Share

BAB 13 : Arena Balap

ALUNAN melodi dari lagu one last time yang dipopulerkan oleh Ariana Grande menjadi latar suara. Mengisi kekosongan senyap dalam mobil sementara mesin terus melaju mengikuti rute jalan. Jalanan yang tak pernah sepi, jalajan yang tak pernah lengang, jalanan yang tak pernah ditinggalkan. Barangkali jalan ini menjadi penghubung dari rumah ke tempat-tempat tujuan para penduduk. Bisa jadi untuk bekerja, melanjutkan pendidikan atau sekedar jalan-jalan semata. Intinya, jalan raya tidak pernah kehilangan pelanggan.

Untuk setiap sekon yang harus rela terbuang dalam antrian menuju tempat ternyaman mereka. Jessica enggan menyebut rumahnya sebagai tempat berpulang. Yeah, definisi rumah itu memangnya apa? Hanya sebatas batu bata yang disatukan dengan semen mengikuti desain yang diinginkan lalu ditinggalkan tanpa tersapa lagi? Begitu? Bagi Jessica sih begitu adanya.

Kosong dan rapuh meski terlihat kokoh.

Tatkala berhasil mencapai rumah tepat pukul lima sore Jessica memandang malas pada mobil putih di teras. Manik bulatnya berotasi jengah dan langkahnya masuk ke dalam seolah tengah diseret. Gadis berwajah boneka tersebut enggan mengakui bahwa ada presensi lain di ruang tamu ketika si empu memasuki rumah.

“Jessica, kemari. Papa ingin bicara.”

Jessica berdecak pelan dan tetap berjalan melewati ruang tamu. “Sibuk. Nggak ada waktu buat ngomong sama orang yang lebih sibuk.”

Albert menghela napas berat, menurunkan posisi koran dari hadapan dan menatap si bungsu lekat-lekat; seolah tak ingin dibantah bagaimana pun juga. “Jessica, duduk di sini. Papa mau bicara.”

Gadis bermata bulat tersebut mengerang tertahan, menghentikan derap kaki dan menatap nyalang pada sang kepala keluarga. “Didn't you hear me?! I have no time to talk to you. I'm bussyㅡi mean, yeaah, i don't wanna see you anymore!” seru Jessica jengah. “Papa ngapain pulang, sih?! Bikin emosi aja!” tambahnya tanpa berniat bersikap sopan sedikitpun.

“Kamu bikin ulah apalagi di sekolah?” tembak Albert seraya melepaskan kacamata bacanya.

Sang lawan bicara terkekeh sumbang. “Ouh, ternyata masih peduli. Kirain udah lupa masih punya anak di sini. Haha, lucu Papa tuh kadang-kadang.”

Pria tersebut menyorot sukar di mengerti pada putrinya, kepalanya menggeleng pelan. “Begitu cara kamu bicara dengan orang tua, Sica?”

I'm done. Aku nggak punya waktu buat ngeladenin Papa yang syukurlah masih tau jalan pulang,” balas Jessica tak acuh sembari menaiki tangga. Raganya terpoles tenang sementara batinnya memberontak bersama gemuruh amarah yang siap meledak kapan saja.

Albert berdiri menatap tak percaya pada punggung mungil putrinya. “Papa pulang nyempatin waktu buat kamu, Jessica! Buat nanyain keadaan kamu, buat nanya kenapa kamu bercanda kelewatan begitu di sekolah. Papa dapet laporan ini dan itu dari kepala sekolah atas semua ulah kamu. Kamu nggak ngehargain usaha Papa, Jessica?!” teriaknya lantang.

Jessica membanting almamaternya kasar ke lantai sebelum berbalik dan menyorot berang sang ayah. “Kalau gitu enggak usah repot-repot peduliin aku! Nggak usah akting kalau Papa peduli sama aku kalau cuma sebatas formalitas! Sica nggak peduli sama apa yang Papa lakuin dan Sica harap Papa juga gitu!” balasnya berteriak. Si gadis menyugar kasar rambutnya. “Aku udah bilang, aku nggak mau ketemu Papa lagi. Mau ngebahas apapun, Sica capek kalau ketemu Papa berantem terus! Sica capek!”

“Karena kamu yang nggak pernah mau dengerin Papa!”

“PAPA DULU JUGA NGGAK PERNAH MAU DENGERIN SICA!” pekiknya histeris. Napasnya memburu hebat seiring wajahnya yang memerah menahan gelegak amarah di bawah kulit. Tangannya terkepal kuat-kuat di sisi tubuh sehingga buku-buku jarinya memutih sempurna. Irisnya berkilat marah sebelum berkata tidak habis pikir, “Dulu Papa yang nggak mau dengerin aku, Papa selalu sibuk dan cuma bilang nanti-nanti-nanti! Karena udah terlanjur selama bertahun-tahun, yaudah! Lanjutin aja sampai akhir! Kita cuma berbagi tempat di kartu keluarga dan baik dulu ataupun sekarang Papa nggak berhak ngatur-ngatur hidupku! APAPUN ITU! YOU ARE NOT MY FATHER ANYMORE! LISTEN THAT!

Jessica tahu perkataannya keterlaluan, kelewat batas dan sangat kurang ajar sehingga Albert terperangah di tempatnya; syok berat. Akan tetapi emosinya terlalu membumbung tinggi, denyaran pahit serta perih bercampur dalam waktu singkat dan Jessica menolak peduli terhadap perasaan sang ayah karena beliau yang terlebih dahulu memulai. Si gadis melepas kasar seragamnya sampai-sampai setiap kancing baju tanggal dari kemeja putihnya. Persetan dengan semua itu!

Usai mengganti pakaiannya dan menyambar jaket kulit hitam miliknya. Gadis serupa boneka tersebut keluar dari kamarnya yang berhawa dingin setelah menyambar kunci motor ketika selesai menelepon seseorang. “Taruhan motor gue. Gue turun ke arena malem ini.”

Si gadis menuruni tangga dengan gesit, mengabaikan panggilan Albert yang bertanya bahkan memintanya untuk tinggal hanya untuk dia balas. “Kita orang asing! Stop acting like you care about me! That's gross!

Tanpa menunggu apapun lagi motornya resmi membelah jalanan dengan kecepatan tinggi. Balas menyumpah serapahi orang-orang yang terganggu atas kelajuan motor hitamnya yang baru Jessica beli bulan lalu. Amarah benar-benar menguasai raga sehingga menikung truk yang baru saja melintas dengan taruhan nyawa seolah tak begitu berarti bagi gadis berponi tersebut. Jessica makin menggasak habis lalu lintas sembari berteriak mengumpat sepanjang jalanan.

Sekitar pukul setengah tujuh gadis tersebut sampai pada sebuah arena balap liar di balik bukit. Sengaja di lakukan di tempat terpencil guna menghindari keramaian apalagi memancing kecurigaan. Jarak yang ditempuh cukup memakan waktu, kurang lebih dua jam perjalan biasa dan Jessica hanya menempuhnya selama satu jam karena ugal-ugalan.

Jessica sukses menarik perhatian banyak orang, ia turun dari motor dan menghampiri Deon sebagai kepala dalam organisasi ilegal ini. “Nama gue udah lo masukin?” tanya tanpa tedeng aling-aling.

Deon mengangguk kaku dan terkekeh berikutnya. “Udah, Bu Bos. Santai, rileks. Tegang amat muka lo.”

“Muka lo juga bisa gue bikin tegang. Mau?!”

“Ampun, bercanda doang, Jes.” Deon meringis, suasana hati gadis sangar tersebut berada di persentase nol ternyata. “Lo minta waktunya dicepetin 'kan? Satu jam dari sekarang.”

“Sekarang juga!” tandas gadis tersebut sembari mendekati motornya.

Pemuda itu melotot besar, tentu mendengar hal yang tak masuk akal. “Jes, gila lo. Lo mau gue dilindes mereka? Biasanya juga kita mulai sekitar jam 10-an.”

“Gue ada urusanㅡoh! Atau lo mau gue lindes sekarang juga? Lo mau gue bantu tiduran di sana atau perlu gue bonyokin dulu?” sahut Jessica dingin dengan senyuman menyeringai layaknya psikopat.

Meskipun memiliki wajah manis nan menggemaskan bahkan sangat-sangat tidak nyata lantaran dianugerahi paras seperti boneka. Nama Jessica terkenal di kalangan bawahㅡpara penduduk yang bekerja penuh dengan keilegalanㅡatas sumbu emosinya yang pendek dan menggasak habis seluruh lawannya tanpa ampun sebagai bentuk kesetaraan gender. Kekuatannya betul-betul tidak bisa dianggap remeh, mereka tahu itu. Jessica sama saja dengan iblis di balik wajah malaikat tersebut. Tidak pernah memberi ampun dan selalu sesuka hatinya sendiri.

Deon meringis, menarik napas dan mengangguk patah-patah. “Oke, sekarang juga. Uangnyaㅡ”

“Tadi udah gue tf lima juta ke rekening lo. Liat dulu sebelum ngomong, bangsat! Mulut lo lama-lama gue robek mau, Yon?!” sambar Jessica sinis dan langsung menaiki motornya kembali kemudian melaju pelan menuju garis awal sementara Deon mengecek kebenaran dari si gadis.

Sesuai yang diinginkan Jessica, balapan kali ini diadakan lebih awal. Semua peserta yang telah meletakkan taruhan berkumpul di belakang garis awal sementara para penonton memenuhi sisi jalanan. Jessica berdecak sebal mendengar riuhnya suara di sana, gendang telinganya mendadak berdenging ngilu lantaran pekikan perempuan-perempuan kekurangan bahan baju di sekitar sirkuit.

Ck! Menjengkelkan! Menyebalkan!

“Jessica, lo yakin bakalan menang? Taruhannya motor lo, lho. Motor terbaru dari merk ternama. Yakin?” celetuk Benny setengah mengejek sembari menatap penuh minta pada motor Jessica. “Rugi banyak lo.”

Jessica menaikkan kaca helmnya dan menatap merendahkan sekaligus menghina pada sang lawan. “Motor murahan ini maksud lo? Gue bosen makenya makanya dijadiin taruhan. Menang dan kalah nggak ada artinya bagi gue. Sama kayak lo dan motor ini,” Jessica tersenyum sinis, “Nggak ada harga, ups!”

“Cewek sialan!”

“Makasih pujiannya, bastard!

Deon berdiri di tengah-tengah bersama kain putih di tangan. Sang wasit menatap semua peserta lamat-lamat sebelum menunjukkan peluit di tangan. “Bersiap. Sedia? MULAI!”

Satu sekon yang sama barisan motor besar tersebut melaju kencang meninggalkan garis awal. Saling memacu satu sama lain tanpa mau mengalah. Mereka terus-menerus menekan pedal gas demi menyalip lawan-lawan dan Jessica terbahak-bahak sinting di motornya. Memaki-maki para lawannya yang tidak ada tandingan bahkan masih sempat-sempatnya menunjukkan jari tengah menuju Benny yang berada di belakang dengan dua motor lainnya sebagai jarak.

Satu menit kemudian para penonton di buat heran dengan satu motor yang baru saja melewati garis awal. Melaju gila-gilaan melewati para lawannya yang lain. Bahkan dengan sebelah tangan sang pengendara mampu menyabotase urutan pemain.

Dia berhenti mempercepat mesin ketika sampai di sebelah Jessica. Kaca helmnya di buka gesit dan menunjukkan cengiran. “Hai, sayang? Do you miss me?” teriak Alvin.

Jessica melebarkan mata. “Sial! Sial! Sial! Gue matiin lo malam ini juga!”

Jessica menutup kaca helmnya dan memutar gas secepat yang ia mau. Sementara Alvin terus-menerus mengganggu konsentrasi. “Baby, hati-hati. Kalau lo mati, gue sama siapa, bajing? Gue cuma mau hidup semati sama lo!” seru menggoda.

SHUT UP YOUR FUCKING MOUTH, SHITTY MAN!”

Lima belas menit kemudian Jessica berhasil memenangkan pertandingan namun alih-alih puas dan berbangga diri. Gadis boneka tersebut memiringkan motornya guna dibanting kuat ke tanah sebelum menghampiri Alvin yang berhenti tak jauh dari sana. Tidak perlu basa-basi lagi bagi Jessica untuk memanjangkan kaki guna menendang kepala pemuda itu namun dengan mudahnya ditangkis, seperti biasa.

“Arrgh! Anjing lo!”

Alvin cukup pantas untuk mati! Sungguh! Kalimat tersebut terus digumamkan Jessica dalam kepala. Puluhan kali. Ratusan kali. Ribuan kali. Alvin pantas untuk menjadi samsaknya malam ini.

“Mati lo, sialan!” katanya memaki sembari melemparkan kepalan tangan dan mengabaikan banyaknya pasang mata yang menonton mereka.

Pasangan tak akur Joker dan Harley Quinn versi dunia nyata atau disebut duo sinting pemecah rangking dalam list petarung terkuat sepanjang sejarah kalangan bawah. Dan Jessica pemecah rekor sebagai satu-satunya perempuan yang berhasil masuk dalam list rangking.

Alvin terkekeh-kekeh geli dan menangkap kepalan tangan si gadis. “Sayang~ Kenapa marah-marah, hm? Kangen gue tinggal pergi tadi siang? I'm sorry, i'm bussy, you know that!

Talk with my hand, satan!”

Gadis berponi tersebut mengeluarkan serangan demi serangan secara stabil dan seakurat yang ia mampu namun Alvin terlalu cerdik untuk menghindari setiap serangan gadis manis itu. Detik berikutnya Alvin mencengkeram kuat kedua pergelangan tangan Jessica dan menarik tubuh gadis itu sehingga jarak mereka terlalu tipis untuk disebut jarak.

Alvin menyeringai. Ia selalu suka bagaimana cara mata Jessica berkilat-kilat penuh emosi padanya. “Lo … tau nggak sih kalau lo mudah di baca?”

“Omong kosong! Lepas!”

“Jes, gue udah bilang 'kan. Lo cantik gimanapun keadaannya dan alam semesta kayaknya ngedukung pernyataan gue itu karena … ” Alvin menggantungkan kalimatnya sebelum melanjutkan dengan senyum miring. “cahaya remang-remang malam ini pun malah bikin lo makin cantik, sialan. Paham nggak lo?”

Jessica meludah ke wajah pemuda kelinci tersebut dan menyeringai dingin. “Kalau gitu nikmatin wajah cantik gue ini, berengsek!” balasnya sebelum menaikkan kaki ke pundak Alvin dan memutar tubuh sang lawan untuk jatuh ke tanah. Semua orang menahan napas, terlalu riskan untuk dipisahkan dan terlalu sayang untuk ditinggal hanya karena kengerian membalut suasana.

“Mati lo, sialan!”

And then, i saw you crying ugly at my grave everyday and everynight. Oouh, i can't see you be sad, Lover.

Jessica berdecih, “Mati lo, hehe.”

BUGH! BUGH!

BUGH!

BUGH! BUGH!

BUGH!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status