Sampai kemudian aku sampai di depan warung Bu Asih. Aku pun memasukinya.
"Le!" panggil Bu Asih pemilik warung, saat melihatku besama ukulele kumalku. Warung ini berada di area perkantoran yang biasa aku lewati ketika menuju ke kontrakan kecilku yang berada di area pembuangan sampah. Aku biasa membeli nasi bungkus di sana. "Jangan duduk di situ! Bajumu basah! Kursiku bisa basah semua! Ini sudah jam istirahat kantor! Nanti pelangganku nggak mau duduk makan di sini!" Bu Asih setengah melotot ke arahku sambil mengibas-ngibaskan serbet kotak-kotaknya ke tempatku duduk."Iya Bu, saya minggir!" jawab ku kemudian berdiri dari kursi kayu itu.
Kemudian aku masuk tepatnya ke dalam dapur Bu Asih dan dengan begitu aku bisa duduk lebih leluasa di lantai. Di hadapanku ada anak lelaki ke dua dari Bu Asih yang masih SMP sedang membantu sang ibu membuat teh panas — teh dingin, pesanan pembeli.
"Oleh akeh Mas dino iki? Mbok yo'o pisan pindo aku di ajak!" (Dapat banyak mas hari ini? Coba saja sekali dua kali aku diajak!) gumam Satrio menunduk ke arahku. "Oalah, jangan sampai jadi pengamen sepertiku, Yo! Aku saja kalau bisa dapat pekerjaan lebih baik ndak pilih ngamen," balasku di sela-sela mengunyah gorengan yang sempat aku ambil sebelum berpindah ke dapur, "Pikir saja belajarmu itu, sekolah yang bener! Jangan males!" ujarku sembari membuka karet nasi bungkusku yang aku letakkan di atas lantai."Pingin oleh duwit mas, sing akeh, tak gawe tuku motor lanang! Model sport! Ora ning ndi-ndi mancal piiittt wae!!" (Ingin dapat uang banyak, aku buat beli sepeda-motor pria! Model Sport! Nggak kemana-mana ngayuh sepeda saja!) lanjut Rio menimpali. "Kalau pingin uang banyak sekolah yang pinter, Yo! Jadi juara kelas, terus kuliah, bisa jadi direktur, jadi polisi, jadi dokter, dapat uang banyak! Itu mau berapa saja motor kamu bisa beli!" jawab ku sembari menyendok nasi dengan bumbu merah kesukaan ku. "Kesuwen, Mas! Sampean wae ngamen ngunu lho, Mas! Ndadak ngajari aku sekolah! Ndak cocok blas!" (Kelamaan, Mas! Kamu saja ngamen gitu, Mas! Kok ngajari aku sekolah! Nggak cocok sama sekali!) jawab Rio menyanggah. Aku hanya tersenyum dengan pendapatnya, "Yo, kalau ngamen itu menyenangkan, aku ndak akan kerja cuci piring sama Ibumu tiap hari! Di lihat gadis lain aku juga minder! Apa ndak mikir andaikata kamu dilihat cewek kebetulan kamu lagi ngamen di depan rumah bapaknya! Malu Yo, rasanya!" Satriyo hanya termangu tanpa jawaban menimbang lagi kata-kataku. Iyalah, tentu saja jika memikirkan wanita pujaan hati, pasti lebih memikat jika aku dipandang memakai kemeja berdasi dengan jas rapi seperti yang dulu setiap pagi aku lihat dari Papaku. Karena aku pikir aku akan bisa seperti Papaku jika aku besar.Tapi kini umurku yang sudah menginjak dua puluh empat tahun ini aku belum bisa menjadi apapun untuk hidupku sendiri. Hidup sebatang kara bertahan dengan menjauhi rumah dari orang yang aku panggil Papa dan berniat tidak akan kembali menatap wajahnya sebelum aku bisa berpijak di muka bumi ini sebagai Andrew yang besar dengan namanya sendiri.
"Ndy! Aku mau tutup, hari ini masak nasi sedikit, jadi sudah habis sekarang! Kamu langsung cuci piring ya setelah kamu makan! Terus ibu bisa cepet-cepet tutup warung habis selesai beres-beres!" ujar Bu Asih kepadaku sembari memberikan kantung plastik berwarna hitam berisi makanan sebagai upah aku mencuci piringnya. Juga segelas teh hangat.Saat aku buka, isinya dua bungkus nasi yang diikat dengan karet. Sebungkus aku ambil, setelah kusingkap sebuah telur rebus bulat utuh di dalamnya. Sebungkus lainnya akan aku bawa pulang bisa menemani aku untuk minum obat flu yang tadi sempat aku beli sebelum aku memasuki warung Bu Asih.
"Bonus cuma hari ini saja! Kan biasanya aku cuma dapat makan sehari sekali, hari ini kalau mau nambah jadi tiga bungkus juga gak apa-apa! Hati ibu lagi senang, pelanggan sedang banyak-banyaknya!" jelas Bu Asih sembari tersenyum riang.
"Iya bu, selesai makan ini aku cuci semua piringnya!" jawab ku menghabiskan makanan ku sesuap demi sesuap. Alhamdulillah bisa makan dua bungkus nasi siang ini. Setelah tandas aku keluarkan uang yang aku sisihkan tadi untuk membayar hutangku kepada Bu Asih."Bu saya sudah ada uang! Ini saya kembalikan uang yang saya pinjam kemarin!" kataku sembari menyerahkannya pada Bu Asih.
"Sudah ada to? Terima kasih, ya Ndy! Bisa aku buat tambah beli persediaan gula!" balasnya. "Saya yang terima kasih, Bu! Selain gaji tiap bulan, dikasi sebungkus nasi tiap hari aku sudah sangat senang!" sahutku sembari beranjak dari tempatku melantai dan segera bangkit meraih piring-piring kotor itu. "Buk! Ibuk! Jadi ya, belinya!" rengek Satriyo menarik lengan baju Bu Asih. "Opo?" (Apa!) jawab Bu Asih terlihat sangat sensitif dengan reaksi Satriyo itu. Lirikan matanya begitu tajam pada Satriyo. "Buk, buat depe dulu aja lho, Buk!" rengek Satriyo lagi mengikuti sang ibu dari belakang seperti anak bebek yang mengekor induknya. "DEPE DEPE!!! Rapot ora tau apik, nggak diurusi kok malah njaluk DEPE!!!"(Uang Muka Uang Muka! Rapot tidak pernah baik, nggak di urus, malah minta uang muka!) seru Bu Asih memukuli bokong Satriyo dengan nampan yang diraihnya. Aku terpingkal-pingkal dengan tingkah ibu dan anak ini, dan berandai-andai jika itu aku. Jika Mama masih bersamaku, tidak diambil secepat itu. Aku pasti lebih bahagia jika aku bisa bersamanya walau dengan hidup serba kekurangan sekali pun. Tapi bagiku sudah memiliki segalanya jika ada Mama di sampingku. Jadi sering aku mengingatkan Satriyo yang masih mempunyai orang tua lengkap untuk mensyukuri kehadiran ibunya yang begitu menyayanginya.Dari pintu kaca, aku melihat dua orang anak buah Narko mengutak-atik motor milik Bu Asih yang terparkir di belakang warung. Aku melihat mereka bersama Narko di pasar tadi. Salah satu dari mereka menengok ke kanan dan ke kiri seperti mengawasi. Yang aku tahu mereka memang terkenal sebagai geng pencuri motor di kawasan ini. Sudah sering aksinya diburu polisi namun selalu saja mereka bisa menghindar. Bu Asih hanyalah seorang janda, tentu saja mungkin mereka kira motor Bu Asih adalah sasaran yang tepat karena tidak ada laki-laki yang melindunginya. Tentu saja aku tidak tinggal diam melihat ini.
"Heh, mau ngapain kalian! Mau maling, kan?!" bentakku tiba-tiba sambil muncul dari balik pintu.
"Sembarangan kamu nuduh, aku cuma lihat-lihat barang saja! Bagus bener kondisi motor pemilik warung ini! Apa mungkin mau dijual, itu saja kok!" Si Keriting dekil membela diri.
"Halah jangan pura-pura lagi! Itu obeng macam-macam buat apa?? Masih ngelak lagi!" desakku lagi.
"Kurang ajar kamu!" salah seorang dari mereka mulai menyerangku dengan kunci inggris yang dibawanya.
Kali ini aku ladeni mereka karena mereka yang mencari perkara pada Bu Asih orang selama ini selalu membantuku. Jangan harap aku menyerah pada mereka.
Pria bertubuh tambun itu berusaha memukulku dengan kunci inggris yang dibawanya, segera saja aku tangkis dengan tendanganku sebelum ia bisa menyentuhku. Kunci inggris itu terpelanting dan ia pun terpental ke tanah.
Melihat temannya yang jatuh, Si Keriting menyerangku sambil mencengkeram obengnya. Ia lebih kurus jadi lebih lincah dibanding dengan si tambun tadi. Dengan tangkisan tanganku aku berhasil menahan pukulannya.
"Tidak akan aku biarkan ia menyentuh wajahku sedikitpun!" seruku menjalarkan tanganku melewati ketiaknya dan memukulkan pukulan dalam ke pinggangnya. Dan lagi-lagi obeng lancip yang dibawanya terjatuh. Bukan hanya Taekwondo, keahlian Muay Thai ku juga tidak perlu dipertanyakan lagi. Akan aku beri mereka pelajaran agar mereka mengingat siapa aku jika berani mengusikku.
Belum puas menyerangku Si Gembul mengeluarkan pisau lipatnya dan tertawa garang menakuti aku. Aku meraih batang sapu yang berada tak jauh dari pintu ku gunakan berjaga-jaga melindungi diri. Sialnya dari jauh Narko terlihat datang bersama seorang lagi anak buahnya berjalan bersamanya.
"Hiyaaaakkk!" Si Gembul mulai menyerang.
Aku segera menangkis dengan tendanganku sebelum pisau lancip itu terhunus ke arahku. Si Gembul itu berusaha terus menancapkan pisaunya itu di mana saja yang ia bisa. Belum lagi Si Kurus-Keriting tadi sudah bangkit kembali dan mengambil balok kayu di dekat tempat sampah Bu Asih dan balok itu berhasil dipukulkan padaku. Aku terus melawan pukulan mereka yang datang dari segala arah. Secepat mungkin aku ayunkan tendanganku ke tubuh bagian dalam dan akhirnya bisa menyasar ke rusuk mereka masing-masing dan kini mereka meringkuk kesakitan di atas tanah. "Mas awas, belakangmu!" teriak pria bertubuh kecil yang aku tolong tadi. Benar saja karena kurang mawas, kepalaku kena pukulan dari belakang oleh pria bertubuh besar di belakangku yang membawa tang di tangannya. Kurang ajar! Ini rasanya sakit luar biasa. Dengan sekuat tenaga aku melompat dan mengarahkan kedua kakiku menuju ke perut Narko. Dan akupun terjatuh di atas tanah setelah menumbuknya. Narko kesakita
Lecutan kehidupan di jalan yang begitu keras, tak menyurutkan niat kami memenuhi kebutuhan perut. Hamparan aspal menyengat dan panas sang raja hari yang membakar tak kami pedulikan. Saat hidup di jalanan aku menjadi tahu bagaimana itu bertahan, dengan begitu semua kebutuhan hidup kami pun tak akan tersampaikan. Kami hanya mengapresiasi apa yang diberikan Tuhan dan tidak memandang sebelah mata diri kami sendiri meski kadang banyak mata melihat kami demikian. Menikmati kebahagiaan hidup dengan cara sesederhana yang kami bisa dan melupakan apa itu yang disebut sebagai kekurangan. Ning Probolinggo Golek Jahe ... Niat lungo arep nyambut gawe... Ning Sidoarjo Golek Waluh ... Aku kerjo kowe malah selingkuh ... Aku kerjo kowe malah selingkuh ... Begitulah salah satu genjrengan ukulele aku mainkan saat bernyanyi di lampu merah dengan alunan nada lagu Lir -ilir yang biasa ku latih bersama para pengamen lainnya. Begitu pula aku nyanyikan lagu itu pada sebuah mob
Tak tega rasa hati ini mengabaikan teriakan pilu itu. Gang itu begitu kelam dan sepi, mereka bisa melakukan apa saja pada wanita itu. Aku memaksa langkah lariku kembali ke tempat mereka dan aku lihat wanita berparas cantik itu sudah dikelilingi oleh anggota Geng Brewok tersebut. "Mau apa kalian! Kembalikan tasku!" seru sang wanita yang tadi turun dari angkot itu. "Gak baik gadis cantik jalan sendirian malam-malam! Kami antarkan saja, Mbak!" sapa seorang yang kerap dipanggil dengan sebutan Cacing mulai melucuti barang bawaan wanita itu. "Arep ning ngendi to, Mbak? Tak kancani wae, iso pilih salah siji sopo sing dikarepke!" ( Mau kemana sih, Mbak kita temani saja, bisa pilih salah satu di antara kita mau yang mana?) timpal salah seorang lain yang setahuku kerap dipanggil dengan sebutan Gondes. "Aku yo iso gawakne barange kok, Mbak! Dadi Mbak gak kabotan!" (Aku juga bisa bawakan barangnya Mbak! Jadi Mbak gak keberatan!) sahut pria kucel lusuh bernama Kichlik itu.
Tetangga di sini suka mengumbar kasak-kusuk, senang dengan urusan orang lain, tentunya mereka yang selalu penasaran dengan sikap diam ku pun ingin tahu ada cerita apa selanjutnya antara aku dan Afrina. Aku hanya mencebik saat memintas langkahku di hadapan mereka yang memenuhi teras rumah mereka melongok ke arah terasku. Mungkin membawanya masuk ke dalam rumahku? Jangan harap! Tentu saja aku tidak akan melakukan hal itu! Afrina memang menarik, kecantikannya sungguh di atas rata-rata. Mungkin itulah yang membuat para tetanggaku itu penasaran. Body nya juga sangat bagus dengan tinggi badan semampai, sungguh mengagumkan. Wajahnya yang ayu berpoles make up yang sangat wajar dan menempel sempurna menambah menarik dirinya dari segala sisi. Tapi aku mengantarkannya hingga kembali keluar ke jalan raya untuk menaiki taxi online yang sudah ia pesan saat berada di rumahku. Lirikan curiga deretan para tetangga yang aku lewati ketika mengantarkan Afrina pulang, menggiring tiap langkah kami saa
Aku hendak pulang sebentar untuk mengganti pakaian yang sudah basah dengan air hujan bercampur keringat ini. Tak mungkin aku menemui seorang gadis secantik dan sewangi Afrina dengan penampilan yang begini. Aku haruslah juga bisa menghargainya dan berusaha menyeimbangkan diri dengan Afrina. Dari kejauhan aku lihat Polisi mengadakan penyisiran seluruh lokasi pasar dari premanisme. Pantas saja aku tidak melihat anggota geng Brewok berseliweran di sekitar pasar sejak pagi. Rupanya mereka sedang sembunyi dari razia. Baguslah Polisi sudah mengambil tindakan secepat ini. Karena keberadaan mereka akhir-akhir ini memang sungguh meresahkan. Para preman itu perlu dipersempit ruang geraknya. Agar mereka tidak lagi berbuat sesuakanya. "Mas! Mas Andy!" panggil Bayu yang datang bersama Anggi sembari berlari tergopoh-gopoh, keduanya adalah teman yang biasa main dengan Satriyo. "Riyo, Mas! Kecekel ambek geng Brewok!" (Rio, Mas! Tertangkap oleh Geng Brewok!) seru Bayu mengabari aku.
Mereka semua memberikan tatapan-tatapan yang mengerikan seolah hari ini akan menjadi akhir hidupku. Melihat mereka begitu beringas, membuatku semakin mengencangkan segenap otot di seluruh tubuhku untuk bersiap mendapatkan pukulan serentak dari mereka semua. Kali ini keadaan begitu berat, aku bisa beresiko mendapat pukulan dari arah manapun. Aku bersiap dengan kuda-kudaku. Aku meningkatkan mawas diriku, memperketat pertahanan diriku, hingga tiga orang yang berada di belakangku menyerangku secara bersamaan. Sedangkan tiga pria lagi di hadapanku semakin merangsek ke arahku menyasarkan balok kayu di tangan mereka untuk dipukulkan kepadaku. Aku menghindari dua orang yang berhadapan menyerangku dengan cepat, untung saja gerakanku lebih cepat dari mereka berdua, sehingga keduanya bisa aku hindari dan aku hantamkan pada seorang yang sengaja aku tarik karena menyerangku dari arah depan. Tongkatnya aku tarik dan orang itu ku dorong ke arah dua orang temannya tadi. Jadilah ketiganya sal
Romi membuka tudungnya yang merupakan bagian dari sarung yang dipakainya untuk menutupi sebagian badannya itu lalu ia menyeringai. Di saat yang bersamaan beberapa warga mulai mendekat ke arah rumahku dengan wajah berapi-api. "Selamat malam, Mas Andy, kami dari tadi mengikuti pria ini dari mushollah bawa sepeda, bawa tas besar, kami curiga dia bukan orang sini dan bisa saja berbuat onar di kampung kita ini, Mas!" Seru salah seorang warga menegurku sembari telunjuknya mengarah kepada Romi. Aku melirik tajam ke arah pria yang mengaku Romi itu dan menariknya hingga jatuh terjerembab ke lantai teras. "Ini aku, Mas! Beneran aku, aku nggak punya niat apa-apa, Mas! Aku dari tadi sore mencari Mas Andy tapi Mas Andy nggak ada di rumah!" Romi mengkerut dan beringsut takut dipukuli tanpa alasan oleh para warga. "Tenang bapak-bapak! Dia salah satu teman saya, dan besok saya akan melapor keberadaannya kepada Pak RT setempat! Jadi saya mohon maaf atas ulah teman saya ini, ya Pak! B
"Hey Kakak! Mengapa diam saja? Aku sedang berbicara kepadamu!" seru Zico kepadaku dengan nada lebih tinggi. "Sudahlah!!" henti Fenno Kakak Zico, "Dia itu hanya pura-pura dungu! Aku yakin sebenarnya dia mengerti, iya kan Andrew?" Sudah lama aku tidak dipanggil dengan nama itu, begitu asing rasanya mendengar namaku disebut oleh bedebah seperti dia ini. Fenno memiringkan sebuah senyuman mencebik, melecehkanku. Lalu memasang wajah berbasa-basi, "Sungguh lihatlah keadaanmu, kamu sangat perlu dikasihani! Pakaian lusuh, warnanya sangat pudar, aroma mu seperti pasir yang dibakar. Ah, Andrew tapi aku tidak menyangka ini sangat cocok dengan dirimu sebagai seorang pembunuh!" Pembunuh? Bisa-bisanya ia masih menuduhkan itu kepadaku? Aku hanya melotot dari sudut mataku mendengar ocehan sampah Fenno, aku berusaha tetap menekan semua api yang kini membakar hangus dadaku. Aku tahu Fenno hanya mencoba mendidihkan aku, menyulutkan api kemarahan agar aku kembali dapat dipermainka