Share

5. Ceraikan Aku, Mas

Author: Hamira Irrier
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Perlakuan Mas Bram semakin menjadi. Dia tak segan menyakiti hanya demi menjaga citra diri. Dia lupa jika dia tak punya apa-apa selain hutang. Aku pun berusaha memberontak dengan menyingkirkan tangannya.

“Kamu gak usah ribut. Kamu tanya sendiri ke Mbak Norma soal lemari sama kerudung. Mbak Norma juga lagi di rumah,” ujar Mas Bram.

Segera kuhirup udara banyak-banyak. Sungguh sikap Mas Bram sudah keterlaluan. Aku bisa saja berteriak atau membalas perlakuannya tapi aku mengingat pesan Nur. Tarik ulur dan sabar.

Aku pun memikirkan hal lain. Selama ini aku nyaris tidak pernah membantah dan melawan maka sekarang momen yang tepat. Kusisir kerudung warna apa yang hilang dari tempatnya dan kebetulan itu kerudung seragamku hari jumat. Maka aku tidak akan tinggal diam. Kulangkahkan kaki dengan mantap menuju rumah saksi bisu penderitaanku. 

“Mbak Norma!” panggilku tanpa mengucap salam dulu. Mas Bram yang tadi akan ke ruang tamu pun berhenti. “Mbak Norma!” panggilku lagi dari pintu terhubung seraya masuk tanpa memikirkan hal lain.

“Apaan, Git? Kamu berisik banget!” balas Mbak Norma yang sepertinya tengah berada di kamar. Buru-buru aku menuju ke sana.

“Oh beneran kamu yang acak-acak lemariku, Mbak? Kamu yang ambil kerudung itu?” tanyaku sambil melihat penampilan Mbak Norma dari ujung kepala hingga pagi. Aku pun mendekat. “Bahkan brosku kamu ambil, Mbak?”

“Apa-apaan kamu, Git!” ucap Mbak Norma sambil menepis tanganku.

“Aku yang harusnya apa-apaan? Itu barang-barangku. Kenapa Mbak Norma main ambil saja?”

“Halah kamu ya punya banyak, aku pinjam satu saja kamu sewot.”

“Masalahnya Mbak Norma gak bilang dan itu kerudung sama bros mau aku pake besok. Itu seragam hari jumat,” timpalku tak kalah sengit.

I

“Kerudung coklatmu banyak, Gita. Gak usah sok gak punya. Ini paling cocok sa bajuku buat kondangan. Aku pinjem dulu.”

“Enggak, Mbak. Lepas sekarang juga! Itu kerudung mau aku pake besok.”

“Pelit banget kamu, Git! Mentang-mentang kamu pegawai negeri kamu kayak gitu sama aku?”

Aku menggeleng. “Lepas sekarang, Mbak,” pintaku.

“Ya ampun Gita begini ya perlakuanmu sama ipar. Kayak gini ya kamu sama aku. Benar-benar kelewatan,” ujar Mbak Mona saat aku menarik ujung kerudungnya.

“Aku gak mau tau. Lepas sekarang!” ucapku kesal. Beneran aku sedang tidak suka dengan sikap Mbak Norma.

“Aduh sakit, Git. Gak gini juga! Kamu gila ya, Git!” kata Mbak Norma sambil menahan bagian atas kerudung agar tidak lepas.

“Iya, aku emang gila Mbak kaya yang Mbak Norma bilang ke aku selama ini.”

“Ada apa ini!” seru ibu mertuaku yang baru pulang dari pasar. Beliau menghampiri kami.

“Gita ini buk udah gila masa kerudungku ditarik-tarik.”

“Kerudung Mbak Norma? Itu kerudungku, Mbak,” protesku.

“Aku minjem, Git. Kamu pelit banget.”

“Kamu nyuri namanya, Mbak. Kamu ngacak-ngacak lemariku.”

“Cukup!” seru ibu mertua. Beliau tampak marah. “Gak anak gak mantu hobinya ramai semua. Kalian berisik banget. Itu di depan lagi ada tamu. Gak nyadar?”

“Balikin dulu kerudungku, Mbak. Aku gak ridho kamu minjem.”

Mbak Norma pun melepas kerudung itu asal bahkan brosnya sampai terpental. Dia sengaja merusak kerudung kesukaanku. “Nih, ambil!” ujarnya. “Dasar adik ipar gak tau diri!”

“Udah, Norma. Jangan keras-keras tamunya bisa dengar.”

“Aku gak terima dibeginikan, Buk. Gita udah kurang ajar dan gak sopan. Bram harus tau,” kata Mbak Norma seraya pergi dari kamar.

Ya Tuhan tidak kakak tidak adik sama saja. Saling mengadu dan mengacau. Aku pun memungut kerudung yang benangnya menjadi kusut dan bros yang akhirnya rusak. Dalam hati aku sangat geram. Awas kalian.

Ibu mertuaku rupanya tak hanya diam. Beliau menarik tanganku untuk berdiri. “Semalam kamu nginap di mana? Kamu mau nyari masalah lagi?”

“Sakit, Bu!” seruku berusaha melepaskan tarikan ibu mertua.

“Kamu itu gak ngerti keadaan. Kalau orang-orang mikir yang macam-macam gimana?”

“Apa urusannya sama orang-orang, Bu? Gak penting juga.”

“Apa katamu? Gak penting? Kamu beneran tolol ya. Kalau citra Bram semakin jelek keluarga ini juga jelek. Kamu gak paham?”

“Citra Mas Bram emang udah jelek, Bu. Mau dibuat bagus pun tetap jelek. Ibu kira orang-orang itu milih Mas Bram? Enggak, Bu. Mereka semua cuma pura-pura baik dan milih di depan. Mereka cuma memanfaatkan Mas Bram,” terangku yang memang mengetahui beberapa hal tentang pemilihan kemarin.

Ibu mertua terdiam. Beliau nampak berpikir sambil melepaskan genggamannya di tanganku. “Ibu baru sadar? Ibu kira semua orang itu baik sama kita?”

PLAK!!!

Sebuah pukulan mendarat di wajahku. Sontak membuat wajahku berpaling.

“Sejak awal memang seharusnya ibu gak nerima kamu jadi anak mantu. Kamu yang katanya pegawai negeri ternyata bodoh. Harusnya ibu mikir bibit bebet bobot sebelum menikahkan Bram. Anak yang gak jelas asal usulnya memang tidak pantas dipinang.”

“Kau dengar tadi kan Bram? Istrimu semalam menginap di hotel. Dia berenang bahkan campur baur sama laki-laki lain,” ujar Mbak Norma yang kembali ke rumah ibu beserta Mas Bram.

“Apa kamu bilang, Norma? Hotel?” tanya Ibu mertua tampak memastikan.

Mbak Norma menggangguk. “Norma dan Bram dengar dari Pak Hanif. Semalam Pak Hanif juga di hotel itu karena beliau pas sedang ada acara.

Pak Hanif adalah tamu Mas Bram hari ini. Orang yang berpura-pura memihak Mas Bram padahal sebenarnya tidak. Dia salah satu tokoh di desa dan pemegang kunci suara.

“Pak Hanif di mana sekarang?” tanya Ibu mertua begitu menyadari situasi yang terjadi.

“Baru pulang, Bu,” jawab Mas Bram yang nampak lemah berbeda dari biasanya.

Ibu mertua berbalik. Beliau segera keluar dari rumah. Mungkin mengejar Pak Hanif. Mbak Norma juga sama. Dia yang bahkan tak mengenakan kerudung ikut pergi. Aku tak peduli. Rasa nyeri di pipi mengaburkan keberanianku. Aku tak punya tenaga untuk melawan mereka.

“Mau ke mana?” tanya Mas Bram saat aku hendak kembali ke rumah. Aku tak menjawab.

“Mau ke mana kamu, Git?” ulang Mas Bram dengan intonasi yang meninggi.

“Pulang,” lirihku. 

“Jadi ini alasanmu meminta cerai, Git? Selama ini kamu punya laki-laki lain?”

Sungguh pertanyaan Mas Bram di luar nalar. Dia tidak paham sama sekali atas perbuatannya selama ini. Sekali mendengar rumor tak benar dia langsung terpengaruh.

“Jawab, Git!” seru Mas Bram yang nampak marah. Dia menahan langkahku.

“Kamu percaya?” tanyaku bodoh. Untuk apa bertanya jika kamu tahu betul tabiat mereka.

“Kamu selingkuh, Git? Itu alasanmu ingin cerai dariku? Pak Hanif bukan orang sembarangan pasti dia benar-benar melihatmu.”

“Kamu percaya?” tanyaku lagi. Kali ini aku sudah menemukan jawaban yang lebih tepat.

“Gita kamu tidur sama laki-laki lain? Iya?” tanya Mas Bram yang nampak rau tapi ingin percaya.

“Ceraikan aku, Mas,” pungkasku.

“Gita!”

 

Related chapters

  • Aku Bukan Tulang Punggung, Mas   1. Suami

    PLAK!!!Sebuah pukulan mendarat di wajahku. Sontak membuatku tersentak. "Apa-apaan kau, Mas!" pekikku tak terima."Kau bilang apa tadi? Kau minta cerai dariku? Jangan mimpi!" timpal Mas Bram emosi."Kenapa tidak boleh, Mas? Kenapa? Aku sudah muak dengan semua ini."Mas Bram kembali mendekat. "Ingat, Gita. Hutang kita belum beres. Selama hutang itu belum lunas, jangan mimpi untuk bisa cerai dariku.""Itu hutangmu, Mas bukan hutangku! Dari awal aku sudah tidak setuju dengan ambisimu. Tapi kamu tidak pernah mau mendengarkan. Sekarang setelah semuanya terjadi dan kamu bangkrut, kamu baru menyesal, hah?"Mata Mas Bram membulat. Wajahnya memerah. Jelas dia yang sejak pertama sudah memiliki sikap tempramental sangat terpancing oleh kata-kataku."Memangnya aku gagal karena siapa? Memangnya kamu tidak tahu apa penyebab orang-orang tidak memilihku, hah?" Tangan Mas Bram menunjuk tepat di keningku. "Karena kamu. Karena aku memiliki istri seperti kamu. Semua orang tidak suka dengan karakter perem

  • Aku Bukan Tulang Punggung, Mas   2. Ibu Mertua

    Sepanjang pembelajaran di sekolah pikiranku menjadi tidak fokus. Aku hanya menyelesaikan tugas ala kadarnya sambil menunggu jam pulang. Mendampingi anak-anak sampai sore juga kurang maksimal. Aku terus kepikiran setelah mau tak mau harus merelakan uang lima ratus ribu di pertengahan bulan. Semua itu kulakukan demi menutupi malu. Demi menjaga maruah suami dan rumah tangga yang di ujung tanduk. Sambil bersiap pulang aku masih terus kepikiran. Aku pun menggeleng. Ini tidak boleh terjadi lagi. Aku berjanji ini yang terakhir kali. Setelah ini tak akan ada hal-hal semacam itu lagi. Aku pun pulang dengan membawa perasaan marah.“Apa-apaan kamu, Mas! Kamu bilang nitip uangnya ke aku? Uang apa? Uang yang mana?” cecarku begitu sampai rumah dan mendapati Mas Bram sedang bersantai di ruang TV sambil merokok.“Besok aku ganti,” jawabnya enteng.“Ganti kata kamu? Mau ganti pake apa? Uang belanja aja kamu gak kasih. Setiap hari kerjaanmu cuma luntang lantung gak jelas,” protesku.Mas Bram menyesap

  • Aku Bukan Tulang Punggung, Mas   3. Diri Sendiri

    Dari semua hal yang kualami, masih ada yang aku syukuri. Aku bukan perempuan yang datang ke tempat Mas Bram tanpa modal. Ya, aku memang tidak memiliki keluarga tapi setidaknya aku memiliki pekerjaan. Sebuah keberuntungan dan berkah tersendiri bagiku. Maka aku tak ambil pusing saat Nur menjawab dia ada di salah satu hotel di kabupaten. Aku akan menyambanginya. Meski membutuhkan waktu tempuh selama satu jam.“Gila. Aku pikir gak serius, Git,” ucap Nur saat melihatku ada di depan pintu kamar yang ia pesan.“Aku tidak punya tempat, Nur. Kamu tau sendiri aku gak ada keluarga di sini.”“Iya ngerti tapi ini hari rabu loh. Kamu besok kan ngajar.”Aku melambaikan tangan. Lebih dulu merebahkan diri di kasur empuk di kamar itu. “Bodo amat. Aku mau kabur malam ini.”Nur pun terperanjat. Dia ikut naik ke ranjang dengan posisi duduk. “Seorang Gita Sandika yang taatnya luar biasa sama suami dan ibu mertua?”Lagi aku mengibaskan tangan. “Aku udah gak kuat, Nur. Aku lama-lama bisa gila kalau terus-ter

  • Aku Bukan Tulang Punggung, Mas   4. Momongan?

    Tadinya aku berencana tidak pulang ke rumah dan langsung kembali ke hotel setelah mengajar. Namun, niatku gagal begitu wajah Mas Bram nampak memasuki gedung sekolahku. Dia pasti marah besar karena aku juga tidak mengaktifkan telepon.“Kita bicara di luar gerbang. Jangan di sini,” ujarku saat Mas Bram meminta waktu.“Kenapa harus di luar? Kamu malu punya suami kaya aku?”Rasanya ingin kujawab iya tepat di depan wajahnya, tapi aku menahan diri mengingat aku sedang bekerja. Kuabaikan sikap Mas Bram sambil terus berjaan keluar dari gerbang sekolah.“Kamu kemana semalam? Ngluyur kemana?” desak Mas Bram.“Aku ke tempat Nur. Mau pulang udah kemaleman jadinya nginep.”“Nur?”Aku mengangguk kecil. Malas menjelaskan.“Nur yang janda itu?” tanya Mas Bram mengingat nama temanku.“Dia udah nikah lagi.”“Dia yang janda di desa kita itu. Oh kamu masih bergaul sama dia? Jangan-jangan kamu mau ….”“Diem, Mas. Gak usah sok nuduh-nuduh orang. Aku ke sana juga gara-gara kamu.”“Gara-gara aku? Apa hubunga

Latest chapter

  • Aku Bukan Tulang Punggung, Mas   5. Ceraikan Aku, Mas

    Perlakuan Mas Bram semakin menjadi. Dia tak segan menyakiti hanya demi menjaga citra diri. Dia lupa jika dia tak punya apa-apa selain hutang. Aku pun berusaha memberontak dengan menyingkirkan tangannya.“Kamu gak usah ribut. Kamu tanya sendiri ke Mbak Norma soal lemari sama kerudung. Mbak Norma juga lagi di rumah,” ujar Mas Bram.Segera kuhirup udara banyak-banyak. Sungguh sikap Mas Bram sudah keterlaluan. Aku bisa saja berteriak atau membalas perlakuannya tapi aku mengingat pesan Nur. Tarik ulur dan sabar.Aku pun memikirkan hal lain. Selama ini aku nyaris tidak pernah membantah dan melawan maka sekarang momen yang tepat. Kusisir kerudung warna apa yang hilang dari tempatnya dan kebetulan itu kerudung seragamku hari jumat. Maka aku tidak akan tinggal diam. Kulangkahkan kaki dengan mantap menuju rumah saksi bisu penderitaanku. “Mbak Norma!” panggilku tanpa mengucap salam dulu. Mas Bram yang tadi akan ke ruang tamu pun berhenti. “Mbak Norma!” panggilku lagi dari pintu terhubung seraya

  • Aku Bukan Tulang Punggung, Mas   4. Momongan?

    Tadinya aku berencana tidak pulang ke rumah dan langsung kembali ke hotel setelah mengajar. Namun, niatku gagal begitu wajah Mas Bram nampak memasuki gedung sekolahku. Dia pasti marah besar karena aku juga tidak mengaktifkan telepon.“Kita bicara di luar gerbang. Jangan di sini,” ujarku saat Mas Bram meminta waktu.“Kenapa harus di luar? Kamu malu punya suami kaya aku?”Rasanya ingin kujawab iya tepat di depan wajahnya, tapi aku menahan diri mengingat aku sedang bekerja. Kuabaikan sikap Mas Bram sambil terus berjaan keluar dari gerbang sekolah.“Kamu kemana semalam? Ngluyur kemana?” desak Mas Bram.“Aku ke tempat Nur. Mau pulang udah kemaleman jadinya nginep.”“Nur?”Aku mengangguk kecil. Malas menjelaskan.“Nur yang janda itu?” tanya Mas Bram mengingat nama temanku.“Dia udah nikah lagi.”“Dia yang janda di desa kita itu. Oh kamu masih bergaul sama dia? Jangan-jangan kamu mau ….”“Diem, Mas. Gak usah sok nuduh-nuduh orang. Aku ke sana juga gara-gara kamu.”“Gara-gara aku? Apa hubunga

  • Aku Bukan Tulang Punggung, Mas   3. Diri Sendiri

    Dari semua hal yang kualami, masih ada yang aku syukuri. Aku bukan perempuan yang datang ke tempat Mas Bram tanpa modal. Ya, aku memang tidak memiliki keluarga tapi setidaknya aku memiliki pekerjaan. Sebuah keberuntungan dan berkah tersendiri bagiku. Maka aku tak ambil pusing saat Nur menjawab dia ada di salah satu hotel di kabupaten. Aku akan menyambanginya. Meski membutuhkan waktu tempuh selama satu jam.“Gila. Aku pikir gak serius, Git,” ucap Nur saat melihatku ada di depan pintu kamar yang ia pesan.“Aku tidak punya tempat, Nur. Kamu tau sendiri aku gak ada keluarga di sini.”“Iya ngerti tapi ini hari rabu loh. Kamu besok kan ngajar.”Aku melambaikan tangan. Lebih dulu merebahkan diri di kasur empuk di kamar itu. “Bodo amat. Aku mau kabur malam ini.”Nur pun terperanjat. Dia ikut naik ke ranjang dengan posisi duduk. “Seorang Gita Sandika yang taatnya luar biasa sama suami dan ibu mertua?”Lagi aku mengibaskan tangan. “Aku udah gak kuat, Nur. Aku lama-lama bisa gila kalau terus-ter

  • Aku Bukan Tulang Punggung, Mas   2. Ibu Mertua

    Sepanjang pembelajaran di sekolah pikiranku menjadi tidak fokus. Aku hanya menyelesaikan tugas ala kadarnya sambil menunggu jam pulang. Mendampingi anak-anak sampai sore juga kurang maksimal. Aku terus kepikiran setelah mau tak mau harus merelakan uang lima ratus ribu di pertengahan bulan. Semua itu kulakukan demi menutupi malu. Demi menjaga maruah suami dan rumah tangga yang di ujung tanduk. Sambil bersiap pulang aku masih terus kepikiran. Aku pun menggeleng. Ini tidak boleh terjadi lagi. Aku berjanji ini yang terakhir kali. Setelah ini tak akan ada hal-hal semacam itu lagi. Aku pun pulang dengan membawa perasaan marah.“Apa-apaan kamu, Mas! Kamu bilang nitip uangnya ke aku? Uang apa? Uang yang mana?” cecarku begitu sampai rumah dan mendapati Mas Bram sedang bersantai di ruang TV sambil merokok.“Besok aku ganti,” jawabnya enteng.“Ganti kata kamu? Mau ganti pake apa? Uang belanja aja kamu gak kasih. Setiap hari kerjaanmu cuma luntang lantung gak jelas,” protesku.Mas Bram menyesap

  • Aku Bukan Tulang Punggung, Mas   1. Suami

    PLAK!!!Sebuah pukulan mendarat di wajahku. Sontak membuatku tersentak. "Apa-apaan kau, Mas!" pekikku tak terima."Kau bilang apa tadi? Kau minta cerai dariku? Jangan mimpi!" timpal Mas Bram emosi."Kenapa tidak boleh, Mas? Kenapa? Aku sudah muak dengan semua ini."Mas Bram kembali mendekat. "Ingat, Gita. Hutang kita belum beres. Selama hutang itu belum lunas, jangan mimpi untuk bisa cerai dariku.""Itu hutangmu, Mas bukan hutangku! Dari awal aku sudah tidak setuju dengan ambisimu. Tapi kamu tidak pernah mau mendengarkan. Sekarang setelah semuanya terjadi dan kamu bangkrut, kamu baru menyesal, hah?"Mata Mas Bram membulat. Wajahnya memerah. Jelas dia yang sejak pertama sudah memiliki sikap tempramental sangat terpancing oleh kata-kataku."Memangnya aku gagal karena siapa? Memangnya kamu tidak tahu apa penyebab orang-orang tidak memilihku, hah?" Tangan Mas Bram menunjuk tepat di keningku. "Karena kamu. Karena aku memiliki istri seperti kamu. Semua orang tidak suka dengan karakter perem

DMCA.com Protection Status