Andrew Xavi Damir Dewandaru, sering juga dipanggil Andy, tak menyangka terjebak dalam sekenario yang di buat untuk kembali menghancurkannya. Pertama pertemuannya dengan Afrina, membawanya masuk kedalam cinta yang menyakitkan. Walau pada mulanya bagi Afrina, Andrew adalah sosok penolong kapanpun ia mendapat masalah. Bagi Andrew, Afrina adalah sosok lembut yang harus ia lindungi. Tapi wanita yang membuatnya menyerahkan hati dan impiannya, itu teryata mantan kekasih adik tirinya, dan hubungan yang ia impikan tidak berjalan dengan lancar. Kedua ia harus kembali mendekam di penjara atas jebakan yang diberikan padanya itu. Hingga ia semakin terpuruk dan hancur lebih dalam. Dari situlah ia berniat membalas dendam terhadap apa yang sudah dialaminya. Setelah mengalami berbagai kehancuran dalam hidupnya, Andy, memulai bisnis gelapnya dengan berkedok model agensi di mana ia menjalankan bisnisnya dengan menyalurkan bakat gadis-gadis muda dan cantik untuk dijadikan sebagai model dan dengan iming-iming mendapatkan peran di berbagai film. Namun ia juga hendak mengeruk keuntungan ganda di dalamnya. Kesenangannya pun dimulai. Hingga Andrew dipertemukan dengan gadis belia bernama Rycca Magani Hardiyata tidak hanya berniat menghentikannya tapi ternyata memberikan pengaruh hingga mengubah hidupnya ke jalan yang benar. Andrew hanya punya dua pilihan, memperturutkan penyimpangan jalan hidupnya selama ini atau larut dalam imbas keberadaan Rycca. Dengan kenyataan ia sudah menjadi benci kepada semua wanita yang ia temui. Di sisi lain Andrew masih belum bisa mempercayai gadis itu sepenuhnya, masih banyak keraguan yang ditimbulkan oleh Rycca. Itulah mengapa ia tak boleh kalah dari gadis itu. Rycca lah yang harus jatuh di tangannya. Baginya bukan ia yang harus dikalahkan, justru Rycca harus bertekuk lutut kepadanya, seperti itulah seharusnya semua wanita.
Lihat lebih banyakHari ini isi jalanan begitu buruk. Kami semua, yakni kaum aspal dan kaum lampu merah berjibaku dengan asap, pekatnya lumpur jalanan dan guyuran hujan. Di atas kepala kami, guruh yang menggema berbarengan dengan rintik hujan, membersihkan legamnya tubuh kami yang biasanya berpeluh. Hujan lebat menerpa mulai dini hari, betah sekali turun hingga tengah hari. Untungnya daerah kami tidak mudah banjir.
Sudah dari tengah malam aku sudah terjaga karena aku hanya bisa makan sebungkus nasi kucing kemarin. Jadilah semalaman perutku perih melilit. Aku tidak dapat tidur karena itu. Di siang hari ini, melihat kenyataan uang yang aku dapatkan dari hasil mengamen di lampu merah juga begitu cekak. Paling tidak bisa aku gunakan untuk membeli nasi kucing untuk mengganjal perihnya perutku.
Hujan yang turun dari semalam seolah tidak rela berhenti begitu saja membiarkan aku mendapatkan uang hingga siang ini. Mungkin ia tahu aku sedang flu. Jadi memang seharusnya aku tidak keluar hari ini. Hujan ini seperti diperintahkan turun untuk membuatku diam beristirahat di dalam kontrakanku yang sangat kecil. Tapi mau bagaimana lagi, tuntutan pusaran hidup, menjurusku menghimpun recehan sebanyak yang aku bisa.
Setelahnya, aku hitung uang yang aku dapatkan total hanya dua puluh lima ribu rupiah. Sungguh jumlah ini masih kurang untuk membayar hutang kopi ku di warkop langgananku. Aku harus mencari tambahan lagi. Jika tidak, maka aku harus tidur dengan perut keroncongan lagi.Aku putuskan berlanjut dari rumah ke rumah. Aku jadi memikirkan ulang jika harus singgah di depan pintu para 'donatur terpaksa' saat harus berbasah kuyup di teras rumah mereka. Pastinya itu bisa membuat mereka jengkel karena kaki kotorku. Kenapa aku bilang 'donatur terpaksa'? Jelas saja, karena pastinya ada di antara mereka yang terpaksa memberikan walau sekedar recehan kepadaku.
"Permisi!" aku mulai memberi sinyal kedatanganku, mulailah kupetik ukulele yang sama lusuhnya dengan kemejaku.
"Lewatin aja, Mas! Gak ada receh!" teriak wanita pemilik rumah dari dalam.
Hingga aku berpindah lagi ke rumah yang lain. "Permisi!" aku lakukan lagi, lalu mulai bernyanyi.
Tapi Byurrr! Tiba-tiba aku rasakan guyuran air mungkin sebanyak satu ember tepat jatuh menggebyur di atasku, "Haacihhh ...! Hah!" aku pun kembali basah dan mulai bersin-bersin.
"Ya ampun, Mas! Maaf ya, aku nggak tahu ada orang di bawah!" ucap seorang wanita pemilik rumah dari lantai atas yang kepalanya menjulur keluar melihatku dari jendela kamarnya.
Rasanya aku ingin mengumpat. Pakaianku baru saja setengah kering. Namun, aliran darahku biasa tertahan dengan semua keadaan ini. Jadinya, kuabaikan sajalah.
"Lagi pula ini ngapain sih ini ngamen di sini? Saya telpon Pak RT saja kamu supaya di usir dari sini! Harusnya lingkungan ini bersih dari para pengamen semacam kamu ini, pergi sana!" celetuk Pria paruh baya lain dari arah dalam yang sepertinya suaminya, yang baru saja keluar tapi malah mengusirku.
Dan begitu saja terus, dari sejumlah rumah yang aku datangi, hanya ada sebelas rumah saja yang memberiku recehan. Yang lain menolak. Aku pasrah jika mungkin tidak bisa mendapatkan banyak dengan nyanyian suaraku yang serak karena batuk dan flu ku masih kuderita ini.
Badanku kembali meriang gara-gara guyuran ibu tadi. Padahal flu ini sudah menyerangku lima hari ini. Sambil berjalan di kawasan Pasar Besar, aku menghitung beberapa uang logam seribuan yang aku genggam di tangan. Dari jumlah yang telah aku sisihkan, sudah cukup untuk membayar hutangku di warung makan langgananku. Juga selembar uang dua ribuan yang basah karena genggamanku yang kuyup.
"Ampun, Mas! Mau bagaimana lagi? Wong dapatnya ya cuma segitu!" suara teriakan seorang pemuda aku dengar mengerang dari balik pagar yang ku lewati.
"Sedino ki bayar telung puluh ewu, wes paling sitik, liyane malah seket ewu saben dino!" (Sehari itu bayar tiga puluh ribu, sudah paling sedikit, yang lain malah lima puluh ribu sehari!) terdengar suara Narko salah seorang preman pasar dengan nada lebih tinggi.
Lalu dilanjut dengan suara gedebuk pukulan dan tendangan. Ditambah lagi erangan si korban yang merintih kesakitan. Membuatku tertarik untuk melihat lebih lagi. Sebenarnya aku tidak mau berurusan dengan gerombolan preman satu ini. Bukannya takut, tapi aku tidak mau menambah masalah hidupku. Sudah cukup bagiku kesulitan yang aku alami, aku tidak mau menambah ceritanya menjadi lebih pahit lagi.
Aku mencoba memanjat dan aku melihat seorang pria berbadan kecil sedang diangkat terbalik oleh Narko yang berbadan tinggi besar dengan lengannya yang besar berotot kekar dan legam. Pria kecil yang ditenteng terbalik itu tampak pasrah saat semua isi kantongnya berjatuhan berceceran di lantai tanah. Pemandangan yang ironi memang. Tapi sudah kebiasaan mereka berbuat seperti itu.
Anak buah Narko pun memunguti uang dan beberapa barang yang berjatuhan itu dan menyita yang mereka anggap berharga. Termasuk ponsel pria kecil itu. Setelah semua barang mereka sita, pria kecil itu dijatuhkan dengan entengnya oleh Narko. Setelah itu Narko melenggang pergi tanpa mau menengok korbannya lagi.
"Mas, itu hape saya satu-satunya, Mas! Jangan diambil, Mas! Buat telpon embok dan adek saya di desa!" ujar pria itu kemudian mengejar Narko saat ia menyadari ponselnya lolos dari kantong celananya.
"Kowe kuwi wis paling tak penak ne kok sek kurang ae! Sadhuk ae iki sing paling tepak!!" (Kamu itu sudah tak mudahkan kok masih kurang saja! Tendang saja ini yang paling pantas!) seru Narko seraya menepuk anak buahnya yang berbadan sama kekarnya dengan dia menyuruhnya menendangi pria pemilik ponsel itu.
Kasihan sekali aku melihatnya. Kebetulan ada beberpa ulat bulu yang melintas melewati pagar di depan mataku. Aku ambil saja ulat itu dengan daun kering. Sedangkan Narko dan tiga anak buahnya yang lain masih sibuk menghantam berkali-kali. Hingga saat terakhir mereka akan menyudahinya dengan beberapa tendangan tubuh pria kurus itu. Sambil merekamnya diam-diam, aku tenang saja di tempatku mengintip, aku jatuhkan satu per satu ulat bulu yang aku temukan itu ke atas kepala mereka tanpa mereka tahu. Aku masukkan kembali ponselku ke kantong setelah beberapa kali mengambil gambar dan video pemukulan itu. Aku melanjutkan perjalanan ku dan aku melewati pria kecil yang masih terisak kesakitan itu.
"Opo iki? Aku gatal kabeh rasane!" (Apa ini, gatal semua rasanya!) celetuk salah satu anak buah Narko rupanya dia mulai merasakan ruam di lengannya.
"Eh aku iyo, iki gegerku panas! Guatal banget!" (Aku juga ini punggungku rasanya panas! Gatal banget!) celetuk Narko menggaruki punggungnya.
"Lha iki uler Boss! Ning klambine sampean! Uler geni koyok'e!" (Lha ini ulet, Boss! Di bajumu! Ulat api kayaknya) sahut anak buahnya yang lain mengibaskan ulat itu dari bahu Narko.
Aku cekikikan sendiri di balik pagar menertawakan berhasilnya aku menggagalkan kejahatan mereka itu. Rasakan saja mereka kali ini. Mereka memang pantas mendapatkannya. Mereka sering menindas orang yang lebih lemah, meminta uang kepada pedagang atau anak sekolah yang lewat. Bahkan melakukan pencurian kendaraan bermotor yang lupa tak dikunci oleh pemiliknya.
"Uler thok ning kene! Ayo bali ae ning pasar besar! Hapemu tak sita, kowe kudu bayar hutangmu dino iki tambah jatah sesok! Baru hapemu iso balik!" (Banyak ulat di sini! Ayo balik saja ke Pasar Besar! Hapemu saya sita, kamu harus bayar hutangmu hari ini ditambah dengan jatah besok! Baru hapemu bisa kembali!) ujar Narko ke hadapan pria malang itu.
Setelah para preman itu menyerah dan segera meninggalkan pria malang itu. Aku pun menghampiri untuk melihat keadaannya. Ia menatapku dengan tajam, menatap tubuhku yang tinggi dan tulangku yang tegap dan besar, aku rasa ia mengira jika aku salah satu dari anak buah Narko mungkin. Di wajahnya lebam dan membiru, begitu juga sekujur tubuhnya. Aku mengulurkan tangan padanya.
"Jangan, Mas! Jangan! Aku sudah nggak punya apa-apa lagi!" serunya seraya menutupi wajahnya dengan kedua lengannya.
"Ayo, aku bantu berdiri!" sahutku sembari mengangkat tubuhnya.
Ia pun mengerjap, menatap tanganku yang meraih lengan kurusnya itu. Dengan masih ragu ia pun berdiri dan mengambil tas lusuhnya. Lalu aku berdirikan sepedanya dan membenarkan posisi kotak penyimpan alat jahit sepatunya.
"Aman, nggak ada yang tercecer!" ucapku setelah melihat kondisi kotak penimpanan di sepedanya itu masih utuh, tidak terbuka sama sekali.
"Terima kasih, Mas!" ujarnya padaku. Mungkin pandangannya padaku sudah mulai berubah sekarang.
Aku mengeluarkan sedikit uang ku, dua gapit uang dua ribuan yang tiap gapitnya aku isi dengan sepuluh lembar. "Aku hanya punya ini!" aku memasukkannya ke dalam kantung hemnya yang kumal itu.
Matanya memandangku diiringi dengan rembesan air, "Terima kasih, Mas!"
Aku mengangguk dan melenggang pergi setelahnya. Ini sudah lepas siang hari, sudah waktunya aku untuk mencuci piring di warung makan Bu Asih. Tapi sedari tadi pria kecil itu masih mengekor di belakangku sambil menuntun sepedanya. Saat aku menengok ke arahnya ia membuang pandangan ke arah lain.
Apa dia mengikutiku? Tapi untuk apa?
Aku geram, Alex banyak sekali melontarkan alasan untuk ngotot ikut denganku di penangkaran. Sudah ku katakan keadaan di sana masih berbahaya. Sedangkan aku sangat membutuhkan dia di kantor pusat. Produk kosmetik tante ku sedang gencar-gencarnya dicari di pasaran. Bagaimana ia bisa mengabaikan begitu saja perintahku. Bersikap santai seolah-olah tidak terjadi bahaya yang mengintai di penangkaran kami."Siapa yang dari dari tadi mengikuti kita di belakang?" tanyaku heran, sudah lebih dari setengah jam mobil di belakangku mengekor tanpa henti bahkan kecepatan mobil itu menyesuaikan dengan mobil yang ku kendarai."Gondes, aku lihat mas Andrew kukuh tidak mau mengajakku jadi ya buat menambah kewaspadaan kita, aku membawa gondes beserta grupnya." cengenges Alex membanggakan apa yang telah dilakukannya."Lex, tau apa yang sudah kamu lakukan? Tindakanmu justru akan memancing kemarahan mereka! Kenapa kamu bisa seceroboh ini? Bantuan mereka aku abaikan, kita malah membawa bantuan semacam ini!"
"Kamu harus makan dengan banyak, jangan lupakan makan siang! Musuhmu mudah melemahkanmu di saat kamu lapar!" sergah Tante Margareth mengagetkanku, beliau tiba-tiba berada di depan meja kerja ku sembari menyodorkan kotak makan bersusun yang terbuat dari kaca dengan ornamen indah pada tutup dan pegangannya."Terima kasih, Tante untuk makan siangnya! Maaf aku tidak ikut dalam peluncuran produk kita, aku malah menyerahkan semua kepada Tante!" aku mengiba karena wajah tanteku tampak lelah sekali siang ini."Aku paham kamu sedang banyak masalah di penangkaran. Mengurusi mutiara, mengurusi karyawan yang kena musibah, belum lagi perbaikan laboratoriummu. Justru aku senang bisa membantumu, Nak!""Apalah aku tanpa Tante! Tante sudah makan? Ayo makan bersamaku!""Setelah lounching produk kita, aku sangat bersemaangat karena respon masyarakat yang bagus kepada kita! Gabungan antara mutiara premium, bluberry dan yuju orange. Mereka sangat tertarik dengan kombinasi produk kita itu! Saking senangnya
Aku segera mendatangi lokasi penangkaran yang diserang itu, "Berapa orang yang datang?" aku menanyai beberapa security yang bertugas siang ini. Mereka hanya bisa menunduk dan gemetar, ruang kemanan terlihat rusak parah. Kantor bagian depan dan tengah juga bernasib sama. Semua akuarium besar pun tak luput dari sepakan-tendangan dan penghancuran geng bengal itu. Pos penjagaan saja serusak itu, bisa ku bayangkan bagaimana keadaan orang-orang di dalamnya. Mereka sengaja terlebih dulu menghancurkan CCTV, sebelum menyerang ruang tengah sebagai sasaran utama mereka. Sengaja agar wajah dan tindak tanduk mereka tidak terbaca. Menurut cerita yang kudapat dari security yang bertugas, dengan sekali tebas menggunakan parang yang mereka bawa, mereka bisa meremukkan alat perekam itu hingga menjadi kepingan yang kini aku saksikan puingannya berceceran di atas lantai."Menurut rekan kami, mereka berjumlah sekitar lima puluhan orang, Pak! Menyerang dari depan dan memporak-porandakan semua, pak!" teran
Akhirnya aku bisa kembali ke kantorku. Masih lekat di ingatanku, betapa lucunya wajah Fenno menahan sakit. Tapi gadis itu, bagus juga pertahanan dirinya. Dia bisa membuat Fenno tak berkutik kepadanya. Lumayan untuk sebuah hiburan. Aku mulai melajukan mobilku keluar dari tempat parkir dan bersiap menuju jalan utama. Namun, ... Cyiiittt! Hampir saja aku menabrak seorang wanita yang melintas di depan mobilku tiba-tiba. Hijab hitam menutupi kepalanya. Dan gaun kuning emas itu, itu gadis yang sama yang tadi memberi pelajaran untuk Fenno. "Cepat lajukan mobilnya!" perintahnya setelah dengan cepat ia memasuki mobilku. Tanpa menengok ke arah belakang atau lainnya, aku menuruti saja permintaannya itu. Lagipula aku juga harus segera kembali ke kantor. Napas gadis itu berantakan, masih memandangi belakang dan spion. Ia terlihat resah jika masih ada yang mengikuti. Apa mungkin Fenno masih mengikutinya? "Kamu sudah aman!" entah mengapa aku keluarkan kata-kata itu. "Kamu nggak paham orang
"Hello kakak? Sedang bersantai di sini juga rupanya? Kebetulan sekali!" ujar Zico dengan senyuman miring angkuhnya, dengan langkah kakinya yang dibuat searogan mungkin, ia semakin mendekati aku. "Mari bergabung ke meja kami! Kami sedang mengadakan pertemuan dengan orang penting jadi mungkin Anda tertarik untuk menambah daftar kolega! Mumpung kami memberikan kesempatan!" ajak besar mulut Zico sembari menyerahkan minuman dingin berwarna putih bening itu kepadaku. "Kebetulan kami punya urusan yang harus diselesaikan, jadi lain waktu saja aku bergabung!" jawabku sembari memundurkan kursi hendak beranjak dari hadapan pemuda tengil ini. "Eits! Mengapa harus terburu-buru!" Zico menahan lenganku membuatku menghentikan langkah, "Tidak baik mengabaikan waktu pertemuan dengan saudara laki-lakimu, Kak. Lagi pula kita jarang punya waktu berbincang, ada baiknya Kakak ikut memberi saran dengan cara kerja kami mengelola perusahaan yang baru diberikan kepada kami ini." Lanjut Zico dengan
"Semua pembiayaan sudah siap, sample juga sudah lolos uji. Aku akan segera menghubungi ibu Margareth dengan kabar baik ini." terang Alex sumringah di sela-sela rapat tertutup kami membicarakan rencana besar ku untuk mulai meruntuhkan Fenno. "Lengkapi semua dokumen biar dia juga bisa mengecek kekurangan produk ini ada di mana. Kita akan siap bekerjasama dengan perusahaan tante ku itu, aku yakin beliau tidak akan menduga jika itu kita." timpalku sembari menandatangani dokumen yang terakhir. "Ya untungnya Belva menyambut baik teleponku, aku tidak menyangka dia bekerja di perusahaan Ibu Margareth," ada nada aneh saat Alex mengatakan ini, tapi aku rasa ada sesuatu terjadi dengannya dan Belva, "Tapi tidak mengapa, dengan begini kita mendapatkan jalan pintas dan kolega yang terpercaya." "Apapun itu yang terjadi padamu dan Belva jangan sampai mempengaruhi pekerjaan!" sindirku ku bubuhi dengan senyuman. "Ah, nggak masalah, aku hanya tidak menyangka bertemu lagi dengan kawan
Pagi ini di sinilah aku berada. Di ruang auction milik bank, untuk mengantongi properti pertamaku. "Aku masih tidak percaya Anda kukuh sekali dengan rumah ini, padahal aku sudah menawarkan lokasi lain yang lebih luas, tapi tetap saja pilihan Anda tidak berubah." keluh Pak Suherman begitu mengambil duduk di sebelahku. "Lokasi ini paling cocok dengan ku, Pak! Jaraknya cukup dekat dengan pasar besar, anak buahku dengan mudah bisa sampai ke sana setiap saat!" ujarku sambil menangkap keresahan di matanya. "Ayolah nak Andrew, pilihan yang ku berikan bahkan lebih dekat dengan pasar itu! Tapi sudahlah, aku percaya saja pada intuisi mu!" senyuman pungkas diberikan Pak Suherman padaku, akhirnya beliau menyerah sambil telunjuknya mengetuk di atas file properti yang akan dilelang hari ini, "Mari bekerja, kita dapatkan rumah ini!" Aku suka gaya optimisnya ini, dia selalu memenangkan banyak kasus, ya memang beliau cukup selektif, tidak semua kasus yang datang, mau ia tangani. Tapi untuk kasus-ka
Pelatuk glock itu ditarik, mata pria itu berkedip, tatapannya seolah berbicara : menghentikanku ... atau mati. "Bajingan dari neraka mana kamu datang, hah?" pekau ku padanya. Benar, si bajingan itu adalah Mario. "Berandalan brengsek! Sudah begitu lama ku tunggu tapi kamu tidak juga menemuiku!!" balasnya kemudian, Aku meraba ada celah kelengahan di sela-sela ceracaunya itu, aku gunakan kesempatan sempit itu untuk menendanng sekuatnya pergelangan pria arogan itu karena hanya aku yang boleh arogan di ruangan ini, dan DARRR! Tembakan itu mengenai dinding di samping kananku. Shitt! Dia benar-benar ingin membakku! Saat ia hendak berbalik mengarah padaku, secepat kilat aku meraih leher dan tanganya yang lain. Aku lipat tangan kirinya ke belakang. Ku cekik leher pria ini dengan gemas di antara lipatan siku kananku dengan seluruh tenaga. Sedangkan ujung glock yang masih di pegangnya, ku jauhkan dari diriku. "Aku harus menghabisi mu!" ujar Mario dengan sekuat tenaga berusaha melepaskan di
"Kemudian Andrew, bisa kamu jelaskan kepadaku tentang semua yang sudah kamu lakukan?" ini pasti karena laporan dari Alex, sehingga Tante Margareth siap mencecar penjabaran kepadaku. Senyum Tante kali ini membuat bulu kudukku merinding. "Aku?" tanyaku resah sembari menelan ludah. Lalu aku mengambil duduk di salah satu kursi di samping kanan Tanteku itu, "... Alex menceritakan apa saja kepada Tante?" sambungku bingung harus mulai dari mana. Karena sudah banyak yang terjadi semenjak kebebasan ku dari penjara. "Pertama geng-geng apa itu...? Aku mendengar dari Romi soal geng itu! Jelaskan kepadaku apa gunanya kamu bergabung dengan mereka!" tanya Tante Margaret dengan intonasi agak tinggi daan cepat, "Alex juga menceritakan banyak sekali hal-hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan hidupmu itu! Apa kamu melakukan semuanya tanpa pikir panjang, hah?" sambil masih menggenggam garpunya, Tante mulai menggebrak jengkel ke atas meja. Kamu tidak lagi hidup di jalanan, kamu pasti paham itu kan,
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen