ALVIN terbahak-bahak usai menonton video singkat yang terus-menerus diunggah seisi sekolah di mana Jessica menunjukkan kebolehannya soal patah mematahkan tulang. Komentar-komentar yang terus dilayangkan betul-betul sukses mengocok perut sampai Alvin pikir ia bisa menangis kapan saja. Tangannya memukul-mukul sofa markas dan menunjukkan layar ponselnya pada Gerald. "Liat! Liat! Dia naikin kaki ke bahu si ceweknya terus hampir matahin tangannya tapi Chelsie ke buru dateng," Alvin berdecak sebal. "Kecewa penonton."
Percayalah rasa ingin menghantan Alvin dengan buku-buku di hadapannya ini meningkat drastis pada angka tidak terhingga. Gerald merasa jengkel sedari tadi akibat meledaknya tawa pemuda kelinci tersebut yang mana mengganggu konsentrasi, akan tetapi si empu malah bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.
Gerald berdecak kasar dan membanting penanya ke meja. "Njing! Bisa lo sedekahin nggak sih mulut lo? Ganggu bangsat! PR gue banyak nih! Susah konsen gegara mulut lo, berisik banget!" keluhnya ditemani umpatan penuh kasih sayang.
"Yeee! Belajar mah di rumah bukan di sini," balas Alvin menolak melakukan toleransi. "Lagian tumbenan amat lo rajin begini? Kenapa? Ketauan cewek lo lagi?"
"Kan main! Si Thomas cepu ke Keisha kalau gue bolos kemaren gara-gara gue nggak mau ngasih nomor Anne, ank IPS 3. Sialan! Ketemu gue gamparin tulangnya!" tukas pemuda tersebut sebal luar biasa dan menarik napas kemudian sebelum meraih ponselnya. "Btw, Jessica apa nggak bosen trending mulu di base sekolah apa? Tiap hari ada aja ulahnya sama kayak orang yang gue kenal," sambungnya sembari melirik keki ke arah sang kawan.
Alvin mendengus kesal, memperbaiki posisi guna menghadapkan tubuhnya pada Gerald. Ia memaparkan isi kepalanya, "Gue dikenal orang-orang karena ganteng. Liat nih tampang tampan nan rupawan ini. Cewek lo sekali kedip pingsan kali."
"Gue colok tuh mata lama-lama, ya. Setan bener kelakuan!" berang Gerald seraya melotot. Pemuda itu menghela napas kasar, "Di base sekolah kita dua bulan terakhir ini diisi lo sama Jessica mulu. Eneg gue, anjrit!"
"Yaa, tinggal lo mute apa salahnya, dongo?!"
"Masalahnya di base juga maparin Keisha yang ikut lomba ini-itu. Gue nggak bisa ketinggalan berita dan foto terbaru nan HD," balas Gerald kesal. "Jomblo tapi buaya kayak lo nggak bakalan tau apa isi hati gue. Cuih! Doyan PHP doang hidup lo gue liat. Najis!"
"Iri lo karena nggak bisa deketin cewek manapun karena udah punya gandengan?" ejek Alvin sambil terkekeh menghina.
Gerald menepuk-nepuk pundaknya untuk mengusir debu halus di sana. Ia menukikkan bibirnya tajam, "Gue udah ketemu yang klop. Yang bikin hari gue berwarna dan ngajak gue ke jalan yang bener. Selagi dikasih malaikat dalam bentuk Keisha kenapa harus gue tolak coba? Lonya aja yang tolol, ada cewek baik-baik tapi lo anggurin. Cewek baju minim lo goda. Setan kelakuan lo gue bilang."
"Masa muda itu harus dipakai sebaik-baiknya karena cuma ada sekali seumur hidup," sahut Alvin tak mau kalah. Ia mendecih, "Gue doain putus lo, nangis jangan ke gue."
"Nggak papa. Abis putus langsung gue nikahin. Halal! Gass terusㅡngueeenggg!" tandas Gerald sembari mengilustrasikan mobil kecepatan tinggi dengan tangannya.
Pemuda kelinci tersebut mendecih kuat-kuat, menunjukkan ketidaksukaannya dan merotasikan matanya jengah. Memang sudah paling benar kalau Alvin akan merasa terhibur mengganggu Jessica. Ah, sayang sekali Alvin kabur tadi siang. Seharusnya ia tetap di sekolah dan menerima amukan gadis berponi tersebut lalu tinggal menangkis serangan. Toh, serangan Jessica padanya sering meleset juga. Ah! Sial! Alvin menyesalinya sekarang.
Well, tak ada gunanya mengutuk-ngutuk sekarang lantaran senyuman pemuda kelinci tersebut cepat-cepat terkembang saat melihat sebuah video singkat pada snapgram salah satu temannya. Jessica akan datang ke arena balapan.
Alvin tertawa renyah dan segera bangkit lalu menyambar kunci motornya. “Daah, Gerald. Selamat bercumbu dengan buku-buku sialan lo itu. Gue cabut ke arena.”
“Pasti ada Jessica,” tembak Gerald tanpa mengalihkan pandangannya dari buku.
“Eh! Sok tau!”
Akhirnya sang lawan bicara mendongakkan kepalanya dan memandang sukar di percaya bersama seulas senyum sinis. “Bener? Lo 'kan cuma mau ke arena kalau ada Jessicanya. Yakin di arena nggak ada Jessica?”
Alvin memandang jengkel temannya tersebut dan menukikkan bibirnya tajam sebelum mendengus kasar. “Bacot! Gue cabut, malesin sama orang sok tempe kayak lo.”
“Ya-yaa, silahkan pergi silahkan.”
“Jangan sok tau lo!”
Ketika pemuda kelinci tersebut ingin keluar dari markas Daniel dan Thomas baru saja datang. Dan bertanya sebagaimana mestinya akan ke mana Alvin pergi sementara mereka baru saja tiba? Namun si empunya malah melotot sebal dan pergi begitu saja tanpa mau memberikan sebuah jawaban manusiawi. Thomas menghempaskan dirinya di sofa dan melirik Gerald.
“Alvin mau pulang?”
“Mau ketemu semestanya,” jawab Gerald.
“Hah?!” Daniel dan Thomas kompak tidak mengerti sedangkan Gerald terbahak-bahak tanpa berniat menjelaskan.
•√•
Lembayung jingga seolah tumpah mewarnai angkasa bersama awan-awan yang mulai berwarna serupa ketika Jessica sampai pada sebuah tempat pemakaman umum. Gadis tersebut menggenggam buket bunga mataharinya erat-erat dan terus menyusuri jalan setapak. Jessica sempat menyapa penjaga makam sebelum menaiki tangga dan bergerak terus ke tengah-tengah. Si gadis berponi akhirnya sampai pada tujuannya dan berjongkok di sebelah gundukan tanah.
“Halo? Sica di sini.”
Begitulah si gadis menyapa bersama sebuah senyuman termanis yang jarang dikeluarkan percuma. Jessica meletakkan buket bunga tersebut di atas makam kemudian mengulurkan tangan guna mengusap batu nisan dengan gerakan lembut.
“Cal, aku mau cerita tapi jangan marah, ya?” ucap si gadis takut-takut seolah betulan akan ada orang yang memarahinya. “Jadiㅡhuft! Aku ngamuk lagi dan hampir matahin tangan orang hari ini padahal kamu ulang tahun. Yaaa, aku tau aku udah janji nggak akan bikin ulah di hari ulang tahun kamu tapiㅡyaaa, kepaksa, Cal! Abisnya dia nyebelin. Nyebelin banget. Ish! Aku sebel tau sama dia, seenaknya ngomentarin hidup orang kayak hidupnya yang paling bener.”
Manik bulat tersebut menunduk redup sementara tangan-tangannya mencabut rumput-rumput liar yang tumbuh. “Padahal 'kan semua manusia punya lubang di hidupnya,” cicit Jessica, setengah merajuk.
Sepersekian sekon berikutnya senyum manis si gadis mengembang lagi. “Tapi nggak jadi aku patahin, kok. Serius! Chelsie udah datangㅡwuuussh! Kayak angin jadi dianya selamat.”
Barangkali dengan begini suasana hatinya perlahan-lahan membaik. Barangkali dengan bercerita di sana bisa membuat gadis berponi tersebut merasa dunia takkan berbuat kejam lagi padanya. Berhenti membuat alur hidup menyedihkan dan bergerak lambat membuat Jessica bahagia. Tidak muluk-muluk. Jessica hanya ingin kekosongan di hatinya punah secepat mata berkedip namun sayang semua takkan berjalan mudah seperti apa yang ia inginkan.
“Haical, aku rindu kamu. Selalu rindu. Aku butuh kamu. Kamu janji buat jadi obatku tapi kenapa harus pergi, Cal? Aku sebegitu nggak layaknya dapet kamu sampai-sampai Tuhan ngambil kamu dari aku? Yang aku butuhin cuma kamu, Cal.” Jemarinya terkepal kuat-kuat sehingga buku-buku jari memutih sepenuhnya bersama rasa pahit berdenyar merongrong dada. Jessica kesulitan mengatur napas tatkala melanjutkan luar biasa pahit. “Aku butuh kamu, Haical. Aku mau kamu. Permintaanku selalu sederhana dari dulu tapi nggak pernah terkabul.
“Aku beneran kangen kamu, kangen banget sampai rasanya hatiku … ” Jessica menjeda sembari memukul-mukul dadanya yang kini sesak. “ … kosong, Cal. Aku nggak ngerasain apapun lagi setiap bangun pagi sementara dulu aku bangun buat kamu. Supaya bisa ketemu kamu. Ini adil nggak sih buat aku, Cal?”
Air matanya lolos seketika dan Jessica segera menyeka kasar butiran bening tersebut. “Butㅡyeaah, aku nggak mau mellow.” Jessica segera mencondongkan tubuhnya dan mengecup nisan Haical. Senyumannya terlukis sendu saat ini. “Selamat ulang tahun, Haical. Semoga rasa sakit kamu dulu nggak akan pernah kamu rasain lagi di sana. Semoga kamu berada di tempat terbaik di sisi Allah. Aku sayang kamu, always and forever. You have place in my heart.”
Jessica berdiri selanjutnya, menepuk-nepuk belakang roknya yang sedari tadi menyapu tanah sebelum mengusap-usap batu nisan tersebut. Ia merenggangkan otot tangan dan mendesah berat. “Aku harus pulang sekarang, Haical. Aku janji kalau ada waktu aku main ke sini lagi. Maaf dan terima kasih. Aku pulang, daaah.”
Ada perasaan kosong ketika Jessica berbalik dan bergerak menjauh. Kehampaan jauh lebih kejam menyentak dada seolah tak pernah ada waktu luang yang diberikan untuk si gadis beristirahat dari dunianya yang kacau balau. Jessica hanya dipaksa untuk terus berjalan menuju garis akhir yang belum pernah menampakkan diri. Luar biasa menyebalkan jalan hidupnya ini. Setelah semua rasa sakit berkepanjangan yang si gadis dekap setiap sekon napasnya.
Nyatanya takdir enggan untuk bersikap lunak dan mengambil semestanya.
Semestanya Jessica.
Sekaligus obatnya.
ALUNANmelodi dari laguone last timeyang dipopulerkan oleh Ariana Grande menjadi latar suara. Mengisi kekosongan senyap dalam mobil sementara mesin terus melaju mengikuti rute jalan. Jalanan yang tak pernah sepi, jalajan yang tak pernah lengang, jalanan yang tak pernah ditinggalkan. Barangkali jalan ini menjadi penghubung dari rumah ke tempat-tempat tujuan para penduduk. Bisa jadi untuk bekerja, melanjutkan pendidikan atau sekedar jalan-jalan semata. Intinya, jalan raya tidak pernah kehilanganpelanggan.Untuk setiap sekon yang harus rela terbuang dalam antrian menuju tempat ternyaman mereka. Jessica enggan menyebut rumahnya sebagai tempat berpulang.Yeah,definisi rumah itu memangnya apa? Hanya sebatas batu bata yang disatukan dengan semen mengikuti desain yang diinginkan lalu ditinggalkan tanpa tersapa l
MALAMapa pernah senyap meski batas waktu beraktifitas telah seharusnya berhenti tatkala mentari menyampaikan salam perpisahan, hilang di ufuk barat dan berjanji akan datang keesokan harinya?Jessica rasa tidak. Meskipun jam telah berdentang-dentang menunjukkan eksistensi pukul malam. Orang-orang barangkali enggan untuk berhenti hanya karena masalah waktu. Selalu ada kegiatan dadakan yang wajib untuk dituntaskan sebelum mimpi membuai raga saat terlelap.Yeaah,contohnya ada pada dirinya sendiri malam ini. Ah, sial! Padahal Jessica berjanji akan pulang ke rumah Jenna setelah berziarah akan tetapiㅡah, sudahlah! Malas membahas yang sudah berlalu, toh, bukan hal yang patut dikenang dan dibanggakan.Yang membuatnya lebih jengkel lagi malam ini adalah Alvin. Siluman kelinci yang muncul di ar
DUNIAJessica selalu terguncang. Selalu diguyur badai, petir berkepanjangan dan angin kencang yang tak pernah mau berdamai. Seolah memporak-porandakan hidup gadis manis tersebut merupakan hal yang sangat menyenangkan dilakukan oleh alam semesta. Ketenangan selalu sukar didapati pada Jessica yang juga akhirnya ikut membalas. Membuat hidupnya lebih berisik daripada apapun. Membuat dirinya lebih sibuk dibandingkan siapapun.Dengan cara menghancurkan sekitarnya.Angkasa biru lebih cerah dibandingkan biasanya, matahari juga membumbung tinggi di atas kepala guna membagi cahayanya sama rata ke seluruh penjuru bagian bumi. Pukul sepuluh pagi dan Bina Bangsa kira keadaan sekolah akan baik-baik saja tanpa keributan berarti. Namun Jessica enggan mewujudkannya. Gadis serupa boneka tersebut berdiri tegak di tengah-te
HEMBUSANangin tertiup cukup lembut dari jendela bersama cahaya yang menembus masuk namun hangatnya mentari enggan untuk menyatu di ruang UKS tersebut. Terlelapnya Jessica pada ranjang tepat di bawah jendela adalah sebuah tanda bahwa keadaan terbilang stabil di luar sana. Manik bulat tersebut terkatup rapat dengan memar di tulang pipi, sepasang telapak tangannya dihias oleh perban, plester berkarakter pun tak mau ikut ketinggalan guna menjadi aksesoris baru di wajah si gadis.Jessica betulan babak belur dalam pertandingan pagi ini.Usai Alvin membuat si gadis pingsan sebagai satu-satunya cara agar Jessica berhenti melepas tantrum, pemuda kelinci tersebut langsung membawa Jessica dalam gendongan menuju ruang kesehatan dan ketiga sahabat si empu yang mengejar dari belakang. Alvin masih tetap di sana memper
DUNIAmasih bekerja sebagaimana mestinya saat Jessica kabur dari panggilan menghadap keruangan kepala sekolah usai membuat gempar Bina Bangsaㅡuntuk ke sekian kalinya tanpa bosan menjadi pelaku utama. Betulan seperti pelaku buronan kala namanya dikumandangkan di seluruhspeakeryang ada di sekolah. Gadis berponi tersebut meloloskan gelak tawa mengejek guru-gurunya sebelum meninggalkan area Bina Bangsa dan pergi menuju Alexander. Jaraknya cukup jauh jika ditambah waktu kemacetan parah lalu lintas.Omong-omong soal sekolah tetangga yang satu itu di mana para sepupunya bersekolah di sana. Alexander merupakan sekolah swasta yang dalam perangkingan poin tahunan berada di bawah Bina Bangsa. Baik di bidang akademik maupun non keduanya berpacu gesit menjadi yang terbaik. Dan acapkali Bina Bangsa yang keluar sebagai pemenang akhir. Ditambah orang-ora
“JESSICAbelum mau menurut?” merupakan pertanyaan Eleanor pada putra sulungnya setelah beberapa waktu sampai di sebuah butik ternama ibu kota.Jemari lentiknya memilah-milah pakaian-pakaian dengan harga setinggi langit tergantung rapi. Masih dibalut setelan kerja sekaligus curi-curi waktu di jam kerja, Eleanor tetap ingin turun tangan dalam mencari pakaian yang sekiranya cocok untuk putri bungsunya dalam acara pembukaan cabang anak perusahaan dengan Angello sebagai penanggung jawab. Tangan wanita tiga anak tersebut mengibas di udara guna memberi kode agar seseorang membawakan pilihan baju yang lain.Sembari menunggu, Eleanor menatap putranya yang duduk menyilang kaki di sofa. “Kamu nggak marahin dia, 'kan, Jello?”“
NAPASNYAterengah-engah seiras dengan irama detak jantung yang berdentum gila-gilaan seolah mampu untuk melompat dari posisi. Kepala pemuda kelinci itu menengadah ke atas sesaat guna merenggangkan otot tengkuk sebelum meludah darah ke tanah. Pukul tujuh malam, kurang sedikit dan rembulan bersinar cukup terang malam ini untuk membantu Alvin membabat habis lima belas orang musuh yang menghadang di jalan. Tahu-tahu datang bagaikan jelangkung.Semua lawannya tumbang memang akan tetapi yang Alvin cemaskan adalah kemarahan Susandra. Bisa habis diceramahi dia kalau sampai ketahuan bertengkar lagi.Perkelahian bersama Jessica saja sudah mujur tidak diungkit-ungkit lagi mengingat posisi penting gadis itu di keluarganya dan Alvin terbebas dari hukuman. Tetapi malah harus berurusan dengan Gala yang marah karena Alv
DUAtahun lalu lebih-kurang.Pendaftaran calon siswa baru di Bina Bangsa telah dibuka secaraonline. Bagi PPDB yang ingin mendaftar sudah bisa melengkapi data dan mengunggah berkas-berkas yang tertera padawebsite.Seleksi awal masuknya saja cukup kapabel sekali mengurangi nyaris setengah para pendaftaran saking ketatnya. Jujur, Alvin masuk ke sana karena Susandra bilang akreditasi serta citra Bina Bangsa sudah tersohor di mana-mana. Sekolah swasta terbaik Indonesia. Bila Ibunda sudah bertitah demikian maka Alvin tentu akan melenceng dari jalur yang berbeda dengan teman-temannya yang memilih masuk SMK.Tahapan-tahapan dilalui dan setiap detiknya Alvin tidak pernah merasaㅡyeaah,bersemangat. Pemuda kelinci tersebut mudah bosan. Dia tidak suka hal-hal yang mon