Aku geram, Alex banyak sekali melontarkan alasan untuk ngotot ikut denganku di penangkaran. Sudah ku katakan keadaan di sana masih berbahaya. Sedangkan aku sangat membutuhkan dia di kantor pusat. Produk kosmetik tante ku sedang gencar-gencarnya dicari di pasaran. Bagaimana ia bisa mengabaikan begitu saja perintahku. Bersikap santai seolah-olah tidak terjadi bahaya yang mengintai di penangkaran kami."Siapa yang dari dari tadi mengikuti kita di belakang?" tanyaku heran, sudah lebih dari setengah jam mobil di belakangku mengekor tanpa henti bahkan kecepatan mobil itu menyesuaikan dengan mobil yang ku kendarai."Gondes, aku lihat mas Andrew kukuh tidak mau mengajakku jadi ya buat menambah kewaspadaan kita, aku membawa gondes beserta grupnya." cengenges Alex membanggakan apa yang telah dilakukannya."Lex, tau apa yang sudah kamu lakukan? Tindakanmu justru akan memancing kemarahan mereka! Kenapa kamu bisa seceroboh ini? Bantuan mereka aku abaikan, kita malah membawa bantuan semacam ini!"
Hari ini isi jalanan begitu buruk. Kami semua, yakni kaum aspal dan kaum lampu merah berjibaku dengan asap, pekatnya lumpur jalanan dan guyuran hujan. Di atas kepala kami, guruh yang menggema berbarengan dengan rintik hujan, membersihkan legamnya tubuh kami yang biasanya berpeluh. Hujan lebat menerpa mulai dini hari, betah sekali turun hingga tengah hari. Untungnya daerah kami tidak mudah banjir. Sudah dari tengah malam aku sudah terjaga karena aku hanya bisa makan sebungkus nasi kucing kemarin. Jadilah semalaman perutku perih melilit. Aku tidak dapat tidur karena itu. Di siang hari ini, melihat kenyataan uang yang aku dapatkan dari hasil mengamen di lampu merah juga begitu cekak. Paling tidak bisa aku gunakan untuk membeli nasi kucing untuk mengganjal perihnya perutku. Hujan yang turun dari semalam seolah tidak rela berhenti begitu saja membiarkan aku mendapatkan uang hingga siang ini. Mungkin ia tahu aku sedang flu. Jadi memang seharusnya aku tidak keluar hari ini. H
Sampai kemudian aku sampai di depan warung Bu Asih. Aku pun memasukinya. "Le!" panggil Bu Asih pemilik warung, saat melihatku besama ukulele kumalku. Warung ini berada di area perkantoran yang biasa aku lewati ketika menuju ke kontrakan kecilku yang berada di area pembuangan sampah. Aku biasa membeli nasi bungkus di sana. "Jangan duduk di situ! Bajumu basah! Kursiku bisa basah semua! Ini sudah jam istirahat kantor! Nanti pelangganku nggak mau duduk makan di sini!" Bu Asih setengah melotot ke arahku sambil mengibas-ngibaskan serbet kotak-kotaknya ke tempatku duduk. "Iya Bu, saya minggir!" jawab ku kemudian berdiri dari kursi kayu itu. Kemudian aku masuk tepatnya ke dalam dapur Bu Asih dan dengan begitu aku bisa duduk lebih leluasa di lantai. Di hadapanku ada anak lelaki ke dua dari Bu Asih yang masih SMP sedang membantu sang ibu membuat teh panas — teh dingin, pesanan pembeli. "Oleh akeh Mas dino iki? Mbok yo'o pisan pindo aku di ajak!" (Dapat banyak ma
Aku segera menangkis dengan tendanganku sebelum pisau lancip itu terhunus ke arahku. Si Gembul itu berusaha terus menancapkan pisaunya itu di mana saja yang ia bisa. Belum lagi Si Kurus-Keriting tadi sudah bangkit kembali dan mengambil balok kayu di dekat tempat sampah Bu Asih dan balok itu berhasil dipukulkan padaku. Aku terus melawan pukulan mereka yang datang dari segala arah. Secepat mungkin aku ayunkan tendanganku ke tubuh bagian dalam dan akhirnya bisa menyasar ke rusuk mereka masing-masing dan kini mereka meringkuk kesakitan di atas tanah. "Mas awas, belakangmu!" teriak pria bertubuh kecil yang aku tolong tadi. Benar saja karena kurang mawas, kepalaku kena pukulan dari belakang oleh pria bertubuh besar di belakangku yang membawa tang di tangannya. Kurang ajar! Ini rasanya sakit luar biasa. Dengan sekuat tenaga aku melompat dan mengarahkan kedua kakiku menuju ke perut Narko. Dan akupun terjatuh di atas tanah setelah menumbuknya. Narko kesakita
Lecutan kehidupan di jalan yang begitu keras, tak menyurutkan niat kami memenuhi kebutuhan perut. Hamparan aspal menyengat dan panas sang raja hari yang membakar tak kami pedulikan. Saat hidup di jalanan aku menjadi tahu bagaimana itu bertahan, dengan begitu semua kebutuhan hidup kami pun tak akan tersampaikan. Kami hanya mengapresiasi apa yang diberikan Tuhan dan tidak memandang sebelah mata diri kami sendiri meski kadang banyak mata melihat kami demikian. Menikmati kebahagiaan hidup dengan cara sesederhana yang kami bisa dan melupakan apa itu yang disebut sebagai kekurangan. Ning Probolinggo Golek Jahe ... Niat lungo arep nyambut gawe... Ning Sidoarjo Golek Waluh ... Aku kerjo kowe malah selingkuh ... Aku kerjo kowe malah selingkuh ... Begitulah salah satu genjrengan ukulele aku mainkan saat bernyanyi di lampu merah dengan alunan nada lagu Lir -ilir yang biasa ku latih bersama para pengamen lainnya. Begitu pula aku nyanyikan lagu itu pada sebuah mob
Tak tega rasa hati ini mengabaikan teriakan pilu itu. Gang itu begitu kelam dan sepi, mereka bisa melakukan apa saja pada wanita itu. Aku memaksa langkah lariku kembali ke tempat mereka dan aku lihat wanita berparas cantik itu sudah dikelilingi oleh anggota Geng Brewok tersebut. "Mau apa kalian! Kembalikan tasku!" seru sang wanita yang tadi turun dari angkot itu. "Gak baik gadis cantik jalan sendirian malam-malam! Kami antarkan saja, Mbak!" sapa seorang yang kerap dipanggil dengan sebutan Cacing mulai melucuti barang bawaan wanita itu. "Arep ning ngendi to, Mbak? Tak kancani wae, iso pilih salah siji sopo sing dikarepke!" ( Mau kemana sih, Mbak kita temani saja, bisa pilih salah satu di antara kita mau yang mana?) timpal salah seorang lain yang setahuku kerap dipanggil dengan sebutan Gondes. "Aku yo iso gawakne barange kok, Mbak! Dadi Mbak gak kabotan!" (Aku juga bisa bawakan barangnya Mbak! Jadi Mbak gak keberatan!) sahut pria kucel lusuh bernama Kichlik itu.
Tetangga di sini suka mengumbar kasak-kusuk, senang dengan urusan orang lain, tentunya mereka yang selalu penasaran dengan sikap diam ku pun ingin tahu ada cerita apa selanjutnya antara aku dan Afrina. Aku hanya mencebik saat memintas langkahku di hadapan mereka yang memenuhi teras rumah mereka melongok ke arah terasku. Mungkin membawanya masuk ke dalam rumahku? Jangan harap! Tentu saja aku tidak akan melakukan hal itu! Afrina memang menarik, kecantikannya sungguh di atas rata-rata. Mungkin itulah yang membuat para tetanggaku itu penasaran. Body nya juga sangat bagus dengan tinggi badan semampai, sungguh mengagumkan. Wajahnya yang ayu berpoles make up yang sangat wajar dan menempel sempurna menambah menarik dirinya dari segala sisi. Tapi aku mengantarkannya hingga kembali keluar ke jalan raya untuk menaiki taxi online yang sudah ia pesan saat berada di rumahku. Lirikan curiga deretan para tetangga yang aku lewati ketika mengantarkan Afrina pulang, menggiring tiap langkah kami saa
Aku hendak pulang sebentar untuk mengganti pakaian yang sudah basah dengan air hujan bercampur keringat ini. Tak mungkin aku menemui seorang gadis secantik dan sewangi Afrina dengan penampilan yang begini. Aku haruslah juga bisa menghargainya dan berusaha menyeimbangkan diri dengan Afrina. Dari kejauhan aku lihat Polisi mengadakan penyisiran seluruh lokasi pasar dari premanisme. Pantas saja aku tidak melihat anggota geng Brewok berseliweran di sekitar pasar sejak pagi. Rupanya mereka sedang sembunyi dari razia. Baguslah Polisi sudah mengambil tindakan secepat ini. Karena keberadaan mereka akhir-akhir ini memang sungguh meresahkan. Para preman itu perlu dipersempit ruang geraknya. Agar mereka tidak lagi berbuat sesuakanya. "Mas! Mas Andy!" panggil Bayu yang datang bersama Anggi sembari berlari tergopoh-gopoh, keduanya adalah teman yang biasa main dengan Satriyo. "Riyo, Mas! Kecekel ambek geng Brewok!" (Rio, Mas! Tertangkap oleh Geng Brewok!) seru Bayu mengabari aku.