"Hay Mas! Syukur Alhamdulillah, Mas Andy sudah pulang." sambut Romi begitu aku memasuki ruang tamuku. Aku tersenyum lebar, lega rasanya bisa kembali ke rumah lagi, "Kamu di sini juga, Lex? Aku nggak lihat mobilmu ada di depan tadi." "Mobilku ada di depan gang, Mas! Aku nggak tega aja lihat keadaan dia Mas, tapi tangan Romi sudah jauh lebih baik kok! Tempo hari aku pernah sekali antar dia terapi." jelas Alex sembari mengambil alih tas bawaanku dan membantuku duduk di sofa yang telah terkoyak-koyak kain pembungkusnya. "Mas Alex juga sering antar makanan buat aku, Mas!" terang Romi sembari mengambil duduk di dekatku. "Oh, ya? Terima kasih ya, Lex!" "Coba lihat ini, Mas Andy! Romi memperlihatkan pergelangan tangannya yang sudah pulih, "Tuh kan, sudah bisa diputar-putar lagi tanganku, Mas! Sudah bisa diajak bekerja lagi ini!" "Alhamdulillah, aku ikut senang Romi!" "Iya aku juga punya kabar, kalau ada perusahan teman aku yang butuh OB yang jujur bisa
Entah bagaimana bisa, dari teras depan, kini kami sudah berada di atas sofa ruang tamu Afrina. Bibir kami beradu tanpa bisa dihentikan. Aku tak bisa menolak bibir manisnya. Aku rasa setelah kejadian ini, bibir cantik ini akan menjadi candu buatku. Tanganku juga mulai berani bergerilya kian turun ke punggung Afrina, membelai di sana dan menelusuri tiap inci tubuh hangat itu dari leher hingga ke ujung kaki. "Brengsek!!!" aku jengkel sekali, "AAARRHHH!!" aku menolak gejolak ini hingga hampir mati rasanya. "Mas An kenapa?" Afrina bertanya sembari masih terengah-engah, "Mas nggak suka sama Af?" "Bukan begitu, Af! Maafkan aku! Jangan teruskan! Aku bisa merusakmu!" aku mengaitkan rambut yang menutupi sebagian pipi Afrina ke telinganya. Rautnya mengguratkan rasa pilu. Rasa bersalah segera menyeruak di hatiku. Sebenarnya aku tak tega mengabaikannya dengan cara begini, tapi aku sungguh menyayanginya. Aku tidak ingin dia tersakiti lagi dengan hinaan Fenno kepadanya. "Dasar
"Sial!" umpatku tatkala mereka mengeluarkan bola-bola bergerigi mereka dan mereka lemparkan ke arah mobil Alex. Tak akan aku biarkan melukai mobil mahal ini. Aku meliukkan jalan kendaraan ini ke kanan dan ke kiri menghindari serangan bola-bola rantai itu yang mereka hantamkan bertubi-tubi ke atap dan juga body mobil. "Lebih cepat lagi, Mas! Kita hampir sampai jalan raya! Banyak Polisi di sana! Aku rasa mereka tidak akan berani mengejar lagi jika sampai di jalan besar!" seru Alex sembari berpegangan pada gagang tumpuan yang ada di atas pintu di dekatnya. "Lihat saja apa mereka masih berani jika sudah berada di jalanan umum? Aku yakin mereka akan menyerah!" gelakku begitu puas sambil menyetir dengan begitu keras sehingga akhirnya kami bisa melintasi gang di belakang Pasar Besar itu. Diiringi teriakan kemenangan dari Alex juga Romi secara bersahutan. Susah payah sudah kami menghindari kejaran geng motor yang begitu brutal mengincar kami tadi. Hingga tak terasa darah banya
"Anda mengenal Papa saya?" ada getaran meresik di dalam dadaku, "Dari mana Anda bisa tahu kalimat itu? Itu kalimat yang sering diajarkan dalam keluarga saya?" "Aku sangat mengenalmu, Andrew, sangat!" aku bisa merasakan penekanan dari kata-kata Nyonya Margareth itu, "Untuk itulah aku sengaja mengundangmu datang ke butikku agar kita bisa bertemu lagi." ia melanjutkan sembari mengerling, membuat rasa penasaranku semakin bertambah. "Lalu apa hubungan Anda dengan saya juga Papa saya?" aku kian mendesak. "Hubunganku dengan Papamu?" Ia berpikir sejenak, "Sulit untuk dijelaskan, tapi jika kamu bertanya tentang ibumu maka aku akan menjawabnya. Aku ini sepupu dari ibumu. Kakekku dan kakek ibumu merupakan orang yang sama." terang Nyonya Margareth dengan tenang lalu berjalan mendekatiku, tapi sungguh ini belum mematikan rasa penasaranku. "Aku tahu kita tidak pernah bertemu sebelum ini, jadi wajar jika kamu merasa asing kepadaku. Terakhir aku menemuimu kamu masih berusia
Hingga sampailah kami ke jalan menuju ke kontrakanku. Dengan segala bujukan Romi akhirnya aku mengijinkan Alina juga ibunya untuk menginap beberapa hari di rumahku. Aku pun mengalah tidur di luar rumah. Setelah sampai di rumahku, kami menyempatkan mengobrol kecil di teras rumah sambil menyantap makanan kecil khas daerah asal keluarga Romi, oleh-oleh yang dibawakan oleh ibu Romi. Setelah itu pun kantuk tak bisa lagi terelakkan. Tubuhku juga terlalu lelah untuk tetap terjaga. Tepat sebelum aku merebahkan diri, Alina menatapku dalam-dalam sebelum ia menutup pintu rumah. Sambil berdiri di ambang pintu, dengan ragu ia memberikan senyuman kepadaku. Entahlah apa arti senyumannya, aku hanya mengangguk dan meneruskan menyelimuti tubuhku. Tak lama berselang terdengar pintu rumah sudah di tutup dan dikunci oleh Alina. ** Udara semakin pagi semakin menggigilkan tubuhku. Udara malam yang menusuk membuatku terbangun. Aku dengar juga suara-suara ribut sekali terdengar dari rumah-rumah w
"Siapa dalang dibalik semua ini sudah pasti PT. Dewandaru Grup, mereka kan yang getol bener buat pindahin kita dari wilayah ini?" sahut warga lainnya. "Iya, bener! Nggak ada lagi selain mereka yang ingin menguasai tanah ini!" sahut seorang wanita dengan penuh keyakinan. "Siapa lagi jika bukan orang-orang dana PT. Dewandaru Karya Abadi? Mereka yang gencar ingin membeli tanah kita dengan iming-iming bisa mengendalikan dan mengatur pembangunan lokasi pembuangan sampah agar bisa dimanfaatkan dengan lebih baik lagi! Tapi semua itu tipu daya untuk memperlacar penggusuran wilayah pemukiman kumuh kami ini secara halus!" timpal warga lain yang lebih menyesakkan dada. "Menurut isu yang berkembang, hanya sebuah bujukan dari mereka jika akan membangun hutan kota dan taman satwa mini sumbangan dari perusahaannya itu. Tapi sebenarnya mereka akan mengembangkan pemukiman elit dan apartemen di daerah ini, tentu saja berupaya membangun pemandangan yang bagus untuk apartemen mewahnya
Hingga malam tiba, aku yang masih tinggal di dalam tenda-tenda pengungsian masih belum pasti akan melangkah kemana. Sungguh kasihan melihat Romi yang terlanjur membawa ibunya jauh-jauh datang dari desa tapi di sini malah terlantar seperti ini. "Aku akan mencari kontrakan yang baru besok, Rom!" celetukku sembari menikmati kopi panas buatan Si Mbok Romi, "Hidup harus terus berjalan." "Aku gak ada uang sama sekali, Mas! Aku belum sempat kerja setelah dirawat di rumah sakit kemarin," Romi mendengus dan merasa begitu resah, "Buat makan hari-hari ke depan saja aku bingung." Tidak mungkin kami terus menerus tinggal di tenda bantuan ini. Belum lagi menengok dompetku yang merinding tak berpenghuni. Di kantong hanya celanaku tinggal selembar uang sepuluh ribu rupiah saja. Darimana aku bisa mengontrak rumah dengan uang segini saja? "Mas ada yang mencari!" seru salah seorang tetangga di depan tanda kami, dan aku buru-buru keluar. "Bu Asih?" sebutku dengan terkejut.
"Iiiih, sudah jadi kere kamu sekarang, ya? Untung aja ya aku sekarang nggak sama kamu! Aku rasa itu karma buat kamu karena mutusin aku!" timpal Tania sambil bergelak memperolokku. "Andrew, Andrew! Kasihan anak mama satu ini, makanya nurut sama mama! Beginilah kalau kamu melawan orang tua! Mmmm, Apa itu namanya Tania?" sahut Karina lagi dengan suara dibuat-buat seolah menahan perasaan bahagianya yang menggelitik di lehernya. "Anak dur-ha-ka, tante!" sahut Tania memandang melecehkan. "Bener, bener anak durhaka! Aku nggak akan tinggal diam kepada orang yang sukanya memfitnahku ya, nak! Sekarang lihat balasannya! Keadaanmu dengan Fenno begitu berbeda, Fenno yang sering kamu hina sekarang malah jadi anak kesayangan Papa Carlen, sekaligus jadi orang kepercayaannya di perusahaan! Sedangkan kamu, eeiiihhh!" hina Karina menutup hidungnya saat mendekatiku, "Memang bagus langkah yang diambil suamiku untuk menendang kamu keluar dari rumah!" "Sudah selesaikan cepat mobil kami