Baik Gayatri maupun Nindy, keduanya terdiam sejenak dan memandang Radha dengan tatapan penuh keterkejutan yang berubah menjadi ketidakpercayaan. Nindy, yang berada di sebelahnya, menggigit bibir bawahnya, tampak gelisah mendengar ucapan Radha yang begitu tegas.
“Apa maksudmu?” Gayatri akhirnya membuka suara dengan nada dingin. “Cucu pengganti Krisna?”
Radha mengangguk pelan, tetapi tetap mempertahankan ketenangan di wajahnya. “Kakek Felix tahu apa yang dia inginkan. Dia ingin memastikan masa depan keluarga Harlingga tetap terjaga, dan baginya, cucu dari garis keturunan langsung adalah solusi terbaik.”
Kepala Gayatri menggeleng lemah. "Tidak. Ini... ini pasti tipuanmu," suara Gayatri bergetar, namun berusaha tetap terdengar keras. "Kau pasti telah menjebak putraku dengan menghasut Kakek Felix agar beliau marah besar dan menjatuhkan hukuman seperti itu!”
Radha menatap Gayatri dengan senyum pahit yang tak kunjung hilang dari bibirnya. "Bahkan kali ini pun, saat semuanya jelas-jelas bukan rencanaku, Mama masih tetap menuduhku."
Nindy yang sejak tadi hanya terdiam, akhirnya ikut berbicara. Suaranya begitu lantang, sarat kebencian. "Kau memang wanita yang sangat licik, Radha! Sudah aku duga kalau kau pasti akan merencanakan sesuatu yang sangat jahat pada keluargaku! Wanita tidak tahu malu!”
Radha hanya tersenyum tipis mendengar setiap tuduhan yang dilontarkan kepadanya. Ia tidak berniat lagi membela diri, apalagi meyakinkan mereka berdua. Baginya, ini sudah terlalu jauh. Semua kata-kata kasar yang keluar dari bibir Gayatri dan Nindy, hanyalah bukti betapa mereka tidak pernah mau memandangnya sebagai bagian dari keluarga ini.
“Aku tidak pernah ingin menyakiti siapa pun, tapi keputusan yang dibuat Kakek Felix di luar kendaliku. Karena itu aku—”
Namun, belum sempat Radha menyelesaikan kalimatnya, Gayatri sudah memotongnya dengan marah. "Diam!" emosinya semakin memuncak. “Kau pikir aku akan diam saja melihat nasib putraku dihancurkan olehmu? Tidak akan pernah!”
Gayatri lalu maju dengan amarah menggelegak, berniat menjambak rambut Radha yang hanya berdiri diam di hadapannya. Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh Radha, sebuah suara tegas menghentikannya.
"Berhenti, Ma!" Krisna datang tiba-tiba, suaranya penuh ketegasan. Langkahnya cepat, langsung menghalangi Gayatri yang hampir melukai Radha. "Cukup!"
Gayatri terkejut. Dia menatap putranya yang saat ini sedang berdiri di antara dirinya dan Radha. "Krisna!" suaranya berubah, menjadi lebih pelan dan penuh emosi. "Kau harus mendengar apa yang dikatakan wanita licik ini barusan! Dia secara terang-terangan telah menjebakmu! Cepat lakukan sesuatu, Nak! Kau tidak bisa membiarkan wanita ini terus merusak dan menghancurkan hidupmu!”
Nindy ikut maju, nadanya penuh kepanikan. "Apa yang dikatakan mama itu benar, Krisna. Lakukan sesuatu. Dan katakan padaku kalau berita ini tidaklah benar! Katakan kalau Radha berbohong. Kau tidak akan kehilangan semuanya hanya karena wanita ini, bukan?"
Krisna tidak langsung merespons kedua wanita itu. Ia hanya diam, menatap Radha dengan ekspresi yang sulit ditebak. Dari balik jasnya, ia mengeluarkan amplop cokelat yang diserahkan Radha padanya semalam, lalu melambaikannya di depan wajah Radha.
"Bisakah kau jelaskan tentang ini, Radha?" tanyanya dengan nada datar, namun ada kemarahan tersembunyi di baliknya. "Apa ini juga bagian dari rencanamu?"
Radha menatap amplop itu sejenak, lalu menjawab dengan tenang, "Itu adalah jalan keluar satu-satunya dari permasalahan kita, Krisna."
Krisna menyipitkan mata, tidak puas dengan jawabannya. "Dengan memberiku ini?” sungutnya, kesal. “Jangan main-main denganku, Radha!”
"Aku tidak main-main, Krisna." Suara Radha tetap tenang, meskipun dalam hatinya ada ribuan rasa sakit yang dia coba tahan. "Aku sudah memikirkannya sejak lama. Aku ingin kita bercerai."
Suasana seketika berubah hening. Gayatri dan Nindy saling berpandangan, terkejut dan tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. Sejenak, kebencian mereka pada Radha berubah menjadi rasa senang. Harapan mereka selama ini sepertinya mulai terwujud. Namun, harapan itu seketika pupus saat Krisna membanting amplop cokelat itu ke lantai, dengan raut wajah penuh kemarahan.
"Tidak!" Krisna berkata dengan tegas, suaranya meninggi. "Kau tidak akan pernah bercerai dariku, Radha."
Radha menelan ludah. Dia tahu ini tidak akan mudah, tetapi dia tidak menduga bahwa Krisna akan menolak dengan cara seperti ini. "Krisna," katanya pelan, mencoba menenangkan situasi, "Kita berdua sama-sama tahu, bahwa pernikahan ini hanya akan menyakiti satu sama lain. Kau tidak pernah menganggapku sebagai istrimu. Lalu untuk apa lagi diteruskan?"
"Omong kosong!" Krisna memotongnya, matanya berkilat dengan kemarahan. "Aku tetap tidak akan pernah melepaskanmu, Radha. Tidak setelah kau menghancurkan hidupku! Kau pikir kau bisa kabur begitu saja? Jangan mimpi!"
Gayatri yang tadi berharap Krisna akan setuju, sekarang tampak kecewa dan frustasi. Dia menatap putranya dengan pandangan tidak percaya. "Krisna, kenapa kau...?" tanyanya dengan suara serak. "Kenapa kau masih mempertahankan wanita seperti dia? Tidak bisakah kau melihat apa yang telah dia lakukan padamu?!"
Nindy, yang juga kecewa, mulai menangis pelan, namun air mata itu hanya menambah kebencian yang dia rasakan pada Radha. "Krisna ... kenapa?"
Radha merasa makin tenggelam dalam pusaran konflik ini. Dia ingin sekali pergi sejauh mungkin dari semua kekacauan ini. Namun, Krisna tidak akan melepaskannya semudah itu.
Krisna maju selangkah, menghadapkan wajahnya pada Radha. "Aku tidak peduli apa yang akan kau lakukan setelah ini, Radha. " Lanjutnya, suaranya merendah namun penuh ancaman, "Atau apa yang kau rencanakan di belakangku. Tapi aku akan memastikan kau tetap menjadi istriku, dan kau tidak akan pernah mendapatkan kebebasan yang kau inginkan."
Keduanya saling menatap dalam keheningan yang menyakitkan. Setiap detik yang berlalu terasa seperti ribuan tahun.
"Kalau begitu, kita lihat saja, Krisna. Sejauh mana kau bisa mempertahankan sesuatu yang sejak awal tidak memiliki arti bagi kita berdua. Khususnya dirimu."
Krisna memandangnya tajam, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda di matanya. Sesuatu yang sulit diartikan. Sebelum Krisna sempat membalas perkataan Radha, suara ponsel berdering memecah ketegangan di antara mereka. Krisna merogoh sakunya, melihat nama di layar, lalu menutup telepon itu tanpa menjawab.
"Ada apa, Krisna?" tanya Gayatri, suaranya bergetar lagi dengan kemarahan yang tertahan. "Apa lagi yang kau tunggu? Cepat ceraikan dia!"
Krisna tak menjawab desakan ibunya. Manik elangnya hanya menatap kosong amplop yang berserakan di lantai, lalu berbalik tanpa berkata apa-apa. Gayatri dan Nindy seketika terdiam bercampur perasaan bingung. Sementara Radha tetap berdiri dengan tegap di posisinya, menatap punggung Krisna yang perlahan menjauh.
"Apa yang akan kau lakukan, Krisna?" tanya Radha akhirnya, suaranya pelan namun penuh dengan emosi yang tertahan.
Krisna berhenti, namun tidak menoleh. Suaranya terdengar begitu berat seakan tengah bergulat di antara emosinya dan keputusan sulit yang harus diambilnya.
"Semua yang kau inginkan, Radha," jawabnya pelan, nyaris seperti bisikan. "Kau akan menyesal."
“Apa yang sudah terjadi sama Krisna, Ma?” bisik Nindy, mempersempit jaraknya dengan Gayatri. “Bukankah waktu itu dia yang paling ingin berpisah dari Radha?” “Mama juga tidak tahu, Nindy,” kesal Gayatri, terlihat semakin geram. Perkiraannya bahwa ia bisa menyingkirkan Radha dengan mudah, nyatanya meleset sangat jauh. Krisna malah menolak bercerai dari Radha. “Seperti telah terjadi sesuatu. Dan mama yakin, penyebabnya adalah dia! Perempuan licik ini pasti telah menggunakan ilmu hitam untuk mempengaruhi pikiran Krisna!" Satu lagi tudingan kasar yang dilontarkan oleh Gayatri membuat Radha tersentak. Bagaimana mungkin pemikiran tak masuk akal itu hinggap dalam benak ibu mertuanya? Ilmu hitam? Astaga. Nindy memandang Gayatri dengan gelisah. "Ilmu hitam? Semacam pelet, begitu?" Kejutnya, yang dibalas spontan dengan anggukan kecil dari calon ibu mertuanya. “Ya ampun, Ma. Mama masih percaya begituan? Aku tahu Radha itu memang menyebalkan. Tapi apa iya, Ma, Radha menggunakan ilmu hitam untu
Radha duduk terdiam di atas ranjang rumah sakit. Tubuhnya masih terasa sakit akibat kekerasan yang baru saja ia alami. Wajahnya sedikit memucat, dan luka-luka yang terlihat di beberapa bagian tubuhnya menjadi saksi bisu atas tindakan kasar yang baru saja dialaminya. Gayatri memang tidak pernah menyukainya, tapi tetap saja Radha tak pernah membayangkan bahwa kebencian itu bisa berubah menjadi tindakan fisik yang begitu brutal. Entah apa yang akan terjadi jika seandainya ayah mertuanya tidak datang di waktu yang tepat, Radha mungkin tidak akan selamat dari serangan Gayatri. Tubuhnya pasti sudah hancur lebih parah dari ini. Kini, Radha hanya bisa menatap ke luar jendela dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Sakit fisik yang dirasakannya seakan menyatu dengan luka batinnya yang semakin dalam. Bagaimana bisa hidupnya berubah begitu dramatis? Di tengah lamunannya, tiba-tiba suara ketukan pintu memecah keheningan. Radha segera menghapus air matanya begitu melihat Nakula, adik tirinya, mas
Radha duduk di kursi penumpang. Tubuhnya terasa lelah, tapi hatinya jauh lebih berat. Pandangannya mengarah ke luar jendela mobil, menatap kosong jalanan yang sepi. Di sebelahnya, Saga, yang bersedia mengantarnya pulang dari rumah sakit, tetap fokus mengemudi. Sepanjang perjalanan, mereka hampir tidak berbicara. Hanya ada keheningan yang mencekam. Namun Radha menghargai karena Saga tidak memaksanya bicara. Dia pasti memaklumi, bahwa saat ini Radha hanya butuh waktu untuk memproses semua yang terjadi.Ketika mereka tiba di rumah, Saga mematikan mesin mobil dan membuka pintu untuk Radha. Radha turun dengan pelan, dengan gerakan cukup yang hati-hati karena luka di tubuhnya masih terasa nyeri.“Terima kasih, Kak Saga,” ucap Radha dengan suara lirih.Saga menatap Radha dengan penuh perhatian. “Jangan katakan itu, Radha. Kau sudah seperti adikku sendiri. Jadi, cepatlah masuk dan istirahat. Kalau ada apa-apa, kau bisa hubungi aku
“Jangan bersikap kekanak-kanakan, Radha,” ucap Krisna dengan nada dingin, seolah peristiwa ini tidak berarti apa-apa baginya. “Aku sudah mengingatkanmu untuk tidak membuat drama baru lagi.” Radha tetap diam, namun cengkeramannya pada gagang koper mengencang, menunjukkan bahwa dia takkan mundur dari keputusannya. “Apa ini karena perlakuan mamaku?” Krisna melanjutkan, suaranya terdengar kesal. “Kalau itu masalahnya, besok aku akan datangi mama dan memintanya untuk berhenti ikut campur. Kalau perlu, aku akan memaksa mama untuk minta maaf padamu.” Radha tersenyum kecil, penuh kepahitan. "Tidak perlu, Krisna," katanya tenang. “Sebelum dia minta maaf, aku sudah memaafkannya. Tapi keputusanku tetaplah sama. Aku ingin segera pergi dari sini dan bercerai darimu." Namun, Krisna tidak mendengarkan. Wajahnya mengeras, amarah yang ditahannya kembali menggelembung di dalam dadanya. “Aku sudah pernah bilang, Radha,” suaranya sekarang lebih rendah, namun penuh dengan ancaman, “Aku tidak akan perna
“Kenapa kau membawanya ke sini, Krisna?” tanya Gayatri langsung, tanpa basa-basi. Wanita paruh baya itu, dengan rambutnya yang selalu tersisir rapi dan pakaiannya yang selalu anggun, menatap Radha seolah-olah dia adalah gangguan tak diinginkan. Krisna hanya tersenyum tipis, menahan diri untuk tidak bereaksi terhadap sikap dingin ibunya. Sebelum Krisna bisa menjawab, Baskara yang mendengar suara Gayatri dari ruang kerjanya segera muncul. Dengan wajah yang lebih tenang dan bijaksana, dia langsung menegur istrinya, “Gayatri, apa kau lupa apa yang sudah kita bicarakan sebelumnya?” Gayatri terdiam seketika, menahan diri agar tidak meledak lagi. Dia memalingkan wajah dengan kesal, jelas tidak senang, tetapi memilih untuk tidak berdebat lebih lanjut. Baskara mendekati Radha, memberi senyum lembut yang berbeda dari sikap istrinya. “Ayah pikir, kau tidak akan mau datang lagi ke sini, setelah apa yang terjadi kemarin. Ayah benar-benar minta maaf atas sikap kasar Gayatri padamu, Radha,” kata
Sejak mereka meninggalkan rumah orang tua Krisna, Radha tampak berbeda. Selama perjalanan pulang, Krisna memperhatikan perubahan itu meski ia berusaha tak terlalu memedulikannya. Radha biasanya keras kepala dan sering memancing debat, tapi hari ini dia jauh lebih pendiam. Matanya tampak kosong, seolah-olah pikirannya terbang ke tempat lain, entah memikirkan apa. Yang jelas, ini bukan sifat Radha yang biasa. Krisna mengakui, biasanya dia lebih suka suasana tenang seperti ini. Radha yang pendiam berarti tidak ada cekcok atau suara-suara sumbang yang mengganggu pikirannya. Seharusnya ini membuatnya merasa lega, bukan? Tapi anehnya, kali ini Krisna merasa terganggu dengan keheningan itu. Sesuatu tentang cara Radha bertingkah membuatnya resah, meskipun ia tidak tahu pasti apa. Krisna mencoba menyingkirkan perasaan itu. Apa yang ia pedulikan? Radha hanya istri ‘bonekanya’—tidak ada alasan baginya untuk memikirkan tentang perubahan sikapnya. Setibanya di rumah, Krisna segera melepaskan
“Apa yang sebenarnya kau inginkan, Bu?” tanya Radha, usai menutup pintu kamarnya dengan perlahan. Radha tahu ibunya tidak akan datang sejauh ini hanya karena kekhawatiran. Selalu ada sesuatu di balik tindakan ibunya yang terlihat peduli. Freya mendekat dengan ekspresi yang sulit diterka. Tanpa peringatan, dia meraih wajah Radha dan memeriksanya dengan kasar. Tangannya menekan pipi Radha, membuat Radha sedikit tersentak. "Jadi, benar Gayatri sudah menyerangmu?" desis Freya, matanya memperhatikan setiap tanda memar atau luka di wajah Radha. Radha mengerutkan kening, merasa bingung sekaligus curiga. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya bagaimana Freya bisa mengetahui hal itu? Radha bahkan tidak memberitahu Nakula, sebagai satu-satunya anggota keluarga yang bisa ia percayai. “Dari mana Ibu tahu?” tanya Radha sambil menyentak lepas tangan Freya dari wajahnya. Freya hanya mendengus, tampak tak terpengaruh oleh reaksi Radha. "Tidak perlu banyak bertanya. Yang jelas, aku punya informan terp
“Jadi, apa lagi yang diinginkan ibumu kali ini?” Krisna tiba-tiba muncul dan berdiri di ambang pintu kamar, semenit setelah kepergian Freya dari rumahnya, dengan nada bicara yang dingin dan tatapan menyelidik. Radha, yang masih berusaha menguasai perasaannya, menahan napas. Dia tahu, jika Krisna mulai berbicara tentang ibunya, maka percakapan ini tidak akan berujung baik. "Tidak ada hal seperti itu," jawab Radha, mencoba bersikap tenang. "Ibu hanya khawatir, itu saja." Krisna mendengus pelan, langkah kakinya membawa dirinya lebih dekat ke arah Radha. Senyum sinis muncul di bibirnya, membuat sorot matanya terlihat semakin tajam. "Khawatir, ya?" tanyanya, seolah mengejek. "Radha, kau bukan tipe orang yang pandai berbohong. Aku tahu betul siapa ibumu itu. Jangan harap aku akan percaya jika kau bilang dia datang karena benar-benar khawatir." Radha berusaha menahan kegelisahan yang mengintip dari sorot matanya. "Kalau kau tidak percaya, ya sudah. Tidak ada yang perlu dijelaskan." Ia be
“Kau bertanya karena ingin tahu, atau ingin cepat-cepat menemui kekasih gelapmu itu?” sindir Gayatri dengan nada penuh keangkuhan. Semua orang yang berada di dalam ruangan itu, termasuk Baskara dan Mega, menatapnya dengan ekspresi terkejut. Hanya Nindy yang tampak biasa saja. Bahkan ada senyum tipis yang terukir di bibirnya, seolah menunggu reaksi yang akan diberikan Saga. Saga mengepalkan kedua tangannya, menahan gejolak amarah yang mulai merayapi dadanya. Ia menatap Gayatri dengan sorot mata tajam. “Tolong jangan mengucapkan sesuatu yang sama sekali tidak benar tentang hubungan saya dan Radha.” Gayatri mendengus sinis. “Tidak benar, katamu?” Ia melipat kedua tangannya di dada. “Jadi, menurutmu, kepedulianmu yang berlebihan terhadap Radha itu hal yang wajar? Jangan munafik, Saga. Aku sudah melihat bagaimana kau yang selalu berada di sisinya tiap kali dia bermasalah dengan suaminya. Bahkan caramu menatap Radha, aku bisa tahu bahwa ada sesuatu di antara kalian berdua. Jangan kira ak
Gayatri mengepalkan jemarinya dengan erat, menahan amarahnya yang meluap-luap. Napasnya terdengar memburu, wajahnya memerah, dan matanya menyorotkan kemarahan yang tidak bisa lagi terbendung. “Berani-beraninya Krisna menutup telepon Mamanya sendiri!” batin Gayatri, geram."Apa yang terjadi?" Suara berat dan penuh wibawa khas milik Baskara terdengar dari belakangnya. Pria itu baru saja keluar dari kamar tempat Kakek Felix beristirahat. Wajahnya terlihat lelah dan cemas. "Apa kau sudah memberi tahu Krisna tentang kondisi Ayah?"Gayatri menoleh dengan ekspresi jengkel. "Tentu saja, Mas! Aku juga sudah menyuruhnya untuk segera pulang. Tapi dia justru membantahku dan bersikeras untuk tetap menemani Radha. Kata Krisna, wanita itu pingsan!" Nada suaranya penuh kejengkelan dan ketidakpercayaan.Baskara mengernyit. "Radha pingsan?""Iya, Mas! Dan Krisna membawanya ke rumah sakit. Seolah-olah itu lebih penting daripada kondisi kakeknya sendiri!" Gayatri mendengus sinis. "Aku sudah menduga wani
Krisna terperangah. Napasnya tercekat saat melihat tubuh Radha ambruk ke tanah tanpa daya. Untuk sesaat, dunia terasa berhenti. Pikirannya kosong dan tubuhnya membeku. Tetapi detik berikutnya, tanpa sadar, ia sudah berlari ke arah wanita itu."Radha!" Krisna berlutut di sampingnya, tangannya terulur untuk menyentuh wajah Radha yang pucat pasi. Dada wanita itu naik turun tak beraturan, napasnya tersengal-sengal, dan keringat dingin mulai membasahi dahinya.
Krisna menarik tangan Radha dengan erat, membawanya keluar dari ruangan yang penuh dengan kekacauan. Langkahnya cepat, hampir menyeret Radha yang masih terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Napasnya memburu, sementara pikirannya berputar liar, mencoba memahami mengapa dia tiba-tiba merasa perlu melindungi Radha. Radha hanya bisa menurut, mengikuti Krisna dengan langkah goyah. Jantungnya masih berdegup kencang, kepalanya pening akibat kilatan kamera dan suara-suara menghakimi yang terus terngiang di telinganya. Namun, genggaman tangan Krisna yang kuat seolah memberinya perlindungan di tengah badai yang mengamuk. Mereka terus berjalan hingga mencapai taman belakang gedung, jauh dari sorotan kamera dan kerumunan orang-orang yang menggila serta haus akan berita penuh sensasi dari salah satu anggota keluarga Harlingga. Saat akhirnya Krisna melepaskan genggamannya, Radha terhuyung sedikit ke belakang. Napasnya masih tersengal, dadanya naik turun dengan cepat. “Apa... yang baru saj
Radha berdiri terperangah di tengah kerumunan wartawan yang tak kenal ampun. Kilatan kamera terus menyambar wajah Radha dan menyilaukan matanya. Suara-suara tajam dan penuh desakan dari wartawan pun turut menusuk telinganya, membuat kepalanya berdengung tanpa henti. “Nyonya Radha, benarkah Anda telah menggugat cerai Tuan Krisna?” salah satu wartawan melemparkan pertanyaan dengan nada mendesak. “Apakah benar penyebabnya adalah orang ketiga?” yang lain menambahkan tanpa memberi waktu bagi Radha untuk menjawab. Sebuah mikrofon mendekat dari arah lain, “menurut informasi yang kami terima, Anda memiliki hubungan tersembunyi dengan seorang pria dari keluarga kaya. Bisakah Anda memberi klarifikasi tentang itu?” “Dan apakah benar Anda tengah mengandung anak dari pria tersebut?” pertanyaan terakhir dilontarkan dengan nada yang lebih tajam dan mengintimidasi. Radha hanya bisa membeku, tubuhnya terasa seolah kehilangan tenaga. Kilatan kamera yang terus-menerus membuat pandangannya semakin
Krisna menegang sesaat. Kata "sayang" yang diucapkan Radha dengan nada menggoda seolah nyaris menghantam benteng pertahanannya. Mata hitamnya menatap wanita di sampingnya yang kini tersenyum manis seakan benar-benar menikmati perannya. "Apa kau sangat menikmatinya?" gumamnya pelan. Radha tertawa kecil. "Bukankah kau sendiri yang menyuruhku bersikap layaknya istri yang baik?" Krisna hanya mendengus dan menatap lurus ke depan. Langkahnya mantap saat memasuki gedung mewah tempat acara amal berlangsung. Sejak mereka muncul di pintu masuk, mata para tamu undangan yang ada di dalam ruangan itu, kompak tertuju pada mereka. Bisik-bisik di antara mereka pun mulai samar terdengar. "Oh, lihat itu! Mereka datang!" “Astaga, aku pikir ini seperti acara pengobatan raja dan ratu. Mereka berdua terlihat sangat menawan!” “Aku hanya mendengar bahwa menantu perempuan mereka sangat cantik, dan ternyata itu benar.” “Rasanya beruntung sekali bisa datang ke tempat ini. Bisa melihat wajah tampan cuc
“Seberapa berpengaruhnya dia?” Andre tersenyum tipis, tetapi kali ini senyumnya lebih dingin. “Cukup untuk bisa masuk ke dalam lingkaran bisnis kelas atas tanpa harus membawa nama Harlingga. Dan cukup untuk membuat banyak orang bertanya-tanya… siapa sebenarnya yang berdiri di belakangnya.” Aresha membatu seketika. Jadi, Joshua bukan hanya sekadar putra Baskara yang tersembunyi. Dia lebih dari itu. Dia seseorang yang memiliki kekuatan, pengaruh, dan—kemungkinan besar—rencana tersendiri. Ini jauh lebih rumit dari yang ia bayangkan. “Jika kau ingin tahu lebih banyak, aku bisa menyelidikinya lebih dalam,” tawar Andre. Aresha menghembuskan napas panjang. “Kalau begitu lakukanlah.” Andre mengangguk, lalu bangkit. Sebelum pergi, ia menatap Aresha dengan pandangan tajam. “Tapi Aresha, aku sarankan satu hal.” “Apa?” “Berhati-hatilah.” Suaranya rendah, nyaris seperti peringatan. “Joshua bukanlah orang yang bisa disentuh dengan mudah.” Aresha hanya tersenyum kecil. Namun di dalam hatin
Aresha merasakan detak jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Kata-kata yang baru saja keluar dari bibirnya menggantung di udara, menciptakan keheningan yang memekakkan telinga. Joshua adalah putra lain dari Baskara. Jika itu benar, berarti… dia dan Joshua memiliki darah yang sama. Perutnya terasa mual. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, meskipun udara di sekitar masih dikuasai angin sepoi-sepoi yang seharusnya menenangkan. Tetapi dirinya sama sekali tidak bisa tenang dengan kondisi pikirannya yang kacau balau saat ini. “Saga,” bisiknya, mencoba memastikan kembali. “Apa kau benar-benar yakin dengan apa yang kau ucapkan barusan? Barangkali saja yang kau maksud adalah Joshua yang lain?” Di seberang telepon, suara Saga terdengar lebih berat, seolah ia sendiri belum siap menerima kenyataan ini. “Ya, aku juga tidak menutup kemungkinan akan hal itu,” katanya pelan. “Tapi tetap saja, Aresha. Tidak ada salahnya untuk bersikap waspada terhadap segala hal yang bisa menghancur
Aresha mengedarkan napas perlahan, menyembunyikan keterkejutannya di balik senyum tipis yang tak terbaca. Namun, tatapannya menajam, menyelidik pria yang berdiri di hadapannya. Joshua. Nama yang terdengar asing, tetapi caranya berbicara seolah ia tahu lebih banyak daripada yang seharusnya. Sorot matanya yang tajam, tak menunjukkan sedikit pun celah yang bisa dimanfaatkan Aresha. Dia jelas bukanlah orang biasa. Aresha menggeser sedikit berat badannya ke satu sisi, menyilangkan tangan di depan dada, seolah percakapan ini bukan hal besar baginya. “Aku tak tahu siapa yang memberimu informasi, tapi aku rasa kau sedang salah paham, Tuan Joshua,” ujarnya, suaranya tetap ringan namun berhati-hati. Joshua tersenyum kecil, seolah mengapresiasi usaha Aresha untuk tetap tenang. "Salah paham?" ulangnya, seakan mengecap kata itu di lidahnya. "Apakah itu benar? Aku rasa aku tidak mungkin salah." Aresha tertawa pelan, seolah menertawakan ketidakmasukakalan kata-kata pria itu. Namun, hatinya be