Hingga malam tiba, aku yang masih tinggal di dalam tenda-tenda pengungsian masih belum pasti akan melangkah kemana. Sungguh kasihan melihat Romi yang terlanjur membawa ibunya jauh-jauh datang dari desa tapi di sini malah terlantar seperti ini. "Aku akan mencari kontrakan yang baru besok, Rom!" celetukku sembari menikmati kopi panas buatan Si Mbok Romi, "Hidup harus terus berjalan." "Aku gak ada uang sama sekali, Mas! Aku belum sempat kerja setelah dirawat di rumah sakit kemarin," Romi mendengus dan merasa begitu resah, "Buat makan hari-hari ke depan saja aku bingung." Tidak mungkin kami terus menerus tinggal di tenda bantuan ini. Belum lagi menengok dompetku yang merinding tak berpenghuni. Di kantong hanya celanaku tinggal selembar uang sepuluh ribu rupiah saja. Darimana aku bisa mengontrak rumah dengan uang segini saja? "Mas ada yang mencari!" seru salah seorang tetangga di depan tanda kami, dan aku buru-buru keluar. "Bu Asih?" sebutku dengan terkejut.
"Iiiih, sudah jadi kere kamu sekarang, ya? Untung aja ya aku sekarang nggak sama kamu! Aku rasa itu karma buat kamu karena mutusin aku!" timpal Tania sambil bergelak memperolokku. "Andrew, Andrew! Kasihan anak mama satu ini, makanya nurut sama mama! Beginilah kalau kamu melawan orang tua! Mmmm, Apa itu namanya Tania?" sahut Karina lagi dengan suara dibuat-buat seolah menahan perasaan bahagianya yang menggelitik di lehernya. "Anak dur-ha-ka, tante!" sahut Tania memandang melecehkan. "Bener, bener anak durhaka! Aku nggak akan tinggal diam kepada orang yang sukanya memfitnahku ya, nak! Sekarang lihat balasannya! Keadaanmu dengan Fenno begitu berbeda, Fenno yang sering kamu hina sekarang malah jadi anak kesayangan Papa Carlen, sekaligus jadi orang kepercayaannya di perusahaan! Sedangkan kamu, eeiiihhh!" hina Karina menutup hidungnya saat mendekatiku, "Memang bagus langkah yang diambil suamiku untuk menendang kamu keluar dari rumah!" "Sudah selesaikan cepat mobil kami
Jadilah kami menonton film bersama, setelah aku mengenyangkan perutnya dengan masakanku, kini Afrina bersandar di sampingku sembari memangku toples cemilan ringan di pangkuannya. Jujur untuk film seperti ini aku tidak begitu menikmati alur ceritanya. Aku fokus pada Afrina yang begitu cantik mempesona. Hidungnya yang mancung, giginya yang panjang-panjang dan tertata rapi, bibirnnya yang begitu manis ketika tersenyum, aku sungguh menikmatinya. "Mereka berdua itu tidak cocok, Dylan seharusnya denganku saja! Dan Jamie Rellis nya untukmu!" celetuk Afrina ditengah-tengah adegan lucu di film tersebut. Hingga tibalah di sini, dimana adegan itu pernah aku tonton sendirian, tapi saat itu aku sendirian. Wow, adegan di mana mereka sedang bersama di atas ranjang, dalam keadaan sedekat ini dengan Afrina, otomatis membuat jantungku berdebar tak karuan. Desir di dalam dadaku pun tak bisa aku kendalikan apalagi sambil sesekali mencuri pandang pada mata cantik Afrina seperti ini. "Apa ad
Sore ini beberapa warga sudah berkumpul di halaman kelurahan daerah tempat tinggal kami. Diatur kursi paling depan dan diisi dengan beberapa orang dari LBH yang sedang membantu menangani kasus kami. Sudah habis kesabaran kami menghadapi tingkah mereka yang terus-teruskan menawarkan diri untuk membeli tanah warga, ditambah lagi penawaran mereka juga di bawah harga yang sesungguhnya. Hingga menyebarkan issue jika warga telah menyerahkan dengan pasrah semua tanah kampung TPA yang tinggal puing-puing remuk ini untuk dibeli oleh perusahaan yang kendalinya berada di bawah kaki Fenno itu. Dari sini barisan diatur untuk menuju ke halaman perusahaan Dewandaru Grup guna memperjuangkan kecaman warga atas tindakan yang telah mereka terima dari perusahaan papa yang besar itu. Besar harapan warga agar mendapat perhatian dari pemerintah setempat guna mencapai paling tidak ganti rugi atas kerusakan dan kehilangan tempat tinggal seperti yang mereka alami sekarang. Maka dengan adanya supp
Usai tengah hari perwakilan kami pun keluar dari perusahaan Dewandaru Karya, salah satu anak persahaan Dewandaru Grup. Dari keterangan ketiga perwakilan warga didapat informaasi jika keputusan belum mencapai titik akhir lantaran masih harus menunggu satu minggu lagi. Tuntutan kami harus terlebih dahulu melalui proses dilakukan penyidikan oleh pihak berwajib dan pemerintah daerah yang berwenang. Kami memang harus berlapang dada jika tuntutan kami tidak bisa langsung terealisasikan, tapi setidaknya sudah mendapat perhatian dari pemerintah daerah dan kepala daerah kota S ini. Pegawai LBH yang membantu kami menggiring para demonstran untuk membubarkan diri dengan tertib sembari menunggu proses kasus kami yang berjalan menurut aturan yang berlaku. Sudahlah, mau bagaimana lagi? Tidak ada yang bisa kami lakukan selain terpaksa menunggu. Di sela-sela perjalanan pulang, aku sempatkan membaca pesan yang dikirim oleh Afrina. Dia memintaku untuk datang ke rumahnya lagi malam ini. Dia s
"Hahahahaa.... hahahahaaa....!" itulah Ben terus saja terbahak-bahak menertawakan aku, ini semua gara-gara anak ingusan bernama Kiki itu, "Andrew, Andrew ada aja kamu ini!" "Mau gimana lagi coba, Ben? Masa' ada kreator yang kayak begitu? ... " aku masih tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan gadis gila Kiki tadi. Untuk menyelamatkan diriku dari Kiki tadi, ia terus memaksa ikut dan meyeretku masuk ke tempat kerjaku. Yang benar saja tentu saja tidak aku turuti begitu saja. Ia bahkan memaksaku untuk bergaya di depan kameranya. Bukannya viral aku bisa-bisa malah menjadi lelucon di depan banyak orang. Karena tidak tahan aku memberikaan pesan kepada Ben untuk menelponku pura-pura menjadi atasanku. Aku memintanya memarahiku karena aku telat masuk kerja dan akan memecatku jika aku sampai terlambat lagi. "Mbak saya dimarahin bos saya ini mbak! Saya sudah telat masuk kerja, kalau saya masuk bawa kalian, saya malah akan di maki-maki nanti!" masih terbayang otot wajahku yang mas
Aku bisa mendengar samar, tapi mata ini tidak dapat terbuka. Aku mengantuk sekali. Entah racun apa yang baru saja aku makan sebenarnya. Tubuhku lemas hingga tidak bisa aku gerakkan. Suara di luar kepalaku menggemakan vokal beberapa pria yang tengah sibuk melakukan banyak hal. Bunyi kamera mengambil foto pun terdengar berkali-kali di sana sini. Beratnya, aku berusaha membuat diriku bangun meski kepalaku serasa ditindih batu yang sangat besar. Aku mencoba menyadarkan diriku dari mimpi indahku bersama Afrina. Aku baru sadar jika yang baru saja itu hanya bersama Afrina, meskipun mimpi yang biasa tapi jika bersama dia memang selalu terasa indah. Coba aku ingat terakhir kali kami alami bersama, malam itu Afrina menuangkan minuman bersoda kepadaku setelah aku menolaknya untuk kesekian kalinya untuk tidur bersama. Benar, aku menolaknya! Aku menjatuhkannya dari gendonganku begitu ia pasrah saat aku menggendongnya menuju sofa. Tapi anehnya malam itu ia tidak ngambek seperti biasanya
Di kepalaku penuh dengan berbagai macam hal. Semalam aku terjaga bukan karena penjara ini menyiksaku. Di sini masih lebih baik, aku pernah merasakan dinginnya hidup di jalanan. Brengsek, wajah wanita itu tidak bisa hilang dari mataku. Aku terus membayangkannya, hingga mencanduinya. Rin! Teng! Teng! Polisi memukulkan tongkatnya ke besi kurunganku, "Ada yang mencarimu! Lima menit tidak bisa lebih dari itu!" Polisi itu menuntunku menuju sebuah ruangan kecil berukuran dua kali tiga meter dan dua orang sudah terlihat cemas menungguku di sana. Aku mengikutinya dari belakang dengan kedua tanganku teborgol di depan. "Mas sebenarnya apa yang terjadi? Aku sangat kaget saat Romi menelpon memberitahu penangkapan, Mas An!" seru Alex geram padaku, "Mas An, aku nggak bisa percaya begitu saja! Mas bukan pemakai seperti yang mereka bilang kan?" "Dua puluh lima pil penenang itu bukan milik Mas An, kan?" tambah Romi di sela-sela gerutu Alex. "Bukan aku! Tapi apa kalian begitu saja percaya? Sam