Aku bisa mendengar samar, tapi mata ini tidak dapat terbuka. Aku mengantuk sekali. Entah racun apa yang baru saja aku makan sebenarnya. Tubuhku lemas hingga tidak bisa aku gerakkan. Suara di luar kepalaku menggemakan vokal beberapa pria yang tengah sibuk melakukan banyak hal. Bunyi kamera mengambil foto pun terdengar berkali-kali di sana sini. Beratnya, aku berusaha membuat diriku bangun meski kepalaku serasa ditindih batu yang sangat besar. Aku mencoba menyadarkan diriku dari mimpi indahku bersama Afrina. Aku baru sadar jika yang baru saja itu hanya bersama Afrina, meskipun mimpi yang biasa tapi jika bersama dia memang selalu terasa indah. Coba aku ingat terakhir kali kami alami bersama, malam itu Afrina menuangkan minuman bersoda kepadaku setelah aku menolaknya untuk kesekian kalinya untuk tidur bersama. Benar, aku menolaknya! Aku menjatuhkannya dari gendonganku begitu ia pasrah saat aku menggendongnya menuju sofa. Tapi anehnya malam itu ia tidak ngambek seperti biasanya
Di kepalaku penuh dengan berbagai macam hal. Semalam aku terjaga bukan karena penjara ini menyiksaku. Di sini masih lebih baik, aku pernah merasakan dinginnya hidup di jalanan. Brengsek, wajah wanita itu tidak bisa hilang dari mataku. Aku terus membayangkannya, hingga mencanduinya. Rin! Teng! Teng! Polisi memukulkan tongkatnya ke besi kurunganku, "Ada yang mencarimu! Lima menit tidak bisa lebih dari itu!" Polisi itu menuntunku menuju sebuah ruangan kecil berukuran dua kali tiga meter dan dua orang sudah terlihat cemas menungguku di sana. Aku mengikutinya dari belakang dengan kedua tanganku teborgol di depan. "Mas sebenarnya apa yang terjadi? Aku sangat kaget saat Romi menelpon memberitahu penangkapan, Mas An!" seru Alex geram padaku, "Mas An, aku nggak bisa percaya begitu saja! Mas bukan pemakai seperti yang mereka bilang kan?" "Dua puluh lima pil penenang itu bukan milik Mas An, kan?" tambah Romi di sela-sela gerutu Alex. "Bukan aku! Tapi apa kalian begitu saja percaya? Sam
Pagi-pagi buta aku sudah dibawa dengan mobil tahanan ke LP, kedua tanganku di borgol ke belakang dan dari jendela kecil berjeruji aku menyempatkan melihat keluar jendela. Hamparan rumput yang kini aku lihat d sepanjang jalan menuju ke LAPAS, aku yakinkan akan melihatnya lagi dengan jendela dari dalam mobil bagus yang harus segera aku miliki setelah ini. Aku harus segera keluar dari tempat terkutuk ini! Setelah menempuh 45 menit perjalanan, aku sampai di dalam LAPAS dan diserahkan kepada kepala sipir beserta dokumen kelengkapan. Dari sana aku menunggu untuk diserahkan kembali kepada sipir penjaga. Sembari menunggu beberapa sipir laki-laki memeriksa seluruh tubuhku. Meraba semua bagian tubuhku dari ujung kepala sampai ujung kaki guna keamanan. Bahkan menyorot pakaian dalam yang aku kenakan. Itu semua mereka lakukan demi menyisir agar para napi dan tersangka yang masuk tahanan bersih dari benda tajam dan benda terlarang lainnya. "Kamu sudah menemukan sel tahanan yang kosong untuk mene
Pria tambun ini tak berhenti bergelak, "Lihatlah Si Tikus malang ini! Sampai di sini saja kemampuannya!" pria tambun itu terus saja mengejekku, 'tikus malang' katamu? Tunggu saja, justru nasibmulah yang akan malang setelah ini! "Sudah jangan lama-lama lagi! Habisi saja dia supaya kapok!" seru pria lain yang terlihat paling-tidak-tertarik dengan tontonan lelucon ini. "Baiklah! Padahal aku masih ingin bermain-main dengannya!" pria tambun itu mulai mengepalkan tangannya lagi mepersiapkan pukulan pungkasannya kepadaku. BUKK! Maaf membuatmu kecewa, tapi aku bisa lolos! "Kamprettt! Tanganku!!" ia mengeluhkan tangannya yang meninju lantai karena aku menghindari pukulannya. "Aaaaahhh, payah, kamu!" seru pria lain yang tadinya menonton dan terus memberikan semangat, sahabat pria tambun itu pun berdiri, "Sini sini, biar aku yang selesaikan!" ia meremaskan kedua tangannya bergantian kiri dan kanan menunjukkan dominasinya kepadaku. Mulai mengintimidasiku dengan menegangkan otot lenganny
"Hey, Wawan! Nih ada teman baru buatmu!" ujar sipir yang mengantarku dan memasukkan aku ke selku yang, uh, di sini memang tak bagus keadaannya. Agak kotor dan berbau. Tak lupa sipir itu melepaskan borgolku dan memberi aku alat mandi yang sudah disediakan di sana, "Jangan banyak bertingkah jika kau tidak ingin banyak kesulitan. Nikmati sel barumu, aku yakin kamu akan nyaman. Setelah ini jam istirahat selesai, kamu bisa ikut mereka semua melihat kegiatan hari ini." Nyaman darimana? Kondisi sel di sini di pojok, paling jauh dari pintu keluar utama dan sanitasinya juga dikenal paling buruk. Tapi mau bagaimana lagi? Di manapun ruangannya tetap saja sel. Tidak ada yang jauh lebih baik daripada kebebasan. "Hey, hebat sekali bela dirimu tadi! Aku sudah bisa membaca kamu yang akan menang! Aku tahu kamu pernah lama di sini! Apa yang membawamu kemari pasti karena Tuhan sudah mengatur kita untuk bertemu kembali!" sapa pria dari luar sel di sela-sela aku mengeringkan badan dengan
Berkumpullah semua di ruang makan untuk sarapan, menu nasi goreng dengan berbagai sayuran dan lauk yang bergizi sudah disediakan. Semua napi makan dengan lahap memenuhi perut mereka untuk mempersiapkan tenaga hari ini. Begitu piring makananku penuh dan segelas air putih sudah aku dapatkan, aku memilih mana meja yang masih kosong. Wawan tadi bersamaku, tapi entah ia sekarang berada di mana. Tubuhnya yang kecil tenggelam di antara napi-napi kekar itu. Aku melihat setiap pojokan sudah penuh dengan kawana-kawanan napi yang membentuk geng di sana. Surya ada di salah satu geng napi dan terlihat akrab mengobrol dengan lelaki yang tampak mendominasi meja itu. Aku rasa ia sedang menjual informasi, terdengar dari bualannya saat aku lewat di depannya. Aku mendapatkan mejaku setelah tak lama mencari di mana tempat yang kosong tapi juga tidak terlalu berisik, aku butuh ketenangan saat makan. "Hey mas Andrew, sudah tahu siapa yang memberi surat?" tanya Wawan begitu bisa menyusulku
Aku membalikkan badan sambil mengeringkan titik-titik air di telapak tangan dengan mengusapkannya pada handuk yang aku kalungkan ke leher, "Karena aku merasa tidak begitu perlu menemuimu." jawabku singkat kepada Narko. "Padahal sudah lama sekali aku menunggumu!" Narko semakin melebarkan seringainya. Narko kemudian mengangkat tangan kirinya ke dekat kepala, yang berarti memberi isyarat yang mengarah padaku. Dengan begitu, bersama-sama anak buahnya merapat mengelilingiku, tak lama disusul dengan serangan mereka serentak kepadaku. Pukulan dari mereka datang dari segala arah, tapi gerakan mereka yang tidak begitu cepat bisa aku lihat dengan mudah karena gerakanku lebih cepat dari gerakan mereka. Mereka menyerang perut, betis dan dadaku secara bersamaan, tapi kesemuanya bisa dengan sangat cepat aku tangkis. Saat salah satu dari mereka menaiki wastafel dan menyerang kepalaku dari atas, dengan cepat aku menekuk kedua lututku sehingga posisiku lebih pendek sehingga aku bisa
Aku membawa semuanya ke dalam selku, membawa semua amarah dan kesakitan ini. Borgolku dilepas oleh sipir penjaga yang menggiringku hingga ke dalam sel, dan semuanya belum dapat redam dengan duduk di dalam ruang terkutuk ini. Wawan memandangku dengan khawatir. Meski ragu ia akhirnya memberanikan diri mendekatiku, "Mas, Mas Andrew gak apa-apa kan? Semuanya masih baik-baik saja kan?" Aku tidak tahu pasti apa yang terjadi kepadaku, tanganku gemetaran. Kemarahan ini memuncak hingga ke ubun-ubun. Setelah memandang wajah Karina barusan, membuatku teringat lagi bagaimana saat itu aku menemukan mamaku tergeletak di lantai kamarnya sembari mengerang memegangi lehernya. Mulutnya kala itu berbuih dan ia merasakan kesakitan bagai tercekik. Hingga aku memeluknya dengan tubuh kecilku, dan tak aku sangka itu untuk yang terakhir kalinya. Mama hanya menyebutkan nama perempuan itu di telingaku di sela-sela nafas terakhirnya sebelum mama menutupnya dengan menyebut nama Allah. Aku beralih ke bantal di s