Keesokan harinya aku bangun saat subuh, setelah melakukan ibadahku, aku mencari bahan-bahan mentah yang tersedia di kulkas. Di dapur Afrina sungguh bersih, tidak ada makanan sama sekali, hanya ada panci-panci yang tengkurap. Meski hanya menemukan telur, bahan spageti, kornet dan beberapa sayuran beku, tapi aku berusaha membuat masakan apapun sebisaku dengan bahan yang ada. Jadilah aku memasak di dapur Afrina. Aku berusaha untuk tidak berisik agar tidak mengganggu, aku rasa Afrina masih tidur. Aku mengolah semua bahan itu dengan sebaik mungkin. Supaya semua segera selesai tepat waktu, aku masih harus menjenguk Romi pagi ini di rumah sakit sebelum kembali bekerja di bar. Sial! Karena keteledoranku aku menyenggol botol minyak goreng hingga tumpah ke bajuku. Aku lupa pakai celemek, lebih tepatnya memang aku ogah memakai celemek. Setelah beberapa saat, akhirnya nasi, telur orak arik, spageti, tumis wortel kentang buncis, telur rebus, lengkap dengan saus mayo dengan lada hitam
Langit begitu cerah, setelah turun dari motorku, Afrina melepas jaket kulitnya dan rambutnya yang hitam tergerai mengkilat tertimpa matahari langit siang yang terang, sehingga memukau semua mata yang melihat kami berdua di halaman Flara D' Freya Bar And Lounge. Tapi ada pula sepasang mata tidak suka sudah menanti kami. Pria itu tampak begitu dongkol, gusar dengan kebersamaan kami. Afrina melenggang masuk seperti tak terjadi apapun, Afrina mengacuhkan pria itu. Pria yang sekaligus merupakan adik tiriku itu menyambar pergelangan tangan Afrina dan menyeretnya masuk ke dalam bar. Dari kejauhan Afrina menatapku meminta bantuan. Tapi untuk apa aku ikut campur? Itu urusan Afrina dengan Fenno. Pandanganku mengedar ke sekeliling bar, memang terdapat banyak pria dengan earpiece yang sudah menjadi ciri khas bodyguard dari keluarga Dewandaru, mereka berjaga berkeliling di bar ini. Bahkan aku melihat salah satu dari mereka sedari aku keluar dari rumah Afrina tadi. Aku tentu saja masih ha
Aku berusaha menjatuhkan semua lawanku, luka-luka mulai aku derita, tapi tak aku hiraukan. Berbagai pukulan dan tikaman terasa pedih dan meneteskan darah tak menyurutkan langkahku untuk terus mencari ke arah suara Afrina. Sambil aku terus melumpuhkan anak buah Fenno yang bergantian menyerangku. Hingga aku bisa mendekati pria yang menarik paksa tubuh Afrina. Sudah habis kesabaranku, aku pun menari jas hitam pria itu. Lalu tubuhnya aku dorong sekuat tenaga aku hantamkan ke meja kayu yang besar dan kokoh. Dan pria itu merasakan rahangnya patah akibat hempasanku ke tubuhnya tadi. Tapi ia masih berusaha berdiri. Hingga terdengar bunyi 'ccraanngg!' pada bodyguard itu. Alex ada di sana, pria itu mendukungku. Baru saja ia yang menimbulkan suara itu adalah dia. Alex memukulkan botol minuman ke kepala bodyguard tadi hingga ia tepar tak berdaya. Jadi aku bisa menghadapi begundal yang lain. Di sisi lain, Fenno rupanya hendak melemparku dengan kursi besi, tapi juga digagalkan ole
Sesaat waktu juga jantung kami terasa terhenti. Dari dalam mobil Alex kami melihat berpendar ke keadaan di luar. "Ada pria di bawah mobilku!" seru Alex segera keluar dari kursi kemudinya untuk melihat apa yang terjadi di luar sana. "Dasar pencopet kurang ajar! Rasakan kamu tertabrak mobil kan, akhirnya?" umpat wanita itu yang aku lihat dari dalam mobil tadi. Sementara dari bawah bumper depan mobilnya Alex menyeret paksa seorang pria yang tengah meringkuk melindungi wajah dan dadanya dengan kedua tangan dan lutut menghindari tumbukan roda mobil Alex. Aku mendekati pria yang dibantu Alex itu. Pria itu menggendong sebuah tas berbahan kulit ular mahal di pelukannya. Setelah aku periksa dari ujung kepala hingga ujung kaki, beruntung pria itu tidak terluka. Tak terlihat cedera berarti di tubuhnya. Hanya terdapat luka-luka lecet di bebetapa bagian siku dan sandal jepitnya yang terlepas dari kakinya. "Apa yang sebenarnya terjadi, Nyonya? Maafkan saya hampi
Ben menatap satu per satu pria bertopeng yang mengelilinya dan bersiap mencabik-cabiknya dengan belati-belati tajam di tangan mereka. Aku melihat Ben mengayukan berputar tas ranselnya berusaha menghalau para pria bertopeng itu agar menjauhinya. Namun tak satu pun dari mereka yang mundur, lalu secara bersamaan mereka menerkam Ben dan Ben yang sudah terkepung tak dapat lari lagi. Seingatku Ben anak yang baik dulu, ya walau prestasinya selalu di bawahku tapi dia tidak pernah terlihat macam-macam di kampus. Dia seperti layaknya kutu buku bagi kami teman sekelasnya, dengan kaca mata tebalnya dan pakaian konvensinalnya ia terlihat kuper dan tidak menarik. Aku hanya bisa bertanya dalam benak keterlibatan dalam hal seperti apa sehingga membuatnya harus berurusan dengan keadaan semacam ini? Kini aku melihat salah seorang dari pria bertopeng itu berhasil memukul wajah Ben hingga kaca mata Ben terlepas dan terjatuh di tanah. Ben ditindih, ia dipukuli bertubi-tubi. Dan ia pun dihujani p
"Tuh kan, pelan-pelan dong, Mas! Belepotan kan jadinya?" riuh Afrina menyuapi aku. Sudah beberapa hari ini ia selalu menemaniku sepulang kerja. Bahkan hari ini ia sengaja mengambil libur untuk menemaniku keluar dari rumah sakit. Kami kian dekat saja dari hari ke hari. "Aku pingin cepat selesai. Aku mau ketemu Ben dulu sebelum pulang." sahutku sembari menyedot susu hangatku di gelas hingga tandas. "Tadi aku lihat ada perempuan masuk kamar Ben pas lewat di depannya." balas Afrina sembari mengelap tangannya lalu duduk di sebelahku, "Apa itu tunangannya? Akhirnya dia muncul juga." "Kok kamu sih yang jadi penasaran?" aku meringis heran. "Habis, masa katanya tunangannya, tapi Ben diterkam orang sampai luka parah, nggak nongol sama sekali? Apa itu namanya?" Lucu sekali gadis ini, aku tidak bisa menahan gelakku jadinya. Aku mengelus lembut rambut hitam mengkilat milik Afrina, "Rin, tidak semua hal itu seperti kelihatannya. Kita tidak tahu apa yang dilakukan tun
Taman di rumah sakit ini begitu bagus, dihiasi juga dengan air mancur dari patung berbentuk peri keselamatan. Suara gemericik airnya begitu membuat teduh pasien yang di rawat di sini. Kami bertiga mengambil duduk di salah satu barisan kursi taman yang didesainnya serba putih ini. "Andrew, maafkan sikap kekanak-kanakan Sisca, ya! Semenjak kehilangan kedua orang tuanya dia menjadi seperti itu." jelas Ben di saat kami berada di taman rumah sakit, di bawah pohon rindang. "Ya, kami bisa memaklumi, dia memang sangat mengkhawatrikan kamu, Ben!" balasku menutupi rasa kesalku terhadap sikap congkak Sisca tadi. "Tapi Sisca itu, tunangan, sepupu, atau adik kamu?" Afrina yang sedari tadi sudah gatal memaksaku menanyakan itu, aku tidak menggubris saat ia berbisik di telingaku tentang hal itu. "Owh itu? Sisca itu tunanganku, kami sudah dua tahun ini bertunangan. Tadinya kami mau menikah tahun ini, tapi harus ditunda karena harus menunggu sampai dia menyelesaikan S-duanya." terang
"Hay Mas! Syukur Alhamdulillah, Mas Andy sudah pulang." sambut Romi begitu aku memasuki ruang tamuku. Aku tersenyum lebar, lega rasanya bisa kembali ke rumah lagi, "Kamu di sini juga, Lex? Aku nggak lihat mobilmu ada di depan tadi." "Mobilku ada di depan gang, Mas! Aku nggak tega aja lihat keadaan dia Mas, tapi tangan Romi sudah jauh lebih baik kok! Tempo hari aku pernah sekali antar dia terapi." jelas Alex sembari mengambil alih tas bawaanku dan membantuku duduk di sofa yang telah terkoyak-koyak kain pembungkusnya. "Mas Alex juga sering antar makanan buat aku, Mas!" terang Romi sembari mengambil duduk di dekatku. "Oh, ya? Terima kasih ya, Lex!" "Coba lihat ini, Mas Andy! Romi memperlihatkan pergelangan tangannya yang sudah pulih, "Tuh kan, sudah bisa diputar-putar lagi tanganku, Mas! Sudah bisa diajak bekerja lagi ini!" "Alhamdulillah, aku ikut senang Romi!" "Iya aku juga punya kabar, kalau ada perusahan teman aku yang butuh OB yang jujur bisa