Share

BAB 10 : Girl Anger

MENGERIKAN!

Rosa mengerjap beberapa kali melihat wajah sahabat sintingnya memerah menahan amarah, bahunya naik-turun sementara tangan terkepal kuat di bawah sana. Jessica tampak bersiap untuk mengamuk usai mereka sampai di kelas lantaran menemukan meja si gadis penuh dengan dekorasi merah muda. Tak hanya itu, ada belasan cokelat dan boneka mini beruang yang tersusun rapi dan sialnyaㅡwajah si beruang malah berganti dengan foto Jessica.

Sungguh, Rosa nyaris terbahak-bahak kalau saja tak mengingat kondisi.

Sang pelaku tampaknya tahu benar bagaimana cara memancing kemurkaan seorang Jessica.

Jessica mendongam menatap seluruh manusia di kelas sebelum bertanya dengan nada luar biasa dingin. “Sebelum gue remukin tulang kalian satu persatu dan gue kasih anjing liar di luar sana. Siapa yang ngerjain meja gue?”

“A-alvin, Jes.”

Brak! Sang ketua kelas berjengit tatkala Jessica menendang kasar kursinya hingga jatuh berdentum. “Dan lo nggak ngehentiin anak kelas lain buat ulah?!”

“Maaf, Jessica. Gue nggak berani,” sahutnya mencicit.

“Ouh! Jadi elo lebih milih gue rajam di sini setelah selamat dari dia?!” tandas Jessica, setengah berseru.

Eron bergetar ketakutan di posisi, betul-betul tak ingin babak belur namun Jessica mana bis diajak kompromi. Mengamuk, ya, mengamuk. Maka berterimakasihlah sang ketua kelas kepada Rosa lantaran gadis itu menepuk pundak sahabatnya dan menggeleng.

“Kalau waktu diputar kembali, Eron tetap ngelakuin hal yang sama. Kalaupun dia milih ngehentiin si Alvin, yang ada dihajar habis-habisan dan meja lo bakalan tetap pink-pink begini, Sica,” papar Rosa tenang, menyeruput kopi paginya seraya melirik sekilas pada meja Jessica. “Lo tau sendiri, di sekolah kita. Alvin dan Jessica itu pentolan. Nggak ada yang berani karena kalian sama-sama … gila dan sinting.”

That's right, Rosa! Seratus buat lo!”

Atensi satu kelas langsung terbuang ke arah pintu dan menemukan Alvin berdiri pongah di sana, melambaikan tangan sebelum mengirim kiss bye pada Jessica. “Suka hadiah paginya, Sayang~?”

Sudut bibir gadis berponi tersebut berkedut, menyeringai dingin kemudian dan menyugar rambutnya perlahan. “Lo beneran mau perang sama gue, hm?”

Sang lawan bicara sontak memasang ekspresi terkejut dan menggeleng sembari mengibaskan tangan di udara. “Gue? Who's say? Enggaklah, bagi gue ini namanya pengakraban.”

Ah, jadi ini yang disebut Alvin sebagai cara membayar hutang konyol itu?

Alvin … cari mati rupanya.

Berikutnya satu kelas berjengit serta menahan napas tatkala Jessica menarik kuat satu kaki kursi hingga terlepas dari badannya. Besi tersebut kemudian dibengkokkan sampai berbentuk boomerang. Rosa melotot takjub dan bertepuk tangan pelan, wah-wah! Tak menyangka bahwa kekuatan sang sahabat melebihi gajah betulan. Sementara Alvin terkekeh-kekeh puas, sukses besar misinya dalam memancing sumbu kemarahan si gadis yang sangat-sangat pendek.

Oops! Sepertinya bentar lagi bel, gue pamit undur diri dulu. See you, Baby. I'm gonna miss you, hahaha.” dan pemuda kelinci tersebut resmi hilang dari pandangan.

Rosa buru-buru menahan lengan Jessica ketika sang sahabat bergerak dari posisi. “Lo mau kemana, anjir? Bentar lagi Pak Handoko masuk.”

Jessica tersenyum miring, “Jangan kaget kalau lo liat berita ada siswa yang dirajam di sekolah karena itu … ” Si empunya memberi jeda sebelum melanjutkan luar biasa mengirim teror. “ulah gue.”

Tanpa menunggu respon Rosa lebih lanjut gadis berponi tersebut mengikat kuda rambutnya secepat kilat dan berlari keluar kelas seraya berteriak kesetanan. “GUE RAJAM LO, BANGSAT!”

Maka dari itu dengan kepanikan dan ketegangan luar biasa Rosa mendial nomor seseorang. Menunggu dengan resah panggilan untuk dijawab dan di dering kedua ia melotot besar. “Esie! Jessica beneran mau bunuh si Alvin! Lo di mana, anjir?!”

***

Meskipun nanti satu sekolahan bahkan kepala sekolah pun ingin menghentikannya. Tidak! Jessica takkan melepaskan Alvin semudah itu lagi. Ck! Sial! Sepertinya si gadis poni harus memikirkan pembalasan dendam terbaru sebagai balasan. Betul-betul balas dendam terepik dan sadis, Jessica butuh itu! Jessica butuh ide sekarang juga! Namun daripada itu Jessica lebih butuh Alvin guna ia pukuli sampai sekarat sekarang juga!

Argh! Jessica tahu bahwa mereka takkan pernah akur tetapi setidaknya biarkanlah mereka bersikap cuek satu sama lain, Tuhan! Sungguh rasanya sang gadis selalu terbakar amarah kala menghadapi umat-Mu yang luar biasa bajingan itu.

Dari sekian banyak manusia, mengapa Alvin yang dikirimkan padanya?! Argh! Sial!

Mengabaikan berbagai jenis tatapan yang mengarah padanya, si gadis mencengkeram besi di tangan kuat-kuat sehingga buku-buku jarinya total memutih. Emosi perempuan itu bersiap meledak dan guna dilampiaskan pada orang yang tepat ia harus menemukan Alvin secepatnya. Namun sedari tadi mengelilingi sekolah Jessica tak dapat menemukan tanda-tanda keberadaan pemuda kelinci tersebut. Dengan perasaan kesal si gadis menendang keras tong sampah sehingga isinya berserakan di lantai koridor.

“Bangsat! Beneran gue matiin dia!” tekannya jengkel.

Barangkali alam semesta senang bercanda padanya, alih-alih memberikan Alvin guna ia pukuli sampai mati, Jessica malah diberikan mangsa baru ketika sepasang tungkai panjangnya berbelok ke arah gedung ekstrakurikuler, namanya dilisankan secara sinis dari dalam gelanggang renang.

“Eh, lo tau nggak sih? Katanya Alvin ngehias meja Jessica jadi pink-pink gitu. Iih! Gemes tau nggak sih gue,” ujar Serla sembari menahan gemas sebelum mengayunkan kakinya di dalam kolam renang. “Yaah, kalau Jessica nggak galak. Dia tuh sebenarnya imut tau. Gemesin. Senyumannya apalagi, kayak anak TK, polos-polos minta dicubit.”

Oke, kalimat positif? Jessica akan anggap demikian meskipun bagian menggemaskan tetap buatnya sebal.

Nadia mengibaskan tangannya di udara. “Apalah! Gue masih nggak suka dia. Titik. Mau dia gemesin, kek! Apa, kek! Ck! Dia tetep nyebelin!”

“Karena Alvin lebih perhatian sama dia dibandingkan sama lo?” tembak Rania geli. Ia tertawa mengejek kemudian bersama Serla. “Yaa, kalau menurut gue sih wajar. Meskipun serem begitu Jessica lebih cantik kemana-mana dibandingkan elo. Udah cantik, mukanya kayak barbie plus cucu konglomerat. Kurang apalagi dia selain tukang emosi?”

“Gue jauh lebih baik dibandingkan dia!” tandas Nadia kesal, dahinya berkerut dalam tanda tak suka. “Lagian lo nggak tau sih apa yang gue denger di gedung guru.”

Baik Serla maupun Rania bertukar pandangan sejenak sebelum mendekati kawannya. “Apa-apa?”

Nadia melirik ke sekitar gun memastikan hanya ada merela di gelanggang renang dan sayangnya Jessica cukup lihai bersembunyi; memilih mendengarkan sampai habis. Si gadis mencondongkan tubuhnya ke arah dua temannya lalu berkata, “Dia berantem sama kakaknya pas gue abis dari ruang OSIS. Dari pembicaraan mereka sih kayaknya rumor orang-orang bener, deh. Dia ada di toxic family. Bokap-nyokapnya beneran nggak peduli sama dia bahkan setelah bikin satu sekolah heboh. Yang dateng malah kakaknya bukan orang tuanya,” paparnya.

“Mungkin di keluarganya dia emang buangan kali. Hidupnya aja jadi biang masalah mulu,” sambung Nadia cuek.

“Parah lo. Mulut lo bener-bener dah kalau urusan ngehina orang,” balas Serla yang langsung melompat kemudian ke dalam air dan berenang menjauh sementara Rania menepuk-nepuk pundak temannya. “Karena gue temen lo, gue bilangin, sekarang lo ngebenci dia karena Alvin lebih suka deket-deket Jessica dibandingkan deket-deket cewek feminim kayak lo. Sekalipun dia dari keluarga harmonis Alvin tetap bakalan deket-deket dia karena dia … Jessica. Selesai! Dah, gue mau renang,” tuturnya dan menyusul Serla kemudian.

Nadia berdecak sebal, “Ck! Emang bener dia biang masalah sampe keluarganya ninggalin dia!” pekiknya berseru kesal.

Yeah, lo nggak sepenuhnya salah.”

Mereka semua serempak menoleh dan menemukan Jessica di sana. Serla dan Rania spontan mendekat satu sama lain sedangkan Nadia membeku di posisi. Sepenuhnya bergetar ketakutan dan tak sanggup kabur. Jessica berjongkok di sisi si gadis, menepuk-nepuk permukaan air pelan lalu menoleh seiring seringaian dingin tercetak seram di wajah.

“Nah, mending lo nyebur sekarang atau gue bikin mampus lo di dalam air!”

Tanpa banyak bicara lagi Nadia langsung melompat dan sebelum berhasil memasuki air tangan Jessica terlebih dahulu menggapai rambut sang lawan guna ia jambak kuat. Kepala Nadia ia tenggalamkan kasar ke dalam selama mungkin sebanyak apapun gadis itu berontak keluar dan ingin meraih oksigen. Jessica sendiri menyorot kosong, tanpa ekspresi meski gelegak emosi sepenuhnya menguasi raga.

“Gue cuma ngelakuin apa yang lo bilang. Karena gue biang masalah udah sepantasnya gue nyari masalah sama hama menjijikan kayak lo. Yang bisanya cuma ngomongin keburukan orang tanpa repot-repot mau nyari faktanya.” Jessica menarik kasar kepala Nadia agar mereka bersitatap untuk si gadis berikan tamparan kuat. “As you wish, gue mampusin lo sekarang.”

Jessica menarik kuat Nadia dari dalam air lalu melemparkannya kasar ke tanah. “Gue kasih kesempatan. Silahkan lari sekuat yang lo bisa dan kalau sampai lo gue dapetin. Saat itu juga gue matiin lo. Pergi!”

Bersama badannya yang sepenuhnya basah Nadia segera berlari keluar gelanggang dengan rasa takut yang menyelimuti diri. Meninggalkan Jessica yang mengikuti dari belakang. Raga si empu tremor parah, dadanya sesak karena tenggelam terlalu lama dan tubuhnya yang basah terlalu berat guna diajak berlari secepat yang ia mau. Nadia betulan menangis dengan ketakutan ini, yang ia pikirkan hanya lepas dan mengabaikan tatapan orang-orang yang mengarah aneh padanya.

Isakannya makin menjadi-jadi kala menoleh dan menemukan Jessica tak jauh di belakangnya. “T-tolong.”

Percuma. Mana ada orang yang mau mengulurkan tangan hanya untuk menggantikan Nadia sebagai mangsa baru kemarahan Jessica? Tidak ada kecuali mereka ingin menantang adrenalin.

Berikutnya Nadia jatuh tersungkur ketika Jessica berhasil menyusul lalu menendang kuat punggung sang lawan. “Lo gagal. Selamat! Hari ini kita main.

Nadia semakin terisak-isak, bersimpuh san mengatupkan tangannya di hadapan si gadis berponi. “Ampun, Jessica. Gue salah. Maaf, maaf. Ampun. Bebasin gue sekali ini aja.”

“Lo tadi cuma bilang gue biang masalah bukan orang baik hati yang suka ngasih maaf ke orang-orang,“ balas Jessica cuek dan ketus. Irisnya menatap datar gadis di depannya sebelum mendorong kasar kepala Nadia. “Gue juga ogah baik hati sama orang muka dua kayak lo. Jijik!”

Dengan kasar Jessica menendang dagu lawannya kuat sampai-sampai gadis itu kembali tersungkur. Amarahnya meningkat lebih pesat dibandingkan sebelumnya. Dadanya bergemuruh hebat bersama sebongkah rasa sesak di sana. Rahangnya pun mengatup kuat dan Jessica betulan akan melepaskan tantrum pada Nadia.

Jessica jengkel pada dirinya sendiri karena benci mengakuinya. Benci mengakui bahwa apa yang dikatakan Nadia sepenuhnya benar.

Bahwa Jessica memang buangan.

Tak berarti dan acapkali ditinggalkan.

Ia benci pada dirinya yang enggan mengakui dan memilih mengamuk seperti orang bodoh. Jessica butuh pelampiasan dan bukankah Nadia orang yang tepat karena gadis itu juga yang menarik tuas kemarahannya?

“Ngerangkak, bangsat! Ngerangkak sampai lutut lo nggak bisa gerakin selamanya! Ngerangkak!” teriak Jessica lantang. Suaranya bahkan sampai menarik orang-orang keluar dari kelas mereka.

Isak tangis Nadia mulai teredam bisik-bisik penuh tanya dari penghuni sekolah. Wajahnya memerah sempurna sementara ia terus merangkak seperti yang diperintahkan. Detik selanjutnya Nadia berjengit kala sebelah tangannya ditarik kuat dari belakang.

Jessica menyeringai tajam. “Lo atlet renang 'kan? Kok mulut lo lebih cepet ngehina orang dibandingkan tangan lo? Ah, karena tangan lo udah nggak guna lagi. Gimana gue bikin patah biar selamanya lo nggak bisa berenang lagi?

Nadia menggeleng penuh teror dalam isakan, maniknya membulat dan semakin menangis memohon pada gadis itu. “Jangan Jessica, please. Gue nggak mau berhenti renang, Jes. Gue mohon.

“Gue nggak peduli.”

Jessica bangkit dan menaikkan lututnya ke atas pundak Nadia sedangkan orang-orang menahan napas takut sebelum gadis gila itu betulan mematahkan tangan seseorang di depan mata mereka. Teriakan Nadia makin kencang karena ketakutannya semakin menjadi-jadi dan tatkala Jessica betulan menarik kuat lengannya sampai terdengar patahan tulang. Sebuah tangan melingkar pada area selangkanya dan Jessica ditarik mundur ke belakang sebelum si gadis dipeluk erat-erat bersama sebuah elusan hangat di punggung.

“Sica anak baik, 'kan? Nggak boleh nakal, ya? Jangan ya, Sica? Nanti dia sakit kalau tangannya dipatahin, oke? Jangan ya. Ssstt! Nggak papa. Tenang. Tarik napas dan keluarin pelan-pelan. Esie di sini. Buat Sica dan selalu ada buat Sica. Esie nggak pernah ninggalin Sica, 'kan? Sekalipun nggak pernah, 'kan?”

Air mata Jessica meluruh tanpa suara, hangatnya dekapan Chelsie membuat seluruh emosi negatifnya meluruh tanpa sisa. Yang ada hanya kepedihan tak berujung. Rosa dan Jenna menghela napas lega, mereka datang di saat yang tepat.

Jessica hanya butuh Chelsie untuk lepas dari belenggung emosinya sendiri.

Chelsie mengatur napasnya yang memburu, menepuk-nepuk pelan pundak sahabatnya dan kemudian memberikan kode pada Jenna. Gadis kucing tersebut segera melepaskan almamaternya dan menutupi kepala Jessica dengan itu serta meninggalkan usapan lembut di kepala si Poni.

Chelsie tersenyum kecil dan berbisik lebih hangat. “Kita nggak pernah ninggalin Sica sekalipun. Nggak akan, Sica. Kita ada di sini buat Sica. Selalu dan akan tetap begitu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status