BUKAN Jessica lagi namanya kalau-kalau tidak pernah di perbincangkan dalam sehari. Minimal satu sekali dalam satu hari. Bina Bangsa akan selalu dan wajib gempar dengan segala macam jenis tingkah laku yang Jessica lakukan. Aksinya akan selalu menjadi berita hangat sekolah setiap harinya. Termasuk juga salah satu korban yang nyaris patang tulang kalau-kalau Chelsie tidak datang tepat waktu menenangkan si gadis berponi itu siang ini. Tengah ramai di perbincangkan pada akun sosial media Bina Bangsa. Terdapat ribuan komentar dengan ragam praduga yang di bahas orang-orang. Mempertanyakan alasan apalagi kali ini sampai-sampai gadis berponi mengamuk sedemikian menyeramkannya?
Jenna memantai komentar demi komentar dalam kolom postingan. Dia serta-merta geleng-geleng kepala melihat dugaan demi dugaan yang makin lama justru semakin melenceng. Terlampau banyak orang sinting berkedok baik hati dan malah memaki secara daring begini. Ck, ck! Ini adalah salah satu alasan mengapa Jenna terkadang lebih menyukai yang berbicara blak-blakan. Sang sahabatnya yang satu ini memang merupakan tipikal manusia yang lebih suka jujur, berterus terang dan ogah menye-menye apalagi harus berbasa-basi kecuali pada saat-saat di perlukan; ingin bolos misalnya. Sekalinya terusik, ya, langsung mengeluarkan tantrum besar-besaran. Meski pun tahu benar bahwa kekerasan tidak dapat di benarkan atau di toleransi dalam bentuk apa pun, akan tetapi masalah utamanya ialah mana mungkin Jessica mau repot-repot peduli terhadap peraturan konyol tersebut.
Kini kendati telah menjadi objek gosip satu sekolahan, sang tokoh utama malah sedang sibuk menelan es krim rasa taro. Terhitung sudah kotak ke tiga yang di tandaskan dalam waktu singkat dan Jessica masih belum mau untuk berhenti mengunyah semua es krim itu. Chelsie menghembuskan napas pendek tidak dapat berkata apa-apa lagi, mengusap-usap pundak sempit gadis berponi tersebut dan membiarkan Jessica melepas sisa-sisa emosi dalam dada dengan cara ini daripada harus mematahkan tangan seseorang. Err! Yang satu ini harus di cegah.
“Sekalipun gue nggak pernah bawa-bawa masalah keluarga orang setiap berantem. Yang salahkan dia jadi yang harus di bantai dia bukan family backgroundnya.” Jessica menyendok kasar es krim rasa stoberi ke mulut, memukul telapak tangan Rosa yang ingin satu sendok dan bergerak mundur menjauh guna menyelamatkan es krimnya. Rosa mendelik, Jessica melotot sebelum melanjutkan. “Orang-orang kehabisan bahan gosip apa gimana, sih? Keluarga orang mulu yang di bahas. Setan emang!”
Rosa mengibaskan tangan kemudian meniupi kuku-kukunya yang telah di cat putih serta di hiasi oleh pernak-pernik bunga. “Biasalah. Orang bego kehabisan cara buat menang pasti bahas-bahas masalah sensitif kayak gitu. Nggak classy, ew!” komentarnya.
“Lo trending lagi base sekolah,” timpal Jenna dan mengambil tempat di sebelah Chelsie. Tampaknya makan es krim di bawah tudung food court outdoor panas-panas begini memang menggiurkan. Jenna lantas mengambil satu sendok milik Jessica kemudian menyambung. “Jangan coba-coba lo ngeburu orang yang ngomen negatif,” peringat si gadis kucing.
Jessica mendecih, ia melambaikan tangan tanpa minat. “Iya-iya, kalau inget.”
“Sica?”
“Iya, Esie. Enggak lagi. Enggak.” Jessica buru-buru meyakinkan kala Chelsie memanggil namanya penuh peringatan demikian. Sangat-sangat tidak mengenakan lagi kalau harus mendengar berbagai macam petuah sang sahabat sementara kondisi hatinya memburuk begini. Tidak, deh! Jessica masih ingin mengakhiri hari dengan gelak tawa, sekurang-kurangnya senyuman.
Gadis tersebut melirik layar ponselnya yang menyala. Tertera alarm kalender pada tanggal 28 Juli. Senyuman Jessica lantas tersungging manis sebelum mematikan gawai dan meletakkan sendok. Akhirnya hari ini datang juga. Mari buang jauh-jauh mengenai hari buruknya yang membuat si Poni nyaris melupakan hari penting begini. Jessica segera bangkit, meraih almamaternya dan menatap ketiga sahabatnya bergantian.
“Hari ini, Jes?” tanya Jenna sembari melihat tanggal pada gawai.
Rosa manggut-manggut di kursi. “Hati-hati di jalan. Jangan ngebut-ngebut lo.”
“Kalau ketemu anak geng lagi jangan lo ajakin berantem. Hari ini 'kan hari spesial jadi cuti dulu sehari dari baku hantam. Ngerti?” titah Chelsie serius.
Jessica berpose hormat dan nyengir, “Siap, Ibu Ratu. Ananda pergi dulu. Doakan pulang selamat,” katanya geli dan bergerak menjauh dari sana seraya melambaikan tangan. “Gue entar ke rumah lo, Nady. Buatin kue, please. Gue maksa.”
“Heh! Gue bukan babu loㅡ”
“Cat pesanan lo gue yang bayar. Deal?”
Jenna segera mengirimkan love sign lewat jarinya seiring senyuman lebar terpatri di wajah. “Akan saya lakukan dengan sepenuh hati, Yang Mulia. Pulanglah dengan selamat dari peperangan.”
“Matre lo!” hina Rosa.
Jenna mengibaskan rambutnya dan memandang jengah pada manusia tupai tersebut. “Manusiawi, anjing! Diam kau, bangsat!”
Kedua gadis itu sibuk berdebat sementara Chelsie memperhatikan punggung Jessica yang semakin mengecil dari pandangan. Helaan napasnya mengudara berat. Diusap pelan keningnya dengan gerakan lambat sembari memejamkan mata sejenak.
“Udah masuk tiga tahun, ya?”
Dua gadis lainnya sontak berhenti saling memaki dan memandang Chelsie yang tampak gusar di posisi. Chelsie mengulas senyum simpul, menyendok es krim ke mulutnya dan menambahkan lugas serta berat. “Dia masih rutin dateng ke sana, ya. Gue … gue jadi khawatir kalau Sica terus-terusan gini.”
“Sie, Sica juga lebih tenang dengan cara kayak gitu. Rasa bersalahnya pelan-pelan hilang, kalau dilarang nanti dianya makin nggak ke kontrol. Tau sendiri, emosinya itu susah surut,” tukas Jenna, sama cemasnya. “Mungkin dengan cara ini dia ngerasa lebih baik. Kita cuma perlu ngedukung, 'kan?”
“Iya, gue tau. Gue cuma khawatir doang dia nggak mau keluar dari masa lalunya lalau terus-terusan gini. Gimanapun juga dia harus tetap ngelanjutin hidup sebagai mestinya, Nady, Audy. Gue cuma khawatir Jessica nutup hati buat selama-lamanya.”
Mendengarnya Rosa lantas memberikan gelengan. “Buat saat ini mungkin iya tapi gue punya firasat kalau dia tanpa sadar mulai ngelepas beban di hatinya, Sie. Nady bener, kita cuma perlu ngedukung dan nunggu.” Menyeruput minuman soda kalengnya, gadis chipmunk itu menambahkan lugas. “Nunggu dia nerima sosok baru dalam hidupnya.”
***
Sepanjang perjalanan Jessica harus mendapatkan perhargaan kecil lantaran tidak memaki jalanan yang syukurnya tidak macet sehingga mempercepat dirinya sampai ke tujuan. Usai memarkirkan mobilnya di sisi jalan, gadis berponi tersebut segera keluar dan memasuki sebuah toko bunga bernama Maria's Flower. Lantaran berada di pusat kota dan memiliki suasana cerah dan hangat, toko bunga tersebut cukup terkenal apalagi bunga-bunga di sana benar-benar harum dan sangat terawat.
“Jessica? Astaga! Akhirnya kamu dateng lagi.”
Jessica memberikan cengiran manisnya yang jarang sekali ditunjukkan. Gadis tersebut berlari kecil menuju wanita paruh baya di belakang etalase toko dan berhamburan memeluknya. “Biasa, sibuk sekolah, Tante.”
Maria memicingkan matanya; setengah curiga menyorot si gadis. “Nggak bolos?”
“Enggak, dong.” Jessica melipat bibir kemudian meringis seraya menggaruk belakang lehernya. “Khusus hari ini iya, hehehe.”
Wanita tersebut mengelus rambut panjang Jessica lembut dan tersenyum hangat sebelum mengambil satu bucket bunga matahari di atas meja lalu menyodorkannya pada lawan bicara. “Nih. Udah Tante siapin dari tadi pagi. Harum dan bunga baru.”
Jessica semakin melebarkan senyumannya sampai-sampai maniknya menyipit lucu bak anak kecil. “Makasih, Tante. Tau aja aku mau ngambil bunga.”
Seraya memotong tangkai bunga Maria melirik Jessica sekilas dan melanjutkan pekerjaanya lagi. “Tante ini udah kenal kamu dari SMP. Pas kamu tau Tante punya toko bunga, kamu pasti mesen bunga matahari di tanggal yang sama terus. Udah empat tahun nggak mungkin Tante lupa gitu aja.”
Jessica tersenyum malu. Entah bagaimana mulanya, ia bertemu Maria saat bolos dari sekolah. Wanita itu memergokinya melompat turun dari tembok belakang sekolah. Alih-alih menasehatinya sebagaimana kebanyakan orang-orang yang Jessica temui, Maria malah mengajaknya pergi makan ke sebuah kedai. Katanya sedang butuh teman makan dan mengobrol. Jessica tidak menolak. Lumayan, tumpangan dan makanan gratis. Pun tidak menyangka kalau hubungan mereka akan bertahan seawet ini hanya dari pertemuan tidak disengaja.
Yah, takdir terkadang memang seaneh dan seunik itu.
Seolah-olah semesta mengirim Maria yang hangat untuknya sebagai figur ibu.
Jessica mendekap buket bunganya cukup erat, menghirup aroma harum dari sana dan kembali tersenyum. “Aku bersyukur banget bisa ketemu, Tante. Diajarin nanem bunga matahari, di temenin ini-itu. Makasih banget ya, Tante.”
Mendengar penuturan gadis manis tersebut membuat Maria tersenyum lebih hangat. Diusapnya lembut pipi chubby Jessica dan mengangguk kecil. “Tante juga bersyukur ketemu kamu, Sica. Makasih juga udah nemenin Tante yang banyak omong ini.”
“Enak tau ngobrol bareng Tante. Topiknya random aja bisa seasik itu kalau kita ngobrol,” sahut Jessica, mengibaskan tangan kemudian. “Yaudah, aku pamit dulu, ya. Keburu sore entar.”
Maria lagi-lagi mengangguk dan melambaikan tangannya. “Hati-hati, Sayang. Tante titip salam, ya.”
“Siap. Semoga tokonya rame, Tante. Daaaah! Sayang, deh. Hahaha!”
Maria terkekeh geli melihat tingkah menggemaskan Jessica yang mirip seperti anak yang ia temui empat tahun lalu. Pipinya masih hangat dan sechubby itu untuk ia cubit. Ia geleng-geleng kepala saat menemukan Jessica melambaikan tangan dari dalam mobil sebelum pergi dari sana.
Maria menghela napas pendek, “Senyumannya masih semanis itu, ya,” gumamnya penuh makna.
APA-APA saja yang berhubungan dengan Jessica memang selalu akan tampak menarik untuk di saksikan. Oleh karenanya pemuda kelinci tersebut tidak dapat lagi menahan diri dan meletuskan tawanya dengan terbahak-bahak usai menonton video berdurasi singkat yang di unggah pada salah satu akun sosial media, di mana Jessica lagi-lagi unjuk kebolehannya dalam patah mematahkan tulang manusia bahkan tak hanya video akan tetapi komentar demi komentar yang terus-menerus mengirim kolom postingan juga kapabel membuat perut Alvin tergelitik bukan main sampai-sampai ia berpikir ia bisa saja menangis di buatnya. Tangan pemuda itu juga sampai memukul-mukul sofa markas dan spontan menunjukkan layar ponselnya pada Gerald. "Liat! Liat! Dia naikin kaki ke bahu si ceweknya terus hampir matahin tangannya tapi Chelsie ke buru dateng," Alvin berdecak sebal kemudian. "Kecewa penonton."Kalau kalian semua tidak tahu maka percayalah bahwa saat ini rasa ingin menghantam Alvin dengan buku-buku di hadapan benar-benar me
ENTAH ada kehebohan atau kegemparan apa pun dan di mana pun, dunia selalu terlihat baik-baik saja. Tidak tersentuh. Tidak terdistraksi. Tidak terusik. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa dan selalu berjalan tanpa mengenal jeda. Yah, entah apa-apa saja yang terjadi memang sudah semestinya semesta bergerak, mau siap atau tidak, dunia akan terus berlanjut dengan atau tanpa segelintir orang. Sepanjang perjalanan alunan melodri dari lagu one last time yang di populerkan oleh Ariana Grande menjadi teman. Mengisi kekosongan dan hampa dalam mobil selagi mesin terus bekerja keras melaju mengikuti rute jalan yang tengah di tuju. Jalanan yang tidak pernah sepi, jalanan yang tidak pernah kehilangan peminat, jalanan yang tidak pernah lengang, jalanan yang tidak pernah di tinggalkan. Jalanan yang selalu di dambakan semua orang meski kadang kala acapkali merenggut nyawa. Ah, filosofinya mulai terasa biru di tengah-tengah perasaan berkecamuk ini. Barangkali hanya sesederhana saja, di mana jalan ini
APAKAH pernah malam terasa senyap dan sunyi? Yang benar-benar senyap tanpa secuil kegaduhan apa pun dan kebisingan tidak berarti nan kapabel mengganggu ketenangan kendati waktu beraktivitas seharusnya telah rampung terlaksanakan tatkala mentari telah usai menyampaikan salah perpisahan, hilang di ufuk barat dan berjanji akan datang keesokan harinya? Apakah pernah? Ia rasa tidak. Malam nan gelap gulita selalu menyimpan cerita akan alur takdir mereka masing-masing.Alur yang tidak pernah bisa di hindari. Jessica tidak punya pilihan lain selain setuju. Meski pun jarum jam telah berdentang-dentang menunjukkan eksistensi kedatangan malam. Segelintir orang barangkali masih merasa enggan untuk berhenti hanya karena masalah batas waktu antara siang dan malam. Akan selalu ada alasan yang mendasari penyataan mereka tersebut nan terasa wajib untuk segera di tuntaskan sebelum mimpi membuai raga saat terlelap. Yah, tidak usah jauh-jauh, contoh nyatanya saja adalah dirinya sendiri malam ini. Ah, sia
SEAKAN tidak mengenal kata jeda, dunia Jessica selalu saja terguncang hebat. Tiada henti-hentinya di guyur hujan badai, petir berkepanjangan dan angin kencang yang tidak pernah mau berdamai. Negosiasi sepenuhnya tertolak. Memporak-porandakan hidup yang di perjuangkan mati-matian oleh gadis manis tersebut merupakan hal yang barangkali sangat menyenangkan untuk alam semesta lakukan. Menarik ulur tempo kehidupan. Merumitkan segala hal. Kadang kala menaikkan raga hingga ke awang-awang, akan tetapi dalam sekejap mata sudah di jatuhkan lagi menuju dasar bumi. Ketenagan selalu sukar di dapati pada Jessica yang juga akhirnya memilih membalas semua penderitaan yang dunia berikan padanya. Di lakukan guna membuat hidupnya terasa lebih berisik daripada apa pun. Di bandingkan apa pun. Membuat dirinya jauh lebih sibuk daripada siapa pun.Dengan cara menghancurkan sekitarnya.Dunia terlalu berengsek untuk bisa ia hargai sistematis cara kerjanya. Angkasa biru terasa jauh lebih cerah hari ini di band
UDARA hangat menyelinap masuk melewati jendela yang terbuka setengah. Angin sepoi-sepoi juga tidak mau ketinggalan lantai ketinggian tiga meter dari tanah. Mentari tampaknya ingin sekali menyaingi eksistensi aroma obat-obatan samar dari ruangan seluas lima kali enam meter tersebut. Di kelilingan dinding putih dan satu lemari besar berisi beragam jenis obat. Mulai dari obat cair, tablet mau pun kapsul. Kabar baiknya, berkat salah satu penguasa sekolah yang sedang terbaring tidak sadarkan diri, orang-orang yang sempat menjadikan UKS sebagai tempat bolos lantas dengan cepat mengganti tempat perlarian. Yah, daripada tetap memaksakan diri dan berakhir menjadi samsak hidup manusia monster itu? Menghindar jelas merupakan pilihan yang bagus, bukan? Di salah satu ranjang dengan posisi cukup berdekatan dari letak jendela, Jessica terlelap nyenyak dan cuaca hangat namun menyegarkan ini semakin membuat gadis berponi tersebut makin terbawa arus mimpi. Pun karena itu situasi dan kondisi di luar san
JIKALAU peraturan ada untuk di langgar maka hukuman juga ada untuk di hindari, bukan? Terdengar ironi akan tetapi Jessica dengan senang dan sangat-sangat berlapang hati melakukannya. Persetan akan deretan jenis hukuman yang kepala sekolah siapkan untuk dirinya. Jessica akan melakukannya nanti apabila dia sudah dalam suasana dan kondisi yang tepat serta bagus, setidaknya tidak hari ini. Keinginan hati harus tetap di utamakan, bukan? Hei, ayolah! Hidup ini cuma sekali, oleh karena itu harus di nikmati semaksimal mungkin karena jika telah renta nantinya, jangankan kabur dari hukuman, berbuat masalah saja tidak bisa. Yah, karena apalagi kalau-kalau bukan terhambat tulang demi tulang nan telah keropos di makan usia? Atas dasar pemikiran demikianlah Jessica memilih melarikan diri dari panggilan menghadap ke ruangan kepala sekolah usai membuat gempar Bina Bangsa, untuk ke sekian kalinya tanpa pernah merasa bosan menjadi bintang utama atas segala kerusuhan. Toh, dunia masih bekerja sebagaimana
“JESSICA belum mau menurut?” merupakan pertanyaan Eleanor pada putra sulungnya setelah beberapa waktu sampai di sebuah butik ternama ibu kota.Jemari lentiknya memilah-milah pakaian-pakaian dengan harga setinggi langit tergantung rapi. Masih dibalut setelan kerja sekaligus curi-curi waktu di jam kerja, Eleanor tetap ingin turun tangan dalam mencari pakaian yang sekiranya cocok untuk putri bungsunya dalam acara pembukaan cabang anak perusahaan dengan Angello sebagai penanggung jawab. Tangan wanita tiga anak tersebut mengibas di udara guna memberi kode agar seseorang membawakan pilihan baju yang lain.Sembari menunggu, Eleanor menatap putranya yang duduk menyilang kaki di sofa. “Kamu nggak marahin dia, 'kan, Jello?”“I'm not,” jawabnya meragu. Laki-laki jangkung tersebut menggaruk sekilas dahinya dan memandang ibunya penuh putus asa. “Keinginan Sica tetap sama dan aku nggak bisa nurutin, Ma. Nggak bisa.”“Kita bisa, Jello.”“Dan biarin Mama harus makan hati tinggal sama tua bangka itu? E
NAPASNYA terengah-engah seiras dengan irama detak jantung yang berdentum gila-gilaan seolah mampu untuk melompat dari posisi. Kepala pemuda kelinci itu menengadah ke atas sesaat guna merenggangkan otot tengkuk sebelum meludah darah ke tanah. Pukul tujuh malam, kurang sedikit dan rembulan bersinar cukup terang malam ini untuk membantu Alvin membabat habis lima belas orang musuh yang menghadang di jalan. Tahu-tahu datang bagaikan jelangkung.Semua lawannya tumbang memang akan tetapi yang Alvin cemaskan adalah kemarahan Susandra. Bisa habis diceramahi dia kalau sampai ketahuan bertengkar lagi.Perkelahian bersama Jessica saja sudah mujur tidak diungkit-ungkit lagi mengingat posisi penting gadis itu di keluarganya dan Alvin terbebas dari hukuman. Tetapi malah harus berurusan dengan Gala yang marah karena Alvin tak membalas perasaan adiknya. Si pemuda jangkung menginjak kuat pundak Gala yang berada di bawah telapak kaki kemudian menyeringai sementara sang lawan mengerang minta ampun.“Bilan
APABILA di umpakan secara gamblang, transparan dan tepat sasaran. Barangkali kejengkelan nan sedang menggerogoti jantung sekaligus hatinya telah menyerupai gunung aktif yang siap memuntahkan lahar panas guna membumi hanguskan sekitarnya. Menghancurkan setiap sentinya. Melenyapkan setiap eksistensi yang terlihat. Begitu pendeskripsian isi hati seorang Alvin sekarang ini. Dia sangat amat muak menghadapi situasi yang sama berulang-ulang kali. Hingga rasanya si lelaki bisa melakukan apa saja untuk menyingkir masalah nan sedang mengganggu kesehariannya tersebut. Jujur saja, bukankah dia lahir tanpa setangki kesabaran melimpah? Hei, dia jelas-jelas bukan badan amal. Mana sudi ia bersikap sabar terhadap orang-orang yang bahkan tidak ingin bersikap sabar atas dirinya; egois memang, akan tetapi Alvin mana mau repot-repot peduli.Emosi yang kini menguasai dadanya benar-benar tidak terbendung lagi, jadi Alvin harus memprioritaskan hati dan batinnya. Ini tidak bisa di tunda-tunda lagi jikalau tida
KABAR kembalinya sang penguasa Bina Bangsa menyebar dengan cepat yang bahkan tidak genap satu hari setelah beritanya masuk menuju masing-masing ponsel warga sekolah. Termasuk adegan epik sang tuan putri dalam melancarkan aksi balas dendamnya begitu menginjakkan kaki di sekolah. Memang tidak ada bukti fisik seperti video atau pun foto, akan tetapi hal ini mutlak mengirim teror bagi siapa-siapa saja yang telah lancang mengusik tiga sahabat gadis penguasa tersebut. Selepas fakta mengenai Chika menjalar bagaikan tanaman rambat, informasi baru dari korban-korban yang Jessica gasak habis di hari yang sama mulai simpang siur terdengar. Bahwa pembalasan dendam Jessica bukanlah lelucon semata. Tiada satu pun dari mereka yang berani membayangkan akan sesuram apa hari esok. Akan setegang dan seberisik apa Bina Bangsa esok, namun yang pasti, Jessica telah mendeklarasikan peperangan dan takkan ada yang bisa kabur dari cengkeramannya.Yah, terserah dengan apa yang akan terjadi. Alvin tidak peduli.
APABILA bundaran oranye tersebut dapat berbicara, barangkali serangkaian kalimat makian sudah terlontar kepada manusia kelinci yang masih bebal melantunkan bola basket nan kusam itu menuju ring walau telah terpeleset berulang kali. Alvin tetap bersikukuh melanjutkan permainan seorang diri di markas kumuh ini. Tempat terakhir ia benar-benar bertemu Jessica. Tempat yang menjadi saksi bisu akan seberapa besar perasaannya untuk gadis nakal tersebut. Oleh sebab itu ujung-ujungnya Alvin melarang keras yang lain datang ke tempat ini. Alasannya karena takut kenangannya dengan Jessica pudar begitu saja. Jelas, awal-awalnya muncul pertentangan akan tetapi jikalau Alvin sudah berkehendak. Siapa yang berani menantang memangnya? Cari mati namanya.Yah, setidaknya sampai Jessica kembali.Iya, begitu.Namun, kapan gadisnya akan kembali?Apa setelah mereka lulus SMA?Ah, sial! Perasaannya semakin memburuk bahkan hanya dengan memikirkannya saja. Alvin tentu saja tidak tahu apa-apa. Dia ini merupakan o
PEMANDANGAN danau indah, secangkir kopi dan sepirinh roti panggang hangat. Perpaduan ini membuat Jessica merasa jauh lebih hidup di bandingkan yang sudah-sudah. Seolah ia baru saja menjadi manusia seutuhnya sekarang. Sebab sepanjang hidup, baru kali ia tidak bangun dengan beban berat pada pundak. Tidak ada lagi mimpi buruk yang mencekam. Tidak ada lagi sesak dalam dada. Tidak ada lagi pening yang menyerang kepala. Tubuhnya sungguh-sungguh terasa ringan hingga menjalani rutinitas santai begini membuat senyuman manis di bibir terbit dengan begitu cerah. Jessica menghembuskan napas pendek, mengeluarkan ponsel yang Bastian berikan padanya dan mulai memotret tiap sudut tempat nan ia rasa tampak cantik untuk di abadikan oleh kamera ponselnya.Jessica memang belum sepenuhnya terbiasa. Bahasa dan budaya mereka jelas berbeda dengan keseharian yang dulu biasa ia jalani. Jessica juga belum pernah tinggal begitu lama di negeri orang lain selain hanya singgah guna menemani sang kakek bekerja atau
DUA minggu. Empat minggu. Kemudian sudah genap satu bulan. Lambat laun bertambah hari demi hari. Tahu-tahu sudah lebih dari satu minggu lagi. Lalu bulan lagi. Begitu terus. Detik berganti menit. Menit berganti jam. Jam berganti hari. Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Tepat lima bulan kepergian Jessica dari hidupnya dan Alvin tidak pernah merasa kehilangan seperti ini sebelumnya. Alvin tidak pernah merasa hidupnya sehampa ini. Tidak pernah merasa jikalau hidupnya akan seberat ini tanpa kehadiran gadis barbar kesayangannya itu. Alvin tidak pernah mengira bahwa ketiadaan Jessica dalam poros dunianya benar-benar melumpuhkan nyaris seluruh engsel kehidupannya, dan membuat dia terus berlari dari getirnya fakta bila saat ini dia benar-benar di tinggalkan tanpa salam perpisahan.Jantungnya berdenyut ngilu.Alvin tidak pernah tahu bahwa merindukan seseorang bisa membuatnya gila seperti ini. Entah sudah berapa orang yang ia pukuli hari ini. Entah sudah berapa kayu yang ia patahkan ka
SEBUT saja dia gila. Bastian tidak keberatan. Sama sekali tidak masalah di maki demikian sebab orang waras mana yang dengan kesadaran penuh membawa kabur seorang cucu perempuan satu-satunya dari keluarga konglomerat Atriyadinata? Cuma dia. Secara teknik memang tidak dapat di sebut menculik akan tetapi tetap saja Bastian terlibat sebagai kaki tangan. Apabila sang kakek tahu, tanpa sempat menjelaskan maka namanya sudah terlebih dahulu terukir di batu nisan. Mengesankan. Bastian tidak belajar mati-matian dari dulu hanya untuk menghancurkan hidupnya di masa depan nanti. Tidak. Enak saja. Bastian belajar seperti kiamat akan datang esok hari karena ingin segera hidup mandiri dan terlepas dari sistem politik keluarga. Dia sudah muak harus mendengarkan sang ibu menjelek-jelekkan anggota keluarga lain. Masih baik dia tidak terkontaminasi, tidak seperti saudaranya yang lain.Kendati demikian, walau sudah membuat heboh keluarga, tampaknya si pelaku tidak terlihat merasa bersalah sedikit pun. Di
GELEGAK amarah. Urat saraf yang menonjol. Wajah memerah penuh resah. Ekspresi keruh terang-terangan menyatakan isi hati. Layar demi layar di depan mata nan menampilkan rekaman CCTV beberapa lokasi tidak berhasil membuatnya puas. Demian makin murka. Dalam satu kali gerakan, dia menghempas kasar benda-benda berteknologi canggih tersebut. "KALIAN SEMUA TIDAK BECUS! UANG YANG SAYA KELUARKAN SELAMA INI UNTUK KALIAN TERNYATA SIA-SIA! SAYA INGIN CUCU SAYA DI TEMUKAN TAPI KALIAN SEMUA TIDAK MAMPU MELAKUKAN ITU! APANYA YANG SULIT MENCARI SEORANG ANAK PEREMPUAN YANG MASIH SMA?! KELUAR KALIAN DARI RUMAH SAYA! DASAR TIKUS-TIKUS KOTOR! JANGAN PIKIR UNTUK KEMBALI MENGINJAKKAN KAKI DI SINI SEBELUM CUCU SAYA DI TEMUKAN ATAU KALIAN AKAN TAU APA AKIBAT GAGAL MENJALANKAN TUGAS DARI SEORANG DEMIAN! CAMKAN ITU!"Satu minggu berlalu sejak menghilangnya Jessica. Entah sesakit apa hati anak malang tersebut sampai-sampai memilih untuk pergi. Demian gagal menjadi rumah bagi cucunya. Demian gagal menjadi zona a
JESSICA benar-benar lenyap begitu saja. Bagaikan di telan bumi dan terdampai di dunia antah berantah. Tidak dapat terdeteksi. Tidak dapat di telusuri. Tidak dapat di temukan. Kabar menghilangnya cucu bungsu dari keluarga konglomerat Atriyadinata memang tidak di beritakan pada surat kabar, berita di TV atau pun pada seluruh platform media sosial. Namun satu hal pasti, ketidakhadiran puan tersebut secara mendadak jelas-jelas menggemparkan seisi sekolah. Entah itu murid-muridnya, guru berserta staff dan sekaligus pedagang di kantin. Ketiadaan eksistensi Jessica sungguh-sungguh menjadi topik hangat bahkan usai genap seminggu sang penguasa sekolah tersebut menghilang tanpa kabar. Beberapa dari mereka berusaha menggali informasi dari sumber pasti, tentu itu adalah tiga sahabat sang topik utama Bina Bangsa, akan tetapi seperti yang telah di terka-terka, mereka sempurna dalam kebungkaman. Lebih tepatnya mereka sama sekali tidak tahu-menahu mengenai keberadaan Jessica sekarang. Hembusan na
ORANG-ORANG dulu berkata bahwa rumah adalah tempat paling aman, nyaman dan tepat untuk beristirahat dari berisiknya hiruk-pikuk dunia. Kehangatannya akan mampu meluruhkan segala penat dan lelah tanpa pamrih. Di semua buku, selebaran, iklan atau penjelasan literatur pun mengatakan hal serupa. Rumah adalah tempat kau untuk pulang. Setidaknya itu yang mereka ingin bagikan ke seluruh umat manusia. Tapi sialnya, tidak semua dari mereka memaparkan lebih detail mengenai rumah macam apa yang baik guna menyambut rusaknya jiwa akan permainan benang takdir. Atas segala ujian alam bagi tiap-tiap mereka yang bernapas. Mereka lupa menambah satu paragraf kenyataan bahwa tidak semua rumah itu terasa seperti pulang. Kadang kala justru mirip seperti neraka. Memang tidak panas, namun gelegak amarah yang terus-menerus mendidih, lontaran makian, teriakan melengking, barang demi barang melayang, tuduh menuduh dan sejenisnya. Mana mungkin tempat yang terasa seperti arena peperangan tersebut cocok di katakan