APA-APA saja yang berhubungan dengan Jessica memang selalu akan tampak menarik untuk di saksikan. Oleh karenanya pemuda kelinci tersebut tidak dapat lagi menahan diri dan meletuskan tawanya dengan terbahak-bahak usai menonton video berdurasi singkat yang di unggah pada salah satu akun sosial media, di mana Jessica lagi-lagi unjuk kebolehannya dalam patah mematahkan tulang manusia bahkan tak hanya video akan tetapi komentar demi komentar yang terus-menerus mengirim kolom postingan juga kapabel membuat perut Alvin tergelitik bukan main sampai-sampai ia berpikir ia bisa saja menangis di buatnya. Tangan pemuda itu juga sampai memukul-mukul sofa markas dan spontan menunjukkan layar ponselnya pada Gerald. "Liat! Liat! Dia naikin kaki ke bahu si ceweknya terus hampir matahin tangannya tapi Chelsie ke buru dateng," Alvin berdecak sebal kemudian. "Kecewa penonton."
Kalau kalian semua tidak tahu maka percayalah bahwa saat ini rasa ingin menghantam Alvin dengan buku-buku di hadapan benar-benar meningkat drastis pada angka yang tak dapat lagi ia perkirakan. Gerald betulan merasa jengkel setengah mati sedari tadi akibat ledakan tawa manusia kelinci tersebut yang mana jelas-jelas mengganggu konsentrasinya nan sedang fokus mengerjakan tugas sekolah, akan tetapi si empu tersebut malah bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Ini jauh lebih menyebalkan, jujur saja.
Gerald berdecak kasar dan membanting penanya ke meja. "Njing! Bisa lo sedekahin nggak sih mulut lo? Ganggu bangsat! PR gue banyak nih! Susah konsen gegara mulut lo, berisik banget!" keluhnya di iringi umpatan penuh kasih sayang pada sang kawan. "Biarin gue fokus bentaran dulu elah!" tandasnya jengah.
"Yeee! Belajar mah di rumah bukan di sini. Ini tempat umum, jadi gue berhak melakukan apa pun di sini, nggak ada urusan sama lo," balas Alvin menolak melakukan toleransi. Dia mendelik sebal, "Lagian tumbenan amat lo rajin begini? Kenapa? Ketauan cewek lo lagi?"
"Kan main! Si Thomas cepu ke Keisha kalau gue bolos kemaren gara-gara gue nggak mau ngasih nomor Anne, anak IPS 3. Sialan! Ketemu gue gamparin sampe ompong giginya, setan! Gedeg banget gue, gila!" tukas pemuda tersebut sebal luar biasa dan menarik napas kemudian sebelum meraih ponselnya. "Btw, Jessica apa nggak bosen trending mulu di base sekolah apa? Tiap hari ada aja ulahnya sama kayak orang yang gue kenal," sambungnya sembari melirik keki ke arah sang kawan.
Alvin mengabaikan sindiran itu, dia mengedikkan bahu tanda tidak peduli. "Biarin dia berkaryalah. Gini-gini juga jadi hiburan kita bersama," sahut Alvin sekenanya. "Anak-anak di sekolah kalau nggak ngegosipin Jessica siapa lagi coba? Objek utama pergunjingan mereka ini." "Najis!" balas Gerald. "Tapi bener, sih. Gitu-gitu juga mereka sok banget merasa paling oke, tapi ngehujat di sosmed begini nomor satu. Ketemu langsung juga ciut." "Kecuali gue. Hehe!" "Pale lo meleduk! Tobat maneh! Biar kayak gue dapat cewek cakep dan baik hati. Apa nggak kepengen punya cewek juga lu daripada gangguin itu anak bar-bar satu?"Pemuda serupa kelinci tersebut mendengus kesal, ia lantas memperbaiki posisi guna menghadapkan tubuh dan fokusnya sempurna tertuju kepada Gerald. Ia kemudian langsung saja memaparkan apa-apa saja isi dalam kepalanya sekarang. "Gue di kenal orang-orang karena ganteng. Liat nih tampang tampan nan rupawan ini. Cewek lo sekali kedip pingsan kali."
"Gue colok tuh mata lama-lama, ya. Setan bener kelakuan!" berang Gerald seraya melotot. Pemuda itu menghela napas kasar, "Di base sekolah kita dua bulan terakhir ini di isi lo sama Jessica mulu. Kke nggak ada berita lain, anjir. Eneg gue, sumpah!"
"Yaa, tinggal lo mute apa salahnya, dongo?!"
"Masalahnya di base juga maparin Keisha yang ikut lomba ini-itu. Gue nggak bisa ketinggalan berita dan foto terbaru nan HD," balas Gerald kesal. "Jomblo tapi buaya kayak lo nggak bakalan tau apa isi hati gue. Cuih! Doyan PHP doang hidup lo gue liat. Najis!"
"Iri lo karena nggak bisa deketin cewek mana pun lagi karena udah punya gandengan?" ejek Alvin sambil terkekeh menghina. "Cie-cie, gue bilangin Keisha nih, yaa," godanya jahil.
Gerald menepuk-nepuk pundaknya untuk mengusir debu halus di sana. Ia menukikkan bibirnya tajam, "Gue udah ketemu yang klop. Yang bikin hari gue berwarna dan ngajak gue ke jalan yang bener. Selagi di kasih malaikat dalam bentuk Keisha kenapa harus gue tolak coba? Lonya aja yang tolol, ada cewek baik-baik tapi lo anggurin. Cewek baju minim lo goda. Setan kelakuan lo gue bilang."
"Masa muda itu harus di pakai sebaik-baiknya karena cuma ada sekali seumur hidup," sahut Alvin tak mau kalah. Ia mendecih, "Gue doain putus lo, nangis jangan ke gue. Tolak bala gue!"
"Nggak papa. Abis putus langsung gue nikahin. Halal! Gass terusㅡngueeenggg!" tandas Gerald sembari mengilustrasikan mobil kecepatan tinggi dengan gerakan tangannya.
Pemuda kelinci tersebut mendecih kuat-kuat, menunjukkan ketidaksukaannya dan merotasikan matanya jengah. Memang sudah paling benar kalau Alvin akan merasa terhibur mengganggu Jessica. Ah, sayang sekali Alvin kabur tadi siang. Seharusnya ia tetap di sekolah dan menerima amukan gadis berponi tersebut lalu tinggal menangkis serangan. Toh, serangan Jessica padanya sering meleset juga. Ah! Sial! Alvin menyesalinya sekarang.
Well, tak ada gunanya mengutuk-ngutuk sekarang lantaran senyuman pemuda kelinci tersebut cepat-cepat terkembang saat melihat sebuah video singkat pada snapgram salah satu temannya. Jessica akan datang ke arena balapan.
Alvin tertawa renyah dan segera bangkit lalu menyambar kunci motornya. “Daah, Gerald. Selamat bercumbu dengan buku-buku sialan lo itu. Gue cabut ke arena.”
“Pasti ada Jessica,” tembak Gerald tanpa mengalihkan pandangannya dari buku.
“Eh! Sok tau!”
Akhirnya sang lawan bicara mendongakkan kepalanya dan memandang sukar di percaya bersama seulas senyum sinis. Gerald total memandang rendah sang kawan. “Benekan? Lo 'kan cuma mau ke arena kalau ada Jessicanya. Selebihnya mah boro-boro ikutan balap, mampir aja ogah. Yakin di arena nggak ada Jessica?”
Alvin memandang jengkel temannya tersebut dan menukikkan bibirnya tajam sebelum mendengus kasar. “Bacot! Gue cabut, malesin sama orang sok tempe kayak lo.”
“Ya-yaa, silahkan pergi silahkan.”
“Jangan sok tau lo!”
Ketika pemuda kelinci tersebut ingin keluar dari markas Daniel dan Thomas baru saja datang. Dan bertanya sebagaimana mestinya akan ke mana Alvin pergi sementara mereka baru saja tiba? Namun si empunya malah melotot sebal dan pergi begitu saja tanpa mau memberikan sebuah jawaban manusiawi. Thomas menghempaskan dirinya di sofa dan melirik Gerald.
“Alvin mau pulang?”
“Mau ketemu semestanya,” jawab Gerald.
“Hah?!” Daniel dan Thomas kompak tidak mengerti sedangkan Gerald terbahak-bahak tanpa berniat menjelaskan.
•√•
Lembayung jingga seolah tumpah mewarnai angkasa bersama awan-awan yang mulai berwarna serupa ketika Jessica sampai pada sebuah tempat pemakaman umum. Gadis tersebut menggenggam buket bunga mataharinya erat-erat dan terus menyusuri jalan setapak. Jessica sempat menyapa penjaga makam sebelum menaiki tangga dan bergerak terus ke tengah-tengah. Si gadis berponi akhirnya sampai pada tujuannya dan berjongkok di sebelah gundukan tanah.
“Halo? Sica di sini.”
Begitulah si gadis menyapa bersama sebuah senyuman termanis yang jarang di keluarkan percuma. Jessica meletakkan buket bunga tersebut di atas makam kemudian mengulurkan tangan guna mengusap batu nisan dengan gerakan lembut.
“Cal, aku mau cerita tapi jangan marah, ya?” ucap si gadis takut-takut seolah betulan akan ada orang yang memarahinya. “Jadiㅡhuft! Aku ngamuk lagi dan hampir matahin tangan orang hari ini padahal kamu ulang tahun. Yaaa, aku tau aku udah janji nggak akan bikin ulah di hari ulang tahun kamu tapiㅡyaaa, kepaksa, Cal! Abisnya dia nyebelin. Nyebelin banget. Ish! Aku sebel tau sama dia, seenaknya ngomentarin hidup orang kayak hidupnya yang paling bener.”
Manik bulat tersebut menunduk redup sementara tangan-tangannya mencabut rumput-rumput liar yang tumbuh. “Padahal 'kan semua manusia punya lubang di hidupnya,” cicit Jessica, setengah merajuk.
Sepersekian sekon berikutnya senyum manis si gadis mengembang lagi. “Tapi nggak jadi aku patahin, kok. Serius! Chelsie udah datangㅡwuuussh! Kayak angin jadi dianya selamat.”
Barangkali dengan begini suasana hatinya perlahan-lahan membaik. Barangkali dengan bercerita di sana bisa membuat gadis berponi tersebut merasa dunia takkan berbuat kejam lagi padanya. Berhenti membuat alur hidup menyedihkan dan bergerak lambat membuat Jessica bahagia. Tidak muluk-muluk. Jessica hanya ingin kekosongan di hatinya punah secepat mata berkedip namun sayang semua takkan berjalan mudah seperti apa yang ia inginkan.
“Haical, aku rindu kamu. Selalu rindu. Aku butuh kamu. Kamu janji buat jadi obatku tapi kenapa harus pergi, Cal? Aku sebegitu nggak layaknya dapet kamu sampai-sampai Tuhan ngambil kamu dari aku? Yang aku butuhin cuma kamu, Cal.” Jemarinya terkepal kuat-kuat sehingga buku-buku jari memutih sepenuhnya bersama rasa pahit berdenyar merongrong dada. Jessica kesulitan mengatur napas tatkala melanjutkan luar biasa pahit. “Aku butuh kamu, Haical. Aku mau kamu. Permintaanku selalu sederhana dari dulu tapi nggak pernah terkabul.
“Aku beneran kangen kamu, kangen banget sampai rasanya hatiku … ” Jessica menjeda sembari memukul-mukul dadanya yang kini sesak. “ … kosong, Cal. Aku nggak ngerasain apapun lagi setiap bangun pagi sementara dulu aku bangun buat kamu. Supaya bisa ketemu kamu. Ini adil nggak sih buat aku, Cal?”
Air matanya lolos seketika dan Jessica segera menyeka kasar butiran bening tersebut. “Butㅡyeaah, aku nggak mau mellow.” Jessica segera mencondongkan tubuhnya dan mengecup nisan Haical. Senyumannya terlukis sendu saat ini. “Selamat ulang tahun, Haical. Semoga rasa sakit kamu dulu nggak akan pernah kamu rasain lagi di sana. Semoga kamu berada di tempat terbaik di sisi Allah. Aku sayang kamu, always and forever. You have place in my heart.”
Jessica berdiri selanjutnya, menepuk-nepuk belakang roknya yang sedari tadi menyapu tanah sebelum mengusap-usap batu nisan tersebut. Ia merenggangkan otot tangan dan mendesah berat. “Aku harus pulang sekarang, Haical. Aku janji kalau ada waktu aku main ke sini lagi. Maaf dan terima kasih. Aku pulang, daaah.”
Ada perasaan kosong ketika Jessica berbalik dan bergerak menjauh. Kehampaan jauh lebih kejam menyentak dada seolah tak pernah ada waktu luang yang diberikan untuk si gadis beristirahat dari dunianya yang kacau balau. Jessica hanya dipaksa untuk terus berjalan menuju garis akhir yang belum pernah menampakkan diri. Luar biasa menyebalkan jalan hidupnya ini. Setelah semua rasa sakit berkepanjangan yang si gadis dekap setiap sekon napasnya.
Nyatanya takdir enggan untuk bersikap lunak dan mengambil semestanya.
Semestanya Jessica.
Sekaligus obatnya.
ENTAH ada kehebohan atau kegemparan apa pun dan di mana pun, dunia selalu terlihat baik-baik saja. Tidak tersentuh. Tidak terdistraksi. Tidak terusik. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa dan selalu berjalan tanpa mengenal jeda. Yah, entah apa-apa saja yang terjadi memang sudah semestinya semesta bergerak, mau siap atau tidak, dunia akan terus berlanjut dengan atau tanpa segelintir orang. Sepanjang perjalanan alunan melodri dari lagu one last time yang di populerkan oleh Ariana Grande menjadi teman. Mengisi kekosongan dan hampa dalam mobil selagi mesin terus bekerja keras melaju mengikuti rute jalan yang tengah di tuju. Jalanan yang tidak pernah sepi, jalanan yang tidak pernah kehilangan peminat, jalanan yang tidak pernah lengang, jalanan yang tidak pernah di tinggalkan. Jalanan yang selalu di dambakan semua orang meski kadang kala acapkali merenggut nyawa. Ah, filosofinya mulai terasa biru di tengah-tengah perasaan berkecamuk ini. Barangkali hanya sesederhana saja, di mana jalan ini
APAKAH pernah malam terasa senyap dan sunyi? Yang benar-benar senyap tanpa secuil kegaduhan apa pun dan kebisingan tidak berarti nan kapabel mengganggu ketenangan kendati waktu beraktivitas seharusnya telah rampung terlaksanakan tatkala mentari telah usai menyampaikan salah perpisahan, hilang di ufuk barat dan berjanji akan datang keesokan harinya? Apakah pernah? Ia rasa tidak. Malam nan gelap gulita selalu menyimpan cerita akan alur takdir mereka masing-masing.Alur yang tidak pernah bisa di hindari. Jessica tidak punya pilihan lain selain setuju. Meski pun jarum jam telah berdentang-dentang menunjukkan eksistensi kedatangan malam. Segelintir orang barangkali masih merasa enggan untuk berhenti hanya karena masalah batas waktu antara siang dan malam. Akan selalu ada alasan yang mendasari penyataan mereka tersebut nan terasa wajib untuk segera di tuntaskan sebelum mimpi membuai raga saat terlelap. Yah, tidak usah jauh-jauh, contoh nyatanya saja adalah dirinya sendiri malam ini. Ah, sia
SEAKAN tidak mengenal kata jeda, dunia Jessica selalu saja terguncang hebat. Tiada henti-hentinya di guyur hujan badai, petir berkepanjangan dan angin kencang yang tidak pernah mau berdamai. Negosiasi sepenuhnya tertolak. Memporak-porandakan hidup yang di perjuangkan mati-matian oleh gadis manis tersebut merupakan hal yang barangkali sangat menyenangkan untuk alam semesta lakukan. Menarik ulur tempo kehidupan. Merumitkan segala hal. Kadang kala menaikkan raga hingga ke awang-awang, akan tetapi dalam sekejap mata sudah di jatuhkan lagi menuju dasar bumi. Ketenagan selalu sukar di dapati pada Jessica yang juga akhirnya memilih membalas semua penderitaan yang dunia berikan padanya. Di lakukan guna membuat hidupnya terasa lebih berisik daripada apa pun. Di bandingkan apa pun. Membuat dirinya jauh lebih sibuk daripada siapa pun.Dengan cara menghancurkan sekitarnya.Dunia terlalu berengsek untuk bisa ia hargai sistematis cara kerjanya. Angkasa biru terasa jauh lebih cerah hari ini di band
UDARA hangat menyelinap masuk melewati jendela yang terbuka setengah. Angin sepoi-sepoi juga tidak mau ketinggalan lantai ketinggian tiga meter dari tanah. Mentari tampaknya ingin sekali menyaingi eksistensi aroma obat-obatan samar dari ruangan seluas lima kali enam meter tersebut. Di kelilingan dinding putih dan satu lemari besar berisi beragam jenis obat. Mulai dari obat cair, tablet mau pun kapsul. Kabar baiknya, berkat salah satu penguasa sekolah yang sedang terbaring tidak sadarkan diri, orang-orang yang sempat menjadikan UKS sebagai tempat bolos lantas dengan cepat mengganti tempat perlarian. Yah, daripada tetap memaksakan diri dan berakhir menjadi samsak hidup manusia monster itu? Menghindar jelas merupakan pilihan yang bagus, bukan? Di salah satu ranjang dengan posisi cukup berdekatan dari letak jendela, Jessica terlelap nyenyak dan cuaca hangat namun menyegarkan ini semakin membuat gadis berponi tersebut makin terbawa arus mimpi. Pun karena itu situasi dan kondisi di luar san
JIKALAU peraturan ada untuk di langgar maka hukuman juga ada untuk di hindari, bukan? Terdengar ironi akan tetapi Jessica dengan senang dan sangat-sangat berlapang hati melakukannya. Persetan akan deretan jenis hukuman yang kepala sekolah siapkan untuk dirinya. Jessica akan melakukannya nanti apabila dia sudah dalam suasana dan kondisi yang tepat serta bagus, setidaknya tidak hari ini. Keinginan hati harus tetap di utamakan, bukan? Hei, ayolah! Hidup ini cuma sekali, oleh karena itu harus di nikmati semaksimal mungkin karena jika telah renta nantinya, jangankan kabur dari hukuman, berbuat masalah saja tidak bisa. Yah, karena apalagi kalau-kalau bukan terhambat tulang demi tulang nan telah keropos di makan usia? Atas dasar pemikiran demikianlah Jessica memilih melarikan diri dari panggilan menghadap ke ruangan kepala sekolah usai membuat gempar Bina Bangsa, untuk ke sekian kalinya tanpa pernah merasa bosan menjadi bintang utama atas segala kerusuhan. Toh, dunia masih bekerja sebagaimana
“JESSICA belum mau menurut?” merupakan pertanyaan Eleanor pada putra sulungnya setelah beberapa waktu sampai di sebuah butik ternama ibu kota.Jemari lentiknya memilah-milah pakaian-pakaian dengan harga setinggi langit tergantung rapi. Masih dibalut setelan kerja sekaligus curi-curi waktu di jam kerja, Eleanor tetap ingin turun tangan dalam mencari pakaian yang sekiranya cocok untuk putri bungsunya dalam acara pembukaan cabang anak perusahaan dengan Angello sebagai penanggung jawab. Tangan wanita tiga anak tersebut mengibas di udara guna memberi kode agar seseorang membawakan pilihan baju yang lain.Sembari menunggu, Eleanor menatap putranya yang duduk menyilang kaki di sofa. “Kamu nggak marahin dia, 'kan, Jello?”“I'm not,” jawabnya meragu. Laki-laki jangkung tersebut menggaruk sekilas dahinya dan memandang ibunya penuh putus asa. “Keinginan Sica tetap sama dan aku nggak bisa nurutin, Ma. Nggak bisa.”“Kita bisa, Jello.”“Dan biarin Mama harus makan hati tinggal sama tua bangka itu? E
NAPASNYA terengah-engah seiras dengan irama detak jantung yang berdentum gila-gilaan seolah mampu untuk melompat dari posisi. Kepala pemuda kelinci itu menengadah ke atas sesaat guna merenggangkan otot tengkuk sebelum meludah darah ke tanah. Pukul tujuh malam, kurang sedikit dan rembulan bersinar cukup terang malam ini untuk membantu Alvin membabat habis lima belas orang musuh yang menghadang di jalan. Tahu-tahu datang bagaikan jelangkung.Semua lawannya tumbang memang akan tetapi yang Alvin cemaskan adalah kemarahan Susandra. Bisa habis diceramahi dia kalau sampai ketahuan bertengkar lagi.Perkelahian bersama Jessica saja sudah mujur tidak diungkit-ungkit lagi mengingat posisi penting gadis itu di keluarganya dan Alvin terbebas dari hukuman. Tetapi malah harus berurusan dengan Gala yang marah karena Alvin tak membalas perasaan adiknya. Si pemuda jangkung menginjak kuat pundak Gala yang berada di bawah telapak kaki kemudian menyeringai sementara sang lawan mengerang minta ampun.“Bilan
DUA tahun lalu lebih-kurang.Pendaftaran calon siswa baru di Bina Bangsa telah dibuka secara online. Bagi PPDB yang ingin mendaftar sudah bisa melengkapi data dan mengunggah berkas-berkas yang tertera pada website. Seleksi awal masuknya saja cukup kapabel sekali mengurangi nyaris setengah para pendaftaran saking ketatnya. Jujur, Alvin masuk ke sana karena Susandra bilang akreditasi serta citra Bina Bangsa sudah tersohor di mana-mana. Sekolah swasta terbaik Indonesia. Bila Ibunda sudah bertitah demikian maka Alvin tentu akan melenceng dari jalur yang berbeda dengan teman-temannya yang memilih masuk SMK.Tahapan-tahapan dilalui dan setiap detiknya Alvin tidak pernah merasaㅡyeaah, bersemangat. Pemuda kelinci tersebut mudah bosan. Dia tidak suka hal-hal yang monoton. Alvin suka setiap detik hidupnya berwarna, bergerak aktif dan terlalu sayang bila dilewatkan dengan tidur. Alvin ingin yang seperti itu tetapi melihat bagaimana semua calon peserta didik baru di sekitarnya saat tes tulis. Err!
APABILA di umpakan secara gamblang, transparan dan tepat sasaran. Barangkali kejengkelan nan sedang menggerogoti jantung sekaligus hatinya telah menyerupai gunung aktif yang siap memuntahkan lahar panas guna membumi hanguskan sekitarnya. Menghancurkan setiap sentinya. Melenyapkan setiap eksistensi yang terlihat. Begitu pendeskripsian isi hati seorang Alvin sekarang ini. Dia sangat amat muak menghadapi situasi yang sama berulang-ulang kali. Hingga rasanya si lelaki bisa melakukan apa saja untuk menyingkir masalah nan sedang mengganggu kesehariannya tersebut. Jujur saja, bukankah dia lahir tanpa setangki kesabaran melimpah? Hei, dia jelas-jelas bukan badan amal. Mana sudi ia bersikap sabar terhadap orang-orang yang bahkan tidak ingin bersikap sabar atas dirinya; egois memang, akan tetapi Alvin mana mau repot-repot peduli.Emosi yang kini menguasai dadanya benar-benar tidak terbendung lagi, jadi Alvin harus memprioritaskan hati dan batinnya. Ini tidak bisa di tunda-tunda lagi jikalau tida
KABAR kembalinya sang penguasa Bina Bangsa menyebar dengan cepat yang bahkan tidak genap satu hari setelah beritanya masuk menuju masing-masing ponsel warga sekolah. Termasuk adegan epik sang tuan putri dalam melancarkan aksi balas dendamnya begitu menginjakkan kaki di sekolah. Memang tidak ada bukti fisik seperti video atau pun foto, akan tetapi hal ini mutlak mengirim teror bagi siapa-siapa saja yang telah lancang mengusik tiga sahabat gadis penguasa tersebut. Selepas fakta mengenai Chika menjalar bagaikan tanaman rambat, informasi baru dari korban-korban yang Jessica gasak habis di hari yang sama mulai simpang siur terdengar. Bahwa pembalasan dendam Jessica bukanlah lelucon semata. Tiada satu pun dari mereka yang berani membayangkan akan sesuram apa hari esok. Akan setegang dan seberisik apa Bina Bangsa esok, namun yang pasti, Jessica telah mendeklarasikan peperangan dan takkan ada yang bisa kabur dari cengkeramannya.Yah, terserah dengan apa yang akan terjadi. Alvin tidak peduli.
APABILA bundaran oranye tersebut dapat berbicara, barangkali serangkaian kalimat makian sudah terlontar kepada manusia kelinci yang masih bebal melantunkan bola basket nan kusam itu menuju ring walau telah terpeleset berulang kali. Alvin tetap bersikukuh melanjutkan permainan seorang diri di markas kumuh ini. Tempat terakhir ia benar-benar bertemu Jessica. Tempat yang menjadi saksi bisu akan seberapa besar perasaannya untuk gadis nakal tersebut. Oleh sebab itu ujung-ujungnya Alvin melarang keras yang lain datang ke tempat ini. Alasannya karena takut kenangannya dengan Jessica pudar begitu saja. Jelas, awal-awalnya muncul pertentangan akan tetapi jikalau Alvin sudah berkehendak. Siapa yang berani menantang memangnya? Cari mati namanya.Yah, setidaknya sampai Jessica kembali.Iya, begitu.Namun, kapan gadisnya akan kembali?Apa setelah mereka lulus SMA?Ah, sial! Perasaannya semakin memburuk bahkan hanya dengan memikirkannya saja. Alvin tentu saja tidak tahu apa-apa. Dia ini merupakan o
PEMANDANGAN danau indah, secangkir kopi dan sepirinh roti panggang hangat. Perpaduan ini membuat Jessica merasa jauh lebih hidup di bandingkan yang sudah-sudah. Seolah ia baru saja menjadi manusia seutuhnya sekarang. Sebab sepanjang hidup, baru kali ia tidak bangun dengan beban berat pada pundak. Tidak ada lagi mimpi buruk yang mencekam. Tidak ada lagi sesak dalam dada. Tidak ada lagi pening yang menyerang kepala. Tubuhnya sungguh-sungguh terasa ringan hingga menjalani rutinitas santai begini membuat senyuman manis di bibir terbit dengan begitu cerah. Jessica menghembuskan napas pendek, mengeluarkan ponsel yang Bastian berikan padanya dan mulai memotret tiap sudut tempat nan ia rasa tampak cantik untuk di abadikan oleh kamera ponselnya.Jessica memang belum sepenuhnya terbiasa. Bahasa dan budaya mereka jelas berbeda dengan keseharian yang dulu biasa ia jalani. Jessica juga belum pernah tinggal begitu lama di negeri orang lain selain hanya singgah guna menemani sang kakek bekerja atau
DUA minggu. Empat minggu. Kemudian sudah genap satu bulan. Lambat laun bertambah hari demi hari. Tahu-tahu sudah lebih dari satu minggu lagi. Lalu bulan lagi. Begitu terus. Detik berganti menit. Menit berganti jam. Jam berganti hari. Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Tepat lima bulan kepergian Jessica dari hidupnya dan Alvin tidak pernah merasa kehilangan seperti ini sebelumnya. Alvin tidak pernah merasa hidupnya sehampa ini. Tidak pernah merasa jikalau hidupnya akan seberat ini tanpa kehadiran gadis barbar kesayangannya itu. Alvin tidak pernah mengira bahwa ketiadaan Jessica dalam poros dunianya benar-benar melumpuhkan nyaris seluruh engsel kehidupannya, dan membuat dia terus berlari dari getirnya fakta bila saat ini dia benar-benar di tinggalkan tanpa salam perpisahan.Jantungnya berdenyut ngilu.Alvin tidak pernah tahu bahwa merindukan seseorang bisa membuatnya gila seperti ini. Entah sudah berapa orang yang ia pukuli hari ini. Entah sudah berapa kayu yang ia patahkan ka
SEBUT saja dia gila. Bastian tidak keberatan. Sama sekali tidak masalah di maki demikian sebab orang waras mana yang dengan kesadaran penuh membawa kabur seorang cucu perempuan satu-satunya dari keluarga konglomerat Atriyadinata? Cuma dia. Secara teknik memang tidak dapat di sebut menculik akan tetapi tetap saja Bastian terlibat sebagai kaki tangan. Apabila sang kakek tahu, tanpa sempat menjelaskan maka namanya sudah terlebih dahulu terukir di batu nisan. Mengesankan. Bastian tidak belajar mati-matian dari dulu hanya untuk menghancurkan hidupnya di masa depan nanti. Tidak. Enak saja. Bastian belajar seperti kiamat akan datang esok hari karena ingin segera hidup mandiri dan terlepas dari sistem politik keluarga. Dia sudah muak harus mendengarkan sang ibu menjelek-jelekkan anggota keluarga lain. Masih baik dia tidak terkontaminasi, tidak seperti saudaranya yang lain.Kendati demikian, walau sudah membuat heboh keluarga, tampaknya si pelaku tidak terlihat merasa bersalah sedikit pun. Di
GELEGAK amarah. Urat saraf yang menonjol. Wajah memerah penuh resah. Ekspresi keruh terang-terangan menyatakan isi hati. Layar demi layar di depan mata nan menampilkan rekaman CCTV beberapa lokasi tidak berhasil membuatnya puas. Demian makin murka. Dalam satu kali gerakan, dia menghempas kasar benda-benda berteknologi canggih tersebut. "KALIAN SEMUA TIDAK BECUS! UANG YANG SAYA KELUARKAN SELAMA INI UNTUK KALIAN TERNYATA SIA-SIA! SAYA INGIN CUCU SAYA DI TEMUKAN TAPI KALIAN SEMUA TIDAK MAMPU MELAKUKAN ITU! APANYA YANG SULIT MENCARI SEORANG ANAK PEREMPUAN YANG MASIH SMA?! KELUAR KALIAN DARI RUMAH SAYA! DASAR TIKUS-TIKUS KOTOR! JANGAN PIKIR UNTUK KEMBALI MENGINJAKKAN KAKI DI SINI SEBELUM CUCU SAYA DI TEMUKAN ATAU KALIAN AKAN TAU APA AKIBAT GAGAL MENJALANKAN TUGAS DARI SEORANG DEMIAN! CAMKAN ITU!"Satu minggu berlalu sejak menghilangnya Jessica. Entah sesakit apa hati anak malang tersebut sampai-sampai memilih untuk pergi. Demian gagal menjadi rumah bagi cucunya. Demian gagal menjadi zona a
JESSICA benar-benar lenyap begitu saja. Bagaikan di telan bumi dan terdampai di dunia antah berantah. Tidak dapat terdeteksi. Tidak dapat di telusuri. Tidak dapat di temukan. Kabar menghilangnya cucu bungsu dari keluarga konglomerat Atriyadinata memang tidak di beritakan pada surat kabar, berita di TV atau pun pada seluruh platform media sosial. Namun satu hal pasti, ketidakhadiran puan tersebut secara mendadak jelas-jelas menggemparkan seisi sekolah. Entah itu murid-muridnya, guru berserta staff dan sekaligus pedagang di kantin. Ketiadaan eksistensi Jessica sungguh-sungguh menjadi topik hangat bahkan usai genap seminggu sang penguasa sekolah tersebut menghilang tanpa kabar. Beberapa dari mereka berusaha menggali informasi dari sumber pasti, tentu itu adalah tiga sahabat sang topik utama Bina Bangsa, akan tetapi seperti yang telah di terka-terka, mereka sempurna dalam kebungkaman. Lebih tepatnya mereka sama sekali tidak tahu-menahu mengenai keberadaan Jessica sekarang. Hembusan na
ORANG-ORANG dulu berkata bahwa rumah adalah tempat paling aman, nyaman dan tepat untuk beristirahat dari berisiknya hiruk-pikuk dunia. Kehangatannya akan mampu meluruhkan segala penat dan lelah tanpa pamrih. Di semua buku, selebaran, iklan atau penjelasan literatur pun mengatakan hal serupa. Rumah adalah tempat kau untuk pulang. Setidaknya itu yang mereka ingin bagikan ke seluruh umat manusia. Tapi sialnya, tidak semua dari mereka memaparkan lebih detail mengenai rumah macam apa yang baik guna menyambut rusaknya jiwa akan permainan benang takdir. Atas segala ujian alam bagi tiap-tiap mereka yang bernapas. Mereka lupa menambah satu paragraf kenyataan bahwa tidak semua rumah itu terasa seperti pulang. Kadang kala justru mirip seperti neraka. Memang tidak panas, namun gelegak amarah yang terus-menerus mendidih, lontaran makian, teriakan melengking, barang demi barang melayang, tuduh menuduh dan sejenisnya. Mana mungkin tempat yang terasa seperti arena peperangan tersebut cocok di katakan