Radha duduk terdiam di atas ranjang rumah sakit. Tubuhnya masih terasa sakit akibat kekerasan yang baru saja ia alami. Wajahnya sedikit memucat, dan luka-luka yang terlihat di beberapa bagian tubuhnya menjadi saksi bisu atas tindakan kasar yang baru saja dialaminya. Gayatri memang tidak pernah menyukainya, tapi tetap saja Radha tak pernah membayangkan bahwa kebencian itu bisa berubah menjadi tindakan fisik yang begitu brutal. Entah apa yang akan terjadi jika seandainya ayah mertuanya tidak datang di waktu yang tepat, Radha mungkin tidak akan selamat dari serangan Gayatri. Tubuhnya pasti sudah hancur lebih parah dari ini. Kini, Radha hanya bisa menatap ke luar jendela dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Sakit fisik yang dirasakannya seakan menyatu dengan luka batinnya yang semakin dalam. Bagaimana bisa hidupnya berubah begitu dramatis? Di tengah lamunannya, tiba-tiba suara ketukan pintu memecah keheningan. Radha segera menghapus air matanya begitu melihat Nakula, adik tirinya, mas
Radha duduk di kursi penumpang. Tubuhnya terasa lelah, tapi hatinya jauh lebih berat. Pandangannya mengarah ke luar jendela mobil, menatap kosong jalanan yang sepi. Di sebelahnya, Saga, yang bersedia mengantarnya pulang dari rumah sakit, tetap fokus mengemudi. Sepanjang perjalanan, mereka hampir tidak berbicara. Hanya ada keheningan yang mencekam. Namun Radha menghargai karena Saga tidak memaksanya bicara. Dia pasti memaklumi, bahwa saat ini Radha hanya butuh waktu untuk memproses semua yang terjadi.Ketika mereka tiba di rumah, Saga mematikan mesin mobil dan membuka pintu untuk Radha. Radha turun dengan pelan, dengan gerakan cukup yang hati-hati karena luka di tubuhnya masih terasa nyeri.“Terima kasih, Kak Saga,” ucap Radha dengan suara lirih.Saga menatap Radha dengan penuh perhatian. “Jangan katakan itu, Radha. Kau sudah seperti adikku sendiri. Jadi, cepatlah masuk dan istirahat. Kalau ada apa-apa, kau bisa hubungi aku
“Jangan bersikap kekanak-kanakan, Radha,” ucap Krisna dengan nada dingin, seolah peristiwa ini tidak berarti apa-apa baginya. “Aku sudah mengingatkanmu untuk tidak membuat drama baru lagi.” Radha tetap diam, namun cengkeramannya pada gagang koper mengencang, menunjukkan bahwa dia takkan mundur dari keputusannya. “Apa ini karena perlakuan mamaku?” Krisna melanjutkan, suaranya terdengar kesal. “Kalau itu masalahnya, besok aku akan datangi mama dan memintanya untuk berhenti ikut campur. Kalau perlu, aku akan memaksa mama untuk minta maaf padamu.” Radha tersenyum kecil, penuh kepahitan. "Tidak perlu, Krisna," katanya tenang. “Sebelum dia minta maaf, aku sudah memaafkannya. Tapi keputusanku tetaplah sama. Aku ingin segera pergi dari sini dan bercerai darimu." Namun, Krisna tidak mendengarkan. Wajahnya mengeras, amarah yang ditahannya kembali menggelembung di dalam dadanya. “Aku sudah pernah bilang, Radha,” suaranya sekarang lebih rendah, namun penuh dengan ancaman, “Aku tidak akan perna
“Kenapa kau membawanya ke sini, Krisna?” tanya Gayatri langsung, tanpa basa-basi. Wanita paruh baya itu, dengan rambutnya yang selalu tersisir rapi dan pakaiannya yang selalu anggun, menatap Radha seolah-olah dia adalah gangguan tak diinginkan. Krisna hanya tersenyum tipis, menahan diri untuk tidak bereaksi terhadap sikap dingin ibunya. Sebelum Krisna bisa menjawab, Baskara yang mendengar suara Gayatri dari ruang kerjanya segera muncul. Dengan wajah yang lebih tenang dan bijaksana, dia langsung menegur istrinya, “Gayatri, apa kau lupa apa yang sudah kita bicarakan sebelumnya?” Gayatri terdiam seketika, menahan diri agar tidak meledak lagi. Dia memalingkan wajah dengan kesal, jelas tidak senang, tetapi memilih untuk tidak berdebat lebih lanjut. Baskara mendekati Radha, memberi senyum lembut yang berbeda dari sikap istrinya. “Ayah pikir, kau tidak akan mau datang lagi ke sini, setelah apa yang terjadi kemarin. Ayah benar-benar minta maaf atas sikap kasar Gayatri padamu, Radha,” kata
Sejak mereka meninggalkan rumah orang tua Krisna, Radha tampak berbeda. Selama perjalanan pulang, Krisna memperhatikan perubahan itu meski ia berusaha tak terlalu memedulikannya. Radha biasanya keras kepala dan sering memancing debat, tapi hari ini dia jauh lebih pendiam. Matanya tampak kosong, seolah-olah pikirannya terbang ke tempat lain, entah memikirkan apa. Yang jelas, ini bukan sifat Radha yang biasa. Krisna mengakui, biasanya dia lebih suka suasana tenang seperti ini. Radha yang pendiam berarti tidak ada cekcok atau suara-suara sumbang yang mengganggu pikirannya. Seharusnya ini membuatnya merasa lega, bukan? Tapi anehnya, kali ini Krisna merasa terganggu dengan keheningan itu. Sesuatu tentang cara Radha bertingkah membuatnya resah, meskipun ia tidak tahu pasti apa. Krisna mencoba menyingkirkan perasaan itu. Apa yang ia pedulikan? Radha hanya istri ‘bonekanya’—tidak ada alasan baginya untuk memikirkan tentang perubahan sikapnya. Setibanya di rumah, Krisna segera melepaskan
“Apa yang sebenarnya kau inginkan, Bu?” tanya Radha, usai menutup pintu kamarnya dengan perlahan. Radha tahu ibunya tidak akan datang sejauh ini hanya karena kekhawatiran. Selalu ada sesuatu di balik tindakan ibunya yang terlihat peduli. Freya mendekat dengan ekspresi yang sulit diterka. Tanpa peringatan, dia meraih wajah Radha dan memeriksanya dengan kasar. Tangannya menekan pipi Radha, membuat Radha sedikit tersentak. "Jadi, benar Gayatri sudah menyerangmu?" desis Freya, matanya memperhatikan setiap tanda memar atau luka di wajah Radha. Radha mengerutkan kening, merasa bingung sekaligus curiga. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya bagaimana Freya bisa mengetahui hal itu? Radha bahkan tidak memberitahu Nakula, sebagai satu-satunya anggota keluarga yang bisa ia percayai. “Dari mana Ibu tahu?” tanya Radha sambil menyentak lepas tangan Freya dari wajahnya. Freya hanya mendengus, tampak tak terpengaruh oleh reaksi Radha. "Tidak perlu banyak bertanya. Yang jelas, aku punya informan terp
“Jadi, apa lagi yang diinginkan ibumu kali ini?” Krisna tiba-tiba muncul dan berdiri di ambang pintu kamar, semenit setelah kepergian Freya dari rumahnya, dengan nada bicara yang dingin dan tatapan menyelidik. Radha, yang masih berusaha menguasai perasaannya, menahan napas. Dia tahu, jika Krisna mulai berbicara tentang ibunya, maka percakapan ini tidak akan berujung baik. "Tidak ada hal seperti itu," jawab Radha, mencoba bersikap tenang. "Ibu hanya khawatir, itu saja." Krisna mendengus pelan, langkah kakinya membawa dirinya lebih dekat ke arah Radha. Senyum sinis muncul di bibirnya, membuat sorot matanya terlihat semakin tajam. "Khawatir, ya?" tanyanya, seolah mengejek. "Radha, kau bukan tipe orang yang pandai berbohong. Aku tahu betul siapa ibumu itu. Jangan harap aku akan percaya jika kau bilang dia datang karena benar-benar khawatir." Radha berusaha menahan kegelisahan yang mengintip dari sorot matanya. "Kalau kau tidak percaya, ya sudah. Tidak ada yang perlu dijelaskan." Ia be
"Hey, apa yang kau lakukan?!" Radha justru semakin mengeratkan pelukannya, tubuhnya gemetar ketakutan. Tanpa mengindahkan protes Krisna, ia menutup telinga dan memejamkan mata dengan kuat. Suara petir yang bergemuruh kembali membuat Radha semakin mendekap Krisna, seolah-olah dia adalah satu-satunya tempat aman di dunia. “Radha, lepaskan!” Krisna mendesis sambil berusaha menahan rasa jengah yang membuncah. Namun, usahanya sia-sia. Radha tidak bergerak sedikit pun, dan tubuhnya justru makin erat melingkupi Krisna. Krisna menghela napas panjang. “Ya ampun, kau ini ....” gumamnya dengan lelah. Bagaimanapun, rasa kantuk dan lelah akhirnya membuatnya menyerah. Mata Krisna yang sudah berat akhirnya tertutup. Sambil mengomel pelan, dia berkata, "hanya kali ini saja. Lebih dari ini, kau benar-benar akan dapat masalah dariku." Radha tidak menjawab. Tubuhnya perlahan mulai tenang. Krisna pun akhirnya membiarkan dirinya terlelap dalam posisi yang tidak biasa. Saat pagi menjelang, Radha terba
"Radha," ujar Krisna perlahan. "Kau bisa pulang setelah ini. Tapi, untuk saat ini, duduklah. Biarkan aku membuatkan sesuatu untukmu."Radha mendesah panjang. Ia ingin membantah, namun entah kenapa tubuhnya justru mengikutinya lagi. Ia duduk di kursi dapur, mengamati punggung Krisna dari belakang.Krisna bergerak dengan cekatan, seperti seseorang yang sudah terbiasa melakukannya. Tangannya meraih bahan-bahan dari lemari es, kemudian mulai menyiapkan sesuatu. Radha memperhatikan tanpa sadar, merasa aneh dengan situasi ini."Sejak kapan kau bisa memasak?" tanya Radha akhirnya, suaranya terdengar ragu.Krisna meliriknya sekilas, senyum kecil muncul di wajahnya. "Ada banyak hal tentang aku yang tidak kau tahu, Radha. Sama seperti aku yang tidak pernah benar-benar tahu apa yang kau pikirkan."Radha terdiam mendengar jawaban itu. Ia tidak tahu bagaimana merespons, jadi ia memilih untuk tidak mengatakan apa-apa.Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Aroma harum mulai memenuhi udara, membu
Radha berdiri di depan cermin, memandangi pantulan dirinya dengan tatapan campur aduk. Gaun sederhana berwarna lembut yang ia kenakan tampak pas di tubuhnya, seolah dibuat khusus untuknya. Jemarinya menyusuri kain lembut itu, merasakan betapa nyaman dan ringan bahan yang digunakannya.Selama mereka menikah, Krisna hampir tidak pernah peduli pada hal-hal kecil seperti ini. Ia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali Krisna menunjukkan perhatian yang nyata terhadapnya. Namun, setiap kali ia mengenakan sesuatu yang dipilih oleh Krisna, entah bagaimana rasanya selalu pas. Warna, potongan, bahkan desainnya—semuanya terasa seperti mencerminkan dirinya.“Sebenarnya, ada apa dengan Krisna? Kenapa sikapnya sedikit berubah di saat kami akan bercerai?” gumam Radha, setengah melamun.Helaan napas yang panjang terdengar darinya, sembari meletakkan sisir di atas meja rias setelah beberapa kali menggunakannya untuk menyisir rambut basahnya. Radha mencoba mengalihkan pikirannya, tetapi pertanyaan i
"APA INI?!" Suara lengkingan Radha menggema di seluruh ruangan, memecahkan keheningan pagi. Dengan wajah pucat, ia mendapati dirinya terbangun di tempat tidur megah itu, tanpa sehelai benang pun di tubuhnya, dan hanya selimut tebal yang melilit erat. Napasnya tersengal, matanya melirik panik ke sekeliling kamar.Pintu kamar terketuk pelan dari luar. Suara khawatir seorang pelayan terdengar memanggil Radha berulang kali. "Nyonya Radha, Anda baik-baik saja?! Apa yang terjadi?”"Ja-Jangan masuk! Aku ... aku baik-baik saja!" seru Radha, suaranya bergetar.Pikirannya melayang ke ingatan samar-samar semalam—demam tinggi, tubuhnya menggigil, dan sosok Krisna yang duduk di tepi tempat tidur. Ia ingat tangannya yang dingin menyeka keringat di dahinya. Tapi apa yang terjadi setelah itu?Tepat saat ia mencoba mengingat lebih jauh, pintu kamar kembali terbuka lebar, kali ini menampilkan sosok Krisna yang masuk dengan santai. Ia mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku, wajahnya tampak s
“Kendalikan dirimu, Krisna,” gumamnya tegas, namun suaranya nyaris tenggelam oleh deru napasnya sendiri. Krisna berdiri cepat, menjauh dari kasur tempat Radha terbaring. Namun, setiap langkah terasa seperti menambah beban yang tak kasatmata di pundaknya. Ia mencoba menjauhkan diri, bukan hanya dari Radha, tetapi juga dari pergulatan batinnya yang semakin menggila. Akan tetapi, suara pelan dari tubuh Radha yang menggigil memaksa langkahnya terhenti. Krisna menoleh, dan pandangannya jatuh pada tubuh Radha yang tampak semakin kecil di balik selimut yang ia berikan sebelumnya. “Sial,” batinnya menggerutu. Selimut itu tidak mampu menghalau dingin yang menyerang tubuh Radha, bahkan napasnya terdengar lebih berat dan tersengal.Krisna memejamkan mata sejenak, rahangnya mengeras, dan tangannya mengepal di sisi tubuhnya. "Sial, apa yang harus kulakukan?" pikirnya penuh frustrasi.Ia mengeluarkan ponsel dari sakunya, memeriksa layar untuk yang entah ke berapa kali. Tidak ada pesan. Tidak ada
Krisna berdiri diam di dapur setelah meletakkan gelas dan handuk basah yang tadi digunakannya. Pikirannya penuh dengan bayangan Radha yang terbaring lemah di kamar. Ia menghela napas, mencoba meredakan perasaan yang bercampur aduk. Saat ia melongok ke arah halaman luar, terlihat beberapa orang suruhan kakeknya sudah tidak ada di tempat. Hanya beberapa yang masih berjaga di pintu gerbang.“Kakek … apa yang sebenarnya kau rencanakan kali ini?” pikir Krisna sambil meraih ponselnya. Ia mengetik cepat, lalu menekan tombol panggil.“Martha,” panggilnya ketika suara di ujung sana menjawab. “Aku ingin kau menunda semua proses perceraian itu. Aku tidak peduli bagaimana caranya, tapi tunda saja.”“Tapi, Pak Krisna …,” Martha tampak hendak membantah, namun Krisna memotong.“Tidak ada tapi. Ini perintah.”Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, Krisna memutus panggilan. Ia menghela napas panjang dan melirik dapur.
"Apa maksud perkataan Kakek tadi?” Krisna membuka pembicaraan tanpa basa-basi, nada suaranya terdengar serius. “Kesempatan apa yang dia bicarakan?”Radha mengangkat kepalanya perlahan, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Ia tahu percakapan ini akan berbuntut panjang jika Radha mengatakan yang sebenarnya. “Bukan apa-apa,” jawabnya pendek, berusaha menutupi.Krisna mendengus tidak percaya, melangkah lebih dekat. “Jangan berbohong, Radha. Kau tahu aku tidak sebodoh itu sampai kau harus menutupinya.”Radha menghela napas panjang. Ia mencoba bersandar sejenak, sembari menatap lurus ke arah Krisna. “Dibandingkan dengan itu, apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya dingin. “Bukankah kata pengacaramu, kau sedang berada di luar kota?”Krisna mengernyit, tidak menyangka Radha akan balik bertanya. Namun, ia menjawab dengan tenang, “Aku memang di sana. Ada rapat internal di perusahaan cabang. Tapi Martha tiba-tiba meneleponku. Katanya kau
Radha membuka matanya perlahan, seolah ada beban berat yang menahannya. Kepalanya masih terasa pusing, sementara tubuhnya seperti kehilangan tenaga. Ketika pandangannya mulai jelas, ia menyadari dirinya berada di sebuah kamar megah dengan desain yang membuatnya terpana. Langit-langit tinggi dengan ukiran-ukiran klasik, dinding berlapis wallpaper berwarna emas dengan pola bunga-bunga Eropa yang elegan, dan sebuah lampu gantung kristal menjuntai indah di tengah ruangan.Di sudut ruangan, ada jendela besar dengan tirai tebal yang menyisakan celah kecil, memungkinkan sinar matahari siang itu menerobos masuk, menyinari lantai marmer yang berkilauan. Tempat tidur yang ia duduki pun memiliki kanopi bersutra putih yang melambai lembut, dihiasi ukiran kayu bernuansa antik. Samar-samar tercium aroma lembut kayu sandalwood yang menyusup di antara udara hening ruangan itu.Radha mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba mencerna apa yang terjadi. Detik berikutnya, ingatan samar tentang dua pr
Pak Arman kembali ke kafetaria dengan langkah santai setelah menyelesaikan panggilan teleponnya. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat kursi tempat Radha duduk sebelumnya kini kosong. Matanya menyapu sekeliling ruangan, mencoba mencari keberadaan Radha. Hanya secangkir kopi yang masih utuh di meja menjadi satu-satunya petunjuk bahwa sesuatu telah terjadi.“Bu Radha?” panggil Pak Arman sambil berjalan lebih cepat menuju tempat duduk itu. Namun tidak ada jawaban, yang membuat hatinya mulai diliputi kegelisahan. Ia segera mencari nomor kontak Radha di ponselnya dan berusaha meneleponnya.Nada sambung terdengar beberapa kali, tetapi tidak ada yang mengangkat. Pak Arman mencoba lagi, dan hasilnya sama. "Astaga, ke mana dia?" gumamnya dengan wajah semakin tegang.Bersamaan dengan itu, suara langkah tergesa-gesa terdengar dari belakangnya. Ia berbalik dan melihat Martha mendekat dengan napas tersengal, wajahnya tampak panik.“P
Langit pagi itu yang semula cerah, mendadak berubah mendung begitu mobil yang dikendarai oleh Pak Arman berhenti di pelataran parkiran gedung pengadilan.Radha yang duduk di kursi penumpang, tak langsung turun dari mobil dan hanya menatap diam ke arah gedung tinggi itu dengan perasaan gelisah.Seolah menyadari perubahan ekspresi di wajah Radha, Pak Arman berceletuk ringan, “semuanya akan baik-baik saja, Bu Radha.”Radha tersentak dari aksi diamnya, dan memaksakan dirinya untuk tersenyum sebagai respon sederhana dari perkataan Pak Arman.“Anda tenang saja. Saya akan pastikan semuanya berjalan lancar, dan Anda akan mendapatkan hak yang sudah seharusnya Anda terima,” lanjut Pak Arman, begitu semangat.Radha tersenyum lemah, lalu menghela napas panjang. “Terima kasih, Pak Arman. Tapi sebenarnya, saya tidak menginginkan apa-apa. Saya hanya ingin semua ini cepat selesai.”Pak Arman mengangguk pelan, “baikl