ALUNAN melodi dari lagu one last time yang dipopulerkan oleh Ariana Grande menjadi latar suara. Mengisi kekosongan senyap dalam mobil sementara mesin terus melaju mengikuti rute jalan. Jalanan yang tak pernah sepi, jalajan yang tak pernah lengang, jalanan yang tak pernah ditinggalkan. Barangkali jalan ini menjadi penghubung dari rumah ke tempat-tempat tujuan para penduduk. Bisa jadi untuk bekerja, melanjutkan pendidikan atau sekedar jalan-jalan semata. Intinya, jalan raya tidak pernah kehilangan pelanggan.
Untuk setiap sekon yang harus rela terbuang dalam antrian menuju tempat ternyaman mereka. Jessica enggan menyebut rumahnya sebagai tempat berpulang. Yeah, definisi rumah itu memangnya apa? Hanya sebatas batu bata yang disatukan dengan semen mengikuti desain yang diinginkan lalu ditinggalkan tanpa tersapa lagi? Begitu? Bagi Jessica sih begitu adanya.
Kosong dan rapuh meski terlihat kokoh.
Tatkala berhasil mencapai rumah tepat pukul lima sore Jessica memandang malas pada mobil putih di teras. Manik bulatnya berotasi jengah dan langkahnya masuk ke dalam seolah tengah diseret. Gadis berwajah boneka tersebut enggan mengakui bahwa ada presensi lain di ruang tamu ketika si empu memasuki rumah.
“Jessica, kemari. Papa ingin bicara.”
Jessica berdecak pelan dan tetap berjalan melewati ruang tamu. “Sibuk. Nggak ada waktu buat ngomong sama orang yang lebih sibuk.”
Albert menghela napas berat, menurunkan posisi koran dari hadapan dan menatap si bungsu lekat-lekat; seolah tak ingin dibantah bagaimana pun juga. “Jessica, duduk di sini. Papa mau bicara.”
Gadis bermata bulat tersebut mengerang tertahan, menghentikan derap kaki dan menatap nyalang pada sang kepala keluarga. “Didn't you hear me?! I have no time to talk to you. I'm bussyㅡi mean, yeaah, i don't wanna see you anymore!” seru Jessica jengah. “Papa ngapain pulang, sih?! Bikin emosi aja!” tambahnya tanpa berniat bersikap sopan sedikitpun.
“Kamu bikin ulah apalagi di sekolah?” tembak Albert seraya melepaskan kacamata bacanya.
Sang lawan bicara terkekeh sumbang. “Ouh, ternyata masih peduli. Kirain udah lupa masih punya anak di sini. Haha, lucu Papa tuh kadang-kadang.”
Pria tersebut menyorot sukar di mengerti pada putrinya, kepalanya menggeleng pelan. “Begitu cara kamu bicara dengan orang tua, Sica?”
“I'm done. Aku nggak punya waktu buat ngeladenin Papa yang syukurlah masih tau jalan pulang,” balas Jessica tak acuh sembari menaiki tangga. Raganya terpoles tenang sementara batinnya memberontak bersama gemuruh amarah yang siap meledak kapan saja.
Albert berdiri menatap tak percaya pada punggung mungil putrinya. “Papa pulang nyempatin waktu buat kamu, Jessica! Buat nanyain keadaan kamu, buat nanya kenapa kamu bercanda kelewatan begitu di sekolah. Papa dapet laporan ini dan itu dari kepala sekolah atas semua ulah kamu. Kamu nggak ngehargain usaha Papa, Jessica?!” teriaknya lantang.
Jessica membanting almamaternya kasar ke lantai sebelum berbalik dan menyorot berang sang ayah. “Kalau gitu enggak usah repot-repot peduliin aku! Nggak usah akting kalau Papa peduli sama aku kalau cuma sebatas formalitas! Sica nggak peduli sama apa yang Papa lakuin dan Sica harap Papa juga gitu!” balasnya berteriak. Si gadis menyugar kasar rambutnya. “Aku udah bilang, aku nggak mau ketemu Papa lagi. Mau ngebahas apapun, Sica capek kalau ketemu Papa berantem terus! Sica capek!”
“Karena kamu yang nggak pernah mau dengerin Papa!”
“PAPA DULU JUGA NGGAK PERNAH MAU DENGERIN SICA!” pekiknya histeris. Napasnya memburu hebat seiring wajahnya yang memerah menahan gelegak amarah di bawah kulit. Tangannya terkepal kuat-kuat di sisi tubuh sehingga buku-buku jarinya memutih sempurna. Irisnya berkilat marah sebelum berkata tidak habis pikir, “Dulu Papa yang nggak mau dengerin aku, Papa selalu sibuk dan cuma bilang nanti-nanti-nanti! Karena udah terlanjur selama bertahun-tahun, yaudah! Lanjutin aja sampai akhir! Kita cuma berbagi tempat di kartu keluarga dan baik dulu ataupun sekarang Papa nggak berhak ngatur-ngatur hidupku! APAPUN ITU! YOU ARE NOT MY FATHER ANYMORE! LISTEN THAT!
Jessica tahu perkataannya keterlaluan, kelewat batas dan sangat kurang ajar sehingga Albert terperangah di tempatnya; syok berat. Akan tetapi emosinya terlalu membumbung tinggi, denyaran pahit serta perih bercampur dalam waktu singkat dan Jessica menolak peduli terhadap perasaan sang ayah karena beliau yang terlebih dahulu memulai. Si gadis melepas kasar seragamnya sampai-sampai setiap kancing baju tanggal dari kemeja putihnya. Persetan dengan semua itu!
Usai mengganti pakaiannya dan menyambar jaket kulit hitam miliknya. Gadis serupa boneka tersebut keluar dari kamarnya yang berhawa dingin setelah menyambar kunci motor ketika selesai menelepon seseorang. “Taruhan motor gue. Gue turun ke arena malem ini.”
Si gadis menuruni tangga dengan gesit, mengabaikan panggilan Albert yang bertanya bahkan memintanya untuk tinggal hanya untuk dia balas. “Kita orang asing! Stop acting like you care about me! That's gross!”
Tanpa menunggu apapun lagi motornya resmi membelah jalanan dengan kecepatan tinggi. Balas menyumpah serapahi orang-orang yang terganggu atas kelajuan motor hitamnya yang baru Jessica beli bulan lalu. Amarah benar-benar menguasai raga sehingga menikung truk yang baru saja melintas dengan taruhan nyawa seolah tak begitu berarti bagi gadis berponi tersebut. Jessica makin menggasak habis lalu lintas sembari berteriak mengumpat sepanjang jalanan.
Sekitar pukul setengah tujuh gadis tersebut sampai pada sebuah arena balap liar di balik bukit. Sengaja di lakukan di tempat terpencil guna menghindari keramaian apalagi memancing kecurigaan. Jarak yang ditempuh cukup memakan waktu, kurang lebih dua jam perjalan biasa dan Jessica hanya menempuhnya selama satu jam karena ugal-ugalan.
Jessica sukses menarik perhatian banyak orang, ia turun dari motor dan menghampiri Deon sebagai kepala dalam organisasi ilegal ini. “Nama gue udah lo masukin?” tanya tanpa tedeng aling-aling.
Deon mengangguk kaku dan terkekeh berikutnya. “Udah, Bu Bos. Santai, rileks. Tegang amat muka lo.”
“Muka lo juga bisa gue bikin tegang. Mau?!”
“Ampun, bercanda doang, Jes.” Deon meringis, suasana hati gadis sangar tersebut berada di persentase nol ternyata. “Lo minta waktunya dicepetin 'kan? Satu jam dari sekarang.”
“Sekarang juga!” tandas gadis tersebut sembari mendekati motornya.
Pemuda itu melotot besar, tentu mendengar hal yang tak masuk akal. “Jes, gila lo. Lo mau gue dilindes mereka? Biasanya juga kita mulai sekitar jam 10-an.”
“Gue ada urusanㅡoh! Atau lo mau gue lindes sekarang juga? Lo mau gue bantu tiduran di sana atau perlu gue bonyokin dulu?” sahut Jessica dingin dengan senyuman menyeringai layaknya psikopat.
Meskipun memiliki wajah manis nan menggemaskan bahkan sangat-sangat tidak nyata lantaran dianugerahi paras seperti boneka. Nama Jessica terkenal di kalangan bawahㅡpara penduduk yang bekerja penuh dengan keilegalanㅡatas sumbu emosinya yang pendek dan menggasak habis seluruh lawannya tanpa ampun sebagai bentuk kesetaraan gender. Kekuatannya betul-betul tidak bisa dianggap remeh, mereka tahu itu. Jessica sama saja dengan iblis di balik wajah malaikat tersebut. Tidak pernah memberi ampun dan selalu sesuka hatinya sendiri.
Deon meringis, menarik napas dan mengangguk patah-patah. “Oke, sekarang juga. Uangnyaㅡ”
“Tadi udah gue tf lima juta ke rekening lo. Liat dulu sebelum ngomong, bangsat! Mulut lo lama-lama gue robek mau, Yon?!” sambar Jessica sinis dan langsung menaiki motornya kembali kemudian melaju pelan menuju garis awal sementara Deon mengecek kebenaran dari si gadis.
Sesuai yang diinginkan Jessica, balapan kali ini diadakan lebih awal. Semua peserta yang telah meletakkan taruhan berkumpul di belakang garis awal sementara para penonton memenuhi sisi jalanan. Jessica berdecak sebal mendengar riuhnya suara di sana, gendang telinganya mendadak berdenging ngilu lantaran pekikan perempuan-perempuan kekurangan bahan baju di sekitar sirkuit.
Ck! Menjengkelkan! Menyebalkan!
“Jessica, lo yakin bakalan menang? Taruhannya motor lo, lho. Motor terbaru dari merk ternama. Yakin?” celetuk Benny setengah mengejek sembari menatap penuh minta pada motor Jessica. “Rugi banyak lo.”
Jessica menaikkan kaca helmnya dan menatap merendahkan sekaligus menghina pada sang lawan. “Motor murahan ini maksud lo? Gue bosen makenya makanya dijadiin taruhan. Menang dan kalah nggak ada artinya bagi gue. Sama kayak lo dan motor ini,” Jessica tersenyum sinis, “Nggak ada harga, ups!”
“Cewek sialan!”
“Makasih pujiannya, bastard!”
Deon berdiri di tengah-tengah bersama kain putih di tangan. Sang wasit menatap semua peserta lamat-lamat sebelum menunjukkan peluit di tangan. “Bersiap. Sedia? MULAI!”
Satu sekon yang sama barisan motor besar tersebut melaju kencang meninggalkan garis awal. Saling memacu satu sama lain tanpa mau mengalah. Mereka terus-menerus menekan pedal gas demi menyalip lawan-lawan dan Jessica terbahak-bahak sinting di motornya. Memaki-maki para lawannya yang tidak ada tandingan bahkan masih sempat-sempatnya menunjukkan jari tengah menuju Benny yang berada di belakang dengan dua motor lainnya sebagai jarak.
Satu menit kemudian para penonton di buat heran dengan satu motor yang baru saja melewati garis awal. Melaju gila-gilaan melewati para lawannya yang lain. Bahkan dengan sebelah tangan sang pengendara mampu menyabotase urutan pemain.
Dia berhenti mempercepat mesin ketika sampai di sebelah Jessica. Kaca helmnya di buka gesit dan menunjukkan cengiran. “Hai, sayang? Do you miss me?” teriak Alvin.
Jessica melebarkan mata. “Sial! Sial! Sial! Gue matiin lo malam ini juga!”
Jessica menutup kaca helmnya dan memutar gas secepat yang ia mau. Sementara Alvin terus-menerus mengganggu konsentrasi. “Baby, hati-hati. Kalau lo mati, gue sama siapa, bajing? Gue cuma mau hidup semati sama lo!” seru menggoda.
“SHUT UP YOUR FUCKING MOUTH, SHITTY MAN!”
Lima belas menit kemudian Jessica berhasil memenangkan pertandingan namun alih-alih puas dan berbangga diri. Gadis boneka tersebut memiringkan motornya guna dibanting kuat ke tanah sebelum menghampiri Alvin yang berhenti tak jauh dari sana. Tidak perlu basa-basi lagi bagi Jessica untuk memanjangkan kaki guna menendang kepala pemuda itu namun dengan mudahnya ditangkis, seperti biasa.
“Arrgh! Anjing lo!”
Alvin cukup pantas untuk mati! Sungguh! Kalimat tersebut terus digumamkan Jessica dalam kepala. Puluhan kali. Ratusan kali. Ribuan kali. Alvin pantas untuk menjadi samsaknya malam ini.
“Mati lo, sialan!” katanya memaki sembari melemparkan kepalan tangan dan mengabaikan banyaknya pasang mata yang menonton mereka.
Pasangan tak akur Joker dan Harley Quinn versi dunia nyata atau disebut duo sinting pemecah rangking dalam list petarung terkuat sepanjang sejarah kalangan bawah. Dan Jessica pemecah rekor sebagai satu-satunya perempuan yang berhasil masuk dalam list rangking.
Alvin terkekeh-kekeh geli dan menangkap kepalan tangan si gadis. “Sayang~ Kenapa marah-marah, hm? Kangen gue tinggal pergi tadi siang? I'm sorry, i'm bussy, you know that!”
“Talk with my hand, satan!”
Gadis berponi tersebut mengeluarkan serangan demi serangan secara stabil dan seakurat yang ia mampu namun Alvin terlalu cerdik untuk menghindari setiap serangan gadis manis itu. Detik berikutnya Alvin mencengkeram kuat kedua pergelangan tangan Jessica dan menarik tubuh gadis itu sehingga jarak mereka terlalu tipis untuk disebut jarak.
Alvin menyeringai. Ia selalu suka bagaimana cara mata Jessica berkilat-kilat penuh emosi padanya. “Lo … tau nggak sih kalau lo mudah di baca?”
“Omong kosong! Lepas!”
“Jes, gue udah bilang 'kan. Lo cantik gimanapun keadaannya dan alam semesta kayaknya ngedukung pernyataan gue itu karena … ” Alvin menggantungkan kalimatnya sebelum melanjutkan dengan senyum miring. “cahaya remang-remang malam ini pun malah bikin lo makin cantik, sialan. Paham nggak lo?”
Jessica meludah ke wajah pemuda kelinci tersebut dan menyeringai dingin. “Kalau gitu nikmatin wajah cantik gue ini, berengsek!” balasnya sebelum menaikkan kaki ke pundak Alvin dan memutar tubuh sang lawan untuk jatuh ke tanah. Semua orang menahan napas, terlalu riskan untuk dipisahkan dan terlalu sayang untuk ditinggal hanya karena kengerian membalut suasana.
“Mati lo, sialan!”
“And then, i saw you crying ugly at my grave everyday and everynight. Oouh, i can't see you be sad, Lover.”
Jessica berdecih, “Mati lo, hehe.”
BUGH! BUGH!
BUGH!
BUGH! BUGH!
BUGH!
MALAMapa pernah senyap meski batas waktu beraktifitas telah seharusnya berhenti tatkala mentari menyampaikan salam perpisahan, hilang di ufuk barat dan berjanji akan datang keesokan harinya?Jessica rasa tidak. Meskipun jam telah berdentang-dentang menunjukkan eksistensi pukul malam. Orang-orang barangkali enggan untuk berhenti hanya karena masalah waktu. Selalu ada kegiatan dadakan yang wajib untuk dituntaskan sebelum mimpi membuai raga saat terlelap.Yeaah,contohnya ada pada dirinya sendiri malam ini. Ah, sial! Padahal Jessica berjanji akan pulang ke rumah Jenna setelah berziarah akan tetapiㅡah, sudahlah! Malas membahas yang sudah berlalu, toh, bukan hal yang patut dikenang dan dibanggakan.Yang membuatnya lebih jengkel lagi malam ini adalah Alvin. Siluman kelinci yang muncul di ar
DUNIAJessica selalu terguncang. Selalu diguyur badai, petir berkepanjangan dan angin kencang yang tak pernah mau berdamai. Seolah memporak-porandakan hidup gadis manis tersebut merupakan hal yang sangat menyenangkan dilakukan oleh alam semesta. Ketenangan selalu sukar didapati pada Jessica yang juga akhirnya ikut membalas. Membuat hidupnya lebih berisik daripada apapun. Membuat dirinya lebih sibuk dibandingkan siapapun.Dengan cara menghancurkan sekitarnya.Angkasa biru lebih cerah dibandingkan biasanya, matahari juga membumbung tinggi di atas kepala guna membagi cahayanya sama rata ke seluruh penjuru bagian bumi. Pukul sepuluh pagi dan Bina Bangsa kira keadaan sekolah akan baik-baik saja tanpa keributan berarti. Namun Jessica enggan mewujudkannya. Gadis serupa boneka tersebut berdiri tegak di tengah-te
HEMBUSANangin tertiup cukup lembut dari jendela bersama cahaya yang menembus masuk namun hangatnya mentari enggan untuk menyatu di ruang UKS tersebut. Terlelapnya Jessica pada ranjang tepat di bawah jendela adalah sebuah tanda bahwa keadaan terbilang stabil di luar sana. Manik bulat tersebut terkatup rapat dengan memar di tulang pipi, sepasang telapak tangannya dihias oleh perban, plester berkarakter pun tak mau ikut ketinggalan guna menjadi aksesoris baru di wajah si gadis.Jessica betulan babak belur dalam pertandingan pagi ini.Usai Alvin membuat si gadis pingsan sebagai satu-satunya cara agar Jessica berhenti melepas tantrum, pemuda kelinci tersebut langsung membawa Jessica dalam gendongan menuju ruang kesehatan dan ketiga sahabat si empu yang mengejar dari belakang. Alvin masih tetap di sana memper
DUNIAmasih bekerja sebagaimana mestinya saat Jessica kabur dari panggilan menghadap keruangan kepala sekolah usai membuat gempar Bina Bangsaㅡuntuk ke sekian kalinya tanpa bosan menjadi pelaku utama. Betulan seperti pelaku buronan kala namanya dikumandangkan di seluruhspeakeryang ada di sekolah. Gadis berponi tersebut meloloskan gelak tawa mengejek guru-gurunya sebelum meninggalkan area Bina Bangsa dan pergi menuju Alexander. Jaraknya cukup jauh jika ditambah waktu kemacetan parah lalu lintas.Omong-omong soal sekolah tetangga yang satu itu di mana para sepupunya bersekolah di sana. Alexander merupakan sekolah swasta yang dalam perangkingan poin tahunan berada di bawah Bina Bangsa. Baik di bidang akademik maupun non keduanya berpacu gesit menjadi yang terbaik. Dan acapkali Bina Bangsa yang keluar sebagai pemenang akhir. Ditambah orang-ora
“JESSICAbelum mau menurut?” merupakan pertanyaan Eleanor pada putra sulungnya setelah beberapa waktu sampai di sebuah butik ternama ibu kota.Jemari lentiknya memilah-milah pakaian-pakaian dengan harga setinggi langit tergantung rapi. Masih dibalut setelan kerja sekaligus curi-curi waktu di jam kerja, Eleanor tetap ingin turun tangan dalam mencari pakaian yang sekiranya cocok untuk putri bungsunya dalam acara pembukaan cabang anak perusahaan dengan Angello sebagai penanggung jawab. Tangan wanita tiga anak tersebut mengibas di udara guna memberi kode agar seseorang membawakan pilihan baju yang lain.Sembari menunggu, Eleanor menatap putranya yang duduk menyilang kaki di sofa. “Kamu nggak marahin dia, 'kan, Jello?”“
NAPASNYAterengah-engah seiras dengan irama detak jantung yang berdentum gila-gilaan seolah mampu untuk melompat dari posisi. Kepala pemuda kelinci itu menengadah ke atas sesaat guna merenggangkan otot tengkuk sebelum meludah darah ke tanah. Pukul tujuh malam, kurang sedikit dan rembulan bersinar cukup terang malam ini untuk membantu Alvin membabat habis lima belas orang musuh yang menghadang di jalan. Tahu-tahu datang bagaikan jelangkung.Semua lawannya tumbang memang akan tetapi yang Alvin cemaskan adalah kemarahan Susandra. Bisa habis diceramahi dia kalau sampai ketahuan bertengkar lagi.Perkelahian bersama Jessica saja sudah mujur tidak diungkit-ungkit lagi mengingat posisi penting gadis itu di keluarganya dan Alvin terbebas dari hukuman. Tetapi malah harus berurusan dengan Gala yang marah karena Alv
DUAtahun lalu lebih-kurang.Pendaftaran calon siswa baru di Bina Bangsa telah dibuka secaraonline. Bagi PPDB yang ingin mendaftar sudah bisa melengkapi data dan mengunggah berkas-berkas yang tertera padawebsite.Seleksi awal masuknya saja cukup kapabel sekali mengurangi nyaris setengah para pendaftaran saking ketatnya. Jujur, Alvin masuk ke sana karena Susandra bilang akreditasi serta citra Bina Bangsa sudah tersohor di mana-mana. Sekolah swasta terbaik Indonesia. Bila Ibunda sudah bertitah demikian maka Alvin tentu akan melenceng dari jalur yang berbeda dengan teman-temannya yang memilih masuk SMK.Tahapan-tahapan dilalui dan setiap detiknya Alvin tidak pernah merasaㅡyeaah,bersemangat. Pemuda kelinci tersebut mudah bosan. Dia tidak suka hal-hal yang mon
SEPASANGmata bulat tersebut terpejam erat, napasnya mulai tidak teratur bersama kepalan tangannya yang bertengger di sisi pinggang rampingnya. Boleh tidak sih Jessica meruntuhkan Bina Bangsa sekarang alih-alih melenyapkan Alvin seorang saja? Ya Tuhan! Jessica tidak mengerti lagi bagaimana makhluk sejenis Alvin masih bisa hidup tenang setelah menghias mejanya dengan ratusan jenis bunga. Harumnya menyeruak ke seluruh penjuru kelas dan Jessica tidak bisa untuk tidak emosi sekarang.“Bangsat!” gumamnya pelan, penuh penekanan dengankiller mode on.Rosa terbahak-bahak mengejeknya dan bahkan berfoto ria di meja si Poni sementara sang tuan tengah menahan amarah. “Diasweetjuga ya, Sica? Gue jadi lo baper, deh.”