Share

BAB 11 : Toko Bunga

BISA BANGSA akan selalu dan wajib gempar dengan segala macam ulah yang Jessica lakukan. Termasuk salah satu korbannya yang nyaris patah tulang kalau-kalau Chelsie tidak datang menenangkan si gadis siang ini. Tengah ramai diperbincangkan di twitter pada Bina Bangsa base  dan ribuan komentar pun agaknya terisi penuh. Mempertanyakan alasan gadis berponi tersebut mengamuk demikian?

Jenna geleng-geleng kepala melihat isi komentarnya, terlalu banyak orang sinting berkedok 'baik hati' dan malah memaki secara online begini. Ck! Inilah salah satu alasan mengapa Jenna lebih menyukai Jessica yang blak-blakan. Sahabatnya yang satu itu tipe-tipe orang yang berterus terang, ogah menye-menye apalagi berbasa-basi kalau tidak diperlukan. Sekali terusik, yaa, langsung dihantam. Meskipun tahu benar bahwa kekerasan tidak dapat dibenarkan dalam bentuk apapun, tetapi Jessica mana peduli peraturan konyol, katanya itu.

Kini si gadis berponi sibuk menelan es krimnya, terhitung sudah kotak ke ketiga yang ditandaskan dan Jessica belum mau berhenti mengunyah. Chelsie mengembuskan napas pendek, mengusap-usap pundak sempit sang sahabat dan membiarkan gadis itu melepas emosinya dengan cara ini daripada harus mematahkan tangan seseorang. Err! Mengerikan!

“Sekalipun gue nggak pernah bawa-bawa masalah keluarga orang setiap berantem. Yang salahkan dia jadi yang harus dibantai dia bukan family backgroundnya.” Jessica menyendok kasar es krim rasa stoberi ke mulut, memukul telapak tangan Rosa yang ingin satu sendok dan bergerak mundur menjauh guna menyelamatkan es krimnya. Rosa mendelik, Jessica melotot sebelum melanjutkan. “Orang-orang kehabisan bahan gosip apa gimana, sih? Keluarga orang mulu yang dibahas. Setan emang!”

Rosa mengibaskan tangan kemudian meniupi kuku-kukunya yang dicat putih serta dihiasi oleh bunga-bunga. “Biasalah. Orang bego kehabisan cara buat menang pasti bahas-bahas masalah sensitif kayak gitu. Nggak classy, ew!” komentarnya.

“Lo trending lagi base sekolah,” timpal Jenna dan mengambil tempat di sebelah Chelsie. Tampaknya makan es krim di bawah tudung food court outdoor panas-panas begini memang menggiurkan. Jenna lantas mengambil satu sendok milik Jessica kemudian menyambung, “Jangan coba-coba lo ngeburu orang yang ngomen negatif,” peringat si gadis kucing.

Jessica mendecih, “Iya-iya, kalau inget.”

“Sica?”

“Iya, Esie. Enggak lagi. Enggak.” Jessica buru-buru meyakinkan kala Chelsie memanggil namanya penuh peringatan. Sangat-sangat tidak mengenakan lagi kalau harus mendengar berbagai macam petuah sang sahabat sementara kondisi hatinya memburuk begini. Tidak, deh! Jessica masih ingin mengakhiri hari dengan gelak tawa, sekurang-kurangnya senyuman.

Gadis tersebut melirik layar ponselnya yang menyala. Tertera alarm kalender pada tanggal 28 Juli. Senyuman Jessica lantas tersungging manis sebelum mematikan gawai dan meletakkan sendok. Akhirnya hari ini datang juga. Mari buang jauh-jauh mengenai hari buruknya yang membuat si Poni nyaris melupakan hari penting begini. Jessica segera bangkit, meraih almamaternya dan menatap ketiga sahabatnya bergantian.

“Hari ini, Jes?” tanya Jenna sembari melihat tanggal pada gawai.

Rosa manggut-manggut di kursi. “Hati-hati di jalan. Jangan ngebut-ngebut lo.”

“Kalau ketemu anak geng lagi jangan lo ajakin berantem. Hari ini 'kan hari spesial jadi cuti dulu sehari dari baku hantam. Ngerti?” titah Chelsie serius.

Jessica berpose hormat dan nyengir, “Siap, Ibu Ratu. Ananda pergi dulu. Doakan pulang selamat,” katanya geli dan bergerak menjauh dari sana seraya melambaikan tangan. “Gue entar ke rumah lo, Nady. Buatin kue, please. Gue maksa.”

“Heh! Gue bukan babu loㅡ”

“Cat pesanan lo gue yang bayar. Deal?”

Jenna segera mengirimkan love sign lewat jarinya seiring senyuman lebar terpatri di wajah. “Akan saya lakukan dengan sepenuh hati, Yang Mulia. Pulanglah dengan selamat dari peperangan.”

“Matre lo!” hina Rosa.

Jenna mengibaskan rambutnya. “Manusiawi, anjing! Diam kau, bangsat!”

Kedua gadis itu sibuk berdebat sementara Chelsie memperhatikan punggung Jessica yang semakin mengecil dari pandangan. Helaan napasnya mengudara berat. Diusap pelan keningnya dengan gerakan lambat sembari memejamkan mata sejenak.

“Udah masuk tiga tahun, ya?”

Dua gadis lainnya sontak berhenti saling memaki dan memandang Chelsie yang tampak gusar di posisi. Chelsie mengulas senyum simpul, menyendok es krim ke mulutnya dan menambahkan lugas serta berat. “Dia masih rutin dateng ke sana, ya. Gue … gue jadi khawatir kalau Sica terus-terusan gini.”

“Sie, Sica juga lebih tenang dengan cara kayak gitu. Rasa bersalahnya pelan-pelan hilang, kalau dilarang nanti dianya makin nggak ke kontrol. Tau sendiri, emosinya itu susah surut,” tukas Jenna, sama cemasnya. “Mungkin dengan cara ini dia ngerasa lebih baik. Kita cuma perlu ngedukung, 'kan?”

“Iya, gue tau. Gue cuma khawatir doang dia nggak mau keluar dari masa lalunya lalau terus-terusan gini. Gimanapun juga dia harus tetap ngelanjutin hidup sebagai mestinya, Nady, Audy. Gue cuma khawatir Jessica nutup hati buat selama-lamanya.”

Mendengarnya Rosa lantas memberikan gelengan. “Buat saat ini mungkin iya tapi gue punya firasat kalau dia tanpa sadar mulai ngelepas beban di hatinya, Sie. Nady bener, kita cuma perlu ngedukung dan nunggu.” Menyeruput minuman soda kalengnya, gadis chipmunk itu menambahkan lugas. “Nunggu dia nerima sosok baru dalam hidupnya.”

***

Sepanjang perjalanan Jessica harus mendapatkan perhargaan kecil lantaran tidak memaki jalanan yang syukurnya tidak macet sehingga mempercepat dirinya sampai ke tujuan. Usai memarkirkan mobilnya di sisi jalan, gadis berponi tersebut segera keluar dan memasuki sebuah toko bunga bernama Maria's Flower. Lantaran berada di pusat kota dan memiliki suasana cerah dan hangat, toko bunga tersebut cukup terkenal apalagi bunga-bunga di sana benar-benar harum dan sangat terawat.

“Jessica? Astaga! Akhirnya kamu dateng lagi.”

Jessica memberikan cengiran manisnya yang jarang sekali ditunjukkan. Gadis tersebut berlari kecil menuju wanita paruh baya di belakang etalase toko dan berhamburan memeluknya. “Biasa, sibuk sekolah, Tante.”

Maria memicingkan matanya; setengah curiga menyorot si gadis. “Nggak bolos?”

“Enggak, dong.” Jessica melipat bibir kemudian meringis seraya menggaruk belakang lehernya. “Khusus hari ini iya, hehehe.”

Wanita tersebut mengelus rambut panjang Jessica lembut dan tersenyum hangat sebelum mengambil satu bucket bunga matahari di atas meja lalu menyodorkannya pada lawan bicara. “Nih. Udah Tante siapin dari tadi pagi. Harum dan bunga baru.”

Jessica semakin melebarkan senyumannya sampai-sampai maniknya menyipit lucu bak anak kecil. “Makasih, Tante. Tau aja aku mau ngambil bunga.”

Seraya memotong tangkai bunga Maria melirik Jessica sekilas dan melanjutkan pekerjaanya lagi. “Tante ini udah kenal kamu dari SMP. Pas kamu tau Tante punya toko bunga, kamu pasti mesen bunga matahari di tanggal yang sama terus. Udah empat tahun nggak mungkin Tante lupa gitu aja.”

Jessica tersenyum malu. Entah bagaimana mulanya, ia bertemu Maria saat bolos dari sekolah. Wanita itu memergokinya melompat turun dari tembok belakang sekolah. Alih-alih menasehatinya sebagaimana kebanyakan orang-orang yang Jessica temui, Maria malah mengajaknya pergi makan ke sebuah kedai. Katanya sedang butuh teman makan dan mengobrol. Jessica tidak menolak. Lumayan, tumpangan dan makanan gratis. Pun tidak menyangka kalau hubungan mereka akan bertahan seawet ini hanya dari pertemuan tidak disengaja.

Yeah, takdir terkadang memang seaneh dan seunik itu.

Seolah-olah semesta mengirim Maria yang hangat untuknya sebagai figur ibu.

Jessica mendekap buket bunganya cukup erat, menghirup aroma harum dari sana dan kembali tersenyum. “Aku bersyukur banget bisa ketemu, Tante. Diajarin nanem bunga matahari, ditemenin ini-itu. Makasih banget ya, Tante.”

Mendengar penuturan gadis manis tersebut membuat Maria tersenyum lebih hangat. Diusapnya lembut pipi chubby Jessica dan mengangguk kecil. “Tante juga bersyukur ketemu kamu, Sica. Makasih juga udah nemenin Tante yang banyak omong ini.”

“Enak tau ngobrol bareng Tante. Topiknya random aja bisa seasik itu kalau kita ngobrol,” sahut Jessica, mengibaskan tangan kemudian. “Yaudah, aku pamit dulu, ya. Keburu sore entar.”

Maria lagi-lagi mengangguk dan melambaikan tangannya. “Hati-hati, Sayang. Tante titip salam, ya.”

“Siap. Semoga tokonya rame, Tante. Daaaah! Sayang, deh. Hahaha!”

Maria terkekeh geli melihat tingkah menggemaskan Jessica yang mirip seperti anak yang ia temui empat tahun lalu. Pipinya masih hangat dan sechubby itu untuk ia cubit. Ia geleng-geleng kepala saat menemukan Jessica melambaikan tangan dari dalam mobil sebelum pergi dari sana.

Maria menghela napas pendek, “Senyumannya masih semanis itu, ya,” gumamnya penuh makna.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status