, termasuk Baskara dan Mega, menatapnya dengan ekspresi terkejut. Hanya Nindy yang tampak biasa saja. Bahkan ada senyum tipis yang terukir di bibirnya, seolah menunggu reaksi yang akan diberikan Saga. Saga mengepalkan kedua tangannya, menahan gejolak amarah yang mulai merayapi dadanya. Ia menatap Gayatri dengan sorot mata tajam. “Tolong jangan mengucapkan sesuatu yang sama sekali tidak benar tentang hubungan saya dan Radha.” Gayatri mendengus sinis. “Tidak benar, katamu?” Ia melipat kedua tangannya di dada. “Jadi, menurutmu, kepedulianmu yang berlebihan terhadap Radha itu hal yang wajar? Jangan munafik, Saga. Aku sudah melihat bagaimana kau yang selalu berada di sisinya tiap kali dia bermasalah dengan suaminya. Bahkan caramu menatap Radha, aku bisa tahu bahwa ada sesuatu di antara kalian berdua. Jangan kira ak
Gayatri mengepalkan jemarinya dengan erat, menahan amarahnya yang meluap-luap. Napasnya terdengar memburu, wajahnya memerah, dan matanya menyorotkan kemarahan yang tidak bisa lagi terbendung. “Berani-beraninya Krisna menutup telepon Mamanya sendiri!” batin Gayatri, geram."Apa yang terjadi?" Suara berat dan penuh wibawa khas milik Baskara terdengar dari belakangnya. Pria itu baru saja keluar dari kamar tempat Kakek Felix beristirahat. Wajahnya terlihat lelah dan cemas. "Apa kau sudah memberi tahu Krisna tentang kondisi Ayah?"Gayatri menoleh dengan ekspresi jengkel. "Tentu saja, Mas! Aku juga sudah menyuruhnya untuk segera pulang. Tapi dia justru membantahku dan bersikeras untuk tetap menemani Radha. Kata Krisna, wanita itu pingsan!" Nada suaranya penuh kejengkelan dan ketidakpercayaan.Baskara mengernyit. "Radha pingsan?""Iya, Mas! Dan Krisna membawanya ke rumah sakit. Seolah-olah itu lebih penting daripada kondisi kakeknya sendiri!" Gayatri mendengus sinis. "Aku sudah menduga wani
Krisna terperangah. Napasnya tercekat saat melihat tubuh Radha ambruk ke tanah tanpa daya. Untuk sesaat, dunia terasa berhenti. Pikirannya kosong dan tubuhnya membeku. Tetapi detik berikutnya, tanpa sadar, ia sudah berlari ke arah wanita itu."Radha!" Krisna berlutut di sampingnya, tangannya terulur untuk menyentuh wajah Radha yang pucat pasi. Dada wanita itu naik turun tak beraturan, napasnya tersengal-sengal, dan keringat dingin mulai membasahi dahinya.
Krisna menarik tangan Radha dengan erat, membawanya keluar dari ruangan yang penuh dengan kekacauan. Langkahnya cepat, hampir menyeret Radha yang masih terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Napasnya memburu, sementara pikirannya berputar liar, mencoba memahami mengapa dia tiba-tiba merasa perlu melindungi Radha. Radha hanya bisa menurut, mengikuti Krisna dengan langkah goyah. Jantungnya masih berdegup kencang, kepalanya pening akibat kilatan kamera dan suara-suara menghakimi yang terus terngiang di telinganya. Namun, genggaman tangan Krisna yang kuat seolah memberinya perlindungan di tengah badai yang mengamuk. Mereka terus berjalan hingga mencapai taman belakang gedung, jauh dari sorotan kamera dan kerumunan orang-orang yang menggila serta haus akan berita penuh sensasi dari salah satu anggota keluarga Harlingga. Saat akhirnya Krisna melepaskan genggamannya, Radha terhuyung sedikit ke belakang. Napasnya masih tersengal, dadanya naik turun dengan cepat. “Apa... yang baru saj
Radha berdiri terperangah di tengah kerumunan wartawan yang tak kenal ampun. Kilatan kamera terus menyambar wajah Radha dan menyilaukan matanya. Suara-suara tajam dan penuh desakan dari wartawan pun turut menusuk telinganya, membuat kepalanya berdengung tanpa henti. “Nyonya Radha, benarkah Anda telah menggugat cerai Tuan Krisna?” salah satu wartawan melemparkan pertanyaan dengan nada mendesak. “Apakah benar penyebabnya adalah orang ketiga?” yang lain menambahkan tanpa memberi waktu bagi Radha untuk menjawab. Sebuah mikrofon mendekat dari arah lain, “menurut informasi yang kami terima, Anda memiliki hubungan tersembunyi dengan seorang pria dari keluarga kaya. Bisakah Anda memberi klarifikasi tentang itu?” “Dan apakah benar Anda tengah mengandung anak dari pria tersebut?” pertanyaan terakhir dilontarkan dengan nada yang lebih tajam dan mengintimidasi. Radha hanya bisa membeku, tubuhnya terasa seolah kehilangan tenaga. Kilatan kamera yang terus-menerus membuat pandangannya semakin
Krisna menegang sesaat. Kata "sayang" yang diucapkan Radha dengan nada menggoda seolah nyaris menghantam benteng pertahanannya. Mata hitamnya menatap wanita di sampingnya yang kini tersenyum manis seakan benar-benar menikmati perannya. "Apa kau sangat menikmatinya?" gumamnya pelan. Radha tertawa kecil. "Bukankah kau sendiri yang menyuruhku bersikap layaknya istri yang baik?" Krisna hanya mendengus dan menatap lurus ke depan. Langkahnya mantap saat memasuki gedung mewah tempat acara amal berlangsung. Sejak mereka muncul di pintu masuk, mata para tamu undangan yang ada di dalam ruangan itu, kompak tertuju pada mereka. Bisik-bisik di antara mereka pun mulai samar terdengar. "Oh, lihat itu! Mereka datang!" “Astaga, aku pikir ini seperti acara pengobatan raja dan ratu. Mereka berdua terlihat sangat menawan!” “Aku hanya mendengar bahwa menantu perempuan mereka sangat cantik, dan ternyata itu benar.” “Rasanya beruntung sekali bisa datang ke tempat ini. Bisa melihat wajah tampan cuc
“Seberapa berpengaruhnya dia?” Andre tersenyum tipis, tetapi kali ini senyumnya lebih dingin. “Cukup untuk bisa masuk ke dalam lingkaran bisnis kelas atas tanpa harus membawa nama Harlingga. Dan cukup untuk membuat banyak orang bertanya-tanya… siapa sebenarnya yang berdiri di belakangnya.” Aresha membatu seketika. Jadi, Joshua bukan hanya sekadar putra Baskara yang tersembunyi. Dia lebih dari itu. Dia seseorang yang memiliki kekuatan, pengaruh, dan—kemungkinan besar—rencana tersendiri. Ini jauh lebih rumit dari yang ia bayangkan. “Jika kau ingin tahu lebih banyak, aku bisa menyelidikinya lebih dalam,” tawar Andre. Aresha menghembuskan napas panjang. “Kalau begitu lakukanlah.” Andre mengangguk, lalu bangkit. Sebelum pergi, ia menatap Aresha dengan pandangan tajam. “Tapi Aresha, aku sarankan satu hal.” “Apa?” “Berhati-hatilah.” Suaranya rendah, nyaris seperti peringatan. “Joshua bukanlah orang yang bisa disentuh dengan mudah.” Aresha hanya tersenyum kecil. Namun di dalam hatin
Aresha merasakan detak jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Kata-kata yang baru saja keluar dari bibirnya menggantung di udara, menciptakan keheningan yang memekakkan telinga. Joshua adalah putra lain dari Baskara. Jika itu benar, berarti… dia dan Joshua memiliki darah yang sama. Perutnya terasa mual. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, meskipun udara di sekitar masih dikuasai angin sepoi-sepoi yang seharusnya menenangkan. Tetapi dirinya sama sekali tidak bisa tenang dengan kondisi pikirannya yang kacau balau saat ini. “Saga,” bisiknya, mencoba memastikan kembali. “Apa kau benar-benar yakin dengan apa yang kau ucapkan barusan? Barangkali saja yang kau maksud adalah Joshua yang lain?” Di seberang telepon, suara Saga terdengar lebih berat, seolah ia sendiri belum siap menerima kenyataan ini. “Ya, aku juga tidak menutup kemungkinan akan hal itu,” katanya pelan. “Tapi tetap saja, Aresha. Tidak ada salahnya untuk bersikap waspada terhadap segala hal yang bisa menghancur
Aresha mengedarkan napas perlahan, menyembunyikan keterkejutannya di balik senyum tipis yang tak terbaca. Namun, tatapannya menajam, menyelidik pria yang berdiri di hadapannya. Joshua. Nama yang terdengar asing, tetapi caranya berbicara seolah ia tahu lebih banyak daripada yang seharusnya. Sorot matanya yang tajam, tak menunjukkan sedikit pun celah yang bisa dimanfaatkan Aresha. Dia jelas bukanlah orang biasa. Aresha menggeser sedikit berat badannya ke satu sisi, menyilangkan tangan di depan dada, seolah percakapan ini bukan hal besar baginya. “Aku tak tahu siapa yang memberimu informasi, tapi aku rasa kau sedang salah paham, Tuan Joshua,” ujarnya, suaranya tetap ringan namun berhati-hati. Joshua tersenyum kecil, seolah mengapresiasi usaha Aresha untuk tetap tenang. "Salah paham?" ulangnya, seakan mengecap kata itu di lidahnya. "Apakah itu benar? Aku rasa aku tidak mungkin salah." Aresha tertawa pelan, seolah menertawakan ketidakmasukakalan kata-kata pria itu. Namun, hatinya be