Sembari menodongkan pisauku ke leher Narko, aku menendang salah satu anak buah geng Brewok untuk menurunkan dan membebaskan Romi. Romi pun diturunkan dan diserahkan di sebelahku, sehingga aku bisa menyambut tubuhnya yang tak kuat berdiri lagi. Tubuhnya penuh luka pukulan, betapa perih melihatnya seperti ini. Sementara kain penutup mata Romi itu pun ia tidak dapat membukanya sendiri. Begitu timpas mereka memperlakukan Romi. Membuatku mencekik leher Narko dengan keras. Anak buahnya pun mulai merapat padaku, untuk mencegah serangan mereka lagi aku angkat kepala Narko aku paksa untuk berdiri. "Jika ada salah satu dari kalian berani membebaskan ketua kalian! Aku beri pelajaran sama dengan si busuk ini!" aku memadan satu persatu wajah anak buah Narko itu dan menyasarkan telunjukku kepada Narko yang sudah menurut patuh. "Mulai hari ini jika ada yang berani menyebut dia ketua geng Brewok maka akan aku habisi seperti keparat ini!" aku sudah setengah mati dongkol dengan perlakuan mereka tehada
Di kamar perawatannya yang tenang, Romi masih terlihat tidur dengan nyenyak. Aku duduk d sebelah tempat tidurnya dan menunggui jika ia sewaktu-waktu bangun dan membutuhkan sesuatu. Tak lama berselang tangan Romi aku lihat mulai bergerak-gerak, bola matanya yang masih tertutup kelopakpun mulai bergerak ke kanan dan ke kiri. Perlahan Romi mulai sadar. Begitu bisa melihatku dengan jelas, Romi tersenyum kepadaku. "Mas, Andy!" lirihnya sembari tersenyum lega. "Apa kamu haus?" tanyaku sembari membuka tutup botol air mineral dan segera aku pasang sedotan bengkok pada air dalam botol itu, "Minum dulu, Rom!" Romi menyedot perlahan sambil aku membantunya minum, dan ia mengeluarkan suara "Ah!" Aku membantunya bersandar kembali sambil ia berterima kasih. "Kapan aku boleh pulang mas?" "Kamu masih harus menjalani satu lagi operasi untuk memperbaiki syaraf yang masih belum kembali sempurna di tanganmu itu, Rom! Jika tidak dilakukan dokter khawatir tanganmu tidak bisa digunakan seperti sed
Malam ini Romi pun mulai puasa, dari keterangan dokter kepadaku tadi jika Romi tidak perlu khawatir tentang operasi ortopedi yang harus ia jalani untuk mengatasi berbagai cedera yang timbul pada tendon dan ligamen di tangannya itu. Operasi bedah untuk Romi akan dilakukan besok pagi. "Mas Andy?" "Iya, Rom!" "Ibuku tadi telpon, beliau menyampaikan permintaan maaf karena sudah merepotkan Mas Andy untuk mejagaku! Beliau belum ada biaya untuk datang ke sini!" "Nggak usah dipikir, Rom! Aku juga senang melakukannya untukmu!" jawabku santai sembari mengelap ukuleleku dan memperbaiki senar-senarnya. "Adikku juga bilang setelah ujian dia akan datang ke sini untuk menjengukku. Dia akan sekalian mencari pekerjaan, jadi mungkin adikku dan ibu bisa datang setelah operasiku ini, Mas!" "Ya kamu harus sabar jika aku merawat kamu hanya sebisaku seperti ini, kadang aku jaga, kadang aku tinggal kerja! Nanti juga ibu dan adik kamu pasti datang beberapa hari mendatang, jangan kecil hati ya!" "
Pasalnya di hari pertamaku kerja ini, sudah ramai para pebisnis dan karyawan dari berbagai perusahaan menghabiskan waktu di bar ini. Alex yang sudah memberikan seragam kepadaku sehingga menyamarkan keberadaanku di antara waiters yang lain. Bahkan Fenno yang datang di bar ini malam ini sampai tidak menghiraukan aku walau aku lewat di hadapannya. Lagipula jenggot dan jambangku sengaja ku biarkan tumbuh tebal, tidak aku cukur, ternyata cukup membuat Fenno tidak mengenali aku. Tidak seperti beberapa minggu yang lalu ketika aku berada di tempat ini saat wajahku usai bercukur, Fenno dan Zicco yang manja itu langsung saja mengenali wajah tampanku ini seketika mereka melintas di hadapanku. Aku lihat di sana Afrina dipanggil oleh Fenno yang datang bersama beberapa rekanan bisnisnya. Afrina terlihat tidak nyaman tapi ia tetap bersikap baik terhadap mereka. Mereka bercakap-cakap sejenak, lalu Afrina diajak serta ke dalam privat room oleh mereka. Kemudian pintu privat roompun ditutup rapat dan
Aku menyodorkan teh hangat yang aku buat manis sekali untuk Afrina. Mungkin ini bisa menenangkannya. Aku mengelap wajahnya yang belepotan lunturan make up itu dengan handuk basah. Ia masih bergetar. Tapi aku terus memperlakukannya dengan lembut. "Ini Mbak, minumlah dulu!" aku menyodorkan teh hangat itu untuknya. "Kamu bukan orang suruhan Fenno?" tanyanya lirih kepadaku. "Bukan! Aku bisa pastikan itu kepada mbak! Aku tidak kenal Fenno!" mendekatkan wajahku kepadanya aku memberanikan diri menggenggam tangannya, jemari Afrina masih dingin, begitu juga telapak tangannya, "Mbak, coba pandang mataku!" Afrina seketika merasa heran dengan permintaanku, namun ia melihat pada kedua bola mataku. "Tahukah mbak? Ibuku melakukan ini padaku ketika aku panik! TAriklah napas dalam-dalam, dan hembuskan kuat-kuat!" bisikku sambil tidak berkedip memandangnya. Mata Afrina terpejam, ia mulai mengambil napasnya dan menghembuskannya, ia menurut sekali kepadaku. "Bagus, l
Keesokan harinya aku bangun saat subuh, setelah melakukan ibadahku, aku mencari bahan-bahan mentah yang tersedia di kulkas. Di dapur Afrina sungguh bersih, tidak ada makanan sama sekali, hanya ada panci-panci yang tengkurap. Meski hanya menemukan telur, bahan spageti, kornet dan beberapa sayuran beku, tapi aku berusaha membuat masakan apapun sebisaku dengan bahan yang ada. Jadilah aku memasak di dapur Afrina. Aku berusaha untuk tidak berisik agar tidak mengganggu, aku rasa Afrina masih tidur. Aku mengolah semua bahan itu dengan sebaik mungkin. Supaya semua segera selesai tepat waktu, aku masih harus menjenguk Romi pagi ini di rumah sakit sebelum kembali bekerja di bar. Sial! Karena keteledoranku aku menyenggol botol minyak goreng hingga tumpah ke bajuku. Aku lupa pakai celemek, lebih tepatnya memang aku ogah memakai celemek. Setelah beberapa saat, akhirnya nasi, telur orak arik, spageti, tumis wortel kentang buncis, telur rebus, lengkap dengan saus mayo dengan lada hitam
Langit begitu cerah, setelah turun dari motorku, Afrina melepas jaket kulitnya dan rambutnya yang hitam tergerai mengkilat tertimpa matahari langit siang yang terang, sehingga memukau semua mata yang melihat kami berdua di halaman Flara D' Freya Bar And Lounge. Tapi ada pula sepasang mata tidak suka sudah menanti kami. Pria itu tampak begitu dongkol, gusar dengan kebersamaan kami. Afrina melenggang masuk seperti tak terjadi apapun, Afrina mengacuhkan pria itu. Pria yang sekaligus merupakan adik tiriku itu menyambar pergelangan tangan Afrina dan menyeretnya masuk ke dalam bar. Dari kejauhan Afrina menatapku meminta bantuan. Tapi untuk apa aku ikut campur? Itu urusan Afrina dengan Fenno. Pandanganku mengedar ke sekeliling bar, memang terdapat banyak pria dengan earpiece yang sudah menjadi ciri khas bodyguard dari keluarga Dewandaru, mereka berjaga berkeliling di bar ini. Bahkan aku melihat salah satu dari mereka sedari aku keluar dari rumah Afrina tadi. Aku tentu saja masih ha
Aku berusaha menjatuhkan semua lawanku, luka-luka mulai aku derita, tapi tak aku hiraukan. Berbagai pukulan dan tikaman terasa pedih dan meneteskan darah tak menyurutkan langkahku untuk terus mencari ke arah suara Afrina. Sambil aku terus melumpuhkan anak buah Fenno yang bergantian menyerangku. Hingga aku bisa mendekati pria yang menarik paksa tubuh Afrina. Sudah habis kesabaranku, aku pun menari jas hitam pria itu. Lalu tubuhnya aku dorong sekuat tenaga aku hantamkan ke meja kayu yang besar dan kokoh. Dan pria itu merasakan rahangnya patah akibat hempasanku ke tubuhnya tadi. Tapi ia masih berusaha berdiri. Hingga terdengar bunyi 'ccraanngg!' pada bodyguard itu. Alex ada di sana, pria itu mendukungku. Baru saja ia yang menimbulkan suara itu adalah dia. Alex memukulkan botol minuman ke kepala bodyguard tadi hingga ia tepar tak berdaya. Jadi aku bisa menghadapi begundal yang lain. Di sisi lain, Fenno rupanya hendak melemparku dengan kursi besi, tapi juga digagalkan ole