BAB 8
Radha seketika terdiam. Tubuhnya membeku usai mendengar ucapan Freya. Kalimat tanpa perasaan yang keluar dari bibir Freya, bagaikan anak panah yang melesat begitu cepat dan menghancurkan jantung Radha. 'Nyawaku?' Sungguh sangat sulit dipercaya bahwa wanita di depannya, sosok orang tua yang seharusnya melindungi anak-anaknya, dengan begitu enteng meminta sesuatu yang sangat mengerikan. Mata Radha berkaca-kaca. Namun belum sempat ia merespon, Freya kembali mengikis jarak antara mereka berdua dan mendekatkan wajahnya ke telinga kanan Radha dengan senyuman penuh kebencian. “Pilihannya ada di tanganmu. Dan mari kita lihat, entah aku atau dirimu yang mati dalam pertaruhan ini.” Bisik Freya. Radha merinding, seluruh tubuhnya bergidik hebat. Dia ingin membantah ucapan ibu tirinya itu. Namun sebelum kata-kata itu bisa keluar dari bibirnya, Freya mencengkeram pergelangan tangan Radha dengan sangat kasar dan menyeretnya keluar dari rumah secara paksa. “Pergi kau dari sini!” Freya mendorong tubuh Radha hingga terjatuh ke atas ubin yang kasar dan keras. Pintu rumah berdebam hebat saat Freya menutupnya, meninggalkan Radha sendirian di teras rumah dengan perasaan campur aduk. Tak ada lagi yang bisa dibicarakan dengan ibu tirinya untuk saat ini. Jadi, dengan berat hati Radha memutuskan untuk pulang ke rumah dan mengistirahatkan sejenak pikiran beserta fisiknya yang terasa remuk. Di tengah perjalanan pulang, ponsel Radha berdering. Terlihat ada nama Gayatri, ibu mertuanya, tertera di layar. Untuk sesaat, ada rasa enggan memenuhi dadanya. Tetapi sulit baginya mengabaikan panggilan. “Ya, Ma?” Jawabnya pelan. “Radha, aku minta kau ke rumah sekarang juga. Ada hal penting yang ingin aku bicarakan.” Suara Gayatri terdengar tegas dan dingin, seperti biasanya. Tanpa memberi kesempatan Radha untuk bertanya, sambungan teleponnya telah diputus. Membuat Radha hanya bisa menghela napas panjang dan mengelus dada. Meski berat, tak ada yang bisa ia lakukan selain memenuhi panggilan tersebut. Setibanya di rumah Gayatri, Radha langsung disambut tatapan dingin milik ibu mertuanya. Di sana, sudah ada Nindy yang duduk di samping Gayatri dengan senyum licik di bibirnya. Seolah sudah siap untuk menonton pertunjukan drama yang ia ciptakan sendiri. “Duduk.” Perintah Gayatri tanpa basa basi. Radha menurut. Ia duduk di sofa yang tak jauh dari Gayatri dan Nindy berada. “Kau tahu kenapa aku memanggilmu ke sini?” tanya Gayatri kembali. Nada dinginnya begitu menusuk hati. Radha menggeleng pelan, seraya mencoba tetap bersikap tenang. “Tidak, Ma. Apa yang ingin Mama bicarakan denganku?” Gayatri mendengus sinis. “Aku sudah dengar semuanya dari Nindy tentang apa yang terjadi semalam. Krisna dalam kondisi mabuk berat yang membuatnya sulit untuk pulang sendirian. Beruntung ada Nindy yang dengan sukarela membawa Krisna pulang. Tapi kau, bukannya berterima kasih pada Nindy, kau justru mengusirnya pergi? Sikap macam apa itu, Radha?” “Ma, sudahlah,” Nindy meraih bahu Gayatri sembari memasang wajah bersalahnya. “Nindy tidak apa-apa. Hanya sekedar kaget saja karena tiba-tiba Radha bersikap seperti itu padaku. Mungkin dia cemburu melihat suaminya bersama orang lain, jadi tidak sadar akan kelakuannya semalam, Ma.” Kening Radha berkerut samar, dengan tatapan yang tak pernah lepas dari Nindy. Sandiwaranya untuk merebut dan menghasut ibu mertuanya sebagai wanita polos nan baik hati telah dimulai. Dan bodohnya, Gayatri mempercayainya. “Tidak apa-apa bagaimana, Nindy? Kau itu sudah dianggap seperti anak Mama sendiri? Jelas saja Mama tidak terima jika ada orang lain yang bersikap kurang ajar padamu.” Ujar Gayatri, tak terima. “Maafkan aku, Ma. Tapi orang lain yang Mama maksud, adalah menantu Mama sendiri.” Kata Radha menginterupsi, berniat membela diri. “Dan bukankah, Mama juga seharusnya mendengarkan penjelasan dari pihakku?” “Aku tidak membutuhkan penjelasan apapun darimu, Radha,” tolak Gayatri. “Meski kau telah menikah dengan Krisna, bukan berarti aku menerimamu sebagai anggota keluarga kami. Bagiku, hanya Nindylah pasangan yang paling tepat untuk Krisna. Dia adalah bagian keluarga Harlingga. Jadi dengan mengusirnya, sama saja kau telah menghinaku!” “Tapi aku tidak pernah mengusirnya, Ma,” kata Radha, berusaha meyakinkan Gayatri. “Aku hanya meminta pelayan yang ada di rumah untuk mengantarnya pulang, sebab kemarin sudah terlalu malam. Dan tidak baik wanita muda seperti Nindy dibiarkan sendirian di malam hari. Terlebih saat ia dengan sengaja masuk ke dalam kamar suamiku tanpa sopan santun dan tidak menghargaiku sebagai istrinya.” Nindy yang tadinya tenang, mendadak meledak. “Apa maksudmu berkata seperti itu, Radha? Aku tidak punya sopan santun?” suaranya melengking penuh kemarahan. “Mulutmu ini tidak pernah diajarkan dengan baik, ya?” Gayatri turut menyambar, wajahnya memerah. “Nindy ini wanita yang sangat sopan, kau tahu? Dia tidak sebanding denganmu. Kalau pun dia tidak menghargaimu sebagai istrinya, itu pasti karena kesalahanmu sendiri yang tidak becus menjaga dan merawat Krisna. Lagi pula rumah itu milik Krisna. Dan Nindy, bebas melakukan apa saja yang dia mau di rumah itu. Kau mengerti?” Radha tersenyum kecut mendengar perkataan ibu mertuanya sendiri. Bagaimana bisa dia mengatakan hal semenyakitkan itu, padahal dia juga seorang perempuan. Seorang istri. Tidak bisakah ibu mertuanya melihat luka yang ada di dalam hatinya? Tapi Radha tahu, tak ada gunanya berdebat panjang lebar. Apapun yang dikatakan Radha untuk membela diri, tidak akan pernah didengar oleh Gayatri. Sebab, Nindy pasti sudah lebih dulu memutarbalikkan semua fakta yang ada dengan wajah palsunya. Meski begitu, Radha sudah memutuskan untuk tidak tinggal diam saat dirinya dihina. “Ma, kita ini sama-sama perempuan. Jika seandainya saja aku, atau wanita lain mengatakan sesuatu hal yang sama dengan apa yang mama ucapkan barusan, kalau Tante Luna lebih baik dari Mama, makanya Ayah masih mencintainya hingga sekarang? Kira-kira bagaimana perasaan Mama?” Ekspresi wajah Gayatri mengeras hingga kemerahan karena amarahnya. Kedua matanya melotot, menatap benci pada Radha. Tak bisa dipercaya, wanita seperti Radha telah berani mengatakan hal semacam itu pada Gayatri. Nindy bahkan sampai dibuat terkejut olehnya. “Kau bilang apa barusan?” Gayatri menggeram, suaranya rendah namun penuh amarah. Tangannya mengepal kuat di atas pahanya, bergetar menahan kemarahan yang sudah mendidih di dalam dirinya. Hingga tanpa peringatan, Gayatri menghantam meja di depannya dengan keras, membuat benda-benda di atasnya bergetar. “Wanita tidak tahu malu. Kau ingin aku merobek mulutmu yang kurang ajar itu, hah?!”“Wanita tidak tahu malu. Kau ingin aku merobek mulutmu yang kurang ajar itu, hah?!” Gayatri memekik, tangannya menunjuk Radha seolah ingin menerkamnya. “Kau pikir kau siapa?! Istri yang tak becus menjaga suaminya sendiri, berani bicara seolah kau lebih baik dariku?” Di tengah amukan Gayatri, Nindy melangkah maju berusaha menenangkannya dengan tatapan licik yang tidak bisa disembunyikan. “Sudah, Ma, tenanglah. Tolong jaga tensi Mama. Dan jangan biarkan orang seperti dia merusak suasana hati kita,” Nindy menyindir dengan suara lembut namun sarat sindiran. “Seseorang yang tumbuh dalam keluarga yang hanya mementingkan uang, tidak akan pernah bisa menghormati orang lain dengan benar. Mereka hanya tahu soal uang. Tidak dengan kesopanan.” “Kalau begitu, tindakan yang menjerumuskan anaknya dengan menawarkan wanita lain sebagai pengganti yang dianggapnya ‘layak’, apakah pantas disebut sebagai orang tua yang baik?” Balas Radha, balik menatap tajam ke arah Nindy dan Gayatri secara bergantian.
“Kau yakin dengan apa yang kau lihat?"“Iya, Nyonya Radha,” katanya dengan suara rendah. “Tuan Krisna ... bersama wanita yang bernama Nindy itu ... kini tengah berada di Keraton.”Tubuh wanita berambut panjang hitam bergelombang itu nyaris tumbang ke lantai, andai saja tidak segera berpegangan pada sandaran kursi yang ada di sampingnya.'Sudah sejauh itukah hubungan mereka berdua sekarang?' batin Radha bergejolak. Dadanya kian terasa sesak.Pernikahan mereka memang terjadi karena ikatan bisnis. Kakek Krisna meminta Radha menjadi istri cucunya sebagai ganti dana investasi untuk perusahaan mendiang ayah Radha. Meski begitu, Radha tetap bersikap sebagai istri sempurna dengan harapan suatu saat nanti, sikap dingin dan tak acuh Krisna padanya secara perlahan bisa mencair.Namun faktanya, selama lima tahun pernikahan, Krisna tak kunjung membuka hati pada Radha. Bahkan setelah Nindy, mantan kekasihnya hadir kembali di kehidupan sang suami, keberadaannya sudah tak dianggap sama sekali.Bagi
“Krisna….” Suara Radha bergetar melihat Krisna ternyata menyusulnya keluar. “Krisna, aku mohon padamu, jangan marah pada Kak Saga. Dia hanya berniat menolongku.” Dengan satu sentakan kuat, Krisna melepaskan mengempas tubuh Radha dari Saga hingga membuat tubuh wanita mungil itu menghantam dinding. “Krisna, apa begitu caramu memperlakukan istri?!” Krisna tidak menyahuti pertanyaan kakaknya dan berpaling menatap tajam ke arah Radha. “Jadi, tidak berhasil mendapatkanku, sekarang kau beralih mengejar Saga? Begitu?” Hati Radha mencelos mendengar tuduhan Krisna. Tiap perkataan yang keluar dari bibir Krisna, terasa seperti ribuan pisau yang menusuk jantung Radha. Serendah itukah dirinya di mata Krisna? Cairan bening kembali mengambang di pelupuk mata Radha yang menatap Krisna dengan tatapan terluka. “Apa kau gila, Krisna?” Saga maju selangkah mendekati Krisna. “Bagaimana bisa kau berpikiran seperti itu pada istrimu sendiri?!” “Diam kau, anak haram!” Krisna balas meneriaki Saga d
“A-apa maksud Kakek?” Radha dan Krisna spontan saling pandang. Mereka berusaha mencoba mencerna kembali ucapan yang baru saja keluar dari mulut Kakek Felix. Kata-kata —pengganti— itu, membuat udara di sekitar mereka semakin tegang.Kakek Felix masih dengan ekspresi datar, dan sorot mata yang tak pernah lepas dari Krisna. "Radha harus melahirkan seorang putra, calon pewaris keluarga Harlingga," lanjutnya, dan kali ini terdengar lebih tajam. "Jika tidak, jangan harap kalian bisa menjalani hidup dengan nyaman."Emosi Krisna yang semula sudah tertahan, kini kembali meluap. “Aku tidak mencintai Radha, Kakek. Bagaimana bisa aku melakukannya!”"Keputusanku sudah bulat," ucapnya dengan nada yang dingin namun penuh wibawa. “Kau boleh tidak mencintai Radha, tapi kau tetap seorang Harlingga. Tanggung jawabmu adalah memastikan garis keturunan ini terus berlanjut. Jika kau tidak bisa, maka persiapkan dirimu untuk kehilangan semuanya.”Radha kembali termenung. Lagi, untuk kedua kalinya ia dibuat t
"Apa kau sedang mengajakku bercanda?" Krisna menyentuh pipinya yang perih, keningnya berkerut samar. Ia menyeringai dingin. “Kau harusnya bersyukur. Kakek Felix pasti sangat senang saat tahu ‘boneka’ cantiknya telah berhasil memberikan seorang ‘pengganti’ diriku.” Radha menatap Krisna dengan sorot mata yang penuh luka. Ia masih tak menyangka bahwa Krisna bisa menilainya serendah itu. Dengan tangan gemetar, Radha menyeka air matanya dan mencoba mengambil napas dalam-dalam. “Krisna …,” suara Radha bergetar, menahan tangis. “Kalau memang itu yang kau pikirkan tentang diriku … maka … aku tidak akan membantahnya lagi.” "Akhirnya, kau menunjukkan warna aslimu yang sebenarnya,” ujar Krisna dengan suara rendah namun sarat akan ejekan. “Jika itu yang kau percayai, maka anggap saja begitu.” Ucap Radha. Ia berpikir, tak ada gunanya menjelaskan apapun pada Krisna, sebab pria itu sudah mempunyai label buruk untuknya. Ketegangan kembali memenuhi udara saat Krisna menatap Radha dengan penu
Radha menarik napas panjang saat berdiri di depan pintu rumah Freya, ibu tirinya. Untuk sesaat, ada semacam beban berat yang menggantung di hatinya. “Bu, ada yang ingin aku bicarakan,” kata Radha, berusaha tetap tenang.Freya sedang duduk di ruang tamu dengan ponsel genggamnya ketika Radha masuk. Perhatiannya seketika teralihkan, ia melayangkan pandangan tajam yang begitu menusuk ke arah Radha. “Soal apa? Jika ini menyangkut masalah rumah tanggamu dengan Krisna, maka simpan saja untuk dirimu sendiri.” Freya mengangkat alisnya, tanda tidak sabar. “Aku sudah memberikanmu begitu banyak saran yang bisa kau lakukan, tapi tetap saja tak bisa memenangkan hati suamimu sendiri. Kau memang payah!”Radha tertunduk sejenak, lalu menggeleng pelan. Menciptakan kerutan halus di dahi Freya. Sementara itu, kedua tangan Radha yang terasa dingin, meremas kuat gagang tasnya.“Bukan? Lalu tentang apa? Katakan dengan cepat, karena sejam lagi aku harus pergi arisan dengan ibu-ibu pejabat di Bunga Rampai.”