Gita Sandika seorang ASN yang ingin berpisah dengan Bram-suaminya. Bram yang mengikuti pemilihan kepala desa dan gagal selalu menyalahkan serta menuduh kegagalannya disebabkan oleh Gita yang kurang mendukungnya. Bram dan keluarganya juga kerap bersikap semena-mena. Gaji Gita selama bekerja habis untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kodrat Gita sebagai tulang rusuk pun berganti menjadi tulang punggung. Gita sudah muak dan sangat menginginkam perpisahan namun Gita dihadapkan pada kenyataan bahwa semua hutang di keluarga itu atas namanya. Gita tidak siap kalau harus menanggung semuanya sendiri. Akhirnya Gita menyusun rencana agar ia bisa terlepas dari Bram tapi juga tidak rugi menanggung hutang. Akankah Gita berhasil?
View MorePerlakuan Mas Bram semakin menjadi. Dia tak segan menyakiti hanya demi menjaga citra diri. Dia lupa jika dia tak punya apa-apa selain hutang. Aku pun berusaha memberontak dengan menyingkirkan tangannya.“Kamu gak usah ribut. Kamu tanya sendiri ke Mbak Norma soal lemari sama kerudung. Mbak Norma juga lagi di rumah,” ujar Mas Bram.Segera kuhirup udara banyak-banyak. Sungguh sikap Mas Bram sudah keterlaluan. Aku bisa saja berteriak atau membalas perlakuannya tapi aku mengingat pesan Nur. Tarik ulur dan sabar.Aku pun memikirkan hal lain. Selama ini aku nyaris tidak pernah membantah dan melawan maka sekarang momen yang tepat. Kusisir kerudung warna apa yang hilang dari tempatnya dan kebetulan itu kerudung seragamku hari jumat. Maka aku tidak akan tinggal diam. Kulangkahkan kaki dengan mantap menuju rumah saksi bisu penderitaanku. “Mbak Norma!” panggilku tanpa mengucap salam dulu. Mas Bram yang tadi akan ke ruang tamu pun berhenti. “Mbak Norma!” panggilku lagi dari pintu terhubung seraya
Tadinya aku berencana tidak pulang ke rumah dan langsung kembali ke hotel setelah mengajar. Namun, niatku gagal begitu wajah Mas Bram nampak memasuki gedung sekolahku. Dia pasti marah besar karena aku juga tidak mengaktifkan telepon.“Kita bicara di luar gerbang. Jangan di sini,” ujarku saat Mas Bram meminta waktu.“Kenapa harus di luar? Kamu malu punya suami kaya aku?”Rasanya ingin kujawab iya tepat di depan wajahnya, tapi aku menahan diri mengingat aku sedang bekerja. Kuabaikan sikap Mas Bram sambil terus berjaan keluar dari gerbang sekolah.“Kamu kemana semalam? Ngluyur kemana?” desak Mas Bram.“Aku ke tempat Nur. Mau pulang udah kemaleman jadinya nginep.”“Nur?”Aku mengangguk kecil. Malas menjelaskan.“Nur yang janda itu?” tanya Mas Bram mengingat nama temanku.“Dia udah nikah lagi.”“Dia yang janda di desa kita itu. Oh kamu masih bergaul sama dia? Jangan-jangan kamu mau ….”“Diem, Mas. Gak usah sok nuduh-nuduh orang. Aku ke sana juga gara-gara kamu.”“Gara-gara aku? Apa hubunga
Dari semua hal yang kualami, masih ada yang aku syukuri. Aku bukan perempuan yang datang ke tempat Mas Bram tanpa modal. Ya, aku memang tidak memiliki keluarga tapi setidaknya aku memiliki pekerjaan. Sebuah keberuntungan dan berkah tersendiri bagiku. Maka aku tak ambil pusing saat Nur menjawab dia ada di salah satu hotel di kabupaten. Aku akan menyambanginya. Meski membutuhkan waktu tempuh selama satu jam.“Gila. Aku pikir gak serius, Git,” ucap Nur saat melihatku ada di depan pintu kamar yang ia pesan.“Aku tidak punya tempat, Nur. Kamu tau sendiri aku gak ada keluarga di sini.”“Iya ngerti tapi ini hari rabu loh. Kamu besok kan ngajar.”Aku melambaikan tangan. Lebih dulu merebahkan diri di kasur empuk di kamar itu. “Bodo amat. Aku mau kabur malam ini.”Nur pun terperanjat. Dia ikut naik ke ranjang dengan posisi duduk. “Seorang Gita Sandika yang taatnya luar biasa sama suami dan ibu mertua?”Lagi aku mengibaskan tangan. “Aku udah gak kuat, Nur. Aku lama-lama bisa gila kalau terus-ter
Sepanjang pembelajaran di sekolah pikiranku menjadi tidak fokus. Aku hanya menyelesaikan tugas ala kadarnya sambil menunggu jam pulang. Mendampingi anak-anak sampai sore juga kurang maksimal. Aku terus kepikiran setelah mau tak mau harus merelakan uang lima ratus ribu di pertengahan bulan. Semua itu kulakukan demi menutupi malu. Demi menjaga maruah suami dan rumah tangga yang di ujung tanduk. Sambil bersiap pulang aku masih terus kepikiran. Aku pun menggeleng. Ini tidak boleh terjadi lagi. Aku berjanji ini yang terakhir kali. Setelah ini tak akan ada hal-hal semacam itu lagi. Aku pun pulang dengan membawa perasaan marah.“Apa-apaan kamu, Mas! Kamu bilang nitip uangnya ke aku? Uang apa? Uang yang mana?” cecarku begitu sampai rumah dan mendapati Mas Bram sedang bersantai di ruang TV sambil merokok.“Besok aku ganti,” jawabnya enteng.“Ganti kata kamu? Mau ganti pake apa? Uang belanja aja kamu gak kasih. Setiap hari kerjaanmu cuma luntang lantung gak jelas,” protesku.Mas Bram menyesap
PLAK!!!Sebuah pukulan mendarat di wajahku. Sontak membuatku tersentak. "Apa-apaan kau, Mas!" pekikku tak terima."Kau bilang apa tadi? Kau minta cerai dariku? Jangan mimpi!" timpal Mas Bram emosi."Kenapa tidak boleh, Mas? Kenapa? Aku sudah muak dengan semua ini."Mas Bram kembali mendekat. "Ingat, Gita. Hutang kita belum beres. Selama hutang itu belum lunas, jangan mimpi untuk bisa cerai dariku.""Itu hutangmu, Mas bukan hutangku! Dari awal aku sudah tidak setuju dengan ambisimu. Tapi kamu tidak pernah mau mendengarkan. Sekarang setelah semuanya terjadi dan kamu bangkrut, kamu baru menyesal, hah?"Mata Mas Bram membulat. Wajahnya memerah. Jelas dia yang sejak pertama sudah memiliki sikap tempramental sangat terpancing oleh kata-kataku."Memangnya aku gagal karena siapa? Memangnya kamu tidak tahu apa penyebab orang-orang tidak memilihku, hah?" Tangan Mas Bram menunjuk tepat di keningku. "Karena kamu. Karena aku memiliki istri seperti kamu. Semua orang tidak suka dengan karakter perem
PLAK!!!Sebuah pukulan mendarat di wajahku. Sontak membuatku tersentak. "Apa-apaan kau, Mas!" pekikku tak terima."Kau bilang apa tadi? Kau minta cerai dariku? Jangan mimpi!" timpal Mas Bram emosi."Kenapa tidak boleh, Mas? Kenapa? Aku sudah muak dengan semua ini."Mas Bram kembali mendekat. "Ingat, Gita. Hutang kita belum beres. Selama hutang itu belum lunas, jangan mimpi untuk bisa cerai dariku.""Itu hutangmu, Mas bukan hutangku! Dari awal aku sudah tidak setuju dengan ambisimu. Tapi kamu tidak pernah mau mendengarkan. Sekarang setelah semuanya terjadi dan kamu bangkrut, kamu baru menyesal, hah?"Mata Mas Bram membulat. Wajahnya memerah. Jelas dia yang sejak pertama sudah memiliki sikap tempramental sangat terpancing oleh kata-kataku."Memangnya aku gagal karena siapa? Memangnya kamu tidak tahu apa penyebab orang-orang tidak memilihku, hah?" Tangan Mas Bram menunjuk tepat di keningku. "Karena kamu. Karena aku memiliki istri seperti kamu. Semua orang tidak suka dengan karakter perem
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments