Radha seketika terdiam. Tubuhnya membeku usai mendengar ucapan Freya. Kalimat tanpa perasaan yang keluar dari bibir Freya, bagaikan anak panah yang melesat begitu cepat dan menghancurkan jantung Radha.
'Nyawaku?' Sungguh sangat sulit dipercaya bahwa wanita di depannya, sosok orang tua yang seharusnya melindungi anak-anaknya, dengan begitu enteng meminta sesuatu yang sangat mengerikan. Mata Radha berkaca-kaca. Namun belum sempat ia merespon, Freya kembali mengikis jarak antara mereka berdua dan mendekatkan wajahnya ke telinga kanan Radha dengan senyuman penuh kebencian. “Pilihannya ada di tanganmu. Dan mari kita lihat, entah aku atau dirimu yang mati dalam pertaruhan ini.” Bisik Freya. Radha merinding, seluruh tubuhnya bergidik hebat. Dia ingin membantah ucapan ibu tirinya itu. Namun sebelum kata-kata itu bisa keluar dari bibirnya, Freya mencengkeram pergelangan tangan Radha dengan sangat kasar dan menyeretnya keluar dari rumah secara paksa. “Pergi kau dari sini!” Freya mendorong tubuh Radha hingga terjatuh ke atas ubin yang kasar dan keras. Pintu rumah berdebam hebat saat Freya menutupnya, meninggalkan Radha sendirian di teras rumah dengan perasaan campur aduk. Tak ada lagi yang bisa dibicarakan dengan ibu tirinya untuk saat ini. Jadi, dengan berat hati Radha memutuskan untuk pulang ke rumah dan mengistirahatkan sejenak pikiran beserta fisiknya yang terasa remuk. Di tengah perjalanan pulang, ponsel Radha berdering. Terlihat ada nama Gayatri, ibu mertuanya, tertera di layar. Untuk sesaat, ada rasa enggan memenuhi dadanya. Tetapi sulit baginya mengabaikan panggilan. “Ya, Ma?” Jawabnya pelan. “Radha, aku minta kau ke rumah sekarang juga. Ada hal penting yang ingin aku bicarakan.” Suara Gayatri terdengar tegas dan dingin, seperti biasanya. Tanpa memberi kesempatan Radha untuk bertanya, sambungan teleponnya telah diputus. Membuat Radha hanya bisa menghela napas panjang dan mengelus dada. Meski berat, tak ada yang bisa ia lakukan selain memenuhi panggilan tersebut. Setibanya di rumah Gayatri, Radha langsung disambut tatapan dingin milik ibu mertuanya. Di sana, sudah ada Nindy yang duduk di samping Gayatri dengan senyum licik di bibirnya. Seolah sudah siap untuk menonton pertunjukan drama yang ia ciptakan sendiri. “Duduk.” Perintah Gayatri tanpa basa basi. Radha menurut. Ia duduk di sofa yang tak jauh dari Gayatri dan Nindy berada. “Kau tahu kenapa aku memanggilmu ke sini?” tanya Gayatri kembali. Nada dinginnya begitu menusuk hati. Radha menggeleng pelan, seraya mencoba tetap bersikap tenang. “Tidak, Ma. Apa yang ingin Mama bicarakan denganku?” Gayatri mendengus sinis. “Aku sudah dengar semuanya dari Nindy tentang apa yang terjadi semalam. Krisna dalam kondisi mabuk berat yang membuatnya sulit untuk pulang sendirian. Beruntung ada Nindy yang dengan sukarela membawa Krisna pulang. Tapi kau, bukannya berterima kasih pada Nindy, kau justru mengusirnya pergi? Sikap macam apa itu, Radha?” “Ma, sudahlah,” Nindy meraih bahu Gayatri sembari memasang wajah bersalahnya. “Nindy tidak apa-apa. Hanya sekedar kaget saja karena tiba-tiba Radha bersikap seperti itu padaku. Mungkin dia cemburu melihat suaminya bersama orang lain, jadi tidak sadar akan kelakuannya semalam, Ma.” Kening Radha berkerut samar, dengan tatapan yang tak pernah lepas dari Nindy. Sandiwaranya untuk merebut dan menghasut ibu mertuanya sebagai wanita polos nan baik hati telah dimulai. Dan bodohnya, Gayatri mempercayainya. “Tidak apa-apa bagaimana, Nindy? Kau itu sudah dianggap seperti anak Mama sendiri? Jelas saja Mama tidak terima jika ada orang lain yang bersikap kurang ajar padamu.” Ujar Gayatri, tak terima. “Maafkan aku, Ma. Tapi orang lain yang Mama maksud, adalah menantu Mama sendiri.” Kata Radha menginterupsi, berniat membela diri. “Dan bukankah, Mama juga seharusnya mendengarkan penjelasan dari pihakku?” “Aku tidak membutuhkan penjelasan apapun darimu, Radha,” tolak Gayatri. “Meski kau telah menikah dengan Krisna, bukan berarti aku menerimamu sebagai anggota keluarga kami. Bagiku, hanya Nindylah pasangan yang paling tepat untuk Krisna. Dia adalah bagian keluarga Harlingga. Jadi dengan mengusirnya, sama saja kau telah menghinaku!” “Tapi aku tidak pernah mengusirnya, Ma,” kata Radha, berusaha meyakinkan Gayatri. “Aku hanya meminta pelayan yang ada di rumah untuk mengantarnya pulang, sebab kemarin sudah terlalu malam. Dan tidak baik wanita muda seperti Nindy dibiarkan sendirian di malam hari. Terlebih saat ia dengan sengaja masuk ke dalam kamar suamiku tanpa sopan santun dan tidak menghargaiku sebagai istrinya.” Nindy yang tadinya tenang, mendadak meledak. “Apa maksudmu berkata seperti itu, Radha? Aku tidak punya sopan santun?” suaranya melengking penuh kemarahan. “Mulutmu ini tidak pernah diajarkan dengan baik, ya?” Gayatri turut menyambar, wajahnya memerah. “Nindy ini wanita yang sangat sopan, kau tahu? Dia tidak sebanding denganmu. Kalau pun dia tidak menghargaimu sebagai istrinya, itu pasti karena kesalahanmu sendiri yang tidak becus menjaga dan merawat Krisna. Lagi pula rumah itu milik Krisna. Dan Nindy, bebas melakukan apa saja yang dia mau di rumah itu. Kau mengerti?” Radha tersenyum kecut mendengar perkataan ibu mertuanya sendiri. Bagaimana bisa dia mengatakan hal semenyakitkan itu, padahal dia juga seorang perempuan. Seorang istri. Tidak bisakah ibu mertuanya melihat luka yang ada di dalam hatinya? Tapi Radha tahu, tak ada gunanya berdebat panjang lebar. Apapun yang dikatakan Radha untuk membela diri, tidak akan pernah didengar oleh Gayatri. Sebab, Nindy pasti sudah lebih dulu memutarbalikkan semua fakta yang ada dengan wajah palsunya. Meski begitu, Radha sudah memutuskan untuk tidak tinggal diam saat dirinya dihina. “Ma, kita ini sama-sama perempuan. Jika seandainya saja aku, atau wanita lain mengatakan sesuatu hal yang sama dengan apa yang mama ucapkan barusan, kalau Tante Luna lebih baik dari Mama, makanya Ayah masih mencintainya hingga sekarang? Kira-kira bagaimana perasaan Mama?” Ekspresi wajah Gayatri mengeras hingga kemerahan karena amarahnya. Kedua matanya melotot, menatap benci pada Radha. Tak bisa dipercaya, wanita seperti Radha telah berani mengatakan hal semacam itu pada Gayatri. Nindy bahkan sampai dibuat terkejut olehnya. “Kau bilang apa barusan?” Gayatri menggeram, suaranya rendah namun penuh amarah. Tangannya mengepal kuat di atas pahanya, bergetar menahan kemarahan yang sudah mendidih di dalam dirinya. Hingga tanpa peringatan, Gayatri menghantam meja di depannya dengan keras, membuat benda-benda di atasnya bergetar. “Wanita tidak tahu malu. Kau ingin aku merobek mulutmu yang kurang ajar itu, hah?!”“Wanita tidak tahu malu. Kau ingin aku merobek mulutmu yang kurang ajar itu, hah?!” Gayatri memekik, tangannya menunjuk Radha seolah ingin menerkamnya. “Kau pikir kau siapa?! Istri yang tak becus menjaga suaminya sendiri, berani bicara seolah kau lebih baik dariku?” Di tengah amukan Gayatri, Nindy melangkah maju berusaha menenangkannya dengan tatapan licik yang tidak bisa disembunyikan. “Sudah, Ma, tenanglah. Tolong jaga tensi Mama. Dan jangan biarkan orang seperti dia merusak suasana hati kita,” Nindy menyindir dengan suara lembut namun sarat sindiran. “Seseorang yang tumbuh dalam keluarga yang hanya mementingkan uang, tidak akan pernah bisa menghormati orang lain dengan benar. Mereka hanya tahu soal uang. Tidak dengan kesopanan.” “Kalau begitu, tindakan yang menjerumuskan anaknya dengan menawarkan wanita lain sebagai pengganti yang dianggapnya ‘layak’, apakah pantas disebut sebagai orang tua yang baik?” Balas Radha, balik menatap tajam ke arah Nindy dan Gayatri secara bergantian.
Baik Gayatri maupun Nindy, keduanya terdiam sejenak dan memandang Radha dengan tatapan penuh keterkejutan yang berubah menjadi ketidakpercayaan. Nindy, yang berada di sebelahnya, menggigit bibir bawahnya, tampak gelisah mendengar ucapan Radha yang begitu tegas. “Apa maksudmu?” Gayatri akhirnya membuka suara dengan nada dingin. “Cucu pengganti Krisna?” Radha mengangguk pelan, tetapi tetap mempertahankan ketenangan di wajahnya. “Kakek Felix tahu apa yang dia inginkan. Dia ingin memastikan masa depan keluarga Harlingga tetap terjaga, dan baginya, cucu dari garis keturunan langsung adalah solusi terbaik.” Kepala Gayatri menggeleng lemah. "Tidak. Ini... ini pasti tipuanmu," suara Gayatri bergetar, namun berusaha tetap terdengar keras. "Kau pasti telah menjebak putraku dengan menghasut Kakek Felix agar beliau marah besar dan menjatuhkan hukuman seperti itu!” Radha menatap Gayatri dengan senyum pahit yang tak kunjung hilang dari bibirnya. "Bahkan kali ini pun, saat semuanya jelas-jelas b
“Apa yang sudah terjadi sama Krisna, Ma?” bisik Nindy, mempersempit jaraknya dengan Gayatri. “Bukankah waktu itu dia yang paling ingin berpisah dari Radha?” “Mama juga tidak tahu, Nindy,” kesal Gayatri, terlihat semakin geram. Perkiraannya bahwa ia bisa menyingkirkan Radha dengan mudah, nyatanya meleset sangat jauh. Krisna malah menolak bercerai dari Radha. “Seperti telah terjadi sesuatu. Dan mama yakin, penyebabnya adalah dia! Perempuan licik ini pasti telah menggunakan ilmu hitam untuk mempengaruhi pikiran Krisna!" Satu lagi tudingan kasar yang dilontarkan oleh Gayatri membuat Radha tersentak. Bagaimana mungkin pemikiran tak masuk akal itu hinggap dalam benak ibu mertuanya? Ilmu hitam? Astaga. Nindy memandang Gayatri dengan gelisah. "Ilmu hitam? Semacam pelet, begitu?" Kejutnya, yang dibalas spontan dengan anggukan kecil dari calon ibu mertuanya. “Ya ampun, Ma. Mama masih percaya begituan? Aku tahu Radha itu memang menyebalkan. Tapi apa iya, Ma, Radha menggunakan ilmu hitam untu
Radha duduk terdiam di atas ranjang rumah sakit. Tubuhnya masih terasa sakit akibat kekerasan yang baru saja ia alami. Wajahnya sedikit memucat, dan luka-luka yang terlihat di beberapa bagian tubuhnya menjadi saksi bisu atas tindakan kasar yang baru saja dialaminya. Gayatri memang tidak pernah menyukainya, tapi tetap saja Radha tak pernah membayangkan bahwa kebencian itu bisa berubah menjadi tindakan fisik yang begitu brutal. Entah apa yang akan terjadi jika seandainya ayah mertuanya tidak datang di waktu yang tepat, Radha mungkin tidak akan selamat dari serangan Gayatri. Tubuhnya pasti sudah hancur lebih parah dari ini. Kini, Radha hanya bisa menatap ke luar jendela dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Sakit fisik yang dirasakannya seakan menyatu dengan luka batinnya yang semakin dalam. Bagaimana bisa hidupnya berubah begitu dramatis? Di tengah lamunannya, tiba-tiba suara ketukan pintu memecah keheningan. Radha segera menghapus air matanya begitu melihat Nakula, adik tirinya, mas
Radha duduk di kursi penumpang. Tubuhnya terasa lelah, tapi hatinya jauh lebih berat. Pandangannya mengarah ke luar jendela mobil, menatap kosong jalanan yang sepi. Di sebelahnya, Saga, yang bersedia mengantarnya pulang dari rumah sakit, tetap fokus mengemudi. Sepanjang perjalanan, mereka hampir tidak berbicara. Hanya ada keheningan yang mencekam. Namun Radha menghargai karena Saga tidak memaksanya bicara. Dia pasti memaklumi, bahwa saat ini Radha hanya butuh waktu untuk memproses semua yang terjadi.Ketika mereka tiba di rumah, Saga mematikan mesin mobil dan membuka pintu untuk Radha. Radha turun dengan pelan, dengan gerakan cukup yang hati-hati karena luka di tubuhnya masih terasa nyeri.“Terima kasih, Kak Saga,” ucap Radha dengan suara lirih.Saga menatap Radha dengan penuh perhatian. “Jangan katakan itu, Radha. Kau sudah seperti adikku sendiri. Jadi, cepatlah masuk dan istirahat. Kalau ada apa-apa, kau bisa hubungi aku
“Jangan bersikap kekanak-kanakan, Radha,” ucap Krisna dengan nada dingin, seolah peristiwa ini tidak berarti apa-apa baginya. “Aku sudah mengingatkanmu untuk tidak membuat drama baru lagi.” Radha tetap diam, namun cengkeramannya pada gagang koper mengencang, menunjukkan bahwa dia takkan mundur dari keputusannya. “Apa ini karena perlakuan mamaku?” Krisna melanjutkan, suaranya terdengar kesal. “Kalau itu masalahnya, besok aku akan datangi mama dan memintanya untuk berhenti ikut campur. Kalau perlu, aku akan memaksa mama untuk minta maaf padamu.” Radha tersenyum kecil, penuh kepahitan. "Tidak perlu, Krisna," katanya tenang. “Sebelum dia minta maaf, aku sudah memaafkannya. Tapi keputusanku tetaplah sama. Aku ingin segera pergi dari sini dan bercerai darimu." Namun, Krisna tidak mendengarkan. Wajahnya mengeras, amarah yang ditahannya kembali menggelembung di dalam dadanya. “Aku sudah pernah bilang, Radha,” suaranya sekarang lebih rendah, namun penuh dengan ancaman, “Aku tidak akan perna
“Kenapa kau membawanya ke sini, Krisna?” tanya Gayatri langsung, tanpa basa-basi. Wanita paruh baya itu, dengan rambutnya yang selalu tersisir rapi dan pakaiannya yang selalu anggun, menatap Radha seolah-olah dia adalah gangguan tak diinginkan. Krisna hanya tersenyum tipis, menahan diri untuk tidak bereaksi terhadap sikap dingin ibunya. Sebelum Krisna bisa menjawab, Baskara yang mendengar suara Gayatri dari ruang kerjanya segera muncul. Dengan wajah yang lebih tenang dan bijaksana, dia langsung menegur istrinya, “Gayatri, apa kau lupa apa yang sudah kita bicarakan sebelumnya?” Gayatri terdiam seketika, menahan diri agar tidak meledak lagi. Dia memalingkan wajah dengan kesal, jelas tidak senang, tetapi memilih untuk tidak berdebat lebih lanjut. Baskara mendekati Radha, memberi senyum lembut yang berbeda dari sikap istrinya. “Ayah pikir, kau tidak akan mau datang lagi ke sini, setelah apa yang terjadi kemarin. Ayah benar-benar minta maaf atas sikap kasar Gayatri padamu, Radha,” kata
Sejak mereka meninggalkan rumah orang tua Krisna, Radha tampak berbeda. Selama perjalanan pulang, Krisna memperhatikan perubahan itu meski ia berusaha tak terlalu memedulikannya. Radha biasanya keras kepala dan sering memancing debat, tapi hari ini dia jauh lebih pendiam. Matanya tampak kosong, seolah-olah pikirannya terbang ke tempat lain, entah memikirkan apa. Yang jelas, ini bukan sifat Radha yang biasa. Krisna mengakui, biasanya dia lebih suka suasana tenang seperti ini. Radha yang pendiam berarti tidak ada cekcok atau suara-suara sumbang yang mengganggu pikirannya. Seharusnya ini membuatnya merasa lega, bukan? Tapi anehnya, kali ini Krisna merasa terganggu dengan keheningan itu. Sesuatu tentang cara Radha bertingkah membuatnya resah, meskipun ia tidak tahu pasti apa. Krisna mencoba menyingkirkan perasaan itu. Apa yang ia pedulikan? Radha hanya istri ‘bonekanya’—tidak ada alasan baginya untuk memikirkan tentang perubahan sikapnya. Setibanya di rumah, Krisna segera melepaskan
Krisna berjalan mondar-mandir di ruang tamu rumahnya yang luas dengan ekspresi wajah penuh kemarahan. Suara sepatu kulitnya yang beradu dengan lantai marmer menggema di seluruh ruangan, menciptakan ketegangan yang semakin mencekam. Di tangannya, ponsel yang sudah berkali-kali ia gunakan untuk mencoba menghubungi Radha. Namun, sama seperti sebelumnya, tidak ada jawaban.“Kenapa tidak diangkat juga?! Apa dia sengaja menghindar?!” Krisna menggerutu keras, nada suaranya mencerminkan amarah yang semakin mendidih.Ia mencoba menelepon sekali lagi, menunggu dengan tidak sabar hingga nada sambung berhenti. Hasilnya tetap sama, dan Krisna kehilangan kendali. Dengan kemarahan yang tak tertahan, ia membanting ponselnya ke lantai. Ponsel itu pecah berkeping-keping, membuat para pelayan yang berada di ruangan itu tersentak dan mundur beberapa langkah karena ketakutan."APA KALIAN SEMUA AKAN DIAM SAJA SEPERTI INI?!" Krisna berteriak, menatap tajam ke arah para pelayan dan pegawai yang berdiri membe
Malam telah larut, namun Nakula tak beranjak dari sisi tempat tidur. Di kursi dekat kepala ranjang, ia duduk dengan punggung tegap, matanya terus mengawasi kakaknya yang terbaring lemah. Kamar vila itu dihiasi lampu remang yang memancarkan suasana damai, tetapi Nakula justru merasa gelisah.Sesekali, ia mengusap wajahnya, mencoba menghalau rasa kantuk yang menghadang. Radha belum juga sadar. Dokter memang mengatakan bahwa kondisinya cukup stabil, tetapi tubuhnya yang pucat dan napasnya yang terengah membuat Nakula tak bisa berhenti khawatir.Waktu terus bergulir. Suara langkah pelayan yang melintas di luar kamar sesekali terdengar. Hingga akhirnya, Radha bergerak sedikit, kelopak matanya perlahan terbuka.“Kak Radha?” panggil Nakula dengan nada cemas, langsung berdiri dan mendekat. “Kakak sudah sadar?”Radha memutar kepalanya perlahan, ekspresi bingung tergurat jelas di wajahnya. “Nakula? Apa yang terjadi?”Nakula tersenyum lega, meskipun hatinya masih terasa berat. “Kak Radha pingsa
"Mereka kabur lewat belakang! Cepat kejar mereka!"Nakula merasa dadanya seolah hendak meledak karena panik. Ia memandang Saga dengan tatapan penuh kecemasan.Saga hanya tersenyum samar. "Jangan lihat ke belakang. Lari sekarang!"“Kak Saga mau ke mana?” Tanya Nakula dengan nada gemetar. “Jangan bilang kalau—”Nakula ragu sejenak, tetapi akhirnya menurut. Ia kembali melangkah dengan cepat, membawa Radha menyusuri jalan setapak yang gelap. Sementara itu Saga berbalik, menghadapi para pengejar yang kini semakin dekat.Saat Nakula berhasil mencapai mobil dan menurunkan tubuh Radha ke kursi belakang, ia mendengar suara bentrokan dari arah belakang. Sepertinya saat ini Saga tengah berhadapan langsung dengan para pengejar itu sendirian.Namun, sebelum Nakula sempat memutuskan apa yang harus dilakukan, pintu mobil di sebelahnya tiba-tiba terbuka. Nakula tersentak, tetapi merasa lega saat melihat Saga masuk dengan napas terengah-engah.“Pasang sabuk pengamanmu. Kita pergi sekarang,” kata Saga
"Kak Radha, bangun, Kak! Jangan bikin aku takut begini!" suara Nakula pecah, dipenuhi rasa cemas. Ia menepuk-nepuk pipi Radha dengan lembut, berharap ada reaksi.Namun Radha tetap diam, hanya napasnya yang terdengar berat dan terputus-putus. Nakula memegangi tangan Radha, merasakan dinginnya kulit kakaknya yang seolah kehilangan tenaga."Astaga … aku harus bagaimana?" Nakula berdiri, mondar-mandir di sekitar kasur. Ia ingin membawa Radha ke rumah sakit, tetapi itu terlalu berisiko. Jika ada yang mengenali Radha, apalagi dari keluarga Harlingga, semua rencana mereka akan hancur.Matanya terpaku pada tas kecil milik Radha yang tergeletak di lantai. Dengan cepat ia meraihnya dan membuka isinya, berharap menemukan sesuatu yang bisa menjelaskan kondisi Radha.Matanya terpaku pada tas kecil milik Radha yang tergeletak di lantai. Dengan cepat ia meraihnya dan membuka isinya, berharap menemukan sesuatu yang bisa menjelaskan kondisi Radha.Ia menemukan beberapa barang biasa—dompet, ponsel, kun
“Selamat tinggal, Krisna ....”Saat kembali ke ruang tamu, Radha terlihat lebih nyaman dalam pakaian barunya. Nakula tersenyum kecil. “Nah, sekarang lebih masuk akal. Kalau begitu, kita bisa langsung pergi?”Radha mengangguk. Ia mengambil tas kecilnya dan memeriksa sekali lagi untuk memastikan semua barang penting sudah terbawa. “Aku sudah siap.”“Tunggu,” ujar Nakula tiba-tiba. “Kakak yakin tidak ada yang perlu diberi tahu? Bibi Maryam, mungkin?”Radha menggeleng. “Aku sudah memberitahu Maryam bahwa aku akan pergi ke pesta Kakek Felix dan pulangnya bersama Krisna. Aku juga meminta dia dan para pelayan lain untuk istirahat lebih awal malam ini. Jadi mereka tidak akan curiga.”Nakula mengangguk, meski raut wajahnya masih dipenuhi kekhawatiran. “Baiklah. Ayo pergi sekarang, Kak. Sebelum ada siapa pun yang menyadarinya.”Radha mengangguk. Keduanya pun berjalan menuju tempat masuk Nakula tadi. Namun baru saja Radha membuka sedikit pintu dapur yang terhubung dengan gerbang samping, ada Pak
Radha duduk termenung di depan meja riasnya. Tatapan matanya kosong menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya sudah dipoles sempurna, gaun anggun berwarna biru tua membalut tubuhnya, rambutnya ditata dengan elegan. Namun, di balik keindahan penampilannya, ada luka yang tak terlihat. Luka yang terus menggerogoti hatinya.Pesta penting yang diadakan Kakek Felix seharusnya menjadi ajang untuk menunjukkan bahwa ia masih istri yang layak di mata keluarga Harlingga. Namun semua kejadian hari ini membuat Radha nyaris kehilangan energi untuk sekadar berdiri.Pikiran Radha berkelana ke peristiwa yang baru saja ia alami. "Apa lagi yang harus aku hadapi di pesta nanti?" ia bergumam, suaranya hampir tak terdengar.Dadanya terasa sesak saat mengingat bagaimana dirinya memergoki Krisna bersama Nindy, sahabat yang katanya paling Krisna cintai. Melihat mereka berdua saling berpelukan dengan sangat intim di dalam kamar pagi tadi masih terbayang jelas di p
"Selama ini aku sudah cukup diam dan mendengarkan semua kata-kata kalian," ucapnya, menatap tajam ke arah Freya. "Tapi kali ini, giliran kalian yang harus mendengarkanku." Freya menatap Radha dengan mata menyipit, jelas tidak suka dengan nada tegas yang digunakan Radha. Nirmala, yang tampak tidak terima melihat ibunya ditegur, langsung menyela, "Kak Radha, kau tidak bisa memperlakukan Ibuku seperti ini! Apa hakmu—" Radha menoleh tajam pada Nirmala, suaranya dingin namun tegas, "Tolong, Nirmala. Jangan menyela pembicaraan orang dewasa saat kami bicara." Nirmala terdiam seketika, wajahnya memerah karena malu dan marah, namun tak ada lagi kata-kata yang keluar dari bibirnya. "Ini adalah hidupku, pernikahanku, dan itu juga berlaku untuk Krisna. Biarkan kami berdua yang memutuskan apa yang terbaik untuk kami, bukan kalian," ujar Radha, suaranya tegas namun tidak terburu-buru. Dan setiap kata yang keluar seolah menghantam langsung ke hati pendengarnya. Freya tampak ingin membuka mulut
Radha menatap Nindy yang berdiri di ambang pintu dengan senyuman kecil di wajahnya. Kejutan tadi berubah menjadi ekspresi senang yang tak bisa ditutupi. “Benarkah kau ingin bercerai, Radha?” tanyanya dengan nada hampir penuh kegembiraan. “Itu berarti Krisna akan lepas darimu, dan aku—kami—bisa hidup bahagia bersama tanpa gangguan.” “Jangan asal bicara kau, ya?!” ujar Freya dengan nada tajam. “Tidak ada yang akan bercerai di sini. Kau pikir kami akan membiarkan Krisna dan Radha berpisah begitu saja? Tidak semudah itu.” Nindy mendengus pelan, menatap Freya dengan tatapan meremehkan. “Tante Freya, bukankah lebih baik jika mereka berpisah saja? Radha sendiri yang ingin berpisah, dan Krisna jelas tidak lagi menyukainya. Jadi, apa gunanya mempertahankan pernikahan yang sudah tidak diinginkan oleh kedua belah pihak?” Freya melipat tangan di dada, menatap Nindy tajam. “Siapa bilang? Kalau Krisna memang tidak menyukai Radha, terus kenapa sampai sekarang Krisna tidak juga menceraikan Radha?
Radha baru saja tiba di rumah setelah hari yang panjang dan melelahkan. Ia berharap bisa menemukan ketenangan di dalam rumah, tetapi pemandangan yang menyambutnya jauh dari apa yang ia bayangkan. Di ruang keluarga, Freya dan Nirmala, ibu tiri dan adik tirinya, tengah asyik menonton televisi sambil makan camilan dengan santai. Remah-remah berserakan di atas meja, lantai penuh dengan bungkus makanan yang dibiarkan berserakan, dan sofa pun terlihat berantakan karena mereka meletakkan kaki tanpa ragu. Seketika seorang pelayan datang menghampiri Radha dengan wajah cemas. "Maaf, Nyonya Radha, kami tak sengaja membiarkan mereka masuk. Tadi mereka langsung masuk tanpa permisi," kata pelayan itu dengan nada menyesal. Radha hanya tersenyum kecil dan menggelengkan kepala. “Tidak apa-apa. Terima kasih sudah memberitahu. Kau bisa lanjutkan pekerjaanmu saja,” jawab Radha dengan nada lembut. Setelah pelayan itu pergi, Radha melangkah mendekati Freya dan Nirmala. Baru saja ia sampai di depan s