Share

BAB 5 : Sunflower

"TEMEN lo gila ya, Mas?" celetuk Daniel bertanya sangsi, menjauhkan puntung rokok dari bibirnya dan menatap Thomas yang memasang raut wajah jengkel.

Bersama hati yang ringan Thomas membuang rokok Daniel ke tanah. "Thom, anjir, Thom. Mas-mas pale lu!" tukasnya kesal.

"Ah, bangsat! Rokok terakhir gue, Mas!" Daniel berencana memungut rokoknya yanh menggelinding mengenaskan di tanah namun Gerald keburu datang dan menginjaknya dengan dramatis. Daniel membeku, "Anjing kalian berdua!" umpatnya.

Gerald tersenyum sadis sebelum menendang rokok sang kawan menjauh dari area. "Tobat lo, bangsat! Paru-paru lo item entar, mampus!"

"Ck, bajinglah! Kan pembahasan kita bukan itu tadi. Argh! Sial!" gerutu Daniel, menggaruk kesal belakang kepalanya lalu menjatuhkan punggung ke sofa. Ditunjuknya Alvin menggunakan dagu. "Noh, liat! Temen lo-lo pada gila ketawa-ketawa sendiri."

Di sebelahnya Thomas memasang ekspresi sulit, sembari mengunyah bakwan di mulut ia bertanya, "Lha, Alvin pernah waras emangnyaㅡanjing, Vin!"

Umpatan lelaki seputih awan itu berasal dari Alvin yang melayangkan bantal bulat sofa ke wajah sang kawan. Pemuda kelinci itu bangkit dari posisi tidurnya dan duduk menghadap ke tiga kawannya bersama seulas senyum picik. "Kalian tau apa yang terjadi sore tadi?"

"Apaan?" tanya Gerald sambil memetik gitarnya.

Alvin makin memasang senyum licik penuh makna. "Gue berhasil nyium Jessica. Haha."

Mendapati kawan-kawannya melotot kaget apalagi Thomas yang sampai terbatuk-batuk lantaran tercekik saat minum. Alvin malah terbahak-bahak lucu dan kembali menjatuhkan dirinya ke sofa. Membiarkan tubuhnya rebah dengan nyaman sementara Gerald berhenti memainkan gitarnya dan mendengus tak percaya menatap si pemuda.

"Serius lo? Dia nggak ngamuk?"

"Kagak, dianya syok jadi gue ambil kesempatan kabur." Alvin melirik Gerald dari posisi dan melanjutkan geli, "Mukanya lucu, sumpah. Tadi keliatan banget dia cewek."

"Jadi selama ini Jessica cowok?" sahut Thomas keheranan dan Daniel tak punya pilihan lain selain menabok kasar pundak pemuda itu. "Otak lo pake, Mas. Goblok bener jadi manusia."

Ketika Thomas sibuk menggerutu, Daniel berujar seraya melempar dia biji kuaci ke mulut. "Besok lo pasti diburu habis-habisan sama dia. Gue yakin."

"Yaaa ... " Alvin mendadak kehilangan kalimat. Sejauh mata memandang dan dari seluruh rumor yang beredar. Jessica memang tak pernah tanggung-tanggung dalam menghabisi lawannya. Hm, tampaknya nyawa Alvin sedang dalam bahaya sekarang. "Lo bener. Mungkin besok hari kematian gue. Gue maafin dosa-dosa yang telah kalian perbuat ke gue. Gue serius memaafkan dengan hati yang lapang."

"Dahlah, anjing! Mau mati aja lo masih banyak drama. Heran gue kenapa bisa-bisanya lo masih hidup sampai sekarang," tandas Daniel yang tak pernah ada niatan damai dengan Alvin.

"Lo udah tau Jessica nggak sama kayak cewek-cewek lain. Selain gilanya yang nggak nanggung-nanggung, dia cucu konglomerat, bajing! Lo mau dilindes kakeknya pake truk?" ujar Gerald, betulan tak bisa memahami jalan pikiran Alvin yang luar biasa rumit sekali.

Pemuda yang memiliki gigi kelinci tersebut menelengkan kepalanya dan sedetik kemudian mengedikkan bahu tak acuh. "Karena dia nggak sama kayak cewek lain makanya gue gangguin. Coba liat! Di sekolah cuma gue yang berani gangguin dia. Keren 'kan gue?"

"Menantang maut, ndro!" timpal Thomas.

"Lo demen nyari pekara mulu, dah. Kalau mau mati ya mati aja, anjir. Nggak usah kebanyakan sinetron hidup lo," tandas Daniel yang selanjutnya menenggak secangkir kopi saset.

Untuk yang satu ini Alvin enggan cepat-cepat menjawab sebab benaknya terlebih dahulu mereka ulang sebuah adegan. Hari di mana Alvin pertama kali bertemu dengan Jessica. Wah! Seharusnya gadis berponi tersebut bersyukur sudah mendapatkan atensinya di hari pertama mereka bertemu. Jarang-jarang, lho, Alvin begini. Dengan kata lainㅡ

"Lo anggep Jessica cewek spesial, ya?" tanya Gerald memecah lamunannya.

Alvin melirik sang kawan, berkedip dua kali dan mendengus tak percaya. "Gila kali gue. Nggaklah! Cuma seneng aja main-main sama manusia gorila kayak dia," jawabnya seiring kekehan hambar muncul.

Dari sekian ekspresi yang dapat temannya gunakan, Alvin selalu membenci bagaimana Gerald tersenyum miring ke arahnya dan seolah tak melalukan apapun laki-laki itu memainkan gitarnya lagi. Pemuda itu berujar tanpa mengalihkan pandangan dari senar. "Jadi gue bener. Lo tertarik sama dia?"

"Nggak, sat! Ogah gue sama cewek petakilan kayak dia!" tukas Alvin jengkel. Percayalah! Untuk urusan memojokkan seseorang, Gerald ahlinya.

Gerald manggut-manggut, "Ya-ya, gue percaya."

"Sialan lo!"

"After i said i believe you?"

"Bastard!"

Sementara kedua laki-laki itu sibuk mengumpat satu sama lain, Thomas menyenggol Daniel. "Mereka bahas apaan sih, anjir! Gue ora mudeng!"

Daniel menghela napas berat, "Lo ngeliat tanah aja kadang suka nggak ngerti, Mas. Nggak usah dipikirin, kalau jadi beban pikir terus lo gila. Berabe! Gue ngutang siomay sama sape lagi ntar."

"Emang setan lo!"

Malam agaknya semakin dingin tatkala jam telah berdetak di angka sepuluh. Pelan-pelan saat itu tanpa manusia ketahui angin menelusup diam-diam melewati berbagai celah dan tanpa disangkakan langsung menusuk kulit. Barangkali pekerjaan mereka di gelapnya malam memang demikian. Kendati sudah tahu menghabiskan waktu di markasㅡsebuah gudang tua yang mereka sulap menjadi tempat singgahㅡmerupakan bentuk rehat sejenak dari cepatnya waktu bergulir di luar sana. Mereka terkadang lupa waktu untuk kembali ke kenyataan dan pulang.

Alvin termasuk golongan tersebut.

Bukan. Bukan berarti rumahnya tidak senyaman itu. Ia nyaman bergelung di atas kasurnya. Dirinya juga nyaman menghabiskan waktu bermain gitar di balkon atau setidaknya menikmati senja sebagai bentuk penghabisan hari. Alvin nyaman, sungguh. Akan tetapi ada seseorang yang terusik dengan kehadirannya di sana dan yang bisa pemuda kelinci itu lakukan adalah memberikan ruang seluas mungkin alih-alih meluruskan sesuatu yang dia sadar, bahwa semuanya sangat janggal.

Huft! Kadang alur hidupnya memang aneh dan semenyebalkan itu.

Sialnya lagi, Alvin dipaksa harus menerima dan menjalaninya tanpa diberikan pilihan lain.

Helaan napasnya terhembus kasar, berat sekaligus getir di saat yang bersamaan. Seolah berat di pundaknya makin menjadi-jadi, makin terasa jelas dan makin memukul telak raga. Alvin terkekeh hambar, yaaa, mau apa selain patuh dan ikuti seluruh alur takdir yang tak sepenuhnya ia sukai ini?

Atensi si pemuda kemudian teralihkan pada ponselnya yang bergetar. Ada beberapa balon pesan yang dikirimkan sang ibu, berisi menyuruhnya untuk pulang sebelum sang ibu mengemasi seluruh barang-barangnyaㅡdibaca, kamu akan diusir. Segalak apapun si ibu, Alvin selalu tertawa geli sendiri membaca setiap omelan Susan. Terlalu dia anggap enteng sampai-sampai ibunya gemas sendiri ingin mencoret nama putra sulungnya dari kartu keluarga.

Usai mengirimkan balasan berupa Alvin akan pulang kalau langit berubah menjadi warna oranye, ia membuka aplikasi i*******m. Banyak orang yang mengikutinya dan Alvin tak pernah repot-repot menilik siapa mereka. Hanya saja fokusnya tertuju pada lingkaran di bar status. Ava Jessica terpampang di sana dan jemarinya lantas menekan ikon profil itu.

Dahinya sukses berkerut. Dua tahun kurang ia mengganggu dan senang-senang saja mengusik kehidupan gadis barbar tersebut. Jessica memang sering mengunggah foto bunga matahari, entah itu di snapgram atau unggahan tetapnya.

"Bisa juga nih anak suka bunga. Gue kira cuma suka baku hantam," komentarnya.

Lalu irisnya menangkap sebuah kalimat di sisi bawah foto yang mana sukses membuat Alvin kepikiran.

Jessica ... sedang menjalin hubungan dengan seseorang?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status