Jangan lupa tolong beri ulasan, kritik dan saran kalian setelah membaca cerita ini ya, Saran kalian begitu berarti untukku, terima kasih.
"Tuh kan, pelan-pelan dong, Mas! Belepotan kan jadinya?" riuh Afrina menyuapi aku. Sudah beberapa hari ini ia selalu menemaniku sepulang kerja. Bahkan hari ini ia sengaja mengambil libur untuk menemaniku keluar dari rumah sakit. Kami kian dekat saja dari hari ke hari. "Aku pingin cepat selesai. Aku mau ketemu Ben dulu sebelum pulang." sahutku sembari menyedot susu hangatku di gelas hingga tandas. "Tadi aku lihat ada perempuan masuk kamar Ben pas lewat di depannya." balas Afrina sembari mengelap tangannya lalu duduk di sebelahku, "Apa itu tunangannya? Akhirnya dia muncul juga." "Kok kamu sih yang jadi penasaran?" aku meringis heran. "Habis, masa katanya tunangannya, tapi Ben diterkam orang sampai luka parah, nggak nongol sama sekali? Apa itu namanya?" Lucu sekali gadis ini, aku tidak bisa menahan gelakku jadinya. Aku mengelus lembut rambut hitam mengkilat milik Afrina, "Rin, tidak semua hal itu seperti kelihatannya. Kita tidak tahu apa yang dilakukan tun
Taman di rumah sakit ini begitu bagus, dihiasi juga dengan air mancur dari patung berbentuk peri keselamatan. Suara gemericik airnya begitu membuat teduh pasien yang di rawat di sini. Kami bertiga mengambil duduk di salah satu barisan kursi taman yang didesainnya serba putih ini. "Andrew, maafkan sikap kekanak-kanakan Sisca, ya! Semenjak kehilangan kedua orang tuanya dia menjadi seperti itu." jelas Ben di saat kami berada di taman rumah sakit, di bawah pohon rindang. "Ya, kami bisa memaklumi, dia memang sangat mengkhawatrikan kamu, Ben!" balasku menutupi rasa kesalku terhadap sikap congkak Sisca tadi. "Tapi Sisca itu, tunangan, sepupu, atau adik kamu?" Afrina yang sedari tadi sudah gatal memaksaku menanyakan itu, aku tidak menggubris saat ia berbisik di telingaku tentang hal itu. "Owh itu? Sisca itu tunanganku, kami sudah dua tahun ini bertunangan. Tadinya kami mau menikah tahun ini, tapi harus ditunda karena harus menunggu sampai dia menyelesaikan S-duanya." terang
"Hay Mas! Syukur Alhamdulillah, Mas Andy sudah pulang." sambut Romi begitu aku memasuki ruang tamuku. Aku tersenyum lebar, lega rasanya bisa kembali ke rumah lagi, "Kamu di sini juga, Lex? Aku nggak lihat mobilmu ada di depan tadi." "Mobilku ada di depan gang, Mas! Aku nggak tega aja lihat keadaan dia Mas, tapi tangan Romi sudah jauh lebih baik kok! Tempo hari aku pernah sekali antar dia terapi." jelas Alex sembari mengambil alih tas bawaanku dan membantuku duduk di sofa yang telah terkoyak-koyak kain pembungkusnya. "Mas Alex juga sering antar makanan buat aku, Mas!" terang Romi sembari mengambil duduk di dekatku. "Oh, ya? Terima kasih ya, Lex!" "Coba lihat ini, Mas Andy! Romi memperlihatkan pergelangan tangannya yang sudah pulih, "Tuh kan, sudah bisa diputar-putar lagi tanganku, Mas! Sudah bisa diajak bekerja lagi ini!" "Alhamdulillah, aku ikut senang Romi!" "Iya aku juga punya kabar, kalau ada perusahan teman aku yang butuh OB yang jujur bisa
Entah bagaimana bisa, dari teras depan, kini kami sudah berada di atas sofa ruang tamu Afrina. Bibir kami beradu tanpa bisa dihentikan. Aku tak bisa menolak bibir manisnya. Aku rasa setelah kejadian ini, bibir cantik ini akan menjadi candu buatku. Tanganku juga mulai berani bergerilya kian turun ke punggung Afrina, membelai di sana dan menelusuri tiap inci tubuh hangat itu dari leher hingga ke ujung kaki. "Brengsek!!!" aku jengkel sekali, "AAARRHHH!!" aku menolak gejolak ini hingga hampir mati rasanya. "Mas An kenapa?" Afrina bertanya sembari masih terengah-engah, "Mas nggak suka sama Af?" "Bukan begitu, Af! Maafkan aku! Jangan teruskan! Aku bisa merusakmu!" aku mengaitkan rambut yang menutupi sebagian pipi Afrina ke telinganya. Rautnya mengguratkan rasa pilu. Rasa bersalah segera menyeruak di hatiku. Sebenarnya aku tak tega mengabaikannya dengan cara begini, tapi aku sungguh menyayanginya. Aku tidak ingin dia tersakiti lagi dengan hinaan Fenno kepadanya. "Dasar
"Sial!" umpatku tatkala mereka mengeluarkan bola-bola bergerigi mereka dan mereka lemparkan ke arah mobil Alex. Tak akan aku biarkan melukai mobil mahal ini. Aku meliukkan jalan kendaraan ini ke kanan dan ke kiri menghindari serangan bola-bola rantai itu yang mereka hantamkan bertubi-tubi ke atap dan juga body mobil. "Lebih cepat lagi, Mas! Kita hampir sampai jalan raya! Banyak Polisi di sana! Aku rasa mereka tidak akan berani mengejar lagi jika sampai di jalan besar!" seru Alex sembari berpegangan pada gagang tumpuan yang ada di atas pintu di dekatnya. "Lihat saja apa mereka masih berani jika sudah berada di jalanan umum? Aku yakin mereka akan menyerah!" gelakku begitu puas sambil menyetir dengan begitu keras sehingga akhirnya kami bisa melintasi gang di belakang Pasar Besar itu. Diiringi teriakan kemenangan dari Alex juga Romi secara bersahutan. Susah payah sudah kami menghindari kejaran geng motor yang begitu brutal mengincar kami tadi. Hingga tak terasa darah banya
"Anda mengenal Papa saya?" ada getaran meresik di dalam dadaku, "Dari mana Anda bisa tahu kalimat itu? Itu kalimat yang sering diajarkan dalam keluarga saya?" "Aku sangat mengenalmu, Andrew, sangat!" aku bisa merasakan penekanan dari kata-kata Nyonya Margareth itu, "Untuk itulah aku sengaja mengundangmu datang ke butikku agar kita bisa bertemu lagi." ia melanjutkan sembari mengerling, membuat rasa penasaranku semakin bertambah. "Lalu apa hubungan Anda dengan saya juga Papa saya?" aku kian mendesak. "Hubunganku dengan Papamu?" Ia berpikir sejenak, "Sulit untuk dijelaskan, tapi jika kamu bertanya tentang ibumu maka aku akan menjawabnya. Aku ini sepupu dari ibumu. Kakekku dan kakek ibumu merupakan orang yang sama." terang Nyonya Margareth dengan tenang lalu berjalan mendekatiku, tapi sungguh ini belum mematikan rasa penasaranku. "Aku tahu kita tidak pernah bertemu sebelum ini, jadi wajar jika kamu merasa asing kepadaku. Terakhir aku menemuimu kamu masih berusia
Hingga sampailah kami ke jalan menuju ke kontrakanku. Dengan segala bujukan Romi akhirnya aku mengijinkan Alina juga ibunya untuk menginap beberapa hari di rumahku. Aku pun mengalah tidur di luar rumah. Setelah sampai di rumahku, kami menyempatkan mengobrol kecil di teras rumah sambil menyantap makanan kecil khas daerah asal keluarga Romi, oleh-oleh yang dibawakan oleh ibu Romi. Setelah itu pun kantuk tak bisa lagi terelakkan. Tubuhku juga terlalu lelah untuk tetap terjaga. Tepat sebelum aku merebahkan diri, Alina menatapku dalam-dalam sebelum ia menutup pintu rumah. Sambil berdiri di ambang pintu, dengan ragu ia memberikan senyuman kepadaku. Entahlah apa arti senyumannya, aku hanya mengangguk dan meneruskan menyelimuti tubuhku. Tak lama berselang terdengar pintu rumah sudah di tutup dan dikunci oleh Alina. ** Udara semakin pagi semakin menggigilkan tubuhku. Udara malam yang menusuk membuatku terbangun. Aku dengar juga suara-suara ribut sekali terdengar dari rumah-rumah w
"Siapa dalang dibalik semua ini sudah pasti PT. Dewandaru Grup, mereka kan yang getol bener buat pindahin kita dari wilayah ini?" sahut warga lainnya. "Iya, bener! Nggak ada lagi selain mereka yang ingin menguasai tanah ini!" sahut seorang wanita dengan penuh keyakinan. "Siapa lagi jika bukan orang-orang dana PT. Dewandaru Karya Abadi? Mereka yang gencar ingin membeli tanah kita dengan iming-iming bisa mengendalikan dan mengatur pembangunan lokasi pembuangan sampah agar bisa dimanfaatkan dengan lebih baik lagi! Tapi semua itu tipu daya untuk memperlacar penggusuran wilayah pemukiman kumuh kami ini secara halus!" timpal warga lain yang lebih menyesakkan dada. "Menurut isu yang berkembang, hanya sebuah bujukan dari mereka jika akan membangun hutan kota dan taman satwa mini sumbangan dari perusahaannya itu. Tapi sebenarnya mereka akan mengembangkan pemukiman elit dan apartemen di daerah ini, tentu saja berupaya membangun pemandangan yang bagus untuk apartemen mewahnya