Aku segera menangkis dengan tendanganku sebelum pisau lancip itu terhunus ke arahku. Si Gembul itu berusaha terus menancapkan pisaunya itu di mana saja yang ia bisa. Belum lagi Si Kurus-Keriting tadi sudah bangkit kembali dan mengambil balok kayu di dekat tempat sampah Bu Asih dan balok itu berhasil dipukulkan padaku.
Aku terus melawan pukulan mereka yang datang dari segala arah. Secepat mungkin aku ayunkan tendanganku ke tubuh bagian dalam dan akhirnya bisa menyasar ke rusuk mereka masing-masing dan kini mereka meringkuk kesakitan di atas tanah.
"Mas awas, belakangmu!" teriak pria bertubuh kecil yang aku tolong tadi.
Benar saja karena kurang mawas, kepalaku kena pukulan dari belakang oleh pria bertubuh besar di belakangku yang membawa tang di tangannya. Kurang ajar! Ini rasanya sakit luar biasa. Dengan sekuat tenaga aku melompat dan mengarahkan kedua kakiku menuju ke perut Narko. Dan akupun terjatuh di atas tanah setelah menumbuknya.
Narko kesakitan memegangi bagian tengah perutnya. Tapi terlihat kelegaan di wajahnya saat aku melihat darah mengucur ke telapak tangaku setelah aku meraba kepala belakangku. Parahnya tahu aku kesakitan pria itu berusaha menyerangku lagi, dengan sisa tenaga yang aku punya, aku menjegalkan kakiku sekuat tenaga hingga ia terjungkal ke belakang. Untung saja masih bisa menggagalkan serangan kedua itu tadi. Ini saja kepalaku sudah terasa sangat sakit, brengsek!
"Ada apa ini!! Kalian apakan Andy?" pekik Bu Asih saat keluar dari dalam rumah, lalu bersama Satriyo anaknya mereka duduk mengerumuni aku. "Kalian main keroyokan aku laporkan ke polisi dekat sini!" tunjuk Bu Asih ke arah Narko.
"Salah dia sendiri cari masalah dengan anak buahku!" seru Narko yang menyambar tangnya yang berada di atas tanah.
Bu Asih membantuku untuk duduk dan melihat luka berdarah di kepalaku. Pria kecil kurus tadi pun berlari ke arahku ikut melihat keadaanku.
"Bohong, aku lihat sendiri mereka yang lebih dulu cari gara-gara!" kata pria kecil yang aku tolong itu. Rupanya ia benar-benar mengikuti aku sedari tadi. Dia bahkan melihat semuanya.
"Pergi kalian dari sini! Bisanya cari gara-gara saja! Aku teriak ini ya! Biar semua orang lihat apa yang sudah kalian lakukan di sini!" Bu Asih membela aku di hadapan Narko yang bersungut-sungut ingin membalas keberanian Bu Asih itu.
Semua orang yang lewat saat itu mulai mengerumuni kami tertarik untuk melihat keributan yang terjadi, Narko melihat sekelilingnya sudah tidak aman baginya dan anak buahnya, "Cabut semua! Kita pergi dari sini!" akhirnya Narko menyerah, dan memerintahkan Si Gembul dan Si Kurus anak buahnya untuk meninggalkan kami.
"Kita ke Puskesmas, ya Mas! Saya antar!" seru pria bertubuh kecil yang aku tolong itu. Aku tergolek lemas, tenagaku habis untuk merasakan sakitnya luka menganga di kepalaku yang terus meneteskan darah ini.
Aku melemparkan senyuman terima kasihku padanya. Paling tidak karena teriakannya tadi aku tidak sampai kena pukul lebih parah lagi.
**
Tiga jam berlalu sejak kejadian itu, kami masih di puskesmas terdekat. Untung saja perawat dan dokter yang sedang bertugas hari ini belum pulang, jadi aku masih bisa mendapatkan perawatan gratis di Puskesmas ini."Lima jahitan! Lumayan lebar juga ternyata!" seruku sambil kembali menyesap lidahku menahan sakitnya lukaku.
"Tapi mas hebat tadi masih bisa membalas Si Narko itu dengan sekali tendangan! Huh Huh! Tergeleparlah dia!" Si Pria bertubuh kecil kurus ini mempraktekkan aksiku yang ia amati tadi.
"Reflek saja! Makasih ya, sudah menolongku tadi! Aku Andy, kamu?" aku menyodorkan telapak tanganku padanya.
"Ah, itu memang Mas aja yang bisa menghindar! Aku Romi, Mas! Aku kerja jadi tukang jahit sol sepatu keliling tapi kalau siang aku mangkal di pasar! Lumayan banyak pelanggan di sana!" ternyata namanya Romi.
"Kok bisa tadi berurusan sama Narko?" tanyaku sembari mengeluarkan rokok basahku dari kantong bajuku.
"Ya aku kalau mau mangkal di pasar harus bayar tiga puluh ribu tiap hari, Mas! Tadinya aku sudah bayar ke anak buahnya! Tapi rupanya nggak sampai ke Narko, diembat sendiri! Ya jadinya Narko nagih lagi ke aku!"
"Hmm! Makanya aku nggak pernah lewat pasar! Males urusan sama mereka! Tapi kalau kamu ramainya pelanggan di sana ya, mau gimana lagi?" timpalku.
"Mas, rumahnya mana? Saya antar, yuk!" Romi menawarkan bantuan saat aku beranjak berdiri.
"Dekat dari sini, tinggal jalan satu kilo lagi!" jawabku.
"Nggak masalah! Sekalian biar saya tahu rumah, Mas! Supaya gampang kalau mau main," balas Romi menggaruki kepalanya, "Saya jarang punya kenalan orang baik di kota besar begini!"
"Dari mana kamu tahu aku orang baik?" aku menggelakkan tawa geli akan kepolosannya.
"Dari sikap maslah!" pungkas Romi lalu membantu membawakan ukulele ku yang ia tenteng bersama ransel kucelnya.
Di tengah perjalanan kami pun, gerimis turun rintik-rintik. Kami pun kuyub tapi tubuh kami hangat karena pembicaraan yang terus kami lakukan sembari berjalan menuju ke kontrakanku. Romi menceritakan ibunya yang tinggal berdua saja bersama adik perempuannya yang masih bersekolah di Madrasah Aliyah dan ia membantu mencari nafkah untuk mereka berdua.
Tapi tidak denganku, tidak ada yang bisa aku ceritakan tentang keluargaku. Memangnya apa yang bisa aku ceritakan tentang keluargaku? Tidak ada satu pun, selain Papaku yang merupakan seorang miliarder yang menikah lagi dengan wanita lain bahkan semenjak Mamaku masih hidup. Lalu saat dewasa istri Papaku itu menghasut Papa hingga aku tidak dipercayai sama sekali olehnya. Parahnya, dialah pria yang selama ini selalu aku rindukan.
"Inilah tempat tinggalku Rom!" jelasku saat kami tiba di kontrakanku yang berukuran mini dan memiliki atap sangat pendek. Saat aku memasukinya, kepalaku pun sering terantuk kusen pintunya saking rendahnya ukurannya.
"Masuk dulu Rom, kita ngopi sama-sama!" ajakku menawarkan kepada Romi.
"Mas Andy tinggal sendirian?"
"Iya lah Rom! Rumah seukuran itu, mana ada yang mau tinggal bersamaku? Lagipula teman sesama pengamen pada tinggal bersama orang tuanya kalau nggak, ya sudah berkeluarga!"
"Ooo...!"
"Ayo masuk!" aku menawarkan lagi.
"Lain kali aja ya, Mas aku pasti mampir! Yang penting aku sudah tahu rumah Mas Andy. Sekarang aku harus pulang. Bajuku basah pingin ganti baju juga di rumah!"
"Baiklah!" aku mengijinkannya pergi dan ia mulai memutar arah sepedanya kayuhnya.
"Eh iya, Mas Andy biasa mangkal di mana?" tanya Romi sebelum pergi.
"Di lampu merah selatan Pasar Besar, Rom! Kenapa?"
"Ah, enggak! Kalau begitu besok aku cari Mas Andy di sana, ya?"
"Iya boleh aja! Tapi kalau aku sudah nggak ada, berarti aku ngamen dari rumah ke rumah!"
Romi pun pergi. Tapi firasatku sedari tadi tidak baik. Aku merasa dari perjalanan pulang bersama Romi tadi, ada beberapa orang mengikuti kami dari belakang. Aku pun bergegas masuk ke dalam rumah, lalu mengintip lewat jendela. Benar saja, Narko dan anak buahnya mengikuti kemana kami berjalan secara diam-diam. Mereka melihat ke arah Romi lalu mengamati ke arah kontrakanku juga. Rupanya mereka belum puas padaku.
Aku paling malas dengan keadaan seperti ini. Buang-buang waktuku saja dengan hal tidak berfaedah berurusan dengan mereka semacam ini. Dan hidupku mulai sekarang harus selalu waspada terhadap mereka yang akan mengincarku mungkin untuk beberapa hari ke depan.
Lecutan kehidupan di jalan yang begitu keras, tak menyurutkan niat kami memenuhi kebutuhan perut. Hamparan aspal menyengat dan panas sang raja hari yang membakar tak kami pedulikan. Saat hidup di jalanan aku menjadi tahu bagaimana itu bertahan, dengan begitu semua kebutuhan hidup kami pun tak akan tersampaikan. Kami hanya mengapresiasi apa yang diberikan Tuhan dan tidak memandang sebelah mata diri kami sendiri meski kadang banyak mata melihat kami demikian. Menikmati kebahagiaan hidup dengan cara sesederhana yang kami bisa dan melupakan apa itu yang disebut sebagai kekurangan. Ning Probolinggo Golek Jahe ... Niat lungo arep nyambut gawe... Ning Sidoarjo Golek Waluh ... Aku kerjo kowe malah selingkuh ... Aku kerjo kowe malah selingkuh ... Begitulah salah satu genjrengan ukulele aku mainkan saat bernyanyi di lampu merah dengan alunan nada lagu Lir -ilir yang biasa ku latih bersama para pengamen lainnya. Begitu pula aku nyanyikan lagu itu pada sebuah mob
Tak tega rasa hati ini mengabaikan teriakan pilu itu. Gang itu begitu kelam dan sepi, mereka bisa melakukan apa saja pada wanita itu. Aku memaksa langkah lariku kembali ke tempat mereka dan aku lihat wanita berparas cantik itu sudah dikelilingi oleh anggota Geng Brewok tersebut. "Mau apa kalian! Kembalikan tasku!" seru sang wanita yang tadi turun dari angkot itu. "Gak baik gadis cantik jalan sendirian malam-malam! Kami antarkan saja, Mbak!" sapa seorang yang kerap dipanggil dengan sebutan Cacing mulai melucuti barang bawaan wanita itu. "Arep ning ngendi to, Mbak? Tak kancani wae, iso pilih salah siji sopo sing dikarepke!" ( Mau kemana sih, Mbak kita temani saja, bisa pilih salah satu di antara kita mau yang mana?) timpal salah seorang lain yang setahuku kerap dipanggil dengan sebutan Gondes. "Aku yo iso gawakne barange kok, Mbak! Dadi Mbak gak kabotan!" (Aku juga bisa bawakan barangnya Mbak! Jadi Mbak gak keberatan!) sahut pria kucel lusuh bernama Kichlik itu.
Tetangga di sini suka mengumbar kasak-kusuk, senang dengan urusan orang lain, tentunya mereka yang selalu penasaran dengan sikap diam ku pun ingin tahu ada cerita apa selanjutnya antara aku dan Afrina. Aku hanya mencebik saat memintas langkahku di hadapan mereka yang memenuhi teras rumah mereka melongok ke arah terasku. Mungkin membawanya masuk ke dalam rumahku? Jangan harap! Tentu saja aku tidak akan melakukan hal itu! Afrina memang menarik, kecantikannya sungguh di atas rata-rata. Mungkin itulah yang membuat para tetanggaku itu penasaran. Body nya juga sangat bagus dengan tinggi badan semampai, sungguh mengagumkan. Wajahnya yang ayu berpoles make up yang sangat wajar dan menempel sempurna menambah menarik dirinya dari segala sisi. Tapi aku mengantarkannya hingga kembali keluar ke jalan raya untuk menaiki taxi online yang sudah ia pesan saat berada di rumahku. Lirikan curiga deretan para tetangga yang aku lewati ketika mengantarkan Afrina pulang, menggiring tiap langkah kami saa
Aku hendak pulang sebentar untuk mengganti pakaian yang sudah basah dengan air hujan bercampur keringat ini. Tak mungkin aku menemui seorang gadis secantik dan sewangi Afrina dengan penampilan yang begini. Aku haruslah juga bisa menghargainya dan berusaha menyeimbangkan diri dengan Afrina. Dari kejauhan aku lihat Polisi mengadakan penyisiran seluruh lokasi pasar dari premanisme. Pantas saja aku tidak melihat anggota geng Brewok berseliweran di sekitar pasar sejak pagi. Rupanya mereka sedang sembunyi dari razia. Baguslah Polisi sudah mengambil tindakan secepat ini. Karena keberadaan mereka akhir-akhir ini memang sungguh meresahkan. Para preman itu perlu dipersempit ruang geraknya. Agar mereka tidak lagi berbuat sesuakanya. "Mas! Mas Andy!" panggil Bayu yang datang bersama Anggi sembari berlari tergopoh-gopoh, keduanya adalah teman yang biasa main dengan Satriyo. "Riyo, Mas! Kecekel ambek geng Brewok!" (Rio, Mas! Tertangkap oleh Geng Brewok!) seru Bayu mengabari aku.
Mereka semua memberikan tatapan-tatapan yang mengerikan seolah hari ini akan menjadi akhir hidupku. Melihat mereka begitu beringas, membuatku semakin mengencangkan segenap otot di seluruh tubuhku untuk bersiap mendapatkan pukulan serentak dari mereka semua. Kali ini keadaan begitu berat, aku bisa beresiko mendapat pukulan dari arah manapun. Aku bersiap dengan kuda-kudaku. Aku meningkatkan mawas diriku, memperketat pertahanan diriku, hingga tiga orang yang berada di belakangku menyerangku secara bersamaan. Sedangkan tiga pria lagi di hadapanku semakin merangsek ke arahku menyasarkan balok kayu di tangan mereka untuk dipukulkan kepadaku. Aku menghindari dua orang yang berhadapan menyerangku dengan cepat, untung saja gerakanku lebih cepat dari mereka berdua, sehingga keduanya bisa aku hindari dan aku hantamkan pada seorang yang sengaja aku tarik karena menyerangku dari arah depan. Tongkatnya aku tarik dan orang itu ku dorong ke arah dua orang temannya tadi. Jadilah ketiganya sal
Romi membuka tudungnya yang merupakan bagian dari sarung yang dipakainya untuk menutupi sebagian badannya itu lalu ia menyeringai. Di saat yang bersamaan beberapa warga mulai mendekat ke arah rumahku dengan wajah berapi-api. "Selamat malam, Mas Andy, kami dari tadi mengikuti pria ini dari mushollah bawa sepeda, bawa tas besar, kami curiga dia bukan orang sini dan bisa saja berbuat onar di kampung kita ini, Mas!" Seru salah seorang warga menegurku sembari telunjuknya mengarah kepada Romi. Aku melirik tajam ke arah pria yang mengaku Romi itu dan menariknya hingga jatuh terjerembab ke lantai teras. "Ini aku, Mas! Beneran aku, aku nggak punya niat apa-apa, Mas! Aku dari tadi sore mencari Mas Andy tapi Mas Andy nggak ada di rumah!" Romi mengkerut dan beringsut takut dipukuli tanpa alasan oleh para warga. "Tenang bapak-bapak! Dia salah satu teman saya, dan besok saya akan melapor keberadaannya kepada Pak RT setempat! Jadi saya mohon maaf atas ulah teman saya ini, ya Pak! B
"Hey Kakak! Mengapa diam saja? Aku sedang berbicara kepadamu!" seru Zico kepadaku dengan nada lebih tinggi. "Sudahlah!!" henti Fenno Kakak Zico, "Dia itu hanya pura-pura dungu! Aku yakin sebenarnya dia mengerti, iya kan Andrew?" Sudah lama aku tidak dipanggil dengan nama itu, begitu asing rasanya mendengar namaku disebut oleh bedebah seperti dia ini. Fenno memiringkan sebuah senyuman mencebik, melecehkanku. Lalu memasang wajah berbasa-basi, "Sungguh lihatlah keadaanmu, kamu sangat perlu dikasihani! Pakaian lusuh, warnanya sangat pudar, aroma mu seperti pasir yang dibakar. Ah, Andrew tapi aku tidak menyangka ini sangat cocok dengan dirimu sebagai seorang pembunuh!" Pembunuh? Bisa-bisanya ia masih menuduhkan itu kepadaku? Aku hanya melotot dari sudut mataku mendengar ocehan sampah Fenno, aku berusaha tetap menekan semua api yang kini membakar hangus dadaku. Aku tahu Fenno hanya mencoba mendidihkan aku, menyulutkan api kemarahan agar aku kembali dapat dipermainka
Setelah melewati berbagai prosedur, akhirnya kami diijinkan untuk menjumpai Anton. Aku diminta Afrina untuk duduk menemaninya menunggu Anton di sebuah ruangan serba putih yang berukuran 3x3 meter itu. Afrina terlihat gelisah, keningnya ku lihat mengerut dan pandangan matanya tidak berhenti berkeliling ke seluruh ruangan. Tak lama kemudian petugas rehabilitasi pun datang mengantar Anton dan mendudukkan di hadapan kami. Dengan cepat Afrina segera mendatangi Anton. Sungguh tadinya aku kira mereka sepasang kekasih, yang mungkin bisa saja akan berpelukan atau apapun. Tapi bukan, aku lihat bibir Afrina bergetar. Ia terlihat sangat tidak nyaman dan matanya menggenang. "Bagaimana ini semua bisa terjadi? Kenapa Anton?" Afrina terlihat berusaha menahan air matanya. Mungkin tak mau terlihat oleh aku dan petugas itu. "Semua di luar kendaliku! Apalagi aku harus bisa menciptakan seuasana ramai setiap malam! Aku hanya memakai obat itu untuk menjadikan diriku bisa membuat musik yang