Jangan lupa tinggalkan vote kalian untukku ya, terima kasih banyak pembaca kesayanganku
Sesaat waktu juga jantung kami terasa terhenti. Dari dalam mobil Alex kami melihat berpendar ke keadaan di luar. "Ada pria di bawah mobilku!" seru Alex segera keluar dari kursi kemudinya untuk melihat apa yang terjadi di luar sana. "Dasar pencopet kurang ajar! Rasakan kamu tertabrak mobil kan, akhirnya?" umpat wanita itu yang aku lihat dari dalam mobil tadi. Sementara dari bawah bumper depan mobilnya Alex menyeret paksa seorang pria yang tengah meringkuk melindungi wajah dan dadanya dengan kedua tangan dan lutut menghindari tumbukan roda mobil Alex. Aku mendekati pria yang dibantu Alex itu. Pria itu menggendong sebuah tas berbahan kulit ular mahal di pelukannya. Setelah aku periksa dari ujung kepala hingga ujung kaki, beruntung pria itu tidak terluka. Tak terlihat cedera berarti di tubuhnya. Hanya terdapat luka-luka lecet di bebetapa bagian siku dan sandal jepitnya yang terlepas dari kakinya. "Apa yang sebenarnya terjadi, Nyonya? Maafkan saya hampi
Ben menatap satu per satu pria bertopeng yang mengelilinya dan bersiap mencabik-cabiknya dengan belati-belati tajam di tangan mereka. Aku melihat Ben mengayukan berputar tas ranselnya berusaha menghalau para pria bertopeng itu agar menjauhinya. Namun tak satu pun dari mereka yang mundur, lalu secara bersamaan mereka menerkam Ben dan Ben yang sudah terkepung tak dapat lari lagi. Seingatku Ben anak yang baik dulu, ya walau prestasinya selalu di bawahku tapi dia tidak pernah terlihat macam-macam di kampus. Dia seperti layaknya kutu buku bagi kami teman sekelasnya, dengan kaca mata tebalnya dan pakaian konvensinalnya ia terlihat kuper dan tidak menarik. Aku hanya bisa bertanya dalam benak keterlibatan dalam hal seperti apa sehingga membuatnya harus berurusan dengan keadaan semacam ini? Kini aku melihat salah seorang dari pria bertopeng itu berhasil memukul wajah Ben hingga kaca mata Ben terlepas dan terjatuh di tanah. Ben ditindih, ia dipukuli bertubi-tubi. Dan ia pun dihujani p
"Tuh kan, pelan-pelan dong, Mas! Belepotan kan jadinya?" riuh Afrina menyuapi aku. Sudah beberapa hari ini ia selalu menemaniku sepulang kerja. Bahkan hari ini ia sengaja mengambil libur untuk menemaniku keluar dari rumah sakit. Kami kian dekat saja dari hari ke hari. "Aku pingin cepat selesai. Aku mau ketemu Ben dulu sebelum pulang." sahutku sembari menyedot susu hangatku di gelas hingga tandas. "Tadi aku lihat ada perempuan masuk kamar Ben pas lewat di depannya." balas Afrina sembari mengelap tangannya lalu duduk di sebelahku, "Apa itu tunangannya? Akhirnya dia muncul juga." "Kok kamu sih yang jadi penasaran?" aku meringis heran. "Habis, masa katanya tunangannya, tapi Ben diterkam orang sampai luka parah, nggak nongol sama sekali? Apa itu namanya?" Lucu sekali gadis ini, aku tidak bisa menahan gelakku jadinya. Aku mengelus lembut rambut hitam mengkilat milik Afrina, "Rin, tidak semua hal itu seperti kelihatannya. Kita tidak tahu apa yang dilakukan tun
Taman di rumah sakit ini begitu bagus, dihiasi juga dengan air mancur dari patung berbentuk peri keselamatan. Suara gemericik airnya begitu membuat teduh pasien yang di rawat di sini. Kami bertiga mengambil duduk di salah satu barisan kursi taman yang didesainnya serba putih ini. "Andrew, maafkan sikap kekanak-kanakan Sisca, ya! Semenjak kehilangan kedua orang tuanya dia menjadi seperti itu." jelas Ben di saat kami berada di taman rumah sakit, di bawah pohon rindang. "Ya, kami bisa memaklumi, dia memang sangat mengkhawatrikan kamu, Ben!" balasku menutupi rasa kesalku terhadap sikap congkak Sisca tadi. "Tapi Sisca itu, tunangan, sepupu, atau adik kamu?" Afrina yang sedari tadi sudah gatal memaksaku menanyakan itu, aku tidak menggubris saat ia berbisik di telingaku tentang hal itu. "Owh itu? Sisca itu tunanganku, kami sudah dua tahun ini bertunangan. Tadinya kami mau menikah tahun ini, tapi harus ditunda karena harus menunggu sampai dia menyelesaikan S-duanya." terang
"Hay Mas! Syukur Alhamdulillah, Mas Andy sudah pulang." sambut Romi begitu aku memasuki ruang tamuku. Aku tersenyum lebar, lega rasanya bisa kembali ke rumah lagi, "Kamu di sini juga, Lex? Aku nggak lihat mobilmu ada di depan tadi." "Mobilku ada di depan gang, Mas! Aku nggak tega aja lihat keadaan dia Mas, tapi tangan Romi sudah jauh lebih baik kok! Tempo hari aku pernah sekali antar dia terapi." jelas Alex sembari mengambil alih tas bawaanku dan membantuku duduk di sofa yang telah terkoyak-koyak kain pembungkusnya. "Mas Alex juga sering antar makanan buat aku, Mas!" terang Romi sembari mengambil duduk di dekatku. "Oh, ya? Terima kasih ya, Lex!" "Coba lihat ini, Mas Andy! Romi memperlihatkan pergelangan tangannya yang sudah pulih, "Tuh kan, sudah bisa diputar-putar lagi tanganku, Mas! Sudah bisa diajak bekerja lagi ini!" "Alhamdulillah, aku ikut senang Romi!" "Iya aku juga punya kabar, kalau ada perusahan teman aku yang butuh OB yang jujur bisa
Entah bagaimana bisa, dari teras depan, kini kami sudah berada di atas sofa ruang tamu Afrina. Bibir kami beradu tanpa bisa dihentikan. Aku tak bisa menolak bibir manisnya. Aku rasa setelah kejadian ini, bibir cantik ini akan menjadi candu buatku. Tanganku juga mulai berani bergerilya kian turun ke punggung Afrina, membelai di sana dan menelusuri tiap inci tubuh hangat itu dari leher hingga ke ujung kaki. "Brengsek!!!" aku jengkel sekali, "AAARRHHH!!" aku menolak gejolak ini hingga hampir mati rasanya. "Mas An kenapa?" Afrina bertanya sembari masih terengah-engah, "Mas nggak suka sama Af?" "Bukan begitu, Af! Maafkan aku! Jangan teruskan! Aku bisa merusakmu!" aku mengaitkan rambut yang menutupi sebagian pipi Afrina ke telinganya. Rautnya mengguratkan rasa pilu. Rasa bersalah segera menyeruak di hatiku. Sebenarnya aku tak tega mengabaikannya dengan cara begini, tapi aku sungguh menyayanginya. Aku tidak ingin dia tersakiti lagi dengan hinaan Fenno kepadanya. "Dasar
"Sial!" umpatku tatkala mereka mengeluarkan bola-bola bergerigi mereka dan mereka lemparkan ke arah mobil Alex. Tak akan aku biarkan melukai mobil mahal ini. Aku meliukkan jalan kendaraan ini ke kanan dan ke kiri menghindari serangan bola-bola rantai itu yang mereka hantamkan bertubi-tubi ke atap dan juga body mobil. "Lebih cepat lagi, Mas! Kita hampir sampai jalan raya! Banyak Polisi di sana! Aku rasa mereka tidak akan berani mengejar lagi jika sampai di jalan besar!" seru Alex sembari berpegangan pada gagang tumpuan yang ada di atas pintu di dekatnya. "Lihat saja apa mereka masih berani jika sudah berada di jalanan umum? Aku yakin mereka akan menyerah!" gelakku begitu puas sambil menyetir dengan begitu keras sehingga akhirnya kami bisa melintasi gang di belakang Pasar Besar itu. Diiringi teriakan kemenangan dari Alex juga Romi secara bersahutan. Susah payah sudah kami menghindari kejaran geng motor yang begitu brutal mengincar kami tadi. Hingga tak terasa darah banya
"Anda mengenal Papa saya?" ada getaran meresik di dalam dadaku, "Dari mana Anda bisa tahu kalimat itu? Itu kalimat yang sering diajarkan dalam keluarga saya?" "Aku sangat mengenalmu, Andrew, sangat!" aku bisa merasakan penekanan dari kata-kata Nyonya Margareth itu, "Untuk itulah aku sengaja mengundangmu datang ke butikku agar kita bisa bertemu lagi." ia melanjutkan sembari mengerling, membuat rasa penasaranku semakin bertambah. "Lalu apa hubungan Anda dengan saya juga Papa saya?" aku kian mendesak. "Hubunganku dengan Papamu?" Ia berpikir sejenak, "Sulit untuk dijelaskan, tapi jika kamu bertanya tentang ibumu maka aku akan menjawabnya. Aku ini sepupu dari ibumu. Kakekku dan kakek ibumu merupakan orang yang sama." terang Nyonya Margareth dengan tenang lalu berjalan mendekatiku, tapi sungguh ini belum mematikan rasa penasaranku. "Aku tahu kita tidak pernah bertemu sebelum ini, jadi wajar jika kamu merasa asing kepadaku. Terakhir aku menemuimu kamu masih berusia
Aku geram, Alex banyak sekali melontarkan alasan untuk ngotot ikut denganku di penangkaran. Sudah ku katakan keadaan di sana masih berbahaya. Sedangkan aku sangat membutuhkan dia di kantor pusat. Produk kosmetik tante ku sedang gencar-gencarnya dicari di pasaran. Bagaimana ia bisa mengabaikan begitu saja perintahku. Bersikap santai seolah-olah tidak terjadi bahaya yang mengintai di penangkaran kami."Siapa yang dari dari tadi mengikuti kita di belakang?" tanyaku heran, sudah lebih dari setengah jam mobil di belakangku mengekor tanpa henti bahkan kecepatan mobil itu menyesuaikan dengan mobil yang ku kendarai."Gondes, aku lihat mas Andrew kukuh tidak mau mengajakku jadi ya buat menambah kewaspadaan kita, aku membawa gondes beserta grupnya." cengenges Alex membanggakan apa yang telah dilakukannya."Lex, tau apa yang sudah kamu lakukan? Tindakanmu justru akan memancing kemarahan mereka! Kenapa kamu bisa seceroboh ini? Bantuan mereka aku abaikan, kita malah membawa bantuan semacam ini!"
"Kamu harus makan dengan banyak, jangan lupakan makan siang! Musuhmu mudah melemahkanmu di saat kamu lapar!" sergah Tante Margareth mengagetkanku, beliau tiba-tiba berada di depan meja kerja ku sembari menyodorkan kotak makan bersusun yang terbuat dari kaca dengan ornamen indah pada tutup dan pegangannya."Terima kasih, Tante untuk makan siangnya! Maaf aku tidak ikut dalam peluncuran produk kita, aku malah menyerahkan semua kepada Tante!" aku mengiba karena wajah tanteku tampak lelah sekali siang ini."Aku paham kamu sedang banyak masalah di penangkaran. Mengurusi mutiara, mengurusi karyawan yang kena musibah, belum lagi perbaikan laboratoriummu. Justru aku senang bisa membantumu, Nak!""Apalah aku tanpa Tante! Tante sudah makan? Ayo makan bersamaku!""Setelah lounching produk kita, aku sangat bersemaangat karena respon masyarakat yang bagus kepada kita! Gabungan antara mutiara premium, bluberry dan yuju orange. Mereka sangat tertarik dengan kombinasi produk kita itu! Saking senangnya
Aku segera mendatangi lokasi penangkaran yang diserang itu, "Berapa orang yang datang?" aku menanyai beberapa security yang bertugas siang ini. Mereka hanya bisa menunduk dan gemetar, ruang kemanan terlihat rusak parah. Kantor bagian depan dan tengah juga bernasib sama. Semua akuarium besar pun tak luput dari sepakan-tendangan dan penghancuran geng bengal itu. Pos penjagaan saja serusak itu, bisa ku bayangkan bagaimana keadaan orang-orang di dalamnya. Mereka sengaja terlebih dulu menghancurkan CCTV, sebelum menyerang ruang tengah sebagai sasaran utama mereka. Sengaja agar wajah dan tindak tanduk mereka tidak terbaca. Menurut cerita yang kudapat dari security yang bertugas, dengan sekali tebas menggunakan parang yang mereka bawa, mereka bisa meremukkan alat perekam itu hingga menjadi kepingan yang kini aku saksikan puingannya berceceran di atas lantai."Menurut rekan kami, mereka berjumlah sekitar lima puluhan orang, Pak! Menyerang dari depan dan memporak-porandakan semua, pak!" teran
Akhirnya aku bisa kembali ke kantorku. Masih lekat di ingatanku, betapa lucunya wajah Fenno menahan sakit. Tapi gadis itu, bagus juga pertahanan dirinya. Dia bisa membuat Fenno tak berkutik kepadanya. Lumayan untuk sebuah hiburan. Aku mulai melajukan mobilku keluar dari tempat parkir dan bersiap menuju jalan utama. Namun, ... Cyiiittt! Hampir saja aku menabrak seorang wanita yang melintas di depan mobilku tiba-tiba. Hijab hitam menutupi kepalanya. Dan gaun kuning emas itu, itu gadis yang sama yang tadi memberi pelajaran untuk Fenno. "Cepat lajukan mobilnya!" perintahnya setelah dengan cepat ia memasuki mobilku. Tanpa menengok ke arah belakang atau lainnya, aku menuruti saja permintaannya itu. Lagipula aku juga harus segera kembali ke kantor. Napas gadis itu berantakan, masih memandangi belakang dan spion. Ia terlihat resah jika masih ada yang mengikuti. Apa mungkin Fenno masih mengikutinya? "Kamu sudah aman!" entah mengapa aku keluarkan kata-kata itu. "Kamu nggak paham orang
"Hello kakak? Sedang bersantai di sini juga rupanya? Kebetulan sekali!" ujar Zico dengan senyuman miring angkuhnya, dengan langkah kakinya yang dibuat searogan mungkin, ia semakin mendekati aku. "Mari bergabung ke meja kami! Kami sedang mengadakan pertemuan dengan orang penting jadi mungkin Anda tertarik untuk menambah daftar kolega! Mumpung kami memberikan kesempatan!" ajak besar mulut Zico sembari menyerahkan minuman dingin berwarna putih bening itu kepadaku. "Kebetulan kami punya urusan yang harus diselesaikan, jadi lain waktu saja aku bergabung!" jawabku sembari memundurkan kursi hendak beranjak dari hadapan pemuda tengil ini. "Eits! Mengapa harus terburu-buru!" Zico menahan lenganku membuatku menghentikan langkah, "Tidak baik mengabaikan waktu pertemuan dengan saudara laki-lakimu, Kak. Lagi pula kita jarang punya waktu berbincang, ada baiknya Kakak ikut memberi saran dengan cara kerja kami mengelola perusahaan yang baru diberikan kepada kami ini." Lanjut Zico dengan
"Semua pembiayaan sudah siap, sample juga sudah lolos uji. Aku akan segera menghubungi ibu Margareth dengan kabar baik ini." terang Alex sumringah di sela-sela rapat tertutup kami membicarakan rencana besar ku untuk mulai meruntuhkan Fenno. "Lengkapi semua dokumen biar dia juga bisa mengecek kekurangan produk ini ada di mana. Kita akan siap bekerjasama dengan perusahaan tante ku itu, aku yakin beliau tidak akan menduga jika itu kita." timpalku sembari menandatangani dokumen yang terakhir. "Ya untungnya Belva menyambut baik teleponku, aku tidak menyangka dia bekerja di perusahaan Ibu Margareth," ada nada aneh saat Alex mengatakan ini, tapi aku rasa ada sesuatu terjadi dengannya dan Belva, "Tapi tidak mengapa, dengan begini kita mendapatkan jalan pintas dan kolega yang terpercaya." "Apapun itu yang terjadi padamu dan Belva jangan sampai mempengaruhi pekerjaan!" sindirku ku bubuhi dengan senyuman. "Ah, nggak masalah, aku hanya tidak menyangka bertemu lagi dengan kawan
Pagi ini di sinilah aku berada. Di ruang auction milik bank, untuk mengantongi properti pertamaku. "Aku masih tidak percaya Anda kukuh sekali dengan rumah ini, padahal aku sudah menawarkan lokasi lain yang lebih luas, tapi tetap saja pilihan Anda tidak berubah." keluh Pak Suherman begitu mengambil duduk di sebelahku. "Lokasi ini paling cocok dengan ku, Pak! Jaraknya cukup dekat dengan pasar besar, anak buahku dengan mudah bisa sampai ke sana setiap saat!" ujarku sambil menangkap keresahan di matanya. "Ayolah nak Andrew, pilihan yang ku berikan bahkan lebih dekat dengan pasar itu! Tapi sudahlah, aku percaya saja pada intuisi mu!" senyuman pungkas diberikan Pak Suherman padaku, akhirnya beliau menyerah sambil telunjuknya mengetuk di atas file properti yang akan dilelang hari ini, "Mari bekerja, kita dapatkan rumah ini!" Aku suka gaya optimisnya ini, dia selalu memenangkan banyak kasus, ya memang beliau cukup selektif, tidak semua kasus yang datang, mau ia tangani. Tapi untuk kasus-ka
Pelatuk glock itu ditarik, mata pria itu berkedip, tatapannya seolah berbicara : menghentikanku ... atau mati. "Bajingan dari neraka mana kamu datang, hah?" pekau ku padanya. Benar, si bajingan itu adalah Mario. "Berandalan brengsek! Sudah begitu lama ku tunggu tapi kamu tidak juga menemuiku!!" balasnya kemudian, Aku meraba ada celah kelengahan di sela-sela ceracaunya itu, aku gunakan kesempatan sempit itu untuk menendanng sekuatnya pergelangan pria arogan itu karena hanya aku yang boleh arogan di ruangan ini, dan DARRR! Tembakan itu mengenai dinding di samping kananku. Shitt! Dia benar-benar ingin membakku! Saat ia hendak berbalik mengarah padaku, secepat kilat aku meraih leher dan tanganya yang lain. Aku lipat tangan kirinya ke belakang. Ku cekik leher pria ini dengan gemas di antara lipatan siku kananku dengan seluruh tenaga. Sedangkan ujung glock yang masih di pegangnya, ku jauhkan dari diriku. "Aku harus menghabisi mu!" ujar Mario dengan sekuat tenaga berusaha melepaskan di
"Kemudian Andrew, bisa kamu jelaskan kepadaku tentang semua yang sudah kamu lakukan?" ini pasti karena laporan dari Alex, sehingga Tante Margareth siap mencecar penjabaran kepadaku. Senyum Tante kali ini membuat bulu kudukku merinding. "Aku?" tanyaku resah sembari menelan ludah. Lalu aku mengambil duduk di salah satu kursi di samping kanan Tanteku itu, "... Alex menceritakan apa saja kepada Tante?" sambungku bingung harus mulai dari mana. Karena sudah banyak yang terjadi semenjak kebebasan ku dari penjara. "Pertama geng-geng apa itu...? Aku mendengar dari Romi soal geng itu! Jelaskan kepadaku apa gunanya kamu bergabung dengan mereka!" tanya Tante Margaret dengan intonasi agak tinggi daan cepat, "Alex juga menceritakan banyak sekali hal-hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan hidupmu itu! Apa kamu melakukan semuanya tanpa pikir panjang, hah?" sambil masih menggenggam garpunya, Tante mulai menggebrak jengkel ke atas meja. Kamu tidak lagi hidup di jalanan, kamu pasti paham itu kan,