Share

BAB 8 : Keep On Going

DESISAN kesakitan lolos dari keduanya belah bibirnya tatkala sepasang manik itu terbuka. Bagaikan dihantam gada, kepalanya pening bukan main. Tak ada yang bisa pemuda kelinci tersebut lakukan selain meringis ke sekian kalinya sembari mengurut pelipisnya yang makin berkedut tajam.

Alvin berkedip beberapa kali guna mencerna, apa yang telah terjadi pada dirinya sampai-sampai ia berbaring di ranjang UKS begini? Satu detik kemudian ketika departemen ingatan melakukan reka ulang adegan sebelum dia tak sadarkan diri. Matanya melotot tak percaya sementara bibirnya sukses dibuat mengumpat tertahan guna memaki-maki dirinya dalam hati karena bisa-bisanya ia pingsan di tengah keramaian.

Ck! Menyebalkan! Menjengkelkan!

Dan Jessica pelaku utamanya! Ck! Sial! Sial! Sial!

Well, Alvin tidak akan berkelit dari alasan mengapa gadis barbar tersebut mengamuk sedemikian rupa. Hanya saja dari sekian banyak bentuk aksi pembalasan dendam, mengapa Jessica memilih mengerjainya dengan pistol mainan?! Astaga! Alvin betulan berpikir ia akan mati detik itu juga dan bahkan sudah menyiapkan kata-kata di dalam benak sebagai bentuk doa terakhir kepada Yang Maha Kuasa agar memberikan kebahagiaan bagi keluarganya. Benar. Sebegitu takutnya Alvin pagi tadi.

Dan mari menjawab pertanyaan aneh pemuda kelinci tersebut. Jelas saja! Jessica tentu ingin membalas semua perilakunya dengan cara tersadis sekaligus epik yang ia miliki dan Alvin menolak untuk memahami.

Hei! Harga dirinya kini tercoreng!

"Ck! Dasar cewek berengsek!"

Pemuda tersebut agaknya tersentak kaget tatkala tirai yang mengitari ranjangnya dibuka kasar dan menampilkan seraut wajah khawatir teman-temannya. Yeah, tak sepenuhnya khawatir jujur saja, Daniel masih sempat-sempatnya tertawa mengejek di sana.

"Heh! Lo nggak papa? Mau gue panggilin dokter?" tanya Thomas, pemuda itu menghela napas lega kala Alvin menggeleng dan mengibaskan tangannya seolah mengatakan, ia tidak perlu dokter sekarang. "Syukur deh lo masih hidup. Gue kira lo mati, anjing!"

"Yaa nggak usah kasar, bangsat!"

Daniel mendaratkan bokongnya di ranjang sebelah, menaikkan kaki untuk disilangkan dan membawa satu bantal ke pangkuan. Ia geleng-geleng tak habis pikir mengingat peristiwa yang menggemparkan Bina Bangsa. "Gila! Jessica bener-bener gila, anjir!" ucapnya dan menatap ketiga kawannya secara bergantian. "Gue pikir dia beneran beli pistol buat ngebunuh nih anak, secara anak orang kaya beli barang begituan 'kan gampang. Set-set-set! Beres."

Thomas manggut-manggut setuju lalu mengusap lengan seputih awan itu. "Gue aja masih merinding, njir! Nggak nyangka sintingnya separah itu."

"Gue beneran mau nelepon agen batu nisan buat lo, Vin. Darah lo juga berencana mau gue sumbangin ke orang yang membutuhkan biar akhir hayat lo berguna dikit," tukas Gerald menimpali. Ia terkikik menghina kemudian, "Beneran setakut itu lo sampai pingsan begini?"

Alvin berdecak sebal dan menendang lengan atas Gerald dengan gesit guna menyampaikan kejengkelannya. "Bajingan! Di posisi gue, sialan, biar tau rasanya hidup dan mati lo dipertaruhkan. Gue mikir beneran mau dibikin koid sama dia. Sial!"

Mereka terbahak-bahak mendengar penuturan Alvin dan Gerald hanya bisa mengirimkan dua tepukan di lengan sang kawan. "Kan gue udah bilang. Jangan nyari lawan mulu. Jangan nyari gara-gara. Jangan nyari pekara. Nyawa lo cuma satu, goblok! Ngeyel amat dibilangin!"

“Lo nggak jadi gue sih!”

“Dih! Ogah gue jadi orang nggak ada otak kayak lo! Mohon maaf!” Gerald menukikkan bibirnya tajam dan menatap keki Alvin.

“Ck! Setan kalian! Minggat sono! Makin pusing kepala gue, nih!” gerutu pemuda kelinci itu sebal.

“Jujur deh, Vin. Lo kenapa ngebet banget sih gangguin Jessica?” tanya Daniel penasaran bukan main. “Secara di sekolah ini bahkan anak-anak geng yang lain tunduk semua sama dia kecuali elo yang menantang maut terus-terusan. Apalagi backingan tuh cewek bukan sembarangan orang. Sekali liat aja, udah, tamat hidup lo.”

Alvin mengerutkan keningnya. “Jadi inti pertanyaan lo?”

“Bangsat! Yang tadi! Kenapa lo ngebet banget gangguin Jessica?! Dasar setan lo!” balas Daniel, emosi juga dibuatnya.

Sang lawan bicara terkekeh geli, sudah paling ahli dia dalam hal menyulut kemarahan orang lain. Alvin berdeham kemudian, agak lama guna mencari-cari satu jawaban. “Hmmm … suka aja?”

Daniel menatap datar. “Udah gue duga. Ada yang konslet di otak. Lo. Transplantasi otak sana!”

“Transplantasi juga tuh nilai fisika lo! Bisa-bisanya cuma dapet 28. Lo dongo apa beneran goblok?” tandas Alvin dan melihat wajah frustasi Daniel, ia tahu ia memenangkan perdebatan.

“Argh, sat! Gue makin kepikiran, anjeng! Emak gue pasti ngemaki-maki lagi nih pas pulang!”

Tatkala Daniel sibuk mengumpat dan menyalahkan guru bidang studi yang melaporkan rentetan nilai sang teman yang tak kunjung mengalami peningkatan. Thomas mengetuk betisnya beberapa kali.

“Terus abis ini lo mau ngebales Jessica?” tanyanya. “Secara satu sekolahan nontonin lo pingsan. Malu pasti.”

“Dia mana pernah punya malu sih,” hina Gerald tanpa menatap Alvin, pemuda itu sibuk saling bertukar pesan dengan kekasihnya.

Lagi-lagi Alvin mengumpat memaki temannya sejak kelas satu tersebut. Ia mendengus kasar, “Nggak tau deh gue! Gila! Kepala gue masih sakit, sial!”

“Mending nggak usah nyari gara-gara lagi, deh. Sayang-sayang nyawa lo mulai sekarang, kasian, terancam punah mulu gara-gara lo,” tutur Gerald seraya melirik sekilas Alvin dan selanjutnya mengetuk pelipisnya dua kali. “Gunain otak berdebu lo.”

Dari kebungkaman pemuda kelinci tersebut Gerald mengira sekurang-kurangnya sang teman akan mulai berpikir jernih, menggunakan nalar dalam bertindak atau memutuskan berhenti menantang maut. Akan tetapi atensi mereka terpusat tatkala Alvin melompat turun dari ranjang, anak laki-laki itu mengangguk penuh keyakinan dan mengepal kuat sepasang tangannya di udara.

“Kesimpulan yang dapat gue petik dari saran-saran lo adalah … ” Alvin tersenyum kalem dan memberikan Gerald dua tepukan di pundak. Ia melanjutkan kepalang ringan. “ … gue makin yakin buat gangguin dia. Gue harus tetap balesin dendam orang-orang yang dia gangguin dengan cara yang sama juga. Daah, gue cabut duluan.”

Belum sempat bagi mereka untuk memproses seluruh kalimat yang Alvin layangkan dan si empunya telah menghilang dari balik pintu. Mereka menghela napas tak percaya.

Thomas mengangkat ponselnya seraya berkata, “Jadi … agen batu nisan mana yang perlu kita telepon?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status