Hari ini isi jalanan begitu buruk. Kami semua, yakni kaum aspal dan kaum lampu merah berjibaku dengan asap, pekatnya lumpur jalanan dan guyuran hujan. Di atas kepala kami, guruh yang menggema berbarengan dengan rintik hujan, membersihkan legamnya tubuh kami yang biasanya berpeluh. Hujan lebat menerpa mulai dini hari, betah sekali turun hingga tengah hari. Untungnya daerah kami tidak mudah banjir.
Sudah dari tengah malam aku sudah terjaga karena aku hanya bisa makan sebungkus nasi kucing kemarin. Jadilah semalaman perutku perih melilit. Aku tidak dapat tidur karena itu. Di siang hari ini, melihat kenyataan uang yang aku dapatkan dari hasil mengamen di lampu merah juga begitu cekak. Paling tidak bisa aku gunakan untuk membeli nasi kucing untuk mengganjal perihnya perutku.
Hujan yang turun dari semalam seolah tidak rela berhenti begitu saja membiarkan aku mendapatkan uang hingga siang ini. Mungkin ia tahu aku sedang flu. Jadi memang seharusnya aku tidak keluar hari ini. Hujan ini seperti diperintahkan turun untuk membuatku diam beristirahat di dalam kontrakanku yang sangat kecil. Tapi mau bagaimana lagi, tuntutan pusaran hidup, menjurusku menghimpun recehan sebanyak yang aku bisa.
Setelahnya, aku hitung uang yang aku dapatkan total hanya dua puluh lima ribu rupiah. Sungguh jumlah ini masih kurang untuk membayar hutang kopi ku di warkop langgananku. Aku harus mencari tambahan lagi. Jika tidak, maka aku harus tidur dengan perut keroncongan lagi.Aku putuskan berlanjut dari rumah ke rumah. Aku jadi memikirkan ulang jika harus singgah di depan pintu para 'donatur terpaksa' saat harus berbasah kuyup di teras rumah mereka. Pastinya itu bisa membuat mereka jengkel karena kaki kotorku. Kenapa aku bilang 'donatur terpaksa'? Jelas saja, karena pastinya ada di antara mereka yang terpaksa memberikan walau sekedar recehan kepadaku.
"Permisi!" aku mulai memberi sinyal kedatanganku, mulailah kupetik ukulele yang sama lusuhnya dengan kemejaku.
"Lewatin aja, Mas! Gak ada receh!" teriak wanita pemilik rumah dari dalam.
Hingga aku berpindah lagi ke rumah yang lain. "Permisi!" aku lakukan lagi, lalu mulai bernyanyi.
Tapi Byurrr! Tiba-tiba aku rasakan guyuran air mungkin sebanyak satu ember tepat jatuh menggebyur di atasku, "Haacihhh ...! Hah!" aku pun kembali basah dan mulai bersin-bersin.
"Ya ampun, Mas! Maaf ya, aku nggak tahu ada orang di bawah!" ucap seorang wanita pemilik rumah dari lantai atas yang kepalanya menjulur keluar melihatku dari jendela kamarnya.
Rasanya aku ingin mengumpat. Pakaianku baru saja setengah kering. Namun, aliran darahku biasa tertahan dengan semua keadaan ini. Jadinya, kuabaikan sajalah.
"Lagi pula ini ngapain sih ini ngamen di sini? Saya telpon Pak RT saja kamu supaya di usir dari sini! Harusnya lingkungan ini bersih dari para pengamen semacam kamu ini, pergi sana!" celetuk Pria paruh baya lain dari arah dalam yang sepertinya suaminya, yang baru saja keluar tapi malah mengusirku.
Dan begitu saja terus, dari sejumlah rumah yang aku datangi, hanya ada sebelas rumah saja yang memberiku recehan. Yang lain menolak. Aku pasrah jika mungkin tidak bisa mendapatkan banyak dengan nyanyian suaraku yang serak karena batuk dan flu ku masih kuderita ini.
Badanku kembali meriang gara-gara guyuran ibu tadi. Padahal flu ini sudah menyerangku lima hari ini. Sambil berjalan di kawasan Pasar Besar, aku menghitung beberapa uang logam seribuan yang aku genggam di tangan. Dari jumlah yang telah aku sisihkan, sudah cukup untuk membayar hutangku di warung makan langgananku. Juga selembar uang dua ribuan yang basah karena genggamanku yang kuyup.
"Ampun, Mas! Mau bagaimana lagi? Wong dapatnya ya cuma segitu!" suara teriakan seorang pemuda aku dengar mengerang dari balik pagar yang ku lewati.
"Sedino ki bayar telung puluh ewu, wes paling sitik, liyane malah seket ewu saben dino!" (Sehari itu bayar tiga puluh ribu, sudah paling sedikit, yang lain malah lima puluh ribu sehari!) terdengar suara Narko salah seorang preman pasar dengan nada lebih tinggi.
Lalu dilanjut dengan suara gedebuk pukulan dan tendangan. Ditambah lagi erangan si korban yang merintih kesakitan. Membuatku tertarik untuk melihat lebih lagi. Sebenarnya aku tidak mau berurusan dengan gerombolan preman satu ini. Bukannya takut, tapi aku tidak mau menambah masalah hidupku. Sudah cukup bagiku kesulitan yang aku alami, aku tidak mau menambah ceritanya menjadi lebih pahit lagi.
Aku mencoba memanjat dan aku melihat seorang pria berbadan kecil sedang diangkat terbalik oleh Narko yang berbadan tinggi besar dengan lengannya yang besar berotot kekar dan legam. Pria kecil yang ditenteng terbalik itu tampak pasrah saat semua isi kantongnya berjatuhan berceceran di lantai tanah. Pemandangan yang ironi memang. Tapi sudah kebiasaan mereka berbuat seperti itu.
Anak buah Narko pun memunguti uang dan beberapa barang yang berjatuhan itu dan menyita yang mereka anggap berharga. Termasuk ponsel pria kecil itu. Setelah semua barang mereka sita, pria kecil itu dijatuhkan dengan entengnya oleh Narko. Setelah itu Narko melenggang pergi tanpa mau menengok korbannya lagi.
"Mas, itu hape saya satu-satunya, Mas! Jangan diambil, Mas! Buat telpon embok dan adek saya di desa!" ujar pria itu kemudian mengejar Narko saat ia menyadari ponselnya lolos dari kantong celananya.
"Kowe kuwi wis paling tak penak ne kok sek kurang ae! Sadhuk ae iki sing paling tepak!!" (Kamu itu sudah tak mudahkan kok masih kurang saja! Tendang saja ini yang paling pantas!) seru Narko seraya menepuk anak buahnya yang berbadan sama kekarnya dengan dia menyuruhnya menendangi pria pemilik ponsel itu.
Kasihan sekali aku melihatnya. Kebetulan ada beberpa ulat bulu yang melintas melewati pagar di depan mataku. Aku ambil saja ulat itu dengan daun kering. Sedangkan Narko dan tiga anak buahnya yang lain masih sibuk menghantam berkali-kali. Hingga saat terakhir mereka akan menyudahinya dengan beberapa tendangan tubuh pria kurus itu. Sambil merekamnya diam-diam, aku tenang saja di tempatku mengintip, aku jatuhkan satu per satu ulat bulu yang aku temukan itu ke atas kepala mereka tanpa mereka tahu. Aku masukkan kembali ponselku ke kantong setelah beberapa kali mengambil gambar dan video pemukulan itu. Aku melanjutkan perjalanan ku dan aku melewati pria kecil yang masih terisak kesakitan itu.
"Opo iki? Aku gatal kabeh rasane!" (Apa ini, gatal semua rasanya!) celetuk salah satu anak buah Narko rupanya dia mulai merasakan ruam di lengannya.
"Eh aku iyo, iki gegerku panas! Guatal banget!" (Aku juga ini punggungku rasanya panas! Gatal banget!) celetuk Narko menggaruki punggungnya.
"Lha iki uler Boss! Ning klambine sampean! Uler geni koyok'e!" (Lha ini ulet, Boss! Di bajumu! Ulat api kayaknya) sahut anak buahnya yang lain mengibaskan ulat itu dari bahu Narko.
Aku cekikikan sendiri di balik pagar menertawakan berhasilnya aku menggagalkan kejahatan mereka itu. Rasakan saja mereka kali ini. Mereka memang pantas mendapatkannya. Mereka sering menindas orang yang lebih lemah, meminta uang kepada pedagang atau anak sekolah yang lewat. Bahkan melakukan pencurian kendaraan bermotor yang lupa tak dikunci oleh pemiliknya.
"Uler thok ning kene! Ayo bali ae ning pasar besar! Hapemu tak sita, kowe kudu bayar hutangmu dino iki tambah jatah sesok! Baru hapemu iso balik!" (Banyak ulat di sini! Ayo balik saja ke Pasar Besar! Hapemu saya sita, kamu harus bayar hutangmu hari ini ditambah dengan jatah besok! Baru hapemu bisa kembali!) ujar Narko ke hadapan pria malang itu.
Setelah para preman itu menyerah dan segera meninggalkan pria malang itu. Aku pun menghampiri untuk melihat keadaannya. Ia menatapku dengan tajam, menatap tubuhku yang tinggi dan tulangku yang tegap dan besar, aku rasa ia mengira jika aku salah satu dari anak buah Narko mungkin. Di wajahnya lebam dan membiru, begitu juga sekujur tubuhnya. Aku mengulurkan tangan padanya.
"Jangan, Mas! Jangan! Aku sudah nggak punya apa-apa lagi!" serunya seraya menutupi wajahnya dengan kedua lengannya.
"Ayo, aku bantu berdiri!" sahutku sembari mengangkat tubuhnya.
Ia pun mengerjap, menatap tanganku yang meraih lengan kurusnya itu. Dengan masih ragu ia pun berdiri dan mengambil tas lusuhnya. Lalu aku berdirikan sepedanya dan membenarkan posisi kotak penyimpan alat jahit sepatunya.
"Aman, nggak ada yang tercecer!" ucapku setelah melihat kondisi kotak penimpanan di sepedanya itu masih utuh, tidak terbuka sama sekali.
"Terima kasih, Mas!" ujarnya padaku. Mungkin pandangannya padaku sudah mulai berubah sekarang.
Aku mengeluarkan sedikit uang ku, dua gapit uang dua ribuan yang tiap gapitnya aku isi dengan sepuluh lembar. "Aku hanya punya ini!" aku memasukkannya ke dalam kantung hemnya yang kumal itu.
Matanya memandangku diiringi dengan rembesan air, "Terima kasih, Mas!"
Aku mengangguk dan melenggang pergi setelahnya. Ini sudah lepas siang hari, sudah waktunya aku untuk mencuci piring di warung makan Bu Asih. Tapi sedari tadi pria kecil itu masih mengekor di belakangku sambil menuntun sepedanya. Saat aku menengok ke arahnya ia membuang pandangan ke arah lain.
Apa dia mengikutiku? Tapi untuk apa?
Sampai kemudian aku sampai di depan warung Bu Asih. Aku pun memasukinya. "Le!" panggil Bu Asih pemilik warung, saat melihatku besama ukulele kumalku. Warung ini berada di area perkantoran yang biasa aku lewati ketika menuju ke kontrakan kecilku yang berada di area pembuangan sampah. Aku biasa membeli nasi bungkus di sana. "Jangan duduk di situ! Bajumu basah! Kursiku bisa basah semua! Ini sudah jam istirahat kantor! Nanti pelangganku nggak mau duduk makan di sini!" Bu Asih setengah melotot ke arahku sambil mengibas-ngibaskan serbet kotak-kotaknya ke tempatku duduk. "Iya Bu, saya minggir!" jawab ku kemudian berdiri dari kursi kayu itu. Kemudian aku masuk tepatnya ke dalam dapur Bu Asih dan dengan begitu aku bisa duduk lebih leluasa di lantai. Di hadapanku ada anak lelaki ke dua dari Bu Asih yang masih SMP sedang membantu sang ibu membuat teh panas — teh dingin, pesanan pembeli. "Oleh akeh Mas dino iki? Mbok yo'o pisan pindo aku di ajak!" (Dapat banyak ma
Aku segera menangkis dengan tendanganku sebelum pisau lancip itu terhunus ke arahku. Si Gembul itu berusaha terus menancapkan pisaunya itu di mana saja yang ia bisa. Belum lagi Si Kurus-Keriting tadi sudah bangkit kembali dan mengambil balok kayu di dekat tempat sampah Bu Asih dan balok itu berhasil dipukulkan padaku. Aku terus melawan pukulan mereka yang datang dari segala arah. Secepat mungkin aku ayunkan tendanganku ke tubuh bagian dalam dan akhirnya bisa menyasar ke rusuk mereka masing-masing dan kini mereka meringkuk kesakitan di atas tanah. "Mas awas, belakangmu!" teriak pria bertubuh kecil yang aku tolong tadi. Benar saja karena kurang mawas, kepalaku kena pukulan dari belakang oleh pria bertubuh besar di belakangku yang membawa tang di tangannya. Kurang ajar! Ini rasanya sakit luar biasa. Dengan sekuat tenaga aku melompat dan mengarahkan kedua kakiku menuju ke perut Narko. Dan akupun terjatuh di atas tanah setelah menumbuknya. Narko kesakita
Lecutan kehidupan di jalan yang begitu keras, tak menyurutkan niat kami memenuhi kebutuhan perut. Hamparan aspal menyengat dan panas sang raja hari yang membakar tak kami pedulikan. Saat hidup di jalanan aku menjadi tahu bagaimana itu bertahan, dengan begitu semua kebutuhan hidup kami pun tak akan tersampaikan. Kami hanya mengapresiasi apa yang diberikan Tuhan dan tidak memandang sebelah mata diri kami sendiri meski kadang banyak mata melihat kami demikian. Menikmati kebahagiaan hidup dengan cara sesederhana yang kami bisa dan melupakan apa itu yang disebut sebagai kekurangan. Ning Probolinggo Golek Jahe ... Niat lungo arep nyambut gawe... Ning Sidoarjo Golek Waluh ... Aku kerjo kowe malah selingkuh ... Aku kerjo kowe malah selingkuh ... Begitulah salah satu genjrengan ukulele aku mainkan saat bernyanyi di lampu merah dengan alunan nada lagu Lir -ilir yang biasa ku latih bersama para pengamen lainnya. Begitu pula aku nyanyikan lagu itu pada sebuah mob
Tak tega rasa hati ini mengabaikan teriakan pilu itu. Gang itu begitu kelam dan sepi, mereka bisa melakukan apa saja pada wanita itu. Aku memaksa langkah lariku kembali ke tempat mereka dan aku lihat wanita berparas cantik itu sudah dikelilingi oleh anggota Geng Brewok tersebut. "Mau apa kalian! Kembalikan tasku!" seru sang wanita yang tadi turun dari angkot itu. "Gak baik gadis cantik jalan sendirian malam-malam! Kami antarkan saja, Mbak!" sapa seorang yang kerap dipanggil dengan sebutan Cacing mulai melucuti barang bawaan wanita itu. "Arep ning ngendi to, Mbak? Tak kancani wae, iso pilih salah siji sopo sing dikarepke!" ( Mau kemana sih, Mbak kita temani saja, bisa pilih salah satu di antara kita mau yang mana?) timpal salah seorang lain yang setahuku kerap dipanggil dengan sebutan Gondes. "Aku yo iso gawakne barange kok, Mbak! Dadi Mbak gak kabotan!" (Aku juga bisa bawakan barangnya Mbak! Jadi Mbak gak keberatan!) sahut pria kucel lusuh bernama Kichlik itu.
Tetangga di sini suka mengumbar kasak-kusuk, senang dengan urusan orang lain, tentunya mereka yang selalu penasaran dengan sikap diam ku pun ingin tahu ada cerita apa selanjutnya antara aku dan Afrina. Aku hanya mencebik saat memintas langkahku di hadapan mereka yang memenuhi teras rumah mereka melongok ke arah terasku. Mungkin membawanya masuk ke dalam rumahku? Jangan harap! Tentu saja aku tidak akan melakukan hal itu! Afrina memang menarik, kecantikannya sungguh di atas rata-rata. Mungkin itulah yang membuat para tetanggaku itu penasaran. Body nya juga sangat bagus dengan tinggi badan semampai, sungguh mengagumkan. Wajahnya yang ayu berpoles make up yang sangat wajar dan menempel sempurna menambah menarik dirinya dari segala sisi. Tapi aku mengantarkannya hingga kembali keluar ke jalan raya untuk menaiki taxi online yang sudah ia pesan saat berada di rumahku. Lirikan curiga deretan para tetangga yang aku lewati ketika mengantarkan Afrina pulang, menggiring tiap langkah kami saa
Aku hendak pulang sebentar untuk mengganti pakaian yang sudah basah dengan air hujan bercampur keringat ini. Tak mungkin aku menemui seorang gadis secantik dan sewangi Afrina dengan penampilan yang begini. Aku haruslah juga bisa menghargainya dan berusaha menyeimbangkan diri dengan Afrina. Dari kejauhan aku lihat Polisi mengadakan penyisiran seluruh lokasi pasar dari premanisme. Pantas saja aku tidak melihat anggota geng Brewok berseliweran di sekitar pasar sejak pagi. Rupanya mereka sedang sembunyi dari razia. Baguslah Polisi sudah mengambil tindakan secepat ini. Karena keberadaan mereka akhir-akhir ini memang sungguh meresahkan. Para preman itu perlu dipersempit ruang geraknya. Agar mereka tidak lagi berbuat sesuakanya. "Mas! Mas Andy!" panggil Bayu yang datang bersama Anggi sembari berlari tergopoh-gopoh, keduanya adalah teman yang biasa main dengan Satriyo. "Riyo, Mas! Kecekel ambek geng Brewok!" (Rio, Mas! Tertangkap oleh Geng Brewok!) seru Bayu mengabari aku.
Mereka semua memberikan tatapan-tatapan yang mengerikan seolah hari ini akan menjadi akhir hidupku. Melihat mereka begitu beringas, membuatku semakin mengencangkan segenap otot di seluruh tubuhku untuk bersiap mendapatkan pukulan serentak dari mereka semua. Kali ini keadaan begitu berat, aku bisa beresiko mendapat pukulan dari arah manapun. Aku bersiap dengan kuda-kudaku. Aku meningkatkan mawas diriku, memperketat pertahanan diriku, hingga tiga orang yang berada di belakangku menyerangku secara bersamaan. Sedangkan tiga pria lagi di hadapanku semakin merangsek ke arahku menyasarkan balok kayu di tangan mereka untuk dipukulkan kepadaku. Aku menghindari dua orang yang berhadapan menyerangku dengan cepat, untung saja gerakanku lebih cepat dari mereka berdua, sehingga keduanya bisa aku hindari dan aku hantamkan pada seorang yang sengaja aku tarik karena menyerangku dari arah depan. Tongkatnya aku tarik dan orang itu ku dorong ke arah dua orang temannya tadi. Jadilah ketiganya sal
Romi membuka tudungnya yang merupakan bagian dari sarung yang dipakainya untuk menutupi sebagian badannya itu lalu ia menyeringai. Di saat yang bersamaan beberapa warga mulai mendekat ke arah rumahku dengan wajah berapi-api. "Selamat malam, Mas Andy, kami dari tadi mengikuti pria ini dari mushollah bawa sepeda, bawa tas besar, kami curiga dia bukan orang sini dan bisa saja berbuat onar di kampung kita ini, Mas!" Seru salah seorang warga menegurku sembari telunjuknya mengarah kepada Romi. Aku melirik tajam ke arah pria yang mengaku Romi itu dan menariknya hingga jatuh terjerembab ke lantai teras. "Ini aku, Mas! Beneran aku, aku nggak punya niat apa-apa, Mas! Aku dari tadi sore mencari Mas Andy tapi Mas Andy nggak ada di rumah!" Romi mengkerut dan beringsut takut dipukuli tanpa alasan oleh para warga. "Tenang bapak-bapak! Dia salah satu teman saya, dan besok saya akan melapor keberadaannya kepada Pak RT setempat! Jadi saya mohon maaf atas ulah teman saya ini, ya Pak! B