Share

4. Kita Bercerai Saja

"Apa kau sedang mengajakku bercanda?" Krisna menyentuh pipinya yang perih, keningnya berkerut samar. Ia menyeringai dingin. “Kau harusnya bersyukur. Kakek Felix pasti sangat senang saat tahu ‘boneka’ cantiknya telah berhasil memberikan seorang ‘pengganti’ diriku.”

Radha menatap Krisna dengan sorot mata yang penuh luka. Ia masih tak menyangka bahwa Krisna bisa menilainya serendah itu.

Dengan tangan gemetar, Radha menyeka air matanya dan mencoba mengambil napas dalam-dalam. “Krisna …,” suara Radha bergetar, menahan tangis. “Kalau memang itu yang kau pikirkan tentang diriku … maka … aku tidak akan membantahnya lagi.”

"Akhirnya, kau menunjukkan warna aslimu yang sebenarnya,” ujar Krisna dengan suara rendah namun sarat akan ejekan.

“Jika itu yang kau percayai, maka anggap saja begitu.” Ucap Radha. Ia berpikir, tak ada gunanya menjelaskan apapun pada Krisna, sebab pria itu sudah mempunyai label buruk untuknya.

Ketegangan kembali memenuhi udara saat Krisna menatap Radha dengan penuh kecurigaan. Matanya menyipit, mengamati setiap detail gerakan wanita di hadapannya.

"Apakah ini hanya bagian dari dramamu yang lain?" Krisna menatap Radha dengan tajam, kecurigaan terpancar jelas dari matanya.

“Silahkan menilaiku sesuka hatimu, Kris.” Tandas Radha. Kepalanya terdongak ke atas, membalas tatapan Krisna.

"Aku sudah memberimu segalanya, tapi kau selalu mencari alasan untuk menciptakan masalah! Apakah semua ini masih belum cukup untukmu?" Tanya Krisna dengan rasa frustrasinya yang kini tak lagi bisa ditutupi.

Radha tidak menanggapi, dia hanya tertawa kecil yang terasa begitu getir. “Aku hanya minta cerai, Krisna.”

Lalu dengan kemarahan yang masih bergejolak, Krisna berucap, "Baiklah, jika itu yang kau mau." Setelah itu Krisna meninggalkannya seorang diri.

Usai Krisna menghilang dari pandangan, barulah Radha merasa seluruh kekuatannya runtuh. Lututnya mendadak lemas, tak bisa lagi menahan beban tubuhnya. Dengan perlahan, Radha merosot ke lantai, membiarkan tubuhnya jatuh begitu saja.

Hingga tengah malam, Radha yang masih tak bergairah dengan sorot mata kosong itu dikejutkan oleh suara teriakan dari salah seorang pelayan. “Nyonya Radha,” panggil pelayan itu dengan napas terengah-engah. “Tuan Krisna baru saja diantar pulang oleh Nona Nindy. Dan keadaan beliau … sepertinya Tuan Krisna sedang mabuk berat.”

Radha yang sedang duduk melamun di atas kasur dan belum sempat mengganti pakaiannya, terlonjak kaget. “Mabuk?”

Pelayan itu mengangguk cepat. “Iya, Nyonya.”

Meskipun hati Radha masih sangat terluka, nyatanya Radha tak bisa menahan dirinya untuk tidak khawatir pada Krisna. Tanpa berpikir panjang, Radha segera beranjak dari tempat tidurnya dan turun ke lantai bawah.

Di ruang tamu, Radha melihat Nindy sedang berusaha menahan tubuh Krisna yang hampir tidak mampu berdiri sendiri. Melihat hal itu Radha melangkah maju, tetapi Nindy dengan sigap langsung membawanya ke dalam kamar Krisna.

Walaupun perasaannya sekarang sedang campur aduk, antara rasa sakit, cemburu dan juga cemas, Radha tetap mengikuti Nindy dari belakang. “Terima kasih, Nindy … karena sudah membawa Krisna pulang dengan selamat,” ujar Radha.

Namun, alih-alih memberikan respon yang baik, Nindy berbalik menatap Radha dengan sorot mata yang tajam dan penuh emosi. Dan tanpa diduga, Nindy tiba-tiba bangkit lalu menampar wajah Radha dengan keras.

Plak!

Radha yang terkejut, mundur beberapa langkah sambil memegangi pipinya yang terasa perih.

“Ini semua salahmu, Radha! Krisna seperti itu karena dirimu!” Nindy menyentak, marah. Ia menatap benci pada Radha, seolah tak cukup puas hanya dengan satu tamparan. “Kau tahu Krisna mencintaiku, tetapi terus berlagak menjadi sosok istri yang baik. Jika kau sadar diri, kau seharusnya pergi dari sini!”

Radha mengepalkan tangannya, berusaha menahan rasa sakit yang semakin menghimpit hatinya. Namun, Radha tidak membiarkan dirinya terjatuh lebih dalam oleh kata-kata pedas Nindy.

Dengan suara yang tenang namun tegas, Radha menjawab, “kau boleh mengatakan apapun yang kau mau, Nindy. Aku mungkin akan pergi, tapi itu bukan karena kau yang menyuruhku. Melainkan murni keinginanku.”

Nindy terdiam dan matanya melebar. Mungkin terkejut, pasalnya selama ini Radha hanya gemetar saat Nindy mengintimidasinya.

Radha lalu melanjutkan, “Krisna mungkin mencintaimu lebih dari apapun. Tapi kenyataannya, Krisna hanyalah laki-laki yang tersesat dalam kebingungan dan amarahnya sendiri.”

Raut wajah Nindy mengeras, dan sorot matanya menyala penuh amarah. Ia menggertakkan gigi, berusaha menahan diri agar tidak kembali meluapkan emosinya.

“Kau tidak tahu apa-apa, Radha,” Nindy berdesis tajam. “Kau hanya perempuan yang tiba-tiba masuk dalam hidup Krisna. Berbeda dengan aku yang tahu segalanya tentang diri Krisna. Itulah yang tetap membuatnya kembali padaku, meski kau ada di sini.”

Radha menatap Nindy dengan tatapan lembut namun penuh keyakinan. “Mungkin kau benar. Tapi kau lupa satu hal penting. Semakin dewasa umur seseorang, perasaan mereka pun berubah."

Nindy terdiam, menelan kekesalannya dalam-dalam. Tapi sebelum dia sempat merespon, Radha kembali melanjutkan ucapannya dengan berkata, “Pelayan! Tamu kita sudah mau pulang. Tolong antar dia keluar!” teriaknya, hingga beberapa pelayan masuk ke ruangan.

“Kau akan menyesali ini, Radha. Ingat kata-kataku.” Bisik Nindy, dan akhirnya dia melangkahkan kaki keluar dari ruangan dengan perasaan kesal.

Saat keadaan mulai sepi, Radha meraih amplop coklat di laci meja rias. “Nah, sekarang bagaimana aku akan memperlakukanmu, Tuan Krisna?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status