ENTAH ada kehebohan atau kegemparan apa pun dan di mana pun, dunia selalu terlihat baik-baik saja. Tidak tersentuh. Tidak terdistraksi. Tidak terusik. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa dan selalu berjalan tanpa mengenal jeda. Yah, entah apa-apa saja yang terjadi memang sudah semestinya semesta bergerak, mau siap atau tidak, dunia akan terus berlanjut dengan atau tanpa segelintir orang. Sepanjang perjalanan alunan melodri dari lagu one last time yang di populerkan oleh Ariana Grande menjadi teman. Mengisi kekosongan dan hampa dalam mobil selagi mesin terus bekerja keras melaju mengikuti rute jalan yang tengah di tuju. Jalanan yang tidak pernah sepi, jalanan yang tidak pernah kehilangan peminat, jalanan yang tidak pernah lengang, jalanan yang tidak pernah di tinggalkan. Jalanan yang selalu di dambakan semua orang meski kadang kala acapkali merenggut nyawa.
Ah, filosofinya mulai terasa biru di tengah-tengah perasaan berkecamuk ini. Barangkali hanya sesederhana saja, di mana jalan ini menjadi penghubung dari rumah ke tempat-tempat tujuan para penduduk. Bisa jadi juga sebagai tempat bekerja sebagaian pedagang, melanjutkan pendidikan, rute para pekerja kantoran atau sebatas sekadar jalan-jalan semata. Intinya, jalan raya tidak pernah kehilangan pelanggan.Untuk setiap sekon yang harus rela terbuang mau tidak mau dalam sepanjang antrian menuju tempat ternyaman mereka usai di babat habis dunia, di mana Jessica sendiri enggan menyebut bangunan itu sebagai rumahnya. Di mana ia benar-benar merasa pulang. Yah, definisi rumah itu sendiri memangnya apa selain tempat berteduh dari panas dan hujan? Hanya sebatas batu bata yang di tumpuk menjadi satu dengan semen kemudian mengikuti desain nan di inginkan pelanggang lalu di tinggalkan begitu saja tanpa tersapa lagi? Benar begitu, bukan? Yah, bagi Jessica begitu adanya. Tidak lebih, tidak kurang.
Kosong dan rapuh meski terlihat kokoh.
Tatkala berhasil mencapai rumah tepat pukul lima sore Jessica memandang malas pada mobil putih di teras. Manik bulatnya berotasi jengah dan langkahnya masuk ke dalam seolah tengah di seret, mendadak berat dan enggan dalam satu waktu yang bersamaan. Pasti akan ada kehebohan lagi setelah ini. Oh, ayolah! Biarkan ia rehat sejenak dahulu, dia butuh jeda. Astaga, yang benar saja takdirnya ini. Gadis berwajah boneka tersebut enggan mengakui bahwa ada presensi lain di ruang tamu ketika si empu memasuki rumah.
“Jessica, kemari. Papa ingin bicara.”
Jessica berdecak pelan dan tetap berjalan melewati ruang tamu. “Sibuk. Nggak ada waktu buat ngomong sama orang yang lebih sibuk.”
Albert menghela napas berat, menurunkan posisi koran dari hadapan dan menatap si bungsu lekat-lekat; seolah tak ingin di bantah bagaimana pun juga. Pria tersebut semakin menekankan tiap bait katanya. “Jessica, duduk di sini. Papa mau bicara.”
Gadis bermata bulat tersebut mengerang tertahan, menghentikan derap kaki dan menatap nyalang pada sang kepala keluarga. “Didn't you hear me?! I have no time to talk to you. I'm bussyㅡi mean, yeaah, i don't wanna see you anymore!” seru Jessica jengah. “Papa ngapain pulang, sih?! Bikin emosi aja!” tambahnya tanpa berniat bersikap sopan sedikitpun.
“Kamu bikin ulah apalagi di sekolah?” tembak Albert seraya melepaskan kacamata bacanya.
Sang lawan bicara terkekeh sumbang. “Ouh, ternyata masih peduli. Kirain udah lupa masih punya anak di sini. Haha, lucu Papa tuh kadang-kadang.”
Pria tersebut menyorot sukar di mengerti pada putrinya, kepalanya menggeleng pelan. “Begitu cara kamu bicara dengan orang tua, Sica?”
“I'm done. Aku nggak punya waktu buat ngeladenin Papa yang syukurlah masih tau jalan pulang,” balas Jessica tak acuh sembari menaiki tangga. Raganya terpoles tenang sementara batinnya memberontak bersama gemuruh amarah yang siap meledak kapan saja.
Albert berdiri menatap tak percaya pada punggung mungil putrinya. “Papa pulang nyempatin waktu buat kamu, Jessica! Buat nanyain keadaan kamu, buat nanya kenapa kamu bercanda kelewatan begitu di sekolah. Papa dapet laporan ini dan itu dari kepala sekolah atas semua ulah kamu. Kamu nggak ngehargain usaha Papa, Jessica?!” teriaknya lantang. "Kamu sebenarnya anggap apa Papa ini?!"
Jessica membanting almamaternya kasar ke lantai sebelum berbalik dan menyorot berang sang ayah. “Kalau gitu enggak usah repot-repot peduliin aku! Nggak usah akting kalau Papa peduli sama aku kalau cuma sebatas formalitas! Sica nggak peduli sama apa yang Papa lakuin dan Sica harap Papa juga gitu!” balasnya berteriak. Si gadis menyugar kasar rambutnya. “Aku udah bilang, aku nggak mau ketemu Papa lagi. Mau ngebahas apapun, Sica capek kalau ketemu Papa berantem terus! Sica capek!”
“Karena kamu yang nggak pernah mau dengerin Papa!”
“PAPA DULU JUGA NGGAK PERNAH MAU DENGERIN SICA!” pekiknya histeris. Napasnya memburu hebat seiring wajahnya yang memerah menahan gelegak amarah di bawah kulit. Tangannya terkepal kuat-kuat di sisi tubuh sehingga buku-buku jarinya memutih sempurna. Irisnya berkilat marah sebelum berkata tidak habis pikir, “Dulu Papa yang nggak mau dengerin aku, Papa selalu sibuk dan cuma bilang nanti-nanti-nanti! Karena udah terlanjur selama bertahun-tahun, yaudah! Lanjutin aja sampai akhir! Kita cuma berbagi tempat di kartu keluarga dan baik dulu ataupun sekarang Papa nggak berhak ngatur-ngatur hidupku! APAPUN ITU! YOU ARE NOT MY FATHER ANYMORE! LISTEN THAT!
Jessica tahu perkataannya keterlaluan, kelewat batas dan sangat kurang ajar sehingga Albert terperangah di tempatnya; syok berat. Akan tetapi emosinya terlalu membumbung tinggi, denyaran pahit serta perih bercampur dalam waktu singkat dan Jessica menolak peduli terhadap perasaan sang ayah karena beliau yang terlebih dahulu memulai. Si gadis melepas kasar seragamnya sampai-sampai setiap kancing baju tanggal dari kemeja putihnya. Persetan dengan semua itu!
Usai mengganti pakaiannya dan menyambar jaket kulit hitam miliknya. Gadis serupa boneka tersebut keluar dari kamarnya yang berhawa dingin setelah menyambar kunci motor ketika selesai menelepon seseorang. “Taruhan motor gue. Gue turun ke arena malem ini.”
Si gadis menuruni tangga dengan gesit, mengabaikan panggilan Albert yang bertanya bahkan memintanya untuk tinggal hanya untuk dia balas. “Kita orang asing! Stop acting like you care about me! That's gross!”
Tanpa menunggu apapun lagi motornya resmi membelah jalanan dengan kecepatan tinggi. Balas menyumpah serapahi orang-orang yang terganggu atas kelajuan motor hitamnya yang baru Jessica beli bulan lalu. Amarah benar-benar menguasai raga sehingga menikung truk yang baru saja melintas dengan taruhan nyawa seolah tak begitu berarti bagi gadis berponi tersebut. Jessica makin menggasak habis lalu lintas sembari berteriak mengumpat sepanjang jalanan.
Sekitar pukul setengah tujuh gadis tersebut sampai pada sebuah arena balap liar di balik bukit. Sengaja di lakukan di tempat terpencil guna menghindari keramaian apalagi memancing kecurigaan. Jarak yang ditempuh cukup memakan waktu, kurang lebih dua jam perjalan biasa dan Jessica hanya menempuhnya selama satu jam karena ugal-ugalan.
Jessica sukses menarik perhatian banyak orang, ia turun dari motor dan menghampiri Deon sebagai kepala dalam organisasi ilegal ini. “Nama gue udah lo masukin?” tanya tanpa tedeng aling-aling.
Deon mengangguk kaku dan terkekeh berikutnya. “Udah, Bu Bos. Santai, rileks. Tegang amat muka lo.”
“Muka lo juga bisa gue bikin tegang. Mau?!”
“Ampun, bercanda doang, Jes.” Deon meringis, suasana hati gadis sangar tersebut berada di persentase nol ternyata. “Lo minta waktunya dicepetin 'kan? Satu jam dari sekarang.”
“Sekarang juga!” tandas gadis tersebut sembari mendekati motornya.
Pemuda itu melotot besar, tentu mendengar hal yang tak masuk akal. “Jes, gila lo. Lo mau gue dilindes mereka? Biasanya juga kita mulai sekitar jam 10-an.”
“Gue ada urusanㅡoh! Atau lo mau gue lindes sekarang juga? Lo mau gue bantu tiduran di sana atau perlu gue bonyokin dulu?” sahut Jessica dingin dengan senyuman menyeringai layaknya psikopat.
Meskipun memiliki wajah manis nan menggemaskan bahkan sangat-sangat tidak nyata lantaran dianugerahi paras seperti boneka. Nama Jessica terkenal di kalangan bawahㅡpara penduduk yang bekerja penuh dengan keilegalanㅡatas sumbu emosinya yang pendek dan menggasak habis seluruh lawannya tanpa ampun sebagai bentuk kesetaraan gender. Kekuatannya betul-betul tidak bisa dianggap remeh, mereka tahu itu. Jessica sama saja dengan iblis di balik wajah malaikat tersebut. Tidak pernah memberi ampun dan selalu sesuka hatinya sendiri.
Deon meringis, menarik napas dan mengangguk patah-patah. “Oke, sekarang juga. Uangnyaㅡ”
“Tadi udah gue tf lima juta ke rekening lo. Liat dulu sebelum ngomong, bangsat! Mulut lo lama-lama gue robek mau, Yon?!” sambar Jessica sinis dan langsung menaiki motornya kembali kemudian melaju pelan menuju garis awal sementara Deon mengecek kebenaran dari si gadis.
Sesuai yang diinginkan Jessica, balapan kali ini diadakan lebih awal. Semua peserta yang telah meletakkan taruhan berkumpul di belakang garis awal sementara para penonton memenuhi sisi jalanan. Jessica berdecak sebal mendengar riuhnya suara di sana, gendang telinganya mendadak berdenging ngilu lantaran pekikan perempuan-perempuan kekurangan bahan baju di sekitar sirkuit.
Ck! Menjengkelkan! Menyebalkan!
“Jessica, lo yakin bakalan menang? Taruhannya motor lo, lho. Motor terbaru dari merk ternama. Yakin?” celetuk Benny setengah mengejek sembari menatap penuh minta pada motor Jessica. “Rugi banyak lo.”
Jessica menaikkan kaca helmnya dan menatap merendahkan sekaligus menghina pada sang lawan. “Motor murahan ini maksud lo? Gue bosen makenya makanya dijadiin taruhan. Menang dan kalah nggak ada artinya bagi gue. Sama kayak lo dan motor ini,” Jessica tersenyum sinis, “Nggak ada harga, ups!”
“Cewek sialan!”
“Makasih pujiannya, bastard!”
Deon berdiri di tengah-tengah bersama kain putih di tangan. Sang wasit menatap semua peserta lamat-lamat sebelum menunjukkan peluit di tangan. “Bersiap. Sedia? MULAI!”
Satu sekon yang sama barisan motor besar tersebut melaju kencang meninggalkan garis awal. Saling memacu satu sama lain tanpa mau mengalah. Mereka terus-menerus menekan pedal gas demi menyalip lawan-lawan dan Jessica terbahak-bahak sinting di motornya. Memaki-maki para lawannya yang tidak ada tandingan bahkan masih sempat-sempatnya menunjukkan jari tengah menuju Benny yang berada di belakang dengan dua motor lainnya sebagai jarak.
Satu menit kemudian para penonton di buat heran dengan satu motor yang baru saja melewati garis awal. Melaju gila-gilaan melewati para lawannya yang lain. Bahkan dengan sebelah tangan sang pengendara mampu menyabotase urutan pemain.
Dia berhenti mempercepat mesin ketika sampai di sebelah Jessica. Kaca helmnya di buka gesit dan menunjukkan cengiran. “Hai, sayang? Do you miss me?” teriak Alvin.
Jessica melebarkan mata. “Sial! Sial! Sial! Gue matiin lo malam ini juga!”
Jessica menutup kaca helmnya dan memutar gas secepat yang ia mau. Sementara Alvin terus-menerus mengganggu konsentrasi. “Baby, hati-hati. Kalau lo mati, gue sama siapa, bajing? Gue cuma mau hidup semati sama lo!” seru menggoda.
“SHUT UP YOUR FUCKING MOUTH, SHITTY MAN!”
Lima belas menit kemudian Jessica berhasil memenangkan pertandingan namun alih-alih puas dan berbangga diri. Gadis boneka tersebut memiringkan motornya guna di banting kuat ke tanah sebelum menghampiri Alvin yang berhenti tak jauh dari sana. Tidak perlu basa-basi lagi bagi Jessica untuk memanjangkan kaki guna menendang kepala pemuda itu namun dengan mudahnya ditangkis, seperti biasa.
“Arrgh! Anjing lo!”
Alvin cukup pantas untuk mati! Sungguh! Kalimat tersebut terus di gumamkan Jessica dalam kepala. Puluhan kali. Ratusan kali. Ribuan kali. Alvin pantas untuk menjadi samsaknya malam ini.
“Mati lo, sialan!” katanya memaki sembari melemparkan kepalan tangan dan mengabaikan banyaknya pasang mata yang menonton mereka.
Pasangan tak akur Joker dan Harley Quinn versi dunia nyata atau disebut duo sinting pemecah rangking dalam list petarung terkuat sepanjang sejarah kalangan bawah. Dan Jessica pemecah rekor sebagai satu-satunya perempuan yang berhasil masuk dalam list rangking.
Alvin terkekeh-kekeh geli dan menangkap kepalan tangan si gadis. “Sayang~ Kenapa marah-marah, hm? Kangen gue tinggal pergi tadi siang? I'm sorry, i'm bussy, you know that!”
“Talk with my hand, satan!”
Gadis berponi tersebut mengeluarkan serangan demi serangan secara stabil dan seakurat yang ia mampu namun Alvin terlalu cerdik untuk menghindari setiap serangan gadis manis itu. Detik berikutnya Alvin mencengkeram kuat kedua pergelangan tangan Jessica dan menarik tubuh gadis itu sehingga jarak mereka terlalu tipis untuk disebut jarak.
Alvin menyeringai. Ia selalu suka bagaimana cara mata Jessica berkilat-kilat penuh emosi padanya. “Lo … tau nggak sih kalau lo mudah di baca?”
“Omong kosong! Lepas!”
“Jes, gue udah bilang 'kan. Lo cantik gimanapun keadaannya dan alam semesta kayaknya ngedukung pernyataan gue itu karena … ” Alvin menggantungkan kalimatnya sebelum melanjutkan dengan senyum miring. “cahaya remang-remang malam ini pun malah bikin lo makin cantik, sialan. Paham nggak lo?”
Jessica meludah ke wajah pemuda kelinci tersebut dan menyeringai dingin. “Kalau gitu nikmatin wajah cantik gue ini, berengsek!” balasnya sebelum menaikkan kaki ke pundak Alvin dan memutar tubuh sang lawan untuk jatuh ke tanah. Semua orang menahan napas, terlalu riskan untuk di pisahkan dan terlalu sayang untuk di lewatkan begitu saja hanya karena kengerian membalut suasana. Pertunjukkan gratis ini jelas-jelas lebih menarik di bandingkan acara balapan yang tengah terselenggara ini, bukan? Ayolah, nyaris semua orang setuju dengan pernyataan ini.
“Mati lo, sialan!”
“And then, i saw you crying ugly at my grave everyday and everynight. Oouh, i can't see you be sad, Lover.”
Jessica berdecih, ia menyeringai sinting. “Mati lo, hehe.”
APAKAH pernah malam terasa senyap dan sunyi? Yang benar-benar senyap tanpa secuil kegaduhan apa pun dan kebisingan tidak berarti nan kapabel mengganggu ketenangan kendati waktu beraktivitas seharusnya telah rampung terlaksanakan tatkala mentari telah usai menyampaikan salah perpisahan, hilang di ufuk barat dan berjanji akan datang keesokan harinya? Apakah pernah? Ia rasa tidak. Malam nan gelap gulita selalu menyimpan cerita akan alur takdir mereka masing-masing.Alur yang tidak pernah bisa di hindari. Jessica tidak punya pilihan lain selain setuju. Meski pun jarum jam telah berdentang-dentang menunjukkan eksistensi kedatangan malam. Segelintir orang barangkali masih merasa enggan untuk berhenti hanya karena masalah batas waktu antara siang dan malam. Akan selalu ada alasan yang mendasari penyataan mereka tersebut nan terasa wajib untuk segera di tuntaskan sebelum mimpi membuai raga saat terlelap. Yah, tidak usah jauh-jauh, contoh nyatanya saja adalah dirinya sendiri malam ini. Ah, sia
SEAKAN tidak mengenal kata jeda, dunia Jessica selalu saja terguncang hebat. Tiada henti-hentinya di guyur hujan badai, petir berkepanjangan dan angin kencang yang tidak pernah mau berdamai. Negosiasi sepenuhnya tertolak. Memporak-porandakan hidup yang di perjuangkan mati-matian oleh gadis manis tersebut merupakan hal yang barangkali sangat menyenangkan untuk alam semesta lakukan. Menarik ulur tempo kehidupan. Merumitkan segala hal. Kadang kala menaikkan raga hingga ke awang-awang, akan tetapi dalam sekejap mata sudah di jatuhkan lagi menuju dasar bumi. Ketenagan selalu sukar di dapati pada Jessica yang juga akhirnya memilih membalas semua penderitaan yang dunia berikan padanya. Di lakukan guna membuat hidupnya terasa lebih berisik daripada apa pun. Di bandingkan apa pun. Membuat dirinya jauh lebih sibuk daripada siapa pun.Dengan cara menghancurkan sekitarnya.Dunia terlalu berengsek untuk bisa ia hargai sistematis cara kerjanya. Angkasa biru terasa jauh lebih cerah hari ini di band
UDARA hangat menyelinap masuk melewati jendela yang terbuka setengah. Angin sepoi-sepoi juga tidak mau ketinggalan lantai ketinggian tiga meter dari tanah. Mentari tampaknya ingin sekali menyaingi eksistensi aroma obat-obatan samar dari ruangan seluas lima kali enam meter tersebut. Di kelilingan dinding putih dan satu lemari besar berisi beragam jenis obat. Mulai dari obat cair, tablet mau pun kapsul. Kabar baiknya, berkat salah satu penguasa sekolah yang sedang terbaring tidak sadarkan diri, orang-orang yang sempat menjadikan UKS sebagai tempat bolos lantas dengan cepat mengganti tempat perlarian. Yah, daripada tetap memaksakan diri dan berakhir menjadi samsak hidup manusia monster itu? Menghindar jelas merupakan pilihan yang bagus, bukan? Di salah satu ranjang dengan posisi cukup berdekatan dari letak jendela, Jessica terlelap nyenyak dan cuaca hangat namun menyegarkan ini semakin membuat gadis berponi tersebut makin terbawa arus mimpi. Pun karena itu situasi dan kondisi di luar san
JIKALAU peraturan ada untuk di langgar maka hukuman juga ada untuk di hindari, bukan? Terdengar ironi akan tetapi Jessica dengan senang dan sangat-sangat berlapang hati melakukannya. Persetan akan deretan jenis hukuman yang kepala sekolah siapkan untuk dirinya. Jessica akan melakukannya nanti apabila dia sudah dalam suasana dan kondisi yang tepat serta bagus, setidaknya tidak hari ini. Keinginan hati harus tetap di utamakan, bukan? Hei, ayolah! Hidup ini cuma sekali, oleh karena itu harus di nikmati semaksimal mungkin karena jika telah renta nantinya, jangankan kabur dari hukuman, berbuat masalah saja tidak bisa. Yah, karena apalagi kalau-kalau bukan terhambat tulang demi tulang nan telah keropos di makan usia? Atas dasar pemikiran demikianlah Jessica memilih melarikan diri dari panggilan menghadap ke ruangan kepala sekolah usai membuat gempar Bina Bangsa, untuk ke sekian kalinya tanpa pernah merasa bosan menjadi bintang utama atas segala kerusuhan. Toh, dunia masih bekerja sebagaimana
“JESSICA belum mau menurut?” merupakan pertanyaan Eleanor pada putra sulungnya setelah beberapa waktu sampai di sebuah butik ternama ibu kota.Jemari lentiknya memilah-milah pakaian-pakaian dengan harga setinggi langit tergantung rapi. Masih dibalut setelan kerja sekaligus curi-curi waktu di jam kerja, Eleanor tetap ingin turun tangan dalam mencari pakaian yang sekiranya cocok untuk putri bungsunya dalam acara pembukaan cabang anak perusahaan dengan Angello sebagai penanggung jawab. Tangan wanita tiga anak tersebut mengibas di udara guna memberi kode agar seseorang membawakan pilihan baju yang lain.Sembari menunggu, Eleanor menatap putranya yang duduk menyilang kaki di sofa. “Kamu nggak marahin dia, 'kan, Jello?”“I'm not,” jawabnya meragu. Laki-laki jangkung tersebut menggaruk sekilas dahinya dan memandang ibunya penuh putus asa. “Keinginan Sica tetap sama dan aku nggak bisa nurutin, Ma. Nggak bisa.”“Kita bisa, Jello.”“Dan biarin Mama harus makan hati tinggal sama tua bangka itu? E
NAPASNYA terengah-engah seiras dengan irama detak jantung yang berdentum gila-gilaan seolah mampu untuk melompat dari posisi. Kepala pemuda kelinci itu menengadah ke atas sesaat guna merenggangkan otot tengkuk sebelum meludah darah ke tanah. Pukul tujuh malam, kurang sedikit dan rembulan bersinar cukup terang malam ini untuk membantu Alvin membabat habis lima belas orang musuh yang menghadang di jalan. Tahu-tahu datang bagaikan jelangkung.Semua lawannya tumbang memang akan tetapi yang Alvin cemaskan adalah kemarahan Susandra. Bisa habis diceramahi dia kalau sampai ketahuan bertengkar lagi.Perkelahian bersama Jessica saja sudah mujur tidak diungkit-ungkit lagi mengingat posisi penting gadis itu di keluarganya dan Alvin terbebas dari hukuman. Tetapi malah harus berurusan dengan Gala yang marah karena Alvin tak membalas perasaan adiknya. Si pemuda jangkung menginjak kuat pundak Gala yang berada di bawah telapak kaki kemudian menyeringai sementara sang lawan mengerang minta ampun.“Bilan
DUA tahun lalu lebih-kurang.Pendaftaran calon siswa baru di Bina Bangsa telah dibuka secara online. Bagi PPDB yang ingin mendaftar sudah bisa melengkapi data dan mengunggah berkas-berkas yang tertera pada website. Seleksi awal masuknya saja cukup kapabel sekali mengurangi nyaris setengah para pendaftaran saking ketatnya. Jujur, Alvin masuk ke sana karena Susandra bilang akreditasi serta citra Bina Bangsa sudah tersohor di mana-mana. Sekolah swasta terbaik Indonesia. Bila Ibunda sudah bertitah demikian maka Alvin tentu akan melenceng dari jalur yang berbeda dengan teman-temannya yang memilih masuk SMK.Tahapan-tahapan dilalui dan setiap detiknya Alvin tidak pernah merasaㅡyeaah, bersemangat. Pemuda kelinci tersebut mudah bosan. Dia tidak suka hal-hal yang monoton. Alvin suka setiap detik hidupnya berwarna, bergerak aktif dan terlalu sayang bila dilewatkan dengan tidur. Alvin ingin yang seperti itu tetapi melihat bagaimana semua calon peserta didik baru di sekitarnya saat tes tulis. Err!
SEPASANG mata bulat tersebut terpejam erat, napasnya mulai tidak teratur bersama kepalan tangannya yang bertengger di sisi pinggang rampingnya. Boleh tidak sih Jessica meruntuhkan Bina Bangsa sekarang alih-alih melenyapkan Alvin seorang saja? Ya Tuhan! Jessica tidak mengerti lagi bagaimana makhluk sejenis Alvin masih bisa hidup tenang setelah menghias mejanya dengan ratusan jenis bunga. Harumnya menyeruak ke seluruh penjuru kelas dan Jessica tidak bisa untuk tidak emosi sekarang.“Bangsat!” gumamnya pelan, penuh penekanan dengan killer mode on.Rosa terbahak-bahak mengejeknya dan bahkan berfoto ria di meja si Poni sementara sang tuan tengah menahan amarah. “Dia sweet juga ya, Sica? Gue jadi lo baper, deh.”Sang lawan bicara terkekeh hambar dan tersenyum sinis sebelum menarik kerah almamater Arzan yang melewati mereka guna keluar kelas. “Zan, Rosa bilang dia bakalan baper kalau lo hias mejanya pake bunga. So, besok lo bawa bunga setoko-tokonya. Nggak punya duit? Gue talangin.”Rosa melo
APABILA di umpakan secara gamblang, transparan dan tepat sasaran. Barangkali kejengkelan nan sedang menggerogoti jantung sekaligus hatinya telah menyerupai gunung aktif yang siap memuntahkan lahar panas guna membumi hanguskan sekitarnya. Menghancurkan setiap sentinya. Melenyapkan setiap eksistensi yang terlihat. Begitu pendeskripsian isi hati seorang Alvin sekarang ini. Dia sangat amat muak menghadapi situasi yang sama berulang-ulang kali. Hingga rasanya si lelaki bisa melakukan apa saja untuk menyingkir masalah nan sedang mengganggu kesehariannya tersebut. Jujur saja, bukankah dia lahir tanpa setangki kesabaran melimpah? Hei, dia jelas-jelas bukan badan amal. Mana sudi ia bersikap sabar terhadap orang-orang yang bahkan tidak ingin bersikap sabar atas dirinya; egois memang, akan tetapi Alvin mana mau repot-repot peduli.Emosi yang kini menguasai dadanya benar-benar tidak terbendung lagi, jadi Alvin harus memprioritaskan hati dan batinnya. Ini tidak bisa di tunda-tunda lagi jikalau tida
KABAR kembalinya sang penguasa Bina Bangsa menyebar dengan cepat yang bahkan tidak genap satu hari setelah beritanya masuk menuju masing-masing ponsel warga sekolah. Termasuk adegan epik sang tuan putri dalam melancarkan aksi balas dendamnya begitu menginjakkan kaki di sekolah. Memang tidak ada bukti fisik seperti video atau pun foto, akan tetapi hal ini mutlak mengirim teror bagi siapa-siapa saja yang telah lancang mengusik tiga sahabat gadis penguasa tersebut. Selepas fakta mengenai Chika menjalar bagaikan tanaman rambat, informasi baru dari korban-korban yang Jessica gasak habis di hari yang sama mulai simpang siur terdengar. Bahwa pembalasan dendam Jessica bukanlah lelucon semata. Tiada satu pun dari mereka yang berani membayangkan akan sesuram apa hari esok. Akan setegang dan seberisik apa Bina Bangsa esok, namun yang pasti, Jessica telah mendeklarasikan peperangan dan takkan ada yang bisa kabur dari cengkeramannya.Yah, terserah dengan apa yang akan terjadi. Alvin tidak peduli.
APABILA bundaran oranye tersebut dapat berbicara, barangkali serangkaian kalimat makian sudah terlontar kepada manusia kelinci yang masih bebal melantunkan bola basket nan kusam itu menuju ring walau telah terpeleset berulang kali. Alvin tetap bersikukuh melanjutkan permainan seorang diri di markas kumuh ini. Tempat terakhir ia benar-benar bertemu Jessica. Tempat yang menjadi saksi bisu akan seberapa besar perasaannya untuk gadis nakal tersebut. Oleh sebab itu ujung-ujungnya Alvin melarang keras yang lain datang ke tempat ini. Alasannya karena takut kenangannya dengan Jessica pudar begitu saja. Jelas, awal-awalnya muncul pertentangan akan tetapi jikalau Alvin sudah berkehendak. Siapa yang berani menantang memangnya? Cari mati namanya.Yah, setidaknya sampai Jessica kembali.Iya, begitu.Namun, kapan gadisnya akan kembali?Apa setelah mereka lulus SMA?Ah, sial! Perasaannya semakin memburuk bahkan hanya dengan memikirkannya saja. Alvin tentu saja tidak tahu apa-apa. Dia ini merupakan o
PEMANDANGAN danau indah, secangkir kopi dan sepirinh roti panggang hangat. Perpaduan ini membuat Jessica merasa jauh lebih hidup di bandingkan yang sudah-sudah. Seolah ia baru saja menjadi manusia seutuhnya sekarang. Sebab sepanjang hidup, baru kali ia tidak bangun dengan beban berat pada pundak. Tidak ada lagi mimpi buruk yang mencekam. Tidak ada lagi sesak dalam dada. Tidak ada lagi pening yang menyerang kepala. Tubuhnya sungguh-sungguh terasa ringan hingga menjalani rutinitas santai begini membuat senyuman manis di bibir terbit dengan begitu cerah. Jessica menghembuskan napas pendek, mengeluarkan ponsel yang Bastian berikan padanya dan mulai memotret tiap sudut tempat nan ia rasa tampak cantik untuk di abadikan oleh kamera ponselnya.Jessica memang belum sepenuhnya terbiasa. Bahasa dan budaya mereka jelas berbeda dengan keseharian yang dulu biasa ia jalani. Jessica juga belum pernah tinggal begitu lama di negeri orang lain selain hanya singgah guna menemani sang kakek bekerja atau
DUA minggu. Empat minggu. Kemudian sudah genap satu bulan. Lambat laun bertambah hari demi hari. Tahu-tahu sudah lebih dari satu minggu lagi. Lalu bulan lagi. Begitu terus. Detik berganti menit. Menit berganti jam. Jam berganti hari. Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Tepat lima bulan kepergian Jessica dari hidupnya dan Alvin tidak pernah merasa kehilangan seperti ini sebelumnya. Alvin tidak pernah merasa hidupnya sehampa ini. Tidak pernah merasa jikalau hidupnya akan seberat ini tanpa kehadiran gadis barbar kesayangannya itu. Alvin tidak pernah mengira bahwa ketiadaan Jessica dalam poros dunianya benar-benar melumpuhkan nyaris seluruh engsel kehidupannya, dan membuat dia terus berlari dari getirnya fakta bila saat ini dia benar-benar di tinggalkan tanpa salam perpisahan.Jantungnya berdenyut ngilu.Alvin tidak pernah tahu bahwa merindukan seseorang bisa membuatnya gila seperti ini. Entah sudah berapa orang yang ia pukuli hari ini. Entah sudah berapa kayu yang ia patahkan ka
SEBUT saja dia gila. Bastian tidak keberatan. Sama sekali tidak masalah di maki demikian sebab orang waras mana yang dengan kesadaran penuh membawa kabur seorang cucu perempuan satu-satunya dari keluarga konglomerat Atriyadinata? Cuma dia. Secara teknik memang tidak dapat di sebut menculik akan tetapi tetap saja Bastian terlibat sebagai kaki tangan. Apabila sang kakek tahu, tanpa sempat menjelaskan maka namanya sudah terlebih dahulu terukir di batu nisan. Mengesankan. Bastian tidak belajar mati-matian dari dulu hanya untuk menghancurkan hidupnya di masa depan nanti. Tidak. Enak saja. Bastian belajar seperti kiamat akan datang esok hari karena ingin segera hidup mandiri dan terlepas dari sistem politik keluarga. Dia sudah muak harus mendengarkan sang ibu menjelek-jelekkan anggota keluarga lain. Masih baik dia tidak terkontaminasi, tidak seperti saudaranya yang lain.Kendati demikian, walau sudah membuat heboh keluarga, tampaknya si pelaku tidak terlihat merasa bersalah sedikit pun. Di
GELEGAK amarah. Urat saraf yang menonjol. Wajah memerah penuh resah. Ekspresi keruh terang-terangan menyatakan isi hati. Layar demi layar di depan mata nan menampilkan rekaman CCTV beberapa lokasi tidak berhasil membuatnya puas. Demian makin murka. Dalam satu kali gerakan, dia menghempas kasar benda-benda berteknologi canggih tersebut. "KALIAN SEMUA TIDAK BECUS! UANG YANG SAYA KELUARKAN SELAMA INI UNTUK KALIAN TERNYATA SIA-SIA! SAYA INGIN CUCU SAYA DI TEMUKAN TAPI KALIAN SEMUA TIDAK MAMPU MELAKUKAN ITU! APANYA YANG SULIT MENCARI SEORANG ANAK PEREMPUAN YANG MASIH SMA?! KELUAR KALIAN DARI RUMAH SAYA! DASAR TIKUS-TIKUS KOTOR! JANGAN PIKIR UNTUK KEMBALI MENGINJAKKAN KAKI DI SINI SEBELUM CUCU SAYA DI TEMUKAN ATAU KALIAN AKAN TAU APA AKIBAT GAGAL MENJALANKAN TUGAS DARI SEORANG DEMIAN! CAMKAN ITU!"Satu minggu berlalu sejak menghilangnya Jessica. Entah sesakit apa hati anak malang tersebut sampai-sampai memilih untuk pergi. Demian gagal menjadi rumah bagi cucunya. Demian gagal menjadi zona a
JESSICA benar-benar lenyap begitu saja. Bagaikan di telan bumi dan terdampai di dunia antah berantah. Tidak dapat terdeteksi. Tidak dapat di telusuri. Tidak dapat di temukan. Kabar menghilangnya cucu bungsu dari keluarga konglomerat Atriyadinata memang tidak di beritakan pada surat kabar, berita di TV atau pun pada seluruh platform media sosial. Namun satu hal pasti, ketidakhadiran puan tersebut secara mendadak jelas-jelas menggemparkan seisi sekolah. Entah itu murid-muridnya, guru berserta staff dan sekaligus pedagang di kantin. Ketiadaan eksistensi Jessica sungguh-sungguh menjadi topik hangat bahkan usai genap seminggu sang penguasa sekolah tersebut menghilang tanpa kabar. Beberapa dari mereka berusaha menggali informasi dari sumber pasti, tentu itu adalah tiga sahabat sang topik utama Bina Bangsa, akan tetapi seperti yang telah di terka-terka, mereka sempurna dalam kebungkaman. Lebih tepatnya mereka sama sekali tidak tahu-menahu mengenai keberadaan Jessica sekarang. Hembusan na
ORANG-ORANG dulu berkata bahwa rumah adalah tempat paling aman, nyaman dan tepat untuk beristirahat dari berisiknya hiruk-pikuk dunia. Kehangatannya akan mampu meluruhkan segala penat dan lelah tanpa pamrih. Di semua buku, selebaran, iklan atau penjelasan literatur pun mengatakan hal serupa. Rumah adalah tempat kau untuk pulang. Setidaknya itu yang mereka ingin bagikan ke seluruh umat manusia. Tapi sialnya, tidak semua dari mereka memaparkan lebih detail mengenai rumah macam apa yang baik guna menyambut rusaknya jiwa akan permainan benang takdir. Atas segala ujian alam bagi tiap-tiap mereka yang bernapas. Mereka lupa menambah satu paragraf kenyataan bahwa tidak semua rumah itu terasa seperti pulang. Kadang kala justru mirip seperti neraka. Memang tidak panas, namun gelegak amarah yang terus-menerus mendidih, lontaran makian, teriakan melengking, barang demi barang melayang, tuduh menuduh dan sejenisnya. Mana mungkin tempat yang terasa seperti arena peperangan tersebut cocok di katakan