"Apa kau sedang mengajakku bercanda?" Krisna menyentuh pipinya yang perih, keningnya berkerut samar. Ia menyeringai dingin. “Kau harusnya bersyukur. Kakek Felix pasti sangat senang saat tahu ‘boneka’ cantiknya telah berhasil memberikan seorang ‘pengganti’ diriku.”
Radha menatap Krisna dengan sorot mata yang penuh luka. Ia masih tak menyangka bahwa Krisna bisa menilainya serendah itu. Dengan tangan gemetar, Radha menyeka air matanya dan mencoba mengambil napas dalam-dalam. “Krisna …,” suara Radha bergetar, menahan tangis. “Kalau memang itu yang kau pikirkan tentang diriku … maka … aku tidak akan membantahnya lagi.” "Akhirnya, kau menunjukkan warna aslimu yang sebenarnya,” ujar Krisna dengan suara rendah namun sarat akan ejekan. “Jika itu yang kau percayai, maka anggap saja begitu.” Ucap Radha. Ia berpikir, tak ada gunanya menjelaskan apapun pada Krisna, sebab pria itu sudah mempunyai label buruk untuknya. Ketegangan kembali memenuhi udara saat Krisna menatap Radha dengan penuh kecurigaan. Matanya menyipit, mengamati setiap detail gerakan wanita di hadapannya. "Apakah ini hanya bagian dari dramamu yang lain?" Krisna menatap Radha dengan tajam, kecurigaan terpancar jelas dari matanya. “Silahkan menilaiku sesuka hatimu, Kris.” Tandas Radha. Kepalanya terdongak ke atas, membalas tatapan Krisna. "Aku sudah memberimu segalanya, tapi kau selalu mencari alasan untuk menciptakan masalah! Apakah semua ini masih belum cukup untukmu?" Tanya Krisna dengan rasa frustrasinya yang kini tak lagi bisa ditutupi. Radha tidak menanggapi, dia hanya tertawa kecil yang terasa begitu getir. “Aku hanya minta cerai, Krisna.” Lalu dengan kemarahan yang masih bergejolak, Krisna berucap, "Baiklah, jika itu yang kau mau." Setelah itu Krisna meninggalkannya seorang diri. Usai Krisna menghilang dari pandangan, barulah Radha merasa seluruh kekuatannya runtuh. Lututnya mendadak lemas, tak bisa lagi menahan beban tubuhnya. Dengan perlahan, Radha merosot ke lantai, membiarkan tubuhnya jatuh begitu saja. Hingga tengah malam, Radha yang masih tak bergairah dengan sorot mata kosong itu dikejutkan oleh suara teriakan dari salah seorang pelayan. “Nyonya Radha,” panggil pelayan itu dengan napas terengah-engah. “Tuan Krisna baru saja diantar pulang oleh Nona Nindy. Dan keadaan beliau … sepertinya Tuan Krisna sedang mabuk berat.” Radha yang sedang duduk melamun di atas kasur dan belum sempat mengganti pakaiannya, terlonjak kaget. “Mabuk?” Pelayan itu mengangguk cepat. “Iya, Nyonya.” Meskipun hati Radha masih sangat terluka, nyatanya Radha tak bisa menahan dirinya untuk tidak khawatir pada Krisna. Tanpa berpikir panjang, Radha segera beranjak dari tempat tidurnya dan turun ke lantai bawah. Di ruang tamu, Radha melihat Nindy sedang berusaha menahan tubuh Krisna yang hampir tidak mampu berdiri sendiri. Melihat hal itu Radha melangkah maju, tetapi Nindy dengan sigap langsung membawanya ke dalam kamar Krisna. Walaupun perasaannya sekarang sedang campur aduk, antara rasa sakit, cemburu dan juga cemas, Radha tetap mengikuti Nindy dari belakang. “Terima kasih, Nindy … karena sudah membawa Krisna pulang dengan selamat,” ujar Radha. Namun, alih-alih memberikan respon yang baik, Nindy berbalik menatap Radha dengan sorot mata yang tajam dan penuh emosi. Dan tanpa diduga, Nindy tiba-tiba bangkit lalu menampar wajah Radha dengan keras. Plak! Radha yang terkejut, mundur beberapa langkah sambil memegangi pipinya yang terasa perih. “Ini semua salahmu, Radha! Krisna seperti itu karena dirimu!” Nindy menyentak, marah. Ia menatap benci pada Radha, seolah tak cukup puas hanya dengan satu tamparan. “Kau tahu Krisna mencintaiku, tetapi terus berlagak menjadi sosok istri yang baik. Jika kau sadar diri, kau seharusnya pergi dari sini!” Radha mengepalkan tangannya, berusaha menahan rasa sakit yang semakin menghimpit hatinya. Namun, Radha tidak membiarkan dirinya terjatuh lebih dalam oleh kata-kata pedas Nindy. Dengan suara yang tenang namun tegas, Radha menjawab, “kau boleh mengatakan apapun yang kau mau, Nindy. Aku mungkin akan pergi, tapi itu bukan karena kau yang menyuruhku. Melainkan murni keinginanku.” Nindy terdiam dan matanya melebar. Mungkin terkejut, pasalnya selama ini Radha hanya gemetar saat Nindy mengintimidasinya. Radha lalu melanjutkan, “Krisna mungkin mencintaimu lebih dari apapun. Tapi kenyataannya, Krisna hanyalah laki-laki yang tersesat dalam kebingungan dan amarahnya sendiri.” Raut wajah Nindy mengeras, dan sorot matanya menyala penuh amarah. Ia menggertakkan gigi, berusaha menahan diri agar tidak kembali meluapkan emosinya. “Kau tidak tahu apa-apa, Radha,” Nindy berdesis tajam. “Kau hanya perempuan yang tiba-tiba masuk dalam hidup Krisna. Berbeda dengan aku yang tahu segalanya tentang diri Krisna. Itulah yang tetap membuatnya kembali padaku, meski kau ada di sini.” Radha menatap Nindy dengan tatapan lembut namun penuh keyakinan. “Mungkin kau benar. Tapi kau lupa satu hal penting. Semakin dewasa umur seseorang, perasaan mereka pun berubah." Nindy terdiam, menelan kekesalannya dalam-dalam. Tapi sebelum dia sempat merespon, Radha kembali melanjutkan ucapannya dengan berkata, “Pelayan! Tamu kita sudah mau pulang. Tolong antar dia keluar!” teriaknya, hingga beberapa pelayan masuk ke ruangan. “Kau akan menyesali ini, Radha. Ingat kata-kataku.” Bisik Nindy, dan akhirnya dia melangkahkan kaki keluar dari ruangan dengan perasaan kesal. Saat keadaan mulai sepi, Radha meraih amplop coklat di laci meja rias. “Nah, sekarang bagaimana aku akan memperlakukanmu, Tuan Krisna?”Radha menarik napas panjang saat berdiri di depan pintu rumah Freya, ibu tirinya. Untuk sesaat, ada semacam beban berat yang menggantung di hatinya. “Bu, ada yang ingin aku bicarakan,” kata Radha, berusaha tetap tenang.Freya sedang duduk di ruang tamu dengan ponsel genggamnya ketika Radha masuk. Perhatiannya seketika teralihkan, ia melayangkan pandangan tajam yang begitu menusuk ke arah Radha. “Soal apa? Jika ini menyangkut masalah rumah tanggamu dengan Krisna, maka simpan saja untuk dirimu sendiri.” Freya mengangkat alisnya, tanda tidak sabar. “Aku sudah memberikanmu begitu banyak saran yang bisa kau lakukan, tapi tetap saja tak bisa memenangkan hati suamimu sendiri. Kau memang payah!”Radha tertunduk sejenak, lalu menggeleng pelan. Menciptakan kerutan halus di dahi Freya. Sementara itu, kedua tangan Radha yang terasa dingin, meremas kuat gagang tasnya.“Bukan? Lalu tentang apa? Katakan dengan cepat, karena sejam lagi aku harus pergi arisan dengan ibu-ibu pejabat di Bunga Rampai.”
BAB 8Radha seketika terdiam. Tubuhnya membeku usai mendengar ucapan Freya. Kalimat tanpa perasaan yang keluar dari bibir Freya, bagaikan anak panah yang melesat begitu cepat dan menghancurkan jantung Radha.'Nyawaku?'Sungguh sangat sulit dipercaya bahwa wanita di depannya, sosok orang tua yang seharusnya melindungi anak-anaknya, dengan begitu enteng meminta sesuatu yang sangat mengerikan.Mata Radha berkaca-kaca. Namun belum sempat ia merespon, Freya kembali mengikis jarak antara mereka berdua dan mendekatkan wajahnya ke telinga kanan Radha dengan senyuman penuh kebencian.“Pilihannya ada di tanganmu. Dan mari kita lihat, entah aku atau dirimu yang mati dalam pertaruhan ini.” Bisik Freya.Radha merinding, seluruh tubuhnya bergidik hebat. Dia ingin membantah ucapan ibu tirinya itu. Namun sebelum kata-kata itu bisa keluar dari bibirnya, Freya mencengkeram pergelangan tangan Radha dengan sangat kasa
“Wanita tidak tahu malu. Kau ingin aku merobek mulutmu yang kurang ajar itu, hah?!” Gayatri memekik, tangannya menunjuk Radha seolah ingin menerkamnya. “Kau pikir kau siapa?! Istri yang tak becus menjaga suaminya sendiri, berani bicara seolah kau lebih baik dariku?” Di tengah amukan Gayatri, Nindy melangkah maju berusaha menenangkannya dengan tatapan licik yang tidak bisa disembunyikan. “Sudah, Ma, tenanglah. Tolong jaga tensi Mama. Dan jangan biarkan orang seperti dia merusak suasana hati kita,” Nindy menyindir dengan suara lembut namun sarat sindiran. “Seseorang yang tumbuh dalam keluarga yang hanya mementingkan uang, tidak akan pernah bisa menghormati orang lain dengan benar. Mereka hanya tahu soal uang. Tidak dengan kesopanan.” “Kalau begitu, tindakan yang menjerumuskan anaknya dengan menawarkan wanita lain sebagai pengganti yang dianggapnya ‘layak’, apakah pantas disebut sebagai orang tua yang baik?” Balas Radha, balik menatap tajam ke arah Nindy dan Gayatri secara bergantian.
“Kau yakin dengan apa yang kau lihat?"“Iya, Nyonya Radha,” katanya dengan suara rendah. “Tuan Krisna ... bersama wanita yang bernama Nindy itu ... kini tengah berada di Keraton.”Tubuh wanita berambut panjang hitam bergelombang itu nyaris tumbang ke lantai, andai saja tidak segera berpegangan pada sandaran kursi yang ada di sampingnya.'Sudah sejauh itukah hubungan mereka berdua sekarang?' batin Radha bergejolak. Dadanya kian terasa sesak.Pernikahan mereka memang terjadi karena ikatan bisnis. Kakek Krisna meminta Radha menjadi istri cucunya sebagai ganti dana investasi untuk perusahaan mendiang ayah Radha. Meski begitu, Radha tetap bersikap sebagai istri sempurna dengan harapan suatu saat nanti, sikap dingin dan tak acuh Krisna padanya secara perlahan bisa mencair.Namun faktanya, selama lima tahun pernikahan, Krisna tak kunjung membuka hati pada Radha. Bahkan setelah Nindy, mantan kekasihnya hadir kembali di kehidupan sang suami, keberadaannya sudah tak dianggap sama sekali.Bagi
“Krisna….” Suara Radha bergetar melihat Krisna ternyata menyusulnya keluar. “Krisna, aku mohon padamu, jangan marah pada Kak Saga. Dia hanya berniat menolongku.” Dengan satu sentakan kuat, Krisna melepaskan mengempas tubuh Radha dari Saga hingga membuat tubuh wanita mungil itu menghantam dinding. “Krisna, apa begitu caramu memperlakukan istri?!” Krisna tidak menyahuti pertanyaan kakaknya dan berpaling menatap tajam ke arah Radha. “Jadi, tidak berhasil mendapatkanku, sekarang kau beralih mengejar Saga? Begitu?” Hati Radha mencelos mendengar tuduhan Krisna. Tiap perkataan yang keluar dari bibir Krisna, terasa seperti ribuan pisau yang menusuk jantung Radha. Serendah itukah dirinya di mata Krisna? Cairan bening kembali mengambang di pelupuk mata Radha yang menatap Krisna dengan tatapan terluka. “Apa kau gila, Krisna?” Saga maju selangkah mendekati Krisna. “Bagaimana bisa kau berpikiran seperti itu pada istrimu sendiri?!” “Diam kau, anak haram!” Krisna balas meneriaki Saga d
“A-apa maksud Kakek?” Radha dan Krisna spontan saling pandang. Mereka berusaha mencoba mencerna kembali ucapan yang baru saja keluar dari mulut Kakek Felix. Kata-kata —pengganti— itu, membuat udara di sekitar mereka semakin tegang.Kakek Felix masih dengan ekspresi datar, dan sorot mata yang tak pernah lepas dari Krisna. "Radha harus melahirkan seorang putra, calon pewaris keluarga Harlingga," lanjutnya, dan kali ini terdengar lebih tajam. "Jika tidak, jangan harap kalian bisa menjalani hidup dengan nyaman."Emosi Krisna yang semula sudah tertahan, kini kembali meluap. “Aku tidak mencintai Radha, Kakek. Bagaimana bisa aku melakukannya!”"Keputusanku sudah bulat," ucapnya dengan nada yang dingin namun penuh wibawa. “Kau boleh tidak mencintai Radha, tapi kau tetap seorang Harlingga. Tanggung jawabmu adalah memastikan garis keturunan ini terus berlanjut. Jika kau tidak bisa, maka persiapkan dirimu untuk kehilangan semuanya.”Radha kembali termenung. Lagi, untuk kedua kalinya ia dibuat t