Dari semua hal yang kualami, masih ada yang aku syukuri. Aku bukan perempuan yang datang ke tempat Mas Bram tanpa modal. Ya, aku memang tidak memiliki keluarga tapi setidaknya aku memiliki pekerjaan. Sebuah keberuntungan dan berkah tersendiri bagiku. Maka aku tak ambil pusing saat Nur menjawab dia ada di salah satu hotel di kabupaten. Aku akan menyambanginya. Meski membutuhkan waktu tempuh selama satu jam.
“Gila. Aku pikir gak serius, Git,” ucap Nur saat melihatku ada di depan pintu kamar yang ia pesan.“Aku tidak punya tempat, Nur. Kamu tau sendiri aku gak ada keluarga di sini.”“Iya ngerti tapi ini hari rabu loh. Kamu besok kan ngajar.”Aku melambaikan tangan. Lebih dulu merebahkan diri di kasur empuk di kamar itu. “Bodo amat. Aku mau kabur malam ini.”Nur pun terperanjat. Dia ikut naik ke ranjang dengan posisi duduk. “Seorang Gita Sandika yang taatnya luar biasa sama suami dan ibu mertua?”Lagi aku mengibaskan tangan. “Aku udah gak kuat, Nur. Aku lama-lama bisa gila kalau terus-terusan di sana.”Nur menggeleng. Dia cukup tahu kisahku karena satu-satunya orang di desa yang akrab denganku hanya dia. Sayangnya, Nur pindah saat dia memutuskan menikah lagi dengan salah satu juragan di kabupaten.“Kamu mantep, Git?”Aku mengangguk untuk kemudian duduk bersila di atas ranjang. Menghadap langsung ke sahabatku. “Cuma aku punya banyak masalah.”Kening Nur berkerut. “Maksudmu?”“Kamu tau aku habis bangun rumah kan? Tau itu bangunnya pake uang siapa?”“Uangmu lah siapa lagi.”Aku mengangguk-ngangguk. “Sayangnya itu rumah ada di tanah mertua dan belum ada sertifikat rumahnya,” ujarku. Selama ini aku belum sempat mengurus karena terlalu sibuk dengan banyak hal.“Terus?”“Aku pengen pisah. Aku pengen pergi dari rumah itu tapi aku gak mau nanggung utang sendiri. Aku pengennya Mas Bram sama keluarganya juga mikir buat ngelunasin utang itu.”Nur menggeleng. Dia keheranan dengan ideku yang tiba-tiba datang minta pisah tapi juga memikirkan harta. Mungkin seperti itu. “Kamu mau mulai dari mana?”Aku mengangkat bahu. “Sayangnya aku gak tau, Nur.”Nur pun terkekeh. “Gita, Gita dari dulu aku bilangin jangan buta sama cinta gak percaya. Gini kan ujungnya.”Aku mengangguk setuju. Sekarang aku menyesal karena sudah menghabiskan tabungan dan menambah beban utang. Sungguh hal yang tidak kupikirkan dengan matang sebelumnya.Nur turun dari ranjang. Dia yang akan bersiap mandi itu mengikat rambut panjangnya. Dia mulai duduk di depan meja rias dan memoles wajahnya dengan kapas.“Kamu mau mandi ngapain pake make up, Nur?” tanyaku heran. Biasanya saat akan mandi aku hanya menyambar handuk.“Inih maksudmu?” tanya Nur seraya mengangkat tinggi sebuah botol berukuran sedang.“Iya.”“Ini make up remover, Gita. Dipakainya sebelum mandi biar wajah tambah bersih.”“Ribet amat,” ketusku sambil ikut turun dari ranjang. Seharian mengenakan baju dan kerudung yang sama. Aku berniat melepasnya. Minimal kerudung sebelum nanti mandi.Nur menggeleng sambil melanjutkan aktivitasnya. “Gini nih kalau kodrat seorang istri yang harusnya jadi tulang rusuk malah beralih jadi tulang punggung. Ya mana tau soal per make upan,” kelakar Nur dengan gaya khasnya.“Kamu nyindir, Nur?”“Kamu nggak ngerasa?” tanya Nur seraya menoleh ke arahku. Aku pun tertunduk. Diam di tepian ranjang. Benar katanya selama ini aku bahkan menjadi tulang punggung. Selama hampir delapan tahun membina rumah tangga dengan Mas Bram.“Eh, eh kenapa?” tanya Nur yang menyadari sikapku berubah.“Sebulan suamimu kasih berapa, Nur?”“Suamiku?” Aku mengangguk. Aku ingin mencari tahu untuk meyakinkan perasaanku.“Nggak etis nyebutin angka, Git. Yang pasti uang dapur, belanja dan kebutuhan pribadi sudah ada pos masing-masing. Gak kecampur dan alhamdulillah cukup.”“Setiap bulan?”Nur mengangguk. “Termasuk perlengkapan ini,” ujarnya menunjuk satu set skincare yang dia bawa.“Pantas wajahmu bersih dan cantik begitu Nur sekarang. Kamu perawatan juga?”Nur kembali melanjutkan aktivitasnya di depan cermin. “Umumnya istri ya begini, Git. Emangnya kamu yang pake lipstik aja kagak. Yang padahal tiap bulan punya gaji tapi habis buat suami sama keluarganya?”Kata-kata Nur semuanya benar. Itu adalah fakta yang aku alami selama ini. Tapi rasanya diingatkan oleh orang terdekat membuat hatiku nyeri.“Ya ampun, Git kamu nangis? Kamu tersinggung?” tanya Nur panik. Dia segera mendekat.Aku menggeleng. Aku tidak tersinggung aku hanya sedang merasa kalau apa yang diucapkan sahabatku adalah kenyataan pahit yang harus kujalani. “Lah terus kenapa?”“Kamu bener, Nur. Kamu bener. Aku gajian tapi aku gak bisa menikmatinya. Beli gincu aja jarang. Tiap mau dandan Mas Bram marah sama curiga. Kalau aku punya baju apa kerudung bagus pasti diambil sama ibu mertuaku apa Mbak Norma. Aku gak pernah mikirin diri sendiri. Aku bodoh banget.”Nur mengusap lenganku. Dia turut prihatin dengan apa yang kualami. “Ini momen yang tepat, Git. Lakukan apa yang seharusnya kamu lakukan. Jangan mau terus terusan dibodohi.”Mulai sore ini aku berjanji akan mengumpulkan semua keberanian untuk melawan mereka. Aku tidak boleh terus-terusan diinjak.“Kapanpun kamu butuh bantuan aku siap, Git. Kalau emang kamu mau ke pengadilan aku tau tata caranya karena aku pernah ngalamin. Yang pasti gak mudah tapi perlu dicoba.”“Iya, Nur. Makasih.”Dering ponsel dari tasku membuat fokus kami terpecah. Aku tidak langsung mengambilnya karena aku yakin itu dari Mas Bram. Sekarang sudah mau lewat waktu maghrib, pasti Mas Bram sedang kelabakan mengingat aku tidak di rumah. Dalam waktu delapan tahun ini pertama kalinya aku kabur. Ya, kabur dalam arti yang sebenarnya.“Tidak kamu cek dulu?”Aku menggeleng. “Aku sedang malas diganggu.”“Apa kamu mau nyoba berenang, Git?”“Berenang?” tanyaku heran. Mana ada berenang menjelang malam pikirku. Nur mengangguk mantap. “Kita ke kolam aja sekalian nyantai.”“Aku gak bawa ganti, Nur. Gak ada baju renang juga.”“Nanti kita sewa. Aku carikan yang hijab deh.”“Beneran?”Nur mengangguk lagi. “Cus ayo!”Maka ini juga salah satu ide gila yang aku ambil. Sejenak menepi dari peliknya masalah hidup memang perlu dicoba. Sesekali menyenangkan diri tanpa memikirkan orang lain adalah hal yang seharusnya dilakukan. Dorongan itu tiba-tiba muncul. Aku merasa antusias.“Sudah waktunya, Git kamu meluangkan waktu untuk mengurus dirimu. Kamu berhak untuk itu semua,” ujar Nur begitu kami sampai di kolam yang cukup privat itu.Aku mengangguk-angguk. Segera menenggelamkan kepala ke air untuk menikmati semua. Gita Sandika-kamu tidak salah. Kamu tidak pantas menanggung semua. Kekalahan suamimu di pilkades bukan karenamu. Mas Bram memang tidak layak jadi pemimpin. Dan keinginanmu untuk berpisah juga bukan sebuah dosa. Selama ini kamu merasakannya. Bagaimana penghinaan itu terus terjadi baik dari suami, mertua dan iparmu sendiri. Saatnya menolong dirimu sendiri, Git. Lakukan dan beranikan diri untuk terlepas dari belenggu ini.Tadinya aku berencana tidak pulang ke rumah dan langsung kembali ke hotel setelah mengajar. Namun, niatku gagal begitu wajah Mas Bram nampak memasuki gedung sekolahku. Dia pasti marah besar karena aku juga tidak mengaktifkan telepon.“Kita bicara di luar gerbang. Jangan di sini,” ujarku saat Mas Bram meminta waktu.“Kenapa harus di luar? Kamu malu punya suami kaya aku?”Rasanya ingin kujawab iya tepat di depan wajahnya, tapi aku menahan diri mengingat aku sedang bekerja. Kuabaikan sikap Mas Bram sambil terus berjaan keluar dari gerbang sekolah.“Kamu kemana semalam? Ngluyur kemana?” desak Mas Bram.“Aku ke tempat Nur. Mau pulang udah kemaleman jadinya nginep.”“Nur?”Aku mengangguk kecil. Malas menjelaskan.“Nur yang janda itu?” tanya Mas Bram mengingat nama temanku.“Dia udah nikah lagi.”“Dia yang janda di desa kita itu. Oh kamu masih bergaul sama dia? Jangan-jangan kamu mau ….”“Diem, Mas. Gak usah sok nuduh-nuduh orang. Aku ke sana juga gara-gara kamu.”“Gara-gara aku? Apa hubunga
Perlakuan Mas Bram semakin menjadi. Dia tak segan menyakiti hanya demi menjaga citra diri. Dia lupa jika dia tak punya apa-apa selain hutang. Aku pun berusaha memberontak dengan menyingkirkan tangannya.“Kamu gak usah ribut. Kamu tanya sendiri ke Mbak Norma soal lemari sama kerudung. Mbak Norma juga lagi di rumah,” ujar Mas Bram.Segera kuhirup udara banyak-banyak. Sungguh sikap Mas Bram sudah keterlaluan. Aku bisa saja berteriak atau membalas perlakuannya tapi aku mengingat pesan Nur. Tarik ulur dan sabar.Aku pun memikirkan hal lain. Selama ini aku nyaris tidak pernah membantah dan melawan maka sekarang momen yang tepat. Kusisir kerudung warna apa yang hilang dari tempatnya dan kebetulan itu kerudung seragamku hari jumat. Maka aku tidak akan tinggal diam. Kulangkahkan kaki dengan mantap menuju rumah saksi bisu penderitaanku. “Mbak Norma!” panggilku tanpa mengucap salam dulu. Mas Bram yang tadi akan ke ruang tamu pun berhenti. “Mbak Norma!” panggilku lagi dari pintu terhubung seraya
PLAK!!!Sebuah pukulan mendarat di wajahku. Sontak membuatku tersentak. "Apa-apaan kau, Mas!" pekikku tak terima."Kau bilang apa tadi? Kau minta cerai dariku? Jangan mimpi!" timpal Mas Bram emosi."Kenapa tidak boleh, Mas? Kenapa? Aku sudah muak dengan semua ini."Mas Bram kembali mendekat. "Ingat, Gita. Hutang kita belum beres. Selama hutang itu belum lunas, jangan mimpi untuk bisa cerai dariku.""Itu hutangmu, Mas bukan hutangku! Dari awal aku sudah tidak setuju dengan ambisimu. Tapi kamu tidak pernah mau mendengarkan. Sekarang setelah semuanya terjadi dan kamu bangkrut, kamu baru menyesal, hah?"Mata Mas Bram membulat. Wajahnya memerah. Jelas dia yang sejak pertama sudah memiliki sikap tempramental sangat terpancing oleh kata-kataku."Memangnya aku gagal karena siapa? Memangnya kamu tidak tahu apa penyebab orang-orang tidak memilihku, hah?" Tangan Mas Bram menunjuk tepat di keningku. "Karena kamu. Karena aku memiliki istri seperti kamu. Semua orang tidak suka dengan karakter perem
Sepanjang pembelajaran di sekolah pikiranku menjadi tidak fokus. Aku hanya menyelesaikan tugas ala kadarnya sambil menunggu jam pulang. Mendampingi anak-anak sampai sore juga kurang maksimal. Aku terus kepikiran setelah mau tak mau harus merelakan uang lima ratus ribu di pertengahan bulan. Semua itu kulakukan demi menutupi malu. Demi menjaga maruah suami dan rumah tangga yang di ujung tanduk. Sambil bersiap pulang aku masih terus kepikiran. Aku pun menggeleng. Ini tidak boleh terjadi lagi. Aku berjanji ini yang terakhir kali. Setelah ini tak akan ada hal-hal semacam itu lagi. Aku pun pulang dengan membawa perasaan marah.“Apa-apaan kamu, Mas! Kamu bilang nitip uangnya ke aku? Uang apa? Uang yang mana?” cecarku begitu sampai rumah dan mendapati Mas Bram sedang bersantai di ruang TV sambil merokok.“Besok aku ganti,” jawabnya enteng.“Ganti kata kamu? Mau ganti pake apa? Uang belanja aja kamu gak kasih. Setiap hari kerjaanmu cuma luntang lantung gak jelas,” protesku.Mas Bram menyesap
Perlakuan Mas Bram semakin menjadi. Dia tak segan menyakiti hanya demi menjaga citra diri. Dia lupa jika dia tak punya apa-apa selain hutang. Aku pun berusaha memberontak dengan menyingkirkan tangannya.“Kamu gak usah ribut. Kamu tanya sendiri ke Mbak Norma soal lemari sama kerudung. Mbak Norma juga lagi di rumah,” ujar Mas Bram.Segera kuhirup udara banyak-banyak. Sungguh sikap Mas Bram sudah keterlaluan. Aku bisa saja berteriak atau membalas perlakuannya tapi aku mengingat pesan Nur. Tarik ulur dan sabar.Aku pun memikirkan hal lain. Selama ini aku nyaris tidak pernah membantah dan melawan maka sekarang momen yang tepat. Kusisir kerudung warna apa yang hilang dari tempatnya dan kebetulan itu kerudung seragamku hari jumat. Maka aku tidak akan tinggal diam. Kulangkahkan kaki dengan mantap menuju rumah saksi bisu penderitaanku. “Mbak Norma!” panggilku tanpa mengucap salam dulu. Mas Bram yang tadi akan ke ruang tamu pun berhenti. “Mbak Norma!” panggilku lagi dari pintu terhubung seraya
Tadinya aku berencana tidak pulang ke rumah dan langsung kembali ke hotel setelah mengajar. Namun, niatku gagal begitu wajah Mas Bram nampak memasuki gedung sekolahku. Dia pasti marah besar karena aku juga tidak mengaktifkan telepon.“Kita bicara di luar gerbang. Jangan di sini,” ujarku saat Mas Bram meminta waktu.“Kenapa harus di luar? Kamu malu punya suami kaya aku?”Rasanya ingin kujawab iya tepat di depan wajahnya, tapi aku menahan diri mengingat aku sedang bekerja. Kuabaikan sikap Mas Bram sambil terus berjaan keluar dari gerbang sekolah.“Kamu kemana semalam? Ngluyur kemana?” desak Mas Bram.“Aku ke tempat Nur. Mau pulang udah kemaleman jadinya nginep.”“Nur?”Aku mengangguk kecil. Malas menjelaskan.“Nur yang janda itu?” tanya Mas Bram mengingat nama temanku.“Dia udah nikah lagi.”“Dia yang janda di desa kita itu. Oh kamu masih bergaul sama dia? Jangan-jangan kamu mau ….”“Diem, Mas. Gak usah sok nuduh-nuduh orang. Aku ke sana juga gara-gara kamu.”“Gara-gara aku? Apa hubunga
Dari semua hal yang kualami, masih ada yang aku syukuri. Aku bukan perempuan yang datang ke tempat Mas Bram tanpa modal. Ya, aku memang tidak memiliki keluarga tapi setidaknya aku memiliki pekerjaan. Sebuah keberuntungan dan berkah tersendiri bagiku. Maka aku tak ambil pusing saat Nur menjawab dia ada di salah satu hotel di kabupaten. Aku akan menyambanginya. Meski membutuhkan waktu tempuh selama satu jam.“Gila. Aku pikir gak serius, Git,” ucap Nur saat melihatku ada di depan pintu kamar yang ia pesan.“Aku tidak punya tempat, Nur. Kamu tau sendiri aku gak ada keluarga di sini.”“Iya ngerti tapi ini hari rabu loh. Kamu besok kan ngajar.”Aku melambaikan tangan. Lebih dulu merebahkan diri di kasur empuk di kamar itu. “Bodo amat. Aku mau kabur malam ini.”Nur pun terperanjat. Dia ikut naik ke ranjang dengan posisi duduk. “Seorang Gita Sandika yang taatnya luar biasa sama suami dan ibu mertua?”Lagi aku mengibaskan tangan. “Aku udah gak kuat, Nur. Aku lama-lama bisa gila kalau terus-ter
Sepanjang pembelajaran di sekolah pikiranku menjadi tidak fokus. Aku hanya menyelesaikan tugas ala kadarnya sambil menunggu jam pulang. Mendampingi anak-anak sampai sore juga kurang maksimal. Aku terus kepikiran setelah mau tak mau harus merelakan uang lima ratus ribu di pertengahan bulan. Semua itu kulakukan demi menutupi malu. Demi menjaga maruah suami dan rumah tangga yang di ujung tanduk. Sambil bersiap pulang aku masih terus kepikiran. Aku pun menggeleng. Ini tidak boleh terjadi lagi. Aku berjanji ini yang terakhir kali. Setelah ini tak akan ada hal-hal semacam itu lagi. Aku pun pulang dengan membawa perasaan marah.“Apa-apaan kamu, Mas! Kamu bilang nitip uangnya ke aku? Uang apa? Uang yang mana?” cecarku begitu sampai rumah dan mendapati Mas Bram sedang bersantai di ruang TV sambil merokok.“Besok aku ganti,” jawabnya enteng.“Ganti kata kamu? Mau ganti pake apa? Uang belanja aja kamu gak kasih. Setiap hari kerjaanmu cuma luntang lantung gak jelas,” protesku.Mas Bram menyesap
PLAK!!!Sebuah pukulan mendarat di wajahku. Sontak membuatku tersentak. "Apa-apaan kau, Mas!" pekikku tak terima."Kau bilang apa tadi? Kau minta cerai dariku? Jangan mimpi!" timpal Mas Bram emosi."Kenapa tidak boleh, Mas? Kenapa? Aku sudah muak dengan semua ini."Mas Bram kembali mendekat. "Ingat, Gita. Hutang kita belum beres. Selama hutang itu belum lunas, jangan mimpi untuk bisa cerai dariku.""Itu hutangmu, Mas bukan hutangku! Dari awal aku sudah tidak setuju dengan ambisimu. Tapi kamu tidak pernah mau mendengarkan. Sekarang setelah semuanya terjadi dan kamu bangkrut, kamu baru menyesal, hah?"Mata Mas Bram membulat. Wajahnya memerah. Jelas dia yang sejak pertama sudah memiliki sikap tempramental sangat terpancing oleh kata-kataku."Memangnya aku gagal karena siapa? Memangnya kamu tidak tahu apa penyebab orang-orang tidak memilihku, hah?" Tangan Mas Bram menunjuk tepat di keningku. "Karena kamu. Karena aku memiliki istri seperti kamu. Semua orang tidak suka dengan karakter perem