"Apa kau sedang mengajakku bercanda?" Krisna menyentuh pipinya yang perih, keningnya berkerut samar. Ia menyeringai dingin. “Kau harusnya bersyukur. Kakek Felix pasti sangat senang saat tahu ‘boneka’ cantiknya telah berhasil memberikan seorang ‘pengganti’ diriku.”
Radha menatap Krisna dengan sorot mata yang penuh luka. Ia masih tak menyangka bahwa Krisna bisa menilainya serendah itu. Dengan tangan gemetar, Radha menyeka air matanya dan mencoba mengambil napas dalam-dalam. “Krisna …,” suara Radha bergetar, menahan tangis. “Kalau memang itu yang kau pikirkan tentang diriku … maka … aku tidak akan membantahnya lagi.” "Akhirnya, kau menunjukkan warna aslimu yang sebenarnya,” ujar Krisna dengan suara rendah namun sarat akan ejekan. “Jika itu yang kau percayai, maka anggap saja begitu.” Ucap Radha. Ia berpikir, tak ada gunanya menjelaskan apapun pada Krisna, sebab pria itu sudah mempunyai label buruk untuknya. Ketegangan kembali memenuhi udara saat Krisna menatap Radha dengan penuh kecurigaan. Matanya menyipit, mengamati setiap detail gerakan wanita di hadapannya. "Apakah ini hanya bagian dari dramamu yang lain?" Krisna menatap Radha dengan tajam, kecurigaan terpancar jelas dari matanya. “Silahkan menilaiku sesuka hatimu, Kris.” Tandas Radha. Kepalanya terdongak ke atas, membalas tatapan Krisna. "Aku sudah memberimu segalanya, tapi kau selalu mencari alasan untuk menciptakan masalah! Apakah semua ini masih belum cukup untukmu?" Tanya Krisna dengan rasa frustrasinya yang kini tak lagi bisa ditutupi. Radha tidak menanggapi, dia hanya tertawa kecil yang terasa begitu getir. “Aku hanya minta cerai, Krisna.” Lalu dengan kemarahan yang masih bergejolak, Krisna berucap, "Baiklah, jika itu yang kau mau." Setelah itu Krisna meninggalkannya seorang diri. Usai Krisna menghilang dari pandangan, barulah Radha merasa seluruh kekuatannya runtuh. Lututnya mendadak lemas, tak bisa lagi menahan beban tubuhnya. Dengan perlahan, Radha merosot ke lantai, membiarkan tubuhnya jatuh begitu saja. Hingga tengah malam, Radha yang masih tak bergairah dengan sorot mata kosong itu dikejutkan oleh suara teriakan dari salah seorang pelayan. “Nyonya Radha,” panggil pelayan itu dengan napas terengah-engah. “Tuan Krisna baru saja diantar pulang oleh Nona Nindy. Dan keadaan beliau … sepertinya Tuan Krisna sedang mabuk berat.” Radha yang sedang duduk melamun di atas kasur dan belum sempat mengganti pakaiannya, terlonjak kaget. “Mabuk?” Pelayan itu mengangguk cepat. “Iya, Nyonya.” Meskipun hati Radha masih sangat terluka, nyatanya Radha tak bisa menahan dirinya untuk tidak khawatir pada Krisna. Tanpa berpikir panjang, Radha segera beranjak dari tempat tidurnya dan turun ke lantai bawah. Di ruang tamu, Radha melihat Nindy sedang berusaha menahan tubuh Krisna yang hampir tidak mampu berdiri sendiri. Melihat hal itu Radha melangkah maju, tetapi Nindy dengan sigap langsung membawanya ke dalam kamar Krisna. Walaupun perasaannya sekarang sedang campur aduk, antara rasa sakit, cemburu dan juga cemas, Radha tetap mengikuti Nindy dari belakang. “Terima kasih, Nindy … karena sudah membawa Krisna pulang dengan selamat,” ujar Radha. Namun, alih-alih memberikan respon yang baik, Nindy berbalik menatap Radha dengan sorot mata yang tajam dan penuh emosi. Dan tanpa diduga, Nindy tiba-tiba bangkit lalu menampar wajah Radha dengan keras. Plak! Radha yang terkejut, mundur beberapa langkah sambil memegangi pipinya yang terasa perih. “Ini semua salahmu, Radha! Krisna seperti itu karena dirimu!” Nindy menyentak, marah. Ia menatap benci pada Radha, seolah tak cukup puas hanya dengan satu tamparan. “Kau tahu Krisna mencintaiku, tetapi terus berlagak menjadi sosok istri yang baik. Jika kau sadar diri, kau seharusnya pergi dari sini!” Radha mengepalkan tangannya, berusaha menahan rasa sakit yang semakin menghimpit hatinya. Namun, Radha tidak membiarkan dirinya terjatuh lebih dalam oleh kata-kata pedas Nindy. Dengan suara yang tenang namun tegas, Radha menjawab, “kau boleh mengatakan apapun yang kau mau, Nindy. Aku mungkin akan pergi, tapi itu bukan karena kau yang menyuruhku. Melainkan murni keinginanku.” Nindy terdiam dan matanya melebar. Mungkin terkejut, pasalnya selama ini Radha hanya gemetar saat Nindy mengintimidasinya. Radha lalu melanjutkan, “Krisna mungkin mencintaimu lebih dari apapun. Tapi kenyataannya, Krisna hanyalah laki-laki yang tersesat dalam kebingungan dan amarahnya sendiri.” Raut wajah Nindy mengeras, dan sorot matanya menyala penuh amarah. Ia menggertakkan gigi, berusaha menahan diri agar tidak kembali meluapkan emosinya. “Kau tidak tahu apa-apa, Radha,” Nindy berdesis tajam. “Kau hanya perempuan yang tiba-tiba masuk dalam hidup Krisna. Berbeda dengan aku yang tahu segalanya tentang diri Krisna. Itulah yang tetap membuatnya kembali padaku, meski kau ada di sini.” Radha menatap Nindy dengan tatapan lembut namun penuh keyakinan. “Mungkin kau benar. Tapi kau lupa satu hal penting. Semakin dewasa umur seseorang, perasaan mereka pun berubah." Nindy terdiam, menelan kekesalannya dalam-dalam. Tapi sebelum dia sempat merespon, Radha kembali melanjutkan ucapannya dengan berkata, “Pelayan! Tamu kita sudah mau pulang. Tolong antar dia keluar!” teriaknya, hingga beberapa pelayan masuk ke ruangan. “Kau akan menyesali ini, Radha. Ingat kata-kataku.” Bisik Nindy, dan akhirnya dia melangkahkan kaki keluar dari ruangan dengan perasaan kesal. Saat keadaan mulai sepi, Radha meraih amplop coklat di laci meja rias. “Nah, sekarang bagaimana aku akan memperlakukanmu, Tuan Krisna?”Radha menarik napas panjang saat berdiri di depan pintu rumah Freya, ibu tirinya. Untuk sesaat, ada semacam beban berat yang menggantung di hatinya. “Bu, ada yang ingin aku bicarakan,” kata Radha, berusaha tetap tenang.Freya sedang duduk di ruang tamu dengan ponsel genggamnya ketika Radha masuk. Perhatiannya seketika teralihkan, ia melayangkan pandangan tajam yang begitu menusuk ke arah Radha. “Soal apa? Jika ini menyangkut masalah rumah tanggamu dengan Krisna, maka simpan saja untuk dirimu sendiri.” Freya mengangkat alisnya, tanda tidak sabar. “Aku sudah memberikanmu begitu banyak saran yang bisa kau lakukan, tapi tetap saja tak bisa memenangkan hati suamimu sendiri. Kau memang payah!”Radha tertunduk sejenak, lalu menggeleng pelan. Menciptakan kerutan halus di dahi Freya. Sementara itu, kedua tangan Radha yang terasa dingin, meremas kuat gagang tasnya.“Bukan? Lalu tentang apa? Katakan dengan cepat, karena sejam lagi aku harus pergi arisan dengan ibu-ibu pejabat di Bunga Rampai.”
Radha seketika terdiam. Tubuhnya membeku usai mendengar ucapan Freya. Kalimat tanpa perasaan yang keluar dari bibir Freya, bagaikan anak panah yang melesat begitu cepat dan menghancurkan jantung Radha. 'Nyawaku?' Sungguh sangat sulit dipercaya bahwa wanita di depannya, sosok orang tua yang seharusnya melindungi anak-anaknya, dengan begitu enteng meminta sesuatu yang sangat mengerikan. Mata Radha berkaca-kaca. Namun belum sempat ia merespon, Freya kembali mengikis jarak antara mereka berdua dan mendekatkan wajahnya ke telinga kanan Radha dengan senyuman penuh kebencian. “Pilihannya ada di tanganmu. Dan mari kita lihat, entah aku atau dirimu yang mati dalam pertaruhan ini.” Bisik Freya. Radha merinding, seluruh tubuhnya bergidik hebat. Dia ingin membantah ucapan ibu tirinya itu. Namun sebelum kata-kata itu bisa keluar dari bibirnya, Freya mencengkeram pergelangan tangan Radha dengan sangat kasar dan menyeretnya keluar dari rumah secara paksa. “Pergi kau dari sini!” Freya
“Wanita tidak tahu malu. Kau ingin aku merobek mulutmu yang kurang ajar itu, hah?!” Gayatri memekik, tangannya menunjuk Radha seolah ingin menerkamnya. “Kau pikir kau siapa?! Istri yang tak becus menjaga suaminya sendiri, berani bicara seolah kau lebih baik dariku?” Di tengah amukan Gayatri, Nindy melangkah maju berusaha menenangkannya dengan tatapan licik yang tidak bisa disembunyikan. “Sudah, Ma, tenanglah. Tolong jaga tensi Mama. Dan jangan biarkan orang seperti dia merusak suasana hati kita,” Nindy menyindir dengan suara lembut namun sarat sindiran. “Seseorang yang tumbuh dalam keluarga yang hanya mementingkan uang, tidak akan pernah bisa menghormati orang lain dengan benar. Mereka hanya tahu soal uang. Tidak dengan kesopanan.” “Kalau begitu, tindakan yang menjerumuskan anaknya dengan menawarkan wanita lain sebagai pengganti yang dianggapnya ‘layak’, apakah pantas disebut sebagai orang tua yang baik?” Balas Radha, balik menatap tajam ke arah Nindy dan Gayatri secara bergantian.
Baik Gayatri maupun Nindy, keduanya terdiam sejenak dan memandang Radha dengan tatapan penuh keterkejutan yang berubah menjadi ketidakpercayaan. Nindy, yang berada di sebelahnya, menggigit bibir bawahnya, tampak gelisah mendengar ucapan Radha yang begitu tegas. “Apa maksudmu?” Gayatri akhirnya membuka suara dengan nada dingin. “Cucu pengganti Krisna?” Radha mengangguk pelan, tetapi tetap mempertahankan ketenangan di wajahnya. “Kakek Felix tahu apa yang dia inginkan. Dia ingin memastikan masa depan keluarga Harlingga tetap terjaga, dan baginya, cucu dari garis keturunan langsung adalah solusi terbaik.” Kepala Gayatri menggeleng lemah. "Tidak. Ini... ini pasti tipuanmu," suara Gayatri bergetar, namun berusaha tetap terdengar keras. "Kau pasti telah menjebak putraku dengan menghasut Kakek Felix agar beliau marah besar dan menjatuhkan hukuman seperti itu!” Radha menatap Gayatri dengan senyum pahit yang tak kunjung hilang dari bibirnya. "Bahkan kali ini pun, saat semuanya jelas-jelas b
“Apa yang sudah terjadi sama Krisna, Ma?” bisik Nindy, mempersempit jaraknya dengan Gayatri. “Bukankah waktu itu dia yang paling ingin berpisah dari Radha?” “Mama juga tidak tahu, Nindy,” kesal Gayatri, terlihat semakin geram. Perkiraannya bahwa ia bisa menyingkirkan Radha dengan mudah, nyatanya meleset sangat jauh. Krisna malah menolak bercerai dari Radha. “Seperti telah terjadi sesuatu. Dan mama yakin, penyebabnya adalah dia! Perempuan licik ini pasti telah menggunakan ilmu hitam untuk mempengaruhi pikiran Krisna!" Satu lagi tudingan kasar yang dilontarkan oleh Gayatri membuat Radha tersentak. Bagaimana mungkin pemikiran tak masuk akal itu hinggap dalam benak ibu mertuanya? Ilmu hitam? Astaga. Nindy memandang Gayatri dengan gelisah. "Ilmu hitam? Semacam pelet, begitu?" Kejutnya, yang dibalas spontan dengan anggukan kecil dari calon ibu mertuanya. “Ya ampun, Ma. Mama masih percaya begituan? Aku tahu Radha itu memang menyebalkan. Tapi apa iya, Ma, Radha menggunakan ilmu hitam untu
Radha duduk terdiam di atas ranjang rumah sakit. Tubuhnya masih terasa sakit akibat kekerasan yang baru saja ia alami. Wajahnya sedikit memucat, dan luka-luka yang terlihat di beberapa bagian tubuhnya menjadi saksi bisu atas tindakan kasar yang baru saja dialaminya. Gayatri memang tidak pernah menyukainya, tapi tetap saja Radha tak pernah membayangkan bahwa kebencian itu bisa berubah menjadi tindakan fisik yang begitu brutal. Entah apa yang akan terjadi jika seandainya ayah mertuanya tidak datang di waktu yang tepat, Radha mungkin tidak akan selamat dari serangan Gayatri. Tubuhnya pasti sudah hancur lebih parah dari ini. Kini, Radha hanya bisa menatap ke luar jendela dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Sakit fisik yang dirasakannya seakan menyatu dengan luka batinnya yang semakin dalam. Bagaimana bisa hidupnya berubah begitu dramatis? Di tengah lamunannya, tiba-tiba suara ketukan pintu memecah keheningan. Radha segera menghapus air matanya begitu melihat Nakula, adik tirinya, mas
Radha duduk di kursi penumpang. Tubuhnya terasa lelah, tapi hatinya jauh lebih berat. Pandangannya mengarah ke luar jendela mobil, menatap kosong jalanan yang sepi. Di sebelahnya, Saga, yang bersedia mengantarnya pulang dari rumah sakit, tetap fokus mengemudi. Sepanjang perjalanan, mereka hampir tidak berbicara. Hanya ada keheningan yang mencekam. Namun Radha menghargai karena Saga tidak memaksanya bicara. Dia pasti memaklumi, bahwa saat ini Radha hanya butuh waktu untuk memproses semua yang terjadi.Ketika mereka tiba di rumah, Saga mematikan mesin mobil dan membuka pintu untuk Radha. Radha turun dengan pelan, dengan gerakan cukup yang hati-hati karena luka di tubuhnya masih terasa nyeri.“Terima kasih, Kak Saga,” ucap Radha dengan suara lirih.Saga menatap Radha dengan penuh perhatian. “Jangan katakan itu, Radha. Kau sudah seperti adikku sendiri. Jadi, cepatlah masuk dan istirahat. Kalau ada apa-apa, kau bisa hubungi aku
“Jangan bersikap kekanak-kanakan, Radha,” ucap Krisna dengan nada dingin, seolah peristiwa ini tidak berarti apa-apa baginya. “Aku sudah mengingatkanmu untuk tidak membuat drama baru lagi.” Radha tetap diam, namun cengkeramannya pada gagang koper mengencang, menunjukkan bahwa dia takkan mundur dari keputusannya. “Apa ini karena perlakuan mamaku?” Krisna melanjutkan, suaranya terdengar kesal. “Kalau itu masalahnya, besok aku akan datangi mama dan memintanya untuk berhenti ikut campur. Kalau perlu, aku akan memaksa mama untuk minta maaf padamu.” Radha tersenyum kecil, penuh kepahitan. "Tidak perlu, Krisna," katanya tenang. “Sebelum dia minta maaf, aku sudah memaafkannya. Tapi keputusanku tetaplah sama. Aku ingin segera pergi dari sini dan bercerai darimu." Namun, Krisna tidak mendengarkan. Wajahnya mengeras, amarah yang ditahannya kembali menggelembung di dalam dadanya. “Aku sudah pernah bilang, Radha,” suaranya sekarang lebih rendah, namun penuh dengan ancaman, “Aku tidak akan perna
Krisna berjalan mondar-mandir di ruang tamu rumahnya yang luas dengan ekspresi wajah penuh kemarahan. Suara sepatu kulitnya yang beradu dengan lantai marmer menggema di seluruh ruangan, menciptakan ketegangan yang semakin mencekam. Di tangannya, ponsel yang sudah berkali-kali ia gunakan untuk mencoba menghubungi Radha. Namun, sama seperti sebelumnya, tidak ada jawaban.“Kenapa tidak diangkat juga?! Apa dia sengaja menghindar?!” Krisna menggerutu keras, nada suaranya mencerminkan amarah yang semakin mendidih.Ia mencoba menelepon sekali lagi, menunggu dengan tidak sabar hingga nada sambung berhenti. Hasilnya tetap sama, dan Krisna kehilangan kendali. Dengan kemarahan yang tak tertahan, ia membanting ponselnya ke lantai. Ponsel itu pecah berkeping-keping, membuat para pelayan yang berada di ruangan itu tersentak dan mundur beberapa langkah karena ketakutan."APA KALIAN SEMUA AKAN DIAM SAJA SEPERTI INI?!" Krisna berteriak, menatap tajam ke arah para pelayan dan pegawai yang berdiri membe
Malam telah larut, namun Nakula tak beranjak dari sisi tempat tidur. Di kursi dekat kepala ranjang, ia duduk dengan punggung tegap, matanya terus mengawasi kakaknya yang terbaring lemah. Kamar vila itu dihiasi lampu remang yang memancarkan suasana damai, tetapi Nakula justru merasa gelisah.Sesekali, ia mengusap wajahnya, mencoba menghalau rasa kantuk yang menghadang. Radha belum juga sadar. Dokter memang mengatakan bahwa kondisinya cukup stabil, tetapi tubuhnya yang pucat dan napasnya yang terengah membuat Nakula tak bisa berhenti khawatir.Waktu terus bergulir. Suara langkah pelayan yang melintas di luar kamar sesekali terdengar. Hingga akhirnya, Radha bergerak sedikit, kelopak matanya perlahan terbuka.“Kak Radha?” panggil Nakula dengan nada cemas, langsung berdiri dan mendekat. “Kakak sudah sadar?”Radha memutar kepalanya perlahan, ekspresi bingung tergurat jelas di wajahnya. “Nakula? Apa yang terjadi?”Nakula tersenyum lega, meskipun hatinya masih terasa berat. “Kak Radha pingsa
"Mereka kabur lewat belakang! Cepat kejar mereka!"Nakula merasa dadanya seolah hendak meledak karena panik. Ia memandang Saga dengan tatapan penuh kecemasan.Saga hanya tersenyum samar. "Jangan lihat ke belakang. Lari sekarang!"“Kak Saga mau ke mana?” Tanya Nakula dengan nada gemetar. “Jangan bilang kalau—”Nakula ragu sejenak, tetapi akhirnya menurut. Ia kembali melangkah dengan cepat, membawa Radha menyusuri jalan setapak yang gelap. Sementara itu Saga berbalik, menghadapi para pengejar yang kini semakin dekat.Saat Nakula berhasil mencapai mobil dan menurunkan tubuh Radha ke kursi belakang, ia mendengar suara bentrokan dari arah belakang. Sepertinya saat ini Saga tengah berhadapan langsung dengan para pengejar itu sendirian.Namun, sebelum Nakula sempat memutuskan apa yang harus dilakukan, pintu mobil di sebelahnya tiba-tiba terbuka. Nakula tersentak, tetapi merasa lega saat melihat Saga masuk dengan napas terengah-engah.“Pasang sabuk pengamanmu. Kita pergi sekarang,” kata Saga
"Kak Radha, bangun, Kak! Jangan bikin aku takut begini!" suara Nakula pecah, dipenuhi rasa cemas. Ia menepuk-nepuk pipi Radha dengan lembut, berharap ada reaksi.Namun Radha tetap diam, hanya napasnya yang terdengar berat dan terputus-putus. Nakula memegangi tangan Radha, merasakan dinginnya kulit kakaknya yang seolah kehilangan tenaga."Astaga … aku harus bagaimana?" Nakula berdiri, mondar-mandir di sekitar kasur. Ia ingin membawa Radha ke rumah sakit, tetapi itu terlalu berisiko. Jika ada yang mengenali Radha, apalagi dari keluarga Harlingga, semua rencana mereka akan hancur.Matanya terpaku pada tas kecil milik Radha yang tergeletak di lantai. Dengan cepat ia meraihnya dan membuka isinya, berharap menemukan sesuatu yang bisa menjelaskan kondisi Radha.Matanya terpaku pada tas kecil milik Radha yang tergeletak di lantai. Dengan cepat ia meraihnya dan membuka isinya, berharap menemukan sesuatu yang bisa menjelaskan kondisi Radha.Ia menemukan beberapa barang biasa—dompet, ponsel, kun
“Selamat tinggal, Krisna ....”Saat kembali ke ruang tamu, Radha terlihat lebih nyaman dalam pakaian barunya. Nakula tersenyum kecil. “Nah, sekarang lebih masuk akal. Kalau begitu, kita bisa langsung pergi?”Radha mengangguk. Ia mengambil tas kecilnya dan memeriksa sekali lagi untuk memastikan semua barang penting sudah terbawa. “Aku sudah siap.”“Tunggu,” ujar Nakula tiba-tiba. “Kakak yakin tidak ada yang perlu diberi tahu? Bibi Maryam, mungkin?”Radha menggeleng. “Aku sudah memberitahu Maryam bahwa aku akan pergi ke pesta Kakek Felix dan pulangnya bersama Krisna. Aku juga meminta dia dan para pelayan lain untuk istirahat lebih awal malam ini. Jadi mereka tidak akan curiga.”Nakula mengangguk, meski raut wajahnya masih dipenuhi kekhawatiran. “Baiklah. Ayo pergi sekarang, Kak. Sebelum ada siapa pun yang menyadarinya.”Radha mengangguk. Keduanya pun berjalan menuju tempat masuk Nakula tadi. Namun baru saja Radha membuka sedikit pintu dapur yang terhubung dengan gerbang samping, ada Pak
Radha duduk termenung di depan meja riasnya. Tatapan matanya kosong menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya sudah dipoles sempurna, gaun anggun berwarna biru tua membalut tubuhnya, rambutnya ditata dengan elegan. Namun, di balik keindahan penampilannya, ada luka yang tak terlihat. Luka yang terus menggerogoti hatinya.Pesta penting yang diadakan Kakek Felix seharusnya menjadi ajang untuk menunjukkan bahwa ia masih istri yang layak di mata keluarga Harlingga. Namun semua kejadian hari ini membuat Radha nyaris kehilangan energi untuk sekadar berdiri.Pikiran Radha berkelana ke peristiwa yang baru saja ia alami. "Apa lagi yang harus aku hadapi di pesta nanti?" ia bergumam, suaranya hampir tak terdengar.Dadanya terasa sesak saat mengingat bagaimana dirinya memergoki Krisna bersama Nindy, sahabat yang katanya paling Krisna cintai. Melihat mereka berdua saling berpelukan dengan sangat intim di dalam kamar pagi tadi masih terbayang jelas di p
"Selama ini aku sudah cukup diam dan mendengarkan semua kata-kata kalian," ucapnya, menatap tajam ke arah Freya. "Tapi kali ini, giliran kalian yang harus mendengarkanku." Freya menatap Radha dengan mata menyipit, jelas tidak suka dengan nada tegas yang digunakan Radha. Nirmala, yang tampak tidak terima melihat ibunya ditegur, langsung menyela, "Kak Radha, kau tidak bisa memperlakukan Ibuku seperti ini! Apa hakmu—" Radha menoleh tajam pada Nirmala, suaranya dingin namun tegas, "Tolong, Nirmala. Jangan menyela pembicaraan orang dewasa saat kami bicara." Nirmala terdiam seketika, wajahnya memerah karena malu dan marah, namun tak ada lagi kata-kata yang keluar dari bibirnya. "Ini adalah hidupku, pernikahanku, dan itu juga berlaku untuk Krisna. Biarkan kami berdua yang memutuskan apa yang terbaik untuk kami, bukan kalian," ujar Radha, suaranya tegas namun tidak terburu-buru. Dan setiap kata yang keluar seolah menghantam langsung ke hati pendengarnya. Freya tampak ingin membuka mulut
Radha menatap Nindy yang berdiri di ambang pintu dengan senyuman kecil di wajahnya. Kejutan tadi berubah menjadi ekspresi senang yang tak bisa ditutupi. “Benarkah kau ingin bercerai, Radha?” tanyanya dengan nada hampir penuh kegembiraan. “Itu berarti Krisna akan lepas darimu, dan aku—kami—bisa hidup bahagia bersama tanpa gangguan.” “Jangan asal bicara kau, ya?!” ujar Freya dengan nada tajam. “Tidak ada yang akan bercerai di sini. Kau pikir kami akan membiarkan Krisna dan Radha berpisah begitu saja? Tidak semudah itu.” Nindy mendengus pelan, menatap Freya dengan tatapan meremehkan. “Tante Freya, bukankah lebih baik jika mereka berpisah saja? Radha sendiri yang ingin berpisah, dan Krisna jelas tidak lagi menyukainya. Jadi, apa gunanya mempertahankan pernikahan yang sudah tidak diinginkan oleh kedua belah pihak?” Freya melipat tangan di dada, menatap Nindy tajam. “Siapa bilang? Kalau Krisna memang tidak menyukai Radha, terus kenapa sampai sekarang Krisna tidak juga menceraikan Radha?
Radha baru saja tiba di rumah setelah hari yang panjang dan melelahkan. Ia berharap bisa menemukan ketenangan di dalam rumah, tetapi pemandangan yang menyambutnya jauh dari apa yang ia bayangkan. Di ruang keluarga, Freya dan Nirmala, ibu tiri dan adik tirinya, tengah asyik menonton televisi sambil makan camilan dengan santai. Remah-remah berserakan di atas meja, lantai penuh dengan bungkus makanan yang dibiarkan berserakan, dan sofa pun terlihat berantakan karena mereka meletakkan kaki tanpa ragu. Seketika seorang pelayan datang menghampiri Radha dengan wajah cemas. "Maaf, Nyonya Radha, kami tak sengaja membiarkan mereka masuk. Tadi mereka langsung masuk tanpa permisi," kata pelayan itu dengan nada menyesal. Radha hanya tersenyum kecil dan menggelengkan kepala. “Tidak apa-apa. Terima kasih sudah memberitahu. Kau bisa lanjutkan pekerjaanmu saja,” jawab Radha dengan nada lembut. Setelah pelayan itu pergi, Radha melangkah mendekati Freya dan Nirmala. Baru saja ia sampai di depan s