Tadinya aku berencana tidak pulang ke rumah dan langsung kembali ke hotel setelah mengajar. Namun, niatku gagal begitu wajah Mas Bram nampak memasuki gedung sekolahku. Dia pasti marah besar karena aku juga tidak mengaktifkan telepon.
“Kita bicara di luar gerbang. Jangan di sini,” ujarku saat Mas Bram meminta waktu.“Kenapa harus di luar? Kamu malu punya suami kaya aku?”Rasanya ingin kujawab iya tepat di depan wajahnya, tapi aku menahan diri mengingat aku sedang bekerja. Kuabaikan sikap Mas Bram sambil terus berjaan keluar dari gerbang sekolah.“Kamu kemana semalam? Ngluyur kemana?” desak Mas Bram.“Aku ke tempat Nur. Mau pulang udah kemaleman jadinya nginep.”“Nur?”Aku mengangguk kecil. Malas menjelaskan.“Nur yang janda itu?” tanya Mas Bram mengingat nama temanku.“Dia udah nikah lagi.”“Dia yang janda di desa kita itu. Oh kamu masih bergaul sama dia? Jangan-jangan kamu mau ….”“Diem, Mas. Gak usah sok nuduh-nuduh orang. Aku ke sana juga gara-gara kamu.”“Gara-gara aku? Apa hubungannya?”“Aku pinjem uang ke Nur buat nyambung hidup. Uangku udah habis buat bayar utang kamu ke pak Tio. Kamu lupa?” ujarku sengaja. Jika bukan perkara utang, Mas Bram akan menanyakan lebih banyak. Dan itu membuatku malas.“Gak usah sok miskin begitu. Biasanya juga gajian lagi, kan?”“Gajian dari mana? Gaji pokokku juga udah abis buat utang kan langsung ke potong. Tambah pinjaman baru yang kamu masukan atas namaku. Habis itu.”Mas Bram mengangkat tangan. “Udah gak usah bahas utang sekarang. Jadi semalem kamu nginep di sana?”“Iya,” jawabku ketus.“Ya udah yang penting nanti pulang. Kalau ibu apa Mbak Norma tanya bilang aja habis diklat. Jangan bilang ke rumah temen.”“Emangnya kenapa, Mas? Kenapa aku harus bohong ke mereka?”Mas Bram menggeleng. “Kita masih jadi omongan di desa. Aku gak mau nambah masalah. Aku gak mau rumor yang tersebar tambah banyak. Pokoknya kita baik-baik aja.”Sumpah aku muak dengan sikap Mas Bram. Dia masih terlalu percaya diri. Dia tidak pernah melihat dengan matanya secara benar. Dia hidup seolah-olah semua orang menyukainya termasuk aku.Akupun ingin membalas ucapannya namun bel tanda pembelajaran berikutnya berbunyi. “Kamu masuk, gih nanti telat. Kalau bisa telat datang bulan aja, Git jangan telat kerja ya.”Astaghfirullah, di saat seperti ini Mas Bram masih sempat menyakitiku dengan ucapannya. “Aku pamit, Git. Pastikan pulang on time jam empat sampai rumah.”Aku tak menjawab dan tak juga menyodorkan tangan untuk meraih punggung tangannya. Aku benar-benar muak. Kubiarkan Mas Bram pergi begitu saja seraya bersiap kembali ke kegiatanku di sekolah. Berkali-kali kuhela napas untuk menghalau sesak.Telat datang bulan katanya? Enteng sekali Mas Bram berkata seperti itu. Mas Bram jelas sangat paham aku sangat tidak suka dengan hal-hal yang berbau seperti itu. Dulu, dulu sekali saat awal kami menikah kami nyaris mendapatkannya. Andai saja aku tidak kelelahan. Setelah bekerja di sekolah selama awal menikah aku harus membantu ibu mertua memilah buah. Beliau melakukan packing sendiri tanpa ada pekerja dan salah satu orang yang menjadi sasarannya adalah aku. Tak hanya membantu packing, aku juga masih harus mengurus rumah mulai dari memasak, mencuci dan membersihkan rumah. Akibatnya aku keguguran dan sampai tahun ke delapan tak kunjung datang momongan.Aku mengusap wajah. Mataku juga mulai menghangat. Meski episode itu sudah lewat, pedihnya masih kerap kurasakan. Apalagi saat Mbak Norma dan Mas Galih membanggakan anak mereka yang baru lahir di tahun ketiga pernikahan kami.“Kok bisa ya kita yang nikahnya telat udah agak tua malah cepet dapat anak. Kalian yang masih muda dan bugar kok gak ada hasilnya.”“Gita kerja terus, Mas. Kadang lembur sampai malam ngurus administrasi segala. Ya gitu lah jadinya kurang maksimal,” timpal Mas Bram tanpa merasa risih.“Dikurangin, Git. Jangan kecapean kalau mau cepet dapet momongan. Kaya aku fokus di rumah kan langsung nih,” jawab Mbak Norma. Kalau tidak karena keharusan aku sudah pergi. Aku tidak akan ikut menjenguk Mbak Norma karena pasti mereka hanya mengolok ku saja. “Ada ramuan khusus gak, Mbak? Herbal apa jamu gitu biar Gita subur?” tanya Mas Bram yang malah lebih antusias.“Ramuannya cukup satu kok. Layani suami dengan sepenuh hati.”Seketika aku ingin muntah mengingat percakapan itu. Benar-benar memuakkan. “Mbak Gita kenapa?” tanya salah satu rekan kerjaku.“Oh, enggak apa-apa, Bu. Ini kok tiba-tiba eneg aja, Bu.”“Jangan-jangan Mbak Gita ….”Segera aku menggeleng. Tidak aku tidak mungkin hamil. Selama ini melakukan hubungan badan dengan Mas Bram kami selalu gagal. Aku sedang tidak mengharapkan momongan di momen-momen sekarang. Aku sedang ingin bercerai.“Masuk angin kayaknya, Bu,” timpalku seraya bersiap pergi dari meja kerja. “Saya ngajar dulu ya, Bu.”“Oke, Mbak. Semoga tebakan saya benar, ya.”***Moodku menjadi sangat berantakan setelah Mas Bram datang ke sekolah dan obrolan tak penting soal momongan tadi. Aku juga ingin kembali ke hotel tapi Nur sudah lebih dulu mengirim WA.[Tarik ulur dulu, Git. Kamu juga harus ngecek rumah. Jangan-jangan pas kamu pergi misal barang-barang kamu ada yang raib. Kan sayang.]Ucapan Nur benar sekali. Aku tetap harus terlihat di rumah dan menunjukkan hakku atas rumah itu sebelum semuanya selesai kuurus. Perihal sertifikat dan lain lain aku juga belum begitu paham. Akhirnya aku kembali ke tempat itu dengan segenap perasaan yang berusaha aku tebalkan. Apapun tanggapan mereka nanti aku tidak boleh memikirkannya.Baru memarkirkan motor sudah terdengar keramaian dari dalam. Cukup menyebalkan karena Mas Bram menerima tamu di jam kepulanganku. Setelah mengucap salam dan tersenyum sekenanya aku langsung masuk. Dan betapa terkejutnya aku saat mendapati kamar yang sebelum kutinggalkan sudah rapi jadi berantakan.“Mas, Mas ke sini sebentar!” teriakku dari dalam. Aku malas kalau harus keluar dan berbasa basi dengan orang-orang yang jelas tidak mendukung Mas Bram tapi masih berpura-pura baik.“Ada apa, Git? Berisik banget manggil-manggil.”“Ini kamarku kenapa? Siapa yang ngacak-acak baju sama kerudung aku di lemari?” tanyaku penuh kekesalan. Bahkan sprei juga sangat berantakan.“Oh tadi Mbak Norma mau minjem kerudung katanya nyari yg warna apa gitu tapi aku gak ngerti jadi ya udah aku suruh ambil sendiri.”“Terus kamu biarin diacak-acak kayak gini?!” tanyaku setengah berteriak.“Jangan kenceng-kenceng, Git. Lagi ada tamu. Itu paling Aidan ikut makanya berantakan.”“Nggak mungkin. Aidan gak mungkin ngacak-acak begini. Ini pasti Mbak Norma,” protesku.Tiba-tiba Mas Bram menutup pintu. Dia mendorongku ke tembok sambil membekap mulutku. “Kamu bisa diam gak? Udah pulang telat sekarang bikin gaduh. Aku lagi ada tamu,” desisnya.Perlakuan Mas Bram semakin menjadi. Dia tak segan menyakiti hanya demi menjaga citra diri. Dia lupa jika dia tak punya apa-apa selain hutang. Aku pun berusaha memberontak dengan menyingkirkan tangannya.“Kamu gak usah ribut. Kamu tanya sendiri ke Mbak Norma soal lemari sama kerudung. Mbak Norma juga lagi di rumah,” ujar Mas Bram.Segera kuhirup udara banyak-banyak. Sungguh sikap Mas Bram sudah keterlaluan. Aku bisa saja berteriak atau membalas perlakuannya tapi aku mengingat pesan Nur. Tarik ulur dan sabar.Aku pun memikirkan hal lain. Selama ini aku nyaris tidak pernah membantah dan melawan maka sekarang momen yang tepat. Kusisir kerudung warna apa yang hilang dari tempatnya dan kebetulan itu kerudung seragamku hari jumat. Maka aku tidak akan tinggal diam. Kulangkahkan kaki dengan mantap menuju rumah saksi bisu penderitaanku. “Mbak Norma!” panggilku tanpa mengucap salam dulu. Mas Bram yang tadi akan ke ruang tamu pun berhenti. “Mbak Norma!” panggilku lagi dari pintu terhubung seraya
PLAK!!!Sebuah pukulan mendarat di wajahku. Sontak membuatku tersentak. "Apa-apaan kau, Mas!" pekikku tak terima."Kau bilang apa tadi? Kau minta cerai dariku? Jangan mimpi!" timpal Mas Bram emosi."Kenapa tidak boleh, Mas? Kenapa? Aku sudah muak dengan semua ini."Mas Bram kembali mendekat. "Ingat, Gita. Hutang kita belum beres. Selama hutang itu belum lunas, jangan mimpi untuk bisa cerai dariku.""Itu hutangmu, Mas bukan hutangku! Dari awal aku sudah tidak setuju dengan ambisimu. Tapi kamu tidak pernah mau mendengarkan. Sekarang setelah semuanya terjadi dan kamu bangkrut, kamu baru menyesal, hah?"Mata Mas Bram membulat. Wajahnya memerah. Jelas dia yang sejak pertama sudah memiliki sikap tempramental sangat terpancing oleh kata-kataku."Memangnya aku gagal karena siapa? Memangnya kamu tidak tahu apa penyebab orang-orang tidak memilihku, hah?" Tangan Mas Bram menunjuk tepat di keningku. "Karena kamu. Karena aku memiliki istri seperti kamu. Semua orang tidak suka dengan karakter perem
Sepanjang pembelajaran di sekolah pikiranku menjadi tidak fokus. Aku hanya menyelesaikan tugas ala kadarnya sambil menunggu jam pulang. Mendampingi anak-anak sampai sore juga kurang maksimal. Aku terus kepikiran setelah mau tak mau harus merelakan uang lima ratus ribu di pertengahan bulan. Semua itu kulakukan demi menutupi malu. Demi menjaga maruah suami dan rumah tangga yang di ujung tanduk. Sambil bersiap pulang aku masih terus kepikiran. Aku pun menggeleng. Ini tidak boleh terjadi lagi. Aku berjanji ini yang terakhir kali. Setelah ini tak akan ada hal-hal semacam itu lagi. Aku pun pulang dengan membawa perasaan marah.“Apa-apaan kamu, Mas! Kamu bilang nitip uangnya ke aku? Uang apa? Uang yang mana?” cecarku begitu sampai rumah dan mendapati Mas Bram sedang bersantai di ruang TV sambil merokok.“Besok aku ganti,” jawabnya enteng.“Ganti kata kamu? Mau ganti pake apa? Uang belanja aja kamu gak kasih. Setiap hari kerjaanmu cuma luntang lantung gak jelas,” protesku.Mas Bram menyesap
Dari semua hal yang kualami, masih ada yang aku syukuri. Aku bukan perempuan yang datang ke tempat Mas Bram tanpa modal. Ya, aku memang tidak memiliki keluarga tapi setidaknya aku memiliki pekerjaan. Sebuah keberuntungan dan berkah tersendiri bagiku. Maka aku tak ambil pusing saat Nur menjawab dia ada di salah satu hotel di kabupaten. Aku akan menyambanginya. Meski membutuhkan waktu tempuh selama satu jam.“Gila. Aku pikir gak serius, Git,” ucap Nur saat melihatku ada di depan pintu kamar yang ia pesan.“Aku tidak punya tempat, Nur. Kamu tau sendiri aku gak ada keluarga di sini.”“Iya ngerti tapi ini hari rabu loh. Kamu besok kan ngajar.”Aku melambaikan tangan. Lebih dulu merebahkan diri di kasur empuk di kamar itu. “Bodo amat. Aku mau kabur malam ini.”Nur pun terperanjat. Dia ikut naik ke ranjang dengan posisi duduk. “Seorang Gita Sandika yang taatnya luar biasa sama suami dan ibu mertua?”Lagi aku mengibaskan tangan. “Aku udah gak kuat, Nur. Aku lama-lama bisa gila kalau terus-ter
Perlakuan Mas Bram semakin menjadi. Dia tak segan menyakiti hanya demi menjaga citra diri. Dia lupa jika dia tak punya apa-apa selain hutang. Aku pun berusaha memberontak dengan menyingkirkan tangannya.“Kamu gak usah ribut. Kamu tanya sendiri ke Mbak Norma soal lemari sama kerudung. Mbak Norma juga lagi di rumah,” ujar Mas Bram.Segera kuhirup udara banyak-banyak. Sungguh sikap Mas Bram sudah keterlaluan. Aku bisa saja berteriak atau membalas perlakuannya tapi aku mengingat pesan Nur. Tarik ulur dan sabar.Aku pun memikirkan hal lain. Selama ini aku nyaris tidak pernah membantah dan melawan maka sekarang momen yang tepat. Kusisir kerudung warna apa yang hilang dari tempatnya dan kebetulan itu kerudung seragamku hari jumat. Maka aku tidak akan tinggal diam. Kulangkahkan kaki dengan mantap menuju rumah saksi bisu penderitaanku. “Mbak Norma!” panggilku tanpa mengucap salam dulu. Mas Bram yang tadi akan ke ruang tamu pun berhenti. “Mbak Norma!” panggilku lagi dari pintu terhubung seraya
Tadinya aku berencana tidak pulang ke rumah dan langsung kembali ke hotel setelah mengajar. Namun, niatku gagal begitu wajah Mas Bram nampak memasuki gedung sekolahku. Dia pasti marah besar karena aku juga tidak mengaktifkan telepon.“Kita bicara di luar gerbang. Jangan di sini,” ujarku saat Mas Bram meminta waktu.“Kenapa harus di luar? Kamu malu punya suami kaya aku?”Rasanya ingin kujawab iya tepat di depan wajahnya, tapi aku menahan diri mengingat aku sedang bekerja. Kuabaikan sikap Mas Bram sambil terus berjaan keluar dari gerbang sekolah.“Kamu kemana semalam? Ngluyur kemana?” desak Mas Bram.“Aku ke tempat Nur. Mau pulang udah kemaleman jadinya nginep.”“Nur?”Aku mengangguk kecil. Malas menjelaskan.“Nur yang janda itu?” tanya Mas Bram mengingat nama temanku.“Dia udah nikah lagi.”“Dia yang janda di desa kita itu. Oh kamu masih bergaul sama dia? Jangan-jangan kamu mau ….”“Diem, Mas. Gak usah sok nuduh-nuduh orang. Aku ke sana juga gara-gara kamu.”“Gara-gara aku? Apa hubunga
Dari semua hal yang kualami, masih ada yang aku syukuri. Aku bukan perempuan yang datang ke tempat Mas Bram tanpa modal. Ya, aku memang tidak memiliki keluarga tapi setidaknya aku memiliki pekerjaan. Sebuah keberuntungan dan berkah tersendiri bagiku. Maka aku tak ambil pusing saat Nur menjawab dia ada di salah satu hotel di kabupaten. Aku akan menyambanginya. Meski membutuhkan waktu tempuh selama satu jam.“Gila. Aku pikir gak serius, Git,” ucap Nur saat melihatku ada di depan pintu kamar yang ia pesan.“Aku tidak punya tempat, Nur. Kamu tau sendiri aku gak ada keluarga di sini.”“Iya ngerti tapi ini hari rabu loh. Kamu besok kan ngajar.”Aku melambaikan tangan. Lebih dulu merebahkan diri di kasur empuk di kamar itu. “Bodo amat. Aku mau kabur malam ini.”Nur pun terperanjat. Dia ikut naik ke ranjang dengan posisi duduk. “Seorang Gita Sandika yang taatnya luar biasa sama suami dan ibu mertua?”Lagi aku mengibaskan tangan. “Aku udah gak kuat, Nur. Aku lama-lama bisa gila kalau terus-ter
Sepanjang pembelajaran di sekolah pikiranku menjadi tidak fokus. Aku hanya menyelesaikan tugas ala kadarnya sambil menunggu jam pulang. Mendampingi anak-anak sampai sore juga kurang maksimal. Aku terus kepikiran setelah mau tak mau harus merelakan uang lima ratus ribu di pertengahan bulan. Semua itu kulakukan demi menutupi malu. Demi menjaga maruah suami dan rumah tangga yang di ujung tanduk. Sambil bersiap pulang aku masih terus kepikiran. Aku pun menggeleng. Ini tidak boleh terjadi lagi. Aku berjanji ini yang terakhir kali. Setelah ini tak akan ada hal-hal semacam itu lagi. Aku pun pulang dengan membawa perasaan marah.“Apa-apaan kamu, Mas! Kamu bilang nitip uangnya ke aku? Uang apa? Uang yang mana?” cecarku begitu sampai rumah dan mendapati Mas Bram sedang bersantai di ruang TV sambil merokok.“Besok aku ganti,” jawabnya enteng.“Ganti kata kamu? Mau ganti pake apa? Uang belanja aja kamu gak kasih. Setiap hari kerjaanmu cuma luntang lantung gak jelas,” protesku.Mas Bram menyesap
PLAK!!!Sebuah pukulan mendarat di wajahku. Sontak membuatku tersentak. "Apa-apaan kau, Mas!" pekikku tak terima."Kau bilang apa tadi? Kau minta cerai dariku? Jangan mimpi!" timpal Mas Bram emosi."Kenapa tidak boleh, Mas? Kenapa? Aku sudah muak dengan semua ini."Mas Bram kembali mendekat. "Ingat, Gita. Hutang kita belum beres. Selama hutang itu belum lunas, jangan mimpi untuk bisa cerai dariku.""Itu hutangmu, Mas bukan hutangku! Dari awal aku sudah tidak setuju dengan ambisimu. Tapi kamu tidak pernah mau mendengarkan. Sekarang setelah semuanya terjadi dan kamu bangkrut, kamu baru menyesal, hah?"Mata Mas Bram membulat. Wajahnya memerah. Jelas dia yang sejak pertama sudah memiliki sikap tempramental sangat terpancing oleh kata-kataku."Memangnya aku gagal karena siapa? Memangnya kamu tidak tahu apa penyebab orang-orang tidak memilihku, hah?" Tangan Mas Bram menunjuk tepat di keningku. "Karena kamu. Karena aku memiliki istri seperti kamu. Semua orang tidak suka dengan karakter perem