Tetangga di sini suka mengumbar kasak-kusuk, senang dengan urusan orang lain, tentunya mereka yang selalu penasaran dengan sikap diam ku pun ingin tahu ada cerita apa selanjutnya antara aku dan Afrina. Aku hanya mencebik saat memintas langkahku di hadapan mereka yang memenuhi teras rumah mereka melongok ke arah terasku. Mungkin membawanya masuk ke dalam rumahku? Jangan harap! Tentu saja aku tidak akan melakukan hal itu! Afrina memang menarik, kecantikannya sungguh di atas rata-rata. Mungkin itulah yang membuat para tetanggaku itu penasaran. Body nya juga sangat bagus dengan tinggi badan semampai, sungguh mengagumkan. Wajahnya yang ayu berpoles make up yang sangat wajar dan menempel sempurna menambah menarik dirinya dari segala sisi. Tapi aku mengantarkannya hingga kembali keluar ke jalan raya untuk menaiki taxi online yang sudah ia pesan saat berada di rumahku.
Lirikan curiga deretan para tetangga yang aku lewati ketika mengantarkan Afrina pulang, menggiring tiap langkah kami saat keluar ke jalan raya. Ini sudah tengah malam. Tapi Afrina tetap saja cuek dipandang sebelah mata oleh mereka semua. Aku pun tidak tahu gadis ini seperti apa kepribadiannya, karena sejauh kami mengobrol tentang Anton, Afrina bersikap sopan, tidak binal mendayu ataupun merayuku.
Ah, sudah sangat jelek nama yang aku sandang sebagai seorang residiv, mantan napi, itu bukan gelar yang bagus yang aku sandang selama ini. Tidak akan aku coreng lebih dalam lagi dengan memasukkan Afrina ke dalam rumah kontrakanku. Lagi pula aku masih sangat fokus dengan tujuan utamaku untuk kembali ke hadapan Keluarga Dewandaru dengan diriku yang baru. Tidak akan pernah aku rusak dengan apapun. Terlebih lagi karena wanita.
Aku memastikan benar jika Ia benar-benar aman melalui jalan tanpa diganggu preman seperti tadi. Tentu saja aku mengajaknya melintasi jalan lain bukan jalan gelap tempatku menghajar Geng Brewok tadi. Aku mencarikannya jalan lain yang lebih aman, sesudah itu aku memastikan ia menaiki taxi yang benar. Bahkan aku mencatat nopol kendaraan yang membawa Afrina itu.
.
.
Ping!
Pesan dari Afrina pun masuk mengabarkan jika ia sudah sampai rumahnya dengan selamat sehingga aku bisa ikut lega. Dia sungguh mengerti jika dikawatirkan. Dia sempatkan meminta nomor ponselku saat berada di kediaman Anton tadi. Tak lupa ia tetap meminta kabar dari Anton dan keluarganya karena aku tadi sempat mengantarkannya bertemu sejenak dengan keluarga itu untuk menyampikan keprihatinannya.
Sudahlah saatnya beristirahat. Mengumpulkan tenaga untuk melanjutkan asa besok.
**
Cuaca kembali tidak bagus siang ini. Untungnya pundi recehan ku sudah penuh sejak tadi pagi. Saat gerimis tajam menyerang, aku berlari berteduh di tempat istirahat yang disediakan oleh pom bensin dekat aku biasa mangkal. Tubuhku terlanjur basah kuyup lantaran jarak aku berlaru cukup jauh. Hujan ini membuatku tidak awas!
Sialnya decit rem sebuah mobil berwarna merah mengagetkan jantungku. Aku melintas masuk ke dalam pom bensin bersamaan dengan mobil itu, dan aku tidak hati-hati rupanya. Untungnya sang sopir mengerem tepat waktu karena aku sadari aku mengagetkannya dengan melintas tiba-tiba. Aku terjatuh. Siku kiriku pun berdenyut meneteskan darah.
Mobil tersebut mengeloyor melewatiku begitu saja dan berhenti di depan mesin pom untuk mengisi bahan bakar. Sebah tangan dari seseorang berlari ke hadapanku menjulur padaku. Hujan semakin deras aku lansung saja menyambar tangan itu dan berdiri. Aku dan pria pemilik tangan itu pun berlari bersamaan ke tempat yang teduh. Saat aku lihat di balik topi bundarku, aku lihat pria itu adalah Ben? Aku terhenyak canggung.
"Mas nggak apa-apa, kan?" tanya Ben kepadaku.
"Nggak kenapa-kenapa, Mas!" jawabku sembari menunduk.
"Maaf ya, Mas tadi temanku nggak hati-hati nyetirnya, nggak tahu Mas lewat di depan kami!"
"Nggak apa-apa, saya juga nggak lihat-lihat kalau ternyata ada mobil mau masuk pom!"
"Ini kartu nama saya, kalau Mas ada luka-luka Mas bisa hubungi saya! Karena siku Mas berdarah semua ini!" tunjuk Ben pada tangan kiri dan kananku.
Aku sambar kartu nama itu sembari berlalu secepat mungkin dari hadapan Ben. Pemuda itu pun hanya menatapku sembari melengong menaruh kegusaran hingga aku hilang dari pandangannya.
Dua jam berlalu, kini aku sudah keluar dari kamar mandi umum di kontrakanku. Duduk sambil melipat tanganku ke ketiak karena jari-jariku mengerut terlalu banyak kena air hujan yang dingin. Kemudian memegangi gelas teh panas yang baru saja aku seduh agar pucatnya tanganku bisa segera berkurang. Dari kantong kemejaku yang basah, aku mengeluarkan beberapa uang kertas pemberian Donatur-Terpaksa dan diantaranya ada sebuah kartu nama. Kembali kutemukan kartu nama Ben dan masih terbayang wajahnya yang terlihat terpaku menatapku dari dalam mobilnya begitu aku mengabaikannya tadi siang. Mungkin ia merasa mengenalku, karena aku mengenalnya. Untung saja kartu nama itu tak terlalu basah sehingga masih bisa aku baca tulisan di atasnya. Ben salah satu temanku sekelas saat kuliah. Kami se-angkatan, tapi dia pemuda berkacamata itu terlalu pendiam. Dia sering menyendiri dan tidak punya banyak teman. Seingatku namanya Benjamin Tama Sanjaya. Tepat sama dengan Nama yang sekarang tertera di atas Kartu Nama yang hampir lecek ini.
Membandingkan keadaanku dan Ben, setidaknya dia lebih baik dariku. Aku tentu saja tidak serta merta menyapanya. Takutnya ia malu di hadapan para temannya lantaran ia tidak sendiri, Ben sedang bersama beberapa rekan sekerjanya di dalam mobil itu. Dan keadaanku yang lusuh sangat jauh dibanding dulu saat aku masih menjadi teman sekelasnya. Aku sangat bersih, kulitku putih bersinar, dan wajahku juga di atas rata-rata kebanyakan pemuda seumuranku. Andai aku seperti layaknya teman-teman sekolah atau pun teman kuliahku seperti sekarang? Mungkin aku akan sebahagia mereka. Aku hanya bisa berguman sendiri dan menertawakan nasib yang sedang aku jalani. Hanya saja satu hal aku tidak akan putus asa dengan semua ini. Aku harus menekan semuanya, aku tidak akan mengeluhkan apa yang terjadi. Aku hanya yakin hariku kedepannya akan Indah.Untuk kartu nama ini aku simpan sajalah, toh Ben sudah berusaha berbaik hati padaku. Sial tangaku kembali bergetar, ingatanku melambung kembali ke masa lalu saat kuliahku dulu dan masih tinggal di rumah keluargaku, keluarga dengan nama besar pemilik beberapa pabrik besar dengan tenaga kerja sekitar 4500 orang. Bisa dibayangkan bukan keadaanku dulu seperti apa, dengan semua kekuasaan, prioritas, kekayaan, dan fasilitas yang aku punya. Sedangkan kini keadaanku tak lebih dari hanya seorang gembel jalanan yang tak berguna.
Ping!
Kembali pesan masuk mengejutkanku. Membuyarkan lamunanku yang bisa menyesatkan ku dalam kesakitan yang parah mengingat keluargaku. Secepatnya aku membuka ponselku, barangkali ini permintaan dari Bu Asih untuk mengantarkan pesanan makanan dari kantor tertentu biasannya Bu Asih akan menghubungiku.
Tapi itu bukan dari Bu Asih, melainkan Afrina. Aku membacanya dan ia minta diantar besok menjenguk Anton di rumah sakit di mana itu merupakan lokasi rehabilitasi yang hanya bisa dikunjungi dalam waktu-waktu tertentu. Entah mengapa aku memberi balasan bersedia kepada Afrina.
**
kritik dan saran selalu dinanti aku tunggu ya
Aku hendak pulang sebentar untuk mengganti pakaian yang sudah basah dengan air hujan bercampur keringat ini. Tak mungkin aku menemui seorang gadis secantik dan sewangi Afrina dengan penampilan yang begini. Aku haruslah juga bisa menghargainya dan berusaha menyeimbangkan diri dengan Afrina. Dari kejauhan aku lihat Polisi mengadakan penyisiran seluruh lokasi pasar dari premanisme. Pantas saja aku tidak melihat anggota geng Brewok berseliweran di sekitar pasar sejak pagi. Rupanya mereka sedang sembunyi dari razia. Baguslah Polisi sudah mengambil tindakan secepat ini. Karena keberadaan mereka akhir-akhir ini memang sungguh meresahkan. Para preman itu perlu dipersempit ruang geraknya. Agar mereka tidak lagi berbuat sesuakanya. "Mas! Mas Andy!" panggil Bayu yang datang bersama Anggi sembari berlari tergopoh-gopoh, keduanya adalah teman yang biasa main dengan Satriyo. "Riyo, Mas! Kecekel ambek geng Brewok!" (Rio, Mas! Tertangkap oleh Geng Brewok!) seru Bayu mengabari aku.
Mereka semua memberikan tatapan-tatapan yang mengerikan seolah hari ini akan menjadi akhir hidupku. Melihat mereka begitu beringas, membuatku semakin mengencangkan segenap otot di seluruh tubuhku untuk bersiap mendapatkan pukulan serentak dari mereka semua. Kali ini keadaan begitu berat, aku bisa beresiko mendapat pukulan dari arah manapun. Aku bersiap dengan kuda-kudaku. Aku meningkatkan mawas diriku, memperketat pertahanan diriku, hingga tiga orang yang berada di belakangku menyerangku secara bersamaan. Sedangkan tiga pria lagi di hadapanku semakin merangsek ke arahku menyasarkan balok kayu di tangan mereka untuk dipukulkan kepadaku. Aku menghindari dua orang yang berhadapan menyerangku dengan cepat, untung saja gerakanku lebih cepat dari mereka berdua, sehingga keduanya bisa aku hindari dan aku hantamkan pada seorang yang sengaja aku tarik karena menyerangku dari arah depan. Tongkatnya aku tarik dan orang itu ku dorong ke arah dua orang temannya tadi. Jadilah ketiganya sal
Romi membuka tudungnya yang merupakan bagian dari sarung yang dipakainya untuk menutupi sebagian badannya itu lalu ia menyeringai. Di saat yang bersamaan beberapa warga mulai mendekat ke arah rumahku dengan wajah berapi-api. "Selamat malam, Mas Andy, kami dari tadi mengikuti pria ini dari mushollah bawa sepeda, bawa tas besar, kami curiga dia bukan orang sini dan bisa saja berbuat onar di kampung kita ini, Mas!" Seru salah seorang warga menegurku sembari telunjuknya mengarah kepada Romi. Aku melirik tajam ke arah pria yang mengaku Romi itu dan menariknya hingga jatuh terjerembab ke lantai teras. "Ini aku, Mas! Beneran aku, aku nggak punya niat apa-apa, Mas! Aku dari tadi sore mencari Mas Andy tapi Mas Andy nggak ada di rumah!" Romi mengkerut dan beringsut takut dipukuli tanpa alasan oleh para warga. "Tenang bapak-bapak! Dia salah satu teman saya, dan besok saya akan melapor keberadaannya kepada Pak RT setempat! Jadi saya mohon maaf atas ulah teman saya ini, ya Pak! B
"Hey Kakak! Mengapa diam saja? Aku sedang berbicara kepadamu!" seru Zico kepadaku dengan nada lebih tinggi. "Sudahlah!!" henti Fenno Kakak Zico, "Dia itu hanya pura-pura dungu! Aku yakin sebenarnya dia mengerti, iya kan Andrew?" Sudah lama aku tidak dipanggil dengan nama itu, begitu asing rasanya mendengar namaku disebut oleh bedebah seperti dia ini. Fenno memiringkan sebuah senyuman mencebik, melecehkanku. Lalu memasang wajah berbasa-basi, "Sungguh lihatlah keadaanmu, kamu sangat perlu dikasihani! Pakaian lusuh, warnanya sangat pudar, aroma mu seperti pasir yang dibakar. Ah, Andrew tapi aku tidak menyangka ini sangat cocok dengan dirimu sebagai seorang pembunuh!" Pembunuh? Bisa-bisanya ia masih menuduhkan itu kepadaku? Aku hanya melotot dari sudut mataku mendengar ocehan sampah Fenno, aku berusaha tetap menekan semua api yang kini membakar hangus dadaku. Aku tahu Fenno hanya mencoba mendidihkan aku, menyulutkan api kemarahan agar aku kembali dapat dipermainka
Setelah melewati berbagai prosedur, akhirnya kami diijinkan untuk menjumpai Anton. Aku diminta Afrina untuk duduk menemaninya menunggu Anton di sebuah ruangan serba putih yang berukuran 3x3 meter itu. Afrina terlihat gelisah, keningnya ku lihat mengerut dan pandangan matanya tidak berhenti berkeliling ke seluruh ruangan. Tak lama kemudian petugas rehabilitasi pun datang mengantar Anton dan mendudukkan di hadapan kami. Dengan cepat Afrina segera mendatangi Anton. Sungguh tadinya aku kira mereka sepasang kekasih, yang mungkin bisa saja akan berpelukan atau apapun. Tapi bukan, aku lihat bibir Afrina bergetar. Ia terlihat sangat tidak nyaman dan matanya menggenang. "Bagaimana ini semua bisa terjadi? Kenapa Anton?" Afrina terlihat berusaha menahan air matanya. Mungkin tak mau terlihat oleh aku dan petugas itu. "Semua di luar kendaliku! Apalagi aku harus bisa menciptakan seuasana ramai setiap malam! Aku hanya memakai obat itu untuk menjadikan diriku bisa membuat musik yang
Siang hari ini aku bisa mulai mengais kurnia Tuhan dari dalam kandi-kandi terpencar dari rumah ke rumah. Hingga di penghujung penjajakanku aku dapati. Aku berlega hati, pendapatan siang ini lebih baik dari hari kemarin. Uang logam dan kertas penuh di tas pinggangku. Kakiku melangkah dengan ringan. Aku akan memasukkan uang ini ke rekeningku besok. Ya, aku menabung tentu saja aku menabung, meski jumlahnya tak seberapa tapi setidaknya aku bisa mensuplay diriku sendiri tanpa bantuan Papa. Sudahlah hatiku hambar setiap memanggilnya dengan sebutan 'Papa'. Bagaimana pria yang tega mengusirku itu tetap bisa aku panggil 'Papa'? Saat aku melewati Pasar Besar, dua orang teman sebaya menghentikanku, mereka berdua adalah penjaga stan parkir motor di sisi selatan pasar. Dengan wajah iba mereka mendekati aku. "Aku dengar Narko belum ketemu ya, Ndy? Dia masih sembunyi dari polisi?" tanya pria bernama Bagus, salah satu dari mereka. "Belum kayaknya, Gus! Anak buahnya jelas saja menutupi keberadanny
Sembari menodongkan pisauku ke leher Narko, aku menendang salah satu anak buah geng Brewok untuk menurunkan dan membebaskan Romi. Romi pun diturunkan dan diserahkan di sebelahku, sehingga aku bisa menyambut tubuhnya yang tak kuat berdiri lagi. Tubuhnya penuh luka pukulan, betapa perih melihatnya seperti ini. Sementara kain penutup mata Romi itu pun ia tidak dapat membukanya sendiri. Begitu timpas mereka memperlakukan Romi. Membuatku mencekik leher Narko dengan keras. Anak buahnya pun mulai merapat padaku, untuk mencegah serangan mereka lagi aku angkat kepala Narko aku paksa untuk berdiri. "Jika ada salah satu dari kalian berani membebaskan ketua kalian! Aku beri pelajaran sama dengan si busuk ini!" aku memadan satu persatu wajah anak buah Narko itu dan menyasarkan telunjukku kepada Narko yang sudah menurut patuh. "Mulai hari ini jika ada yang berani menyebut dia ketua geng Brewok maka akan aku habisi seperti keparat ini!" aku sudah setengah mati dongkol dengan perlakuan mereka tehada
Di kamar perawatannya yang tenang, Romi masih terlihat tidur dengan nyenyak. Aku duduk d sebelah tempat tidurnya dan menunggui jika ia sewaktu-waktu bangun dan membutuhkan sesuatu. Tak lama berselang tangan Romi aku lihat mulai bergerak-gerak, bola matanya yang masih tertutup kelopakpun mulai bergerak ke kanan dan ke kiri. Perlahan Romi mulai sadar. Begitu bisa melihatku dengan jelas, Romi tersenyum kepadaku. "Mas, Andy!" lirihnya sembari tersenyum lega. "Apa kamu haus?" tanyaku sembari membuka tutup botol air mineral dan segera aku pasang sedotan bengkok pada air dalam botol itu, "Minum dulu, Rom!" Romi menyedot perlahan sambil aku membantunya minum, dan ia mengeluarkan suara "Ah!" Aku membantunya bersandar kembali sambil ia berterima kasih. "Kapan aku boleh pulang mas?" "Kamu masih harus menjalani satu lagi operasi untuk memperbaiki syaraf yang masih belum kembali sempurna di tanganmu itu, Rom! Jika tidak dilakukan dokter khawatir tanganmu tidak bisa digunakan seperti sed