Mereka semua memberikan tatapan-tatapan yang mengerikan seolah hari ini akan menjadi akhir hidupku. Melihat mereka begitu beringas, membuatku semakin mengencangkan segenap otot di seluruh tubuhku untuk bersiap mendapatkan pukulan serentak dari mereka semua. Kali ini keadaan begitu berat, aku bisa beresiko mendapat pukulan dari arah manapun. Aku bersiap dengan kuda-kudaku. Aku meningkatkan mawas diriku, memperketat pertahanan diriku, hingga tiga orang yang berada di belakangku menyerangku secara bersamaan. Sedangkan tiga pria lagi di hadapanku semakin merangsek ke arahku menyasarkan balok kayu di tangan mereka untuk dipukulkan kepadaku. Aku menghindari dua orang yang berhadapan menyerangku dengan cepat, untung saja gerakanku lebih cepat dari mereka berdua, sehingga keduanya bisa aku hindari dan aku hantamkan pada seorang yang sengaja aku tarik karena menyerangku dari arah depan. Tongkatnya aku tarik dan orang itu ku dorong ke arah dua orang temannya tadi. Jadilah ketiganya sal
Romi membuka tudungnya yang merupakan bagian dari sarung yang dipakainya untuk menutupi sebagian badannya itu lalu ia menyeringai. Di saat yang bersamaan beberapa warga mulai mendekat ke arah rumahku dengan wajah berapi-api. "Selamat malam, Mas Andy, kami dari tadi mengikuti pria ini dari mushollah bawa sepeda, bawa tas besar, kami curiga dia bukan orang sini dan bisa saja berbuat onar di kampung kita ini, Mas!" Seru salah seorang warga menegurku sembari telunjuknya mengarah kepada Romi. Aku melirik tajam ke arah pria yang mengaku Romi itu dan menariknya hingga jatuh terjerembab ke lantai teras. "Ini aku, Mas! Beneran aku, aku nggak punya niat apa-apa, Mas! Aku dari tadi sore mencari Mas Andy tapi Mas Andy nggak ada di rumah!" Romi mengkerut dan beringsut takut dipukuli tanpa alasan oleh para warga. "Tenang bapak-bapak! Dia salah satu teman saya, dan besok saya akan melapor keberadaannya kepada Pak RT setempat! Jadi saya mohon maaf atas ulah teman saya ini, ya Pak! B
"Hey Kakak! Mengapa diam saja? Aku sedang berbicara kepadamu!" seru Zico kepadaku dengan nada lebih tinggi. "Sudahlah!!" henti Fenno Kakak Zico, "Dia itu hanya pura-pura dungu! Aku yakin sebenarnya dia mengerti, iya kan Andrew?" Sudah lama aku tidak dipanggil dengan nama itu, begitu asing rasanya mendengar namaku disebut oleh bedebah seperti dia ini. Fenno memiringkan sebuah senyuman mencebik, melecehkanku. Lalu memasang wajah berbasa-basi, "Sungguh lihatlah keadaanmu, kamu sangat perlu dikasihani! Pakaian lusuh, warnanya sangat pudar, aroma mu seperti pasir yang dibakar. Ah, Andrew tapi aku tidak menyangka ini sangat cocok dengan dirimu sebagai seorang pembunuh!" Pembunuh? Bisa-bisanya ia masih menuduhkan itu kepadaku? Aku hanya melotot dari sudut mataku mendengar ocehan sampah Fenno, aku berusaha tetap menekan semua api yang kini membakar hangus dadaku. Aku tahu Fenno hanya mencoba mendidihkan aku, menyulutkan api kemarahan agar aku kembali dapat dipermainka
Setelah melewati berbagai prosedur, akhirnya kami diijinkan untuk menjumpai Anton. Aku diminta Afrina untuk duduk menemaninya menunggu Anton di sebuah ruangan serba putih yang berukuran 3x3 meter itu. Afrina terlihat gelisah, keningnya ku lihat mengerut dan pandangan matanya tidak berhenti berkeliling ke seluruh ruangan. Tak lama kemudian petugas rehabilitasi pun datang mengantar Anton dan mendudukkan di hadapan kami. Dengan cepat Afrina segera mendatangi Anton. Sungguh tadinya aku kira mereka sepasang kekasih, yang mungkin bisa saja akan berpelukan atau apapun. Tapi bukan, aku lihat bibir Afrina bergetar. Ia terlihat sangat tidak nyaman dan matanya menggenang. "Bagaimana ini semua bisa terjadi? Kenapa Anton?" Afrina terlihat berusaha menahan air matanya. Mungkin tak mau terlihat oleh aku dan petugas itu. "Semua di luar kendaliku! Apalagi aku harus bisa menciptakan seuasana ramai setiap malam! Aku hanya memakai obat itu untuk menjadikan diriku bisa membuat musik yang
Siang hari ini aku bisa mulai mengais kurnia Tuhan dari dalam kandi-kandi terpencar dari rumah ke rumah. Hingga di penghujung penjajakanku aku dapati. Aku berlega hati, pendapatan siang ini lebih baik dari hari kemarin. Uang logam dan kertas penuh di tas pinggangku. Kakiku melangkah dengan ringan. Aku akan memasukkan uang ini ke rekeningku besok. Ya, aku menabung tentu saja aku menabung, meski jumlahnya tak seberapa tapi setidaknya aku bisa mensuplay diriku sendiri tanpa bantuan Papa. Sudahlah hatiku hambar setiap memanggilnya dengan sebutan 'Papa'. Bagaimana pria yang tega mengusirku itu tetap bisa aku panggil 'Papa'? Saat aku melewati Pasar Besar, dua orang teman sebaya menghentikanku, mereka berdua adalah penjaga stan parkir motor di sisi selatan pasar. Dengan wajah iba mereka mendekati aku. "Aku dengar Narko belum ketemu ya, Ndy? Dia masih sembunyi dari polisi?" tanya pria bernama Bagus, salah satu dari mereka. "Belum kayaknya, Gus! Anak buahnya jelas saja menutupi keberadanny
Sembari menodongkan pisauku ke leher Narko, aku menendang salah satu anak buah geng Brewok untuk menurunkan dan membebaskan Romi. Romi pun diturunkan dan diserahkan di sebelahku, sehingga aku bisa menyambut tubuhnya yang tak kuat berdiri lagi. Tubuhnya penuh luka pukulan, betapa perih melihatnya seperti ini. Sementara kain penutup mata Romi itu pun ia tidak dapat membukanya sendiri. Begitu timpas mereka memperlakukan Romi. Membuatku mencekik leher Narko dengan keras. Anak buahnya pun mulai merapat padaku, untuk mencegah serangan mereka lagi aku angkat kepala Narko aku paksa untuk berdiri. "Jika ada salah satu dari kalian berani membebaskan ketua kalian! Aku beri pelajaran sama dengan si busuk ini!" aku memadan satu persatu wajah anak buah Narko itu dan menyasarkan telunjukku kepada Narko yang sudah menurut patuh. "Mulai hari ini jika ada yang berani menyebut dia ketua geng Brewok maka akan aku habisi seperti keparat ini!" aku sudah setengah mati dongkol dengan perlakuan mereka tehada
Di kamar perawatannya yang tenang, Romi masih terlihat tidur dengan nyenyak. Aku duduk d sebelah tempat tidurnya dan menunggui jika ia sewaktu-waktu bangun dan membutuhkan sesuatu. Tak lama berselang tangan Romi aku lihat mulai bergerak-gerak, bola matanya yang masih tertutup kelopakpun mulai bergerak ke kanan dan ke kiri. Perlahan Romi mulai sadar. Begitu bisa melihatku dengan jelas, Romi tersenyum kepadaku. "Mas, Andy!" lirihnya sembari tersenyum lega. "Apa kamu haus?" tanyaku sembari membuka tutup botol air mineral dan segera aku pasang sedotan bengkok pada air dalam botol itu, "Minum dulu, Rom!" Romi menyedot perlahan sambil aku membantunya minum, dan ia mengeluarkan suara "Ah!" Aku membantunya bersandar kembali sambil ia berterima kasih. "Kapan aku boleh pulang mas?" "Kamu masih harus menjalani satu lagi operasi untuk memperbaiki syaraf yang masih belum kembali sempurna di tanganmu itu, Rom! Jika tidak dilakukan dokter khawatir tanganmu tidak bisa digunakan seperti sed
Malam ini Romi pun mulai puasa, dari keterangan dokter kepadaku tadi jika Romi tidak perlu khawatir tentang operasi ortopedi yang harus ia jalani untuk mengatasi berbagai cedera yang timbul pada tendon dan ligamen di tangannya itu. Operasi bedah untuk Romi akan dilakukan besok pagi. "Mas Andy?" "Iya, Rom!" "Ibuku tadi telpon, beliau menyampaikan permintaan maaf karena sudah merepotkan Mas Andy untuk mejagaku! Beliau belum ada biaya untuk datang ke sini!" "Nggak usah dipikir, Rom! Aku juga senang melakukannya untukmu!" jawabku santai sembari mengelap ukuleleku dan memperbaiki senar-senarnya. "Adikku juga bilang setelah ujian dia akan datang ke sini untuk menjengukku. Dia akan sekalian mencari pekerjaan, jadi mungkin adikku dan ibu bisa datang setelah operasiku ini, Mas!" "Ya kamu harus sabar jika aku merawat kamu hanya sebisaku seperti ini, kadang aku jaga, kadang aku tinggal kerja! Nanti juga ibu dan adik kamu pasti datang beberapa hari mendatang, jangan kecil hati ya!" "