Share

BAB 12 : Semesta

ALVIN terbahak-bahak usai menonton video singkat yang terus-menerus diunggah seisi sekolah di mana Jessica menunjukkan kebolehannya soal patah mematahkan tulang. Komentar-komentar yang terus dilayangkan betul-betul sukses mengocok perut sampai Alvin pikir ia bisa menangis kapan saja. Tangannya memukul-mukul sofa markas dan menunjukkan layar ponselnya pada Gerald. "Liat! Liat! Dia naikin kaki ke bahu si ceweknya terus hampir matahin tangannya tapi Chelsie ke buru dateng," Alvin berdecak sebal. "Kecewa penonton."

Percayalah rasa ingin menghantan Alvin dengan buku-buku di hadapannya ini meningkat drastis pada angka tidak terhingga. Gerald merasa jengkel sedari tadi akibat meledaknya tawa pemuda kelinci tersebut yang mana mengganggu konsentrasi, akan tetapi si empu malah bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.

Gerald berdecak kasar dan membanting penanya ke meja. "Njing! Bisa lo sedekahin nggak sih mulut lo? Ganggu bangsat! PR gue banyak nih! Susah konsen gegara mulut lo, berisik banget!" keluhnya ditemani umpatan penuh kasih sayang.

"Yeee! Belajar mah di rumah bukan di sini," balas Alvin menolak melakukan toleransi. "Lagian tumbenan amat lo rajin begini? Kenapa? Ketauan cewek lo lagi?"

"Kan main! Si Thomas cepu ke Keisha kalau gue bolos kemaren gara-gara gue nggak mau ngasih nomor Anne, ank IPS 3. Sialan! Ketemu gue gamparin tulangnya!" tukas pemuda tersebut sebal luar biasa dan menarik napas kemudian sebelum meraih ponselnya. "Btw, Jessica apa nggak bosen trending mulu di base sekolah apa? Tiap hari ada aja ulahnya sama kayak orang yang gue kenal," sambungnya sembari melirik keki ke arah sang kawan.

Alvin mendengus kesal, memperbaiki posisi guna menghadapkan tubuhnya pada Gerald. Ia memaparkan isi kepalanya, "Gue dikenal orang-orang karena ganteng. Liat nih tampang tampan nan rupawan ini. Cewek lo sekali kedip pingsan kali."

"Gue colok tuh mata lama-lama, ya. Setan bener kelakuan!" berang Gerald seraya melotot. Pemuda itu menghela napas kasar, "Di base sekolah kita dua bulan terakhir ini diisi lo sama Jessica mulu. Eneg gue, anjrit!"

"Yaa, tinggal lo mute apa salahnya, dongo?!"

"Masalahnya di base juga maparin Keisha yang ikut lomba ini-itu. Gue nggak bisa ketinggalan berita dan foto terbaru nan HD," balas Gerald kesal. "Jomblo tapi buaya kayak lo nggak bakalan tau apa isi hati gue. Cuih! Doyan PHP doang hidup lo gue liat. Najis!"

"Iri lo karena nggak bisa deketin cewek manapun karena udah punya gandengan?" ejek Alvin sambil terkekeh menghina.

Gerald menepuk-nepuk pundaknya untuk mengusir debu halus di sana. Ia menukikkan bibirnya tajam, "Gue udah ketemu yang klop. Yang bikin hari gue berwarna dan ngajak gue ke jalan yang bener. Selagi dikasih malaikat dalam bentuk Keisha kenapa harus gue tolak coba? Lonya aja yang tolol, ada cewek baik-baik tapi lo anggurin. Cewek baju minim lo goda. Setan kelakuan lo gue bilang."

"Masa muda itu harus dipakai sebaik-baiknya karena cuma ada sekali seumur hidup," sahut Alvin tak mau kalah. Ia mendecih, "Gue doain putus lo, nangis jangan ke gue."

"Nggak papa. Abis putus langsung gue nikahin. Halal! Gass terusㅡngueeenggg!" tandas Gerald sembari mengilustrasikan mobil kecepatan tinggi dengan tangannya.

Pemuda kelinci tersebut mendecih kuat-kuat, menunjukkan ketidaksukaannya dan merotasikan matanya jengah. Memang sudah paling benar kalau Alvin akan merasa terhibur mengganggu Jessica. Ah, sayang sekali Alvin kabur tadi siang. Seharusnya ia tetap di sekolah dan menerima amukan gadis berponi tersebut lalu tinggal menangkis serangan. Toh, serangan Jessica padanya sering meleset juga. Ah! Sial! Alvin menyesalinya sekarang.

Well, tak ada gunanya mengutuk-ngutuk sekarang lantaran senyuman pemuda kelinci tersebut cepat-cepat terkembang saat melihat sebuah video singkat pada snapgram salah satu temannya. Jessica akan datang ke arena balapan.

Alvin tertawa renyah dan segera bangkit lalu menyambar kunci motornya. “Daah, Gerald. Selamat bercumbu dengan buku-buku sialan lo itu. Gue cabut ke arena.”

“Pasti ada Jessica,” tembak Gerald tanpa mengalihkan pandangannya dari buku.

“Eh! Sok tau!”

Akhirnya sang lawan bicara mendongakkan kepalanya dan memandang sukar di percaya bersama seulas senyum sinis. “Bener? Lo 'kan cuma mau ke arena kalau ada Jessicanya. Yakin di arena nggak ada Jessica?”

Alvin memandang jengkel temannya tersebut dan menukikkan bibirnya tajam sebelum mendengus kasar. “Bacot! Gue cabut, malesin sama orang sok tempe kayak lo.”

“Ya-yaa, silahkan pergi silahkan.”

“Jangan sok tau lo!”

Ketika pemuda kelinci tersebut ingin keluar dari markas Daniel dan Thomas baru saja datang. Dan bertanya sebagaimana mestinya akan ke mana Alvin pergi sementara mereka baru saja tiba? Namun si empunya malah melotot sebal dan pergi begitu saja tanpa mau memberikan sebuah jawaban manusiawi. Thomas menghempaskan dirinya di sofa dan melirik Gerald.

“Alvin mau pulang?”

“Mau ketemu semestanya,” jawab Gerald.

“Hah?!” Daniel dan Thomas kompak tidak mengerti sedangkan Gerald terbahak-bahak tanpa berniat menjelaskan.

•√•

Lembayung jingga seolah tumpah mewarnai angkasa bersama awan-awan yang mulai berwarna serupa ketika Jessica sampai pada sebuah tempat pemakaman umum. Gadis tersebut menggenggam buket bunga mataharinya erat-erat dan terus menyusuri jalan setapak. Jessica sempat menyapa penjaga makam sebelum menaiki tangga dan bergerak terus ke tengah-tengah. Si gadis berponi akhirnya sampai pada tujuannya dan berjongkok di sebelah gundukan tanah.

“Halo? Sica di sini.”

Begitulah si gadis menyapa bersama sebuah senyuman termanis yang jarang dikeluarkan percuma. Jessica meletakkan buket bunga tersebut di atas makam kemudian mengulurkan tangan guna mengusap batu nisan dengan gerakan lembut.

“Cal, aku mau cerita tapi jangan marah, ya?” ucap si gadis takut-takut seolah betulan akan ada orang yang memarahinya. “Jadiㅡhuft! Aku ngamuk lagi dan hampir matahin tangan orang hari ini padahal kamu ulang tahun. Yaaa, aku tau aku udah janji nggak akan bikin ulah di hari ulang tahun kamu tapiㅡyaaa, kepaksa, Cal! Abisnya dia nyebelin. Nyebelin banget. Ish! Aku sebel tau sama dia, seenaknya ngomentarin hidup orang kayak hidupnya yang paling bener.”

Manik bulat tersebut menunduk redup sementara tangan-tangannya mencabut rumput-rumput liar yang tumbuh. “Padahal 'kan semua manusia punya lubang di hidupnya,” cicit Jessica, setengah merajuk.

Sepersekian sekon berikutnya senyum manis si gadis mengembang lagi. “Tapi nggak jadi aku patahin, kok. Serius! Chelsie udah datangㅡwuuussh! Kayak angin jadi dianya selamat.”

Barangkali dengan begini suasana hatinya perlahan-lahan membaik. Barangkali dengan bercerita di sana bisa membuat gadis berponi tersebut merasa dunia takkan berbuat kejam lagi padanya. Berhenti membuat alur hidup menyedihkan dan bergerak lambat membuat Jessica bahagia. Tidak muluk-muluk. Jessica hanya ingin kekosongan di hatinya punah secepat mata berkedip namun sayang semua takkan berjalan mudah seperti apa yang ia inginkan.

“Haical, aku rindu kamu. Selalu rindu. Aku butuh kamu. Kamu janji buat jadi obatku tapi kenapa harus pergi, Cal? Aku sebegitu nggak layaknya dapet kamu sampai-sampai Tuhan ngambil kamu dari aku? Yang aku butuhin cuma kamu, Cal.” Jemarinya terkepal kuat-kuat sehingga buku-buku jari memutih sepenuhnya bersama rasa pahit berdenyar merongrong dada. Jessica kesulitan mengatur napas tatkala melanjutkan luar biasa pahit. “Aku butuh kamu, Haical. Aku mau kamu. Permintaanku selalu sederhana dari dulu tapi nggak pernah terkabul.

“Aku beneran kangen kamu, kangen banget sampai rasanya hatiku … ” Jessica menjeda sembari memukul-mukul dadanya yang kini sesak. “ … kosong, Cal. Aku nggak ngerasain apapun lagi setiap bangun pagi sementara dulu aku bangun buat kamu. Supaya bisa ketemu kamu. Ini adil nggak sih buat aku, Cal?”

Air matanya lolos seketika dan Jessica segera menyeka kasar butiran bening tersebut. “Butㅡyeaah, aku nggak mau mellow.” Jessica segera mencondongkan tubuhnya dan mengecup nisan Haical. Senyumannya terlukis sendu saat ini. “Selamat ulang tahun, Haical. Semoga rasa sakit kamu dulu nggak akan pernah kamu rasain lagi di sana. Semoga kamu berada di tempat terbaik di sisi Allah. Aku sayang kamu, always and forever. You have place in my heart.”

Jessica berdiri selanjutnya, menepuk-nepuk belakang roknya yang sedari tadi menyapu tanah sebelum mengusap-usap batu nisan tersebut. Ia merenggangkan otot tangan dan mendesah berat. “Aku harus pulang sekarang, Haical. Aku janji kalau ada waktu aku main ke sini lagi. Maaf dan terima kasih. Aku pulang, daaah.”

Ada perasaan kosong ketika Jessica berbalik dan bergerak menjauh. Kehampaan jauh lebih kejam menyentak dada seolah tak pernah ada waktu luang yang diberikan untuk si gadis beristirahat dari dunianya yang kacau balau. Jessica hanya dipaksa untuk terus berjalan menuju garis akhir yang belum pernah menampakkan diri. Luar biasa menyebalkan jalan hidupnya ini. Setelah semua rasa sakit berkepanjangan yang si gadis dekap setiap sekon napasnya.

Nyatanya takdir enggan untuk bersikap lunak dan mengambil semestanya.

Semestanya Jessica.

Sekaligus obatnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status