Dalam pelarian karena pernikahannya dengan Raffi--kakak kelasnya gagal, Mahesa bertemu dengan Wibi. Wibi seorang pemuda yang berusia lebih muda dari Mahesa, sering memimpikan Mahesa, lalu menyatakan cinta. Mahesa yang seorang penyandang disleksia awalnya mengalami kebingungan dengan rasa, hingga akhirnya mau menerima Wibi. Akan tetapi, masalah lain muncul, ternyata Wibi adalah cinta pertama Yasmin, adik tiri Mahesa. Seperti apa kelanjutan cinta mereka?
View MoreRaffi memandang tajam wajah Mahesa, gadis yang dicintainya. Gadis itu kemudian menundukkan wajah ovalnya, menghindari tatapan Raffi yang menusuk hatinya. Ia harus menjawab pertanyaan Raffi sebelumnya.
"Apakah kau mencintaiku?"
Sungguh sulit ia menjelaskan.
"A-a-a ...aku ... nyaman sama Kakak, Kakak bagaikan ...."
Apakah aku mencintainya? Aku tak boleh berbohong, tak boleh, kalau tidak pernikahan ini akan menjadi pernikahan pura-pura. Aku harus jujur, sesulit, semenyakitkan apa pun.
"Ka-kakak bagiku." Lirih suaranya. Maaf ....
Raffi memberikan seulas senyum, meski keluarnya dengan dipaksa. Dia sudah tahu apa yang dirasakan gadis yang akan menjadi istrinya dalam hitungan hari. Tak pernah ia melihat pucuk cinta di mata sayu Mahesa saat sedang memandangnya. Jangankan pucuk, benih pun nampaknya tak ada. Mereka hanya bersama karena faktor keadaan. Pada saat Raffi mengungkapkan rasanya kepada Mahesa, gadis itu pun sedang bingung menghindari perjodohan seorang saudagar bau tanah yang sudah memiliki lebih dari empat istri. Sekali mendayung, dua-pulau terlampaui. Ia bisa menyelamatkan gadis yang sudah ditaksirnya semenjak kelas 3 SMA sambil memilikinya. Menjadikan pendamping hidup.
Namun, ternyata hanya memiliki raga tak cukup bagi Raffi. Ia sadari hal yang paling membuatnya jatuh hati kepada Mahesa adalah keceriaannya, keyakinannya akan datangnya cinta sejati. Kata yang sering diungkapkan olehnya.
Raffi merasa telah mencerabut keyakinan itu. Bagi Mahesa, cinta sejati kini bagaikan sebuah legenda yang hanya terjadi dalam negeri dongeng. Tak semua orang yang akan memilikinya. Dan ia telah menutup harapan akan datangnya cinta sejati. Karena harapannya ditutup, bagaikan memisahkan seseorang dari sinar matahari, bunga yang dicintai Raffi ini pun meredup. Raffi tahu, tak semestinya ia memenjarakan Mahesa dalam cinta yang tidak tulus. Cinta tak seharusnya seperti itu, cinta seharusnya membebaskan, cinta seharusnya membahagiakan.
“Tapi … aku akan berusaha ….” Kembali Mahesa berkata lirih. Memandang Raffi dengan mata penuh iba, juga keterpaksaan.
Raffi berdiri dari sofa panjang, Mahesa memandangi dari duduknya.
“Kakak, pergi dulu, ya?”
Mahesa mengangguk lesu. Raffi mengacak rambutnya pelan.
Selamat tinggal, aku akan membuatmu bahagia, meski bukan denganku.
**
Wanita separuh baya dengan hidung bangir itu terdiam ketika memasuki kamar temaram milik anak bujangnya. Seprainya rapi, dengan selimut terlipat disimpan dengan manis di ujung ranjang. Mata Halimah berkaca, putranya seharusnya hari ini melangsungkan pernikahan bersama gadis yang konon dikagumi semenjak sembilan tahun lamanya, dan dicintai selama setahun terakhir ini.
“Maaf, Mama ….” Tangan Raffi memegang tangan ibunya dengan lembut. Anak semata wayang, dari seorang ibu single fighter, telah mendidik Raffi sedemikain rupa sehingga menjadi lelaki yang tangguh, berprestasi. Ia berhasil kulian s1 dengan predikat cumlaude dan mendapatkan beasiswa s2 di Jerman. Kali ini ia akan berangkat lagi ke Jerman untuk melanjutkan s3 dengan berencana membawa Mahesa yang selama setahun terakhir mulai akrab semenjak chatting bareng di sebuah sosial media. Seorang gen unggul, tetapi disayangkan tak memiliki nasib baik tentang cinta. Berkali-kali dikhianati oleh perempuan yang katanya akan menemaninya hingga ajal memisahkan.
Halimah tak mengerti apa yang membuat Raffi memutuskan menggagalkan pernikahannya dengan Mahesa. Tapi ada lega di hati, karena gadis itu pun bukan tipe kesukaan sang ibu. Terlalu kaku. Beberapa kali ia melihat hanya Raffi yang mengorbankan segalanya.
“Ya Allah, berikanlah wanita yang baik bagi Raffi anakku.”
***
Mahesa duduk di depan meja riasnya. Membiarkan perias memermak wajahnya. Ia biarkan mukanya yang halus diberikan berbagai macam krim dan pewarna, muka yang biasanya cantik alamiah itu menjadi penuh dengan polesan dan terlihat seperti kabuki—aktor dari budaya Jepang yang terkenal dengan kostum mewah dan tata rias mencolok.
Ia tahu bahwa hari ini seharusnya pernikahannya tidak terjadi. Ia tahu bahwa Raffi sudah terbang lebih awal ke Jerman dan tidak membawanya. Tetapi ia tidak tahu bagaimana caranya memberitahu kedua orang tuanya. Ia kesulitan berbicara dengan orang tuanya semenjak masih berusia SD. Konflik demi konflik ia alami, dan sekarang waktunya untuk menutup mulut, menutup hati, membiarkan semua terjadi tanpa perlu menuntut ini-itu.
“Cantiknyaa!!” Sang penata rias memandangi wajah Mahesa. Lalu membetulkan beberapa bagian tubuh Mahesa dengan saksama.
“Uhuk-uhuk!”
“Haus?” tanyanya.
Mahesa mengangguk sambil memegang kerongkongannya.
Perias wajah yang biasa dipanggil Teh Anne lalu memanggil salah satu stafnya, tetapi tak kunjung ada sesiapa yang datang. Ia kemudian berjalan, dan keluar dari kamar Mahesa. Suasana kamar Mahesa yang dipenuhi hiasan pesta dan bunga kemudian sepi. Sang penata rias sudah selesai dan takada satu pun yang menemani Mahesa. Ia kemudian berdiri, meyambar sebuah tas kecil berisi pakaian yang sudah dipersiapkannya sedari malam, mengenakan sepatu sneakers berwarna putih dengan segera, lalu menuju jendela kamar. Susah payah ia menaikkan kain yang membungkus kaki jenjangnya hingga ke paha, lalu menuruni jendela kamarnya dengan melompat.
Mahesa memandangi sekitar, beberapa staf EO mondar-mandir keluar masuk rumahnya. Ia memang sengaja membuat pesta kecil saja di rumahnya. Tidak ingin membuat acara yang terlalu besar-besaran. Begitu kesepakatannya dengan Raffi. Rafii pun bukan orang yang suka menghambur-hamburkan harta untuk sebuah pesta pernikahan yang dihadiri orang-orang yang tidak dikenalinya.
Mahesa merayap ke bagian samping rumahnya, menuju ke bagian depan rumah. Terlihat di depan, ia melihat sebuah mobil SUV silver datang, pengemudinya ia kenali, begitu juga penumpangnya. Bapak dan ibunya!! Ia merunduk, berusaha untuk menutupi dirinya dengan tanaman merambat di dekat pagar kecil di samping rumahnya. Menunggu keluarganya masuk rumah. Lalu, ia berlari, berlari, dan berlari.
Tiba di tikungan, ia menyadari ketika akan membawa mobil sedan merah yang sudah diparkir di lapangan tak jauh dari rumahnya. Kuncinya tertinggal! Ia lalu merogoh tasnya, mencari gawainya untuk memesan taksi. Namun ternyata benda kecil berwarna merah yang disukainya juga takada di sana.
Mahesa membuang napas kasar, lalu berjalan, tentunya perlahan dengan kaki dibungkus jarik ketat. Sekitar sepuluh menit, syukurnya udara subuh terasa sangat segar, ia sampai di bagian depan perumahan.
“Hitung-hitung olahraga,” katanya menyemangati diri. Lalu merasa lega ketika melihat sebuah toko kelontong, dan seorang tukang ojek tengah duduk santai menunggu penumpang di depannya. Mahesa mendekati motor itu, dan karena sangat kelelahan, ia langsung duduk di jok belakang.
“Bang, jalan, Bang!”
Sang lelaki supir ojek melihat ke arah Mahesa yang sudah duduk menyamping di belakangnya. “Ada penumpang?” tanya Mahesa kemudian ragu melihat wajah heran sang supir.
“T-t-t-tidak…” jawabnya.
“Ke jalan Stasiun, ya?”
Tukang ojek yang nampaknya masih belia itu mengangguk, ia menyetarter bebek tua yang mesinnya sudah kelihatan akibat rangkanya sudah lepas itu. Agak lama, sempat membuat Mahesa khawatir apakah anak ini bisa membawa motor? Namun, tak lama motor itu kemudian berjalan, angin sepoi-sepoi kemudian menerpa tubuhnya. Ia tersenyum bahagia. Tak disadarinya, sang supir ojek diam-diam mengintip, membuka mulutnya seakan sedang melihat santapan nikmat di pagi hari yang baru saja disodorkan untuknya.
Rima membuka kacamata hitamnya, lalu berjongkok di depan sebuah pusara yang telah dikelilingi oleh keramik berwarna biru. Jari-jari lentiknya menyisihkan beberapa helai daun kering yang berada di atas tanah menyumbul itu. Nama Zaenal Ibrahim Bin Ali tertera di nisan.“Kamu apa kabar di sana?” Suaranya tercekat, lalu terisak. "Aku kangen. Hidup tanpamu terasa begitu hampa." Baru dua bulan semenjak kepergian Zaenal, tetapi Rima merasa sudah satu abad berlalu. Malam-malam sepi tanpa ada lelakinya di sisi yang terkadang mendengkur, manja, dan memeluknya. Dua bulan yang teramat menyiksa hingga membuatnya terasa sesak. Ia inginkan lelaki yang sebelumnya terkadang menyusahkan dan sulit diatur itu kembali. Namun, apa yang bisa dibuatnya? Takdir berkata sebaliknya. Lelakinya pergi, dengan satu wasiat yang sangat berat untuk bisa ia jalani. Ingatannya berputar pada hari itu, ketika Zaenal baru saja keluar dari rumah sakit. Ia menyuapi lelakinya, meski hany
Wibi mendengkus keras. Bobby, Bombom, Zasky kemudian memandanginya. Mereka sedang duduk melingkar di atas kursi kuliah yang memiliki meja berwarna putih di sebelah kanannya. “Bi, Loe denger enggak?” tanya Bombom agak keras. “Akhir-akhir ini loe kenapa, sih? Bahkan hitung data penelitian kita aja enggak becus. Jadi aja nilai kita Cuma dapet C! Padahal gue udah kerja keras mikirin konsep, Zasky dan Bobby hilir mudik nyari responden penelitian. Tapi kok, elu malah asal-asalan?!” Wibi menggenggam tangannya keras, kembali mendengkus.
“Echa … Echa ….” Suara halus Zaenal membangunkan Mahesa dari tidurnya,. “Papa ….” Ia bangkit dari ranjangnya, “Papa masih hidup?” Mahesa semringah. “Kamu ngomong apa? Ayo pergi ke sekolah,” bujuknya. Mahesa berdiri, tiba-tiba ia sudah mengenakan seragam putih-abu, dari luar ia mencium aroma udang goreng kesukaannya, berjalanlah ia ke dapur, dilihatnya seorang perempuan sedang memasak, yang tak lama kemudian berbalik. “Echa ….” Ia tersenyum, senyum yang sangat didambakan, sangat ia rindukan, “Mama ....” Ia tersenyum bahagia, sambil menangis. “Kamu kenapa, Sayang?” ibunya mendekati. “Echa kangen Mama … bertahun-tahun Echa menunggu kehadiran Mama, mengantar sekolah, berbagi cerita seperti teman-teman lainnya.” “Sayaang ....” “Echa kangen Mama.” Ia menangis. “Bangunlah, Sayang. Hidupmu masih panjang.” Senyumannya lebar. Lalu kemudian Mahesa membuka matanya. Ia menyadari bahwa barusan hanyalah mimpi. Tubuhnya l
Belum lagi Mahesa mengunci kembali pintu rumahnya ia menyadari kehadiran Wibi di sampingnya. Lelaki itu tersenyum seakan-akan tidak terjadi apa-apa semalam, padahal Mahesa sudah mengadakan acara mengunci semua barang-barang yang dapat mengingat hubungan mereka berdua di dalam sebuah kotak kayu berwarna hitam, dan berdoa kepada Tuhan agar perasaannya dibuat tegar, tetapi kini, bukannya tegar yang ia dapatkan, rasa cinta itu kembali mencuat. “Hai,” Wibi menyapanya masih dengan ekspresi yang sama, “tidur nyenyak?” Mahesa menarik napas panjang, ia kesal tidak bisa menjawab apa adanya, tetapi juga tidak dapat berbohong karena terlihat jelas rona-rona hitam di sekeliling matanya. “Kelihatannya?” Ia melemparkan pertanyaan kembali kepada Wibi, lalu berjalan menjauhi lelaki itu. “Kelihatannya sih tidak bisa tidur, atau tidurnya cuma sedikit, atau selama tidur kamu kemimpi-mimpi aku.” Wibi mengejar Mahesa. “Minggir ….” Tangan Mahesa menggeser tubuh Wibi
Rima menyendok makanannya dengan lesu, ia harus makan setelah sebelumnya pingsan, siang dan malam menunggui Zaenal tanpa tidur dan makan yang cukup. Pikirannya menerawang jauh ke kamar suaminya, prihatin akan keadaannya. Dokter meminta agar Zaenal tidak diberi beban pikiran yang terlalu berat, karena kinerja jantungnya melemah. Lalu pikirannya terbang lagi ke rumah, memikirkan anak-anaknya, Aini masih kecil dan Yasmin sedang membutuhkan banyak bantuan. Lalu ia juga mengingat Mahesa, anak pembuat masalah. Dari ujung matanya, Rima dapat melihat Mahesa memasuki kantin rumah sakit, kemudian duduk di hadapannya. Cukup lama mereka terdiam, pertemuan yang hening. Rima dapat melihat wajah Mahesa yang kebingungan. Berkali-kali menahan napas. “Mama ....” Akhirnya Mahesa mengeluarkan suaranya. “Aku tidak tahu, mengapa dulu sulit sekali menyebutmu Mama.” Rima terdiam, tetap menekuri gelasnya. ”Dulu aku sangat sulit diatur, ya? Selalu melawan, membua
Mahesa kecil kecewa, ayahnya menikah lagi, padahal belum lama ini mereka mengubur ibunya, baru minggu kemarin Mahesa bersama Zaenal pergi ke pemakaman mengganti pusara ibunya dengan keramik. Harumnya masih tercium di rumah, suaranya masih terngiang di telinga. Wujudnya selalu ada di hati. Baru saja Mahesa merasakan kebahagiaan bersama ayahnya, berjalan bersama, menunggu Zaenal memasak nasi goreng dan telur hingga gosong, tertawa hingga perut terasa sakit. Pergi ke Dunia Fantasi dan dibelikan banyak mainan. Namun, Zaenal telah menikah lagi, dan Mahesa tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak juga merasa apa-apa. Tidak menangis. “Hei ....” Suara Rima lembut, lalu menyentuh pipi Mahesa yang tirus. “Selamat pagi, Sayang.” Mahesa menelan ludahnya melihat Rima yang berpakaian tidur serba putih, berjalan menjauhinya. “Kita sarapan, yuk.” Ia menoleh ke belakang. “Pagi, Sayang.” Zaenal datang menghadang sambil menciumi kening Rima. “Sssttt, ada
Kaki Zaenal menginjak rumahnya lagi, rumah yang dulunya menjadi tempat baginya dan Sandra menjalani biduk pernikahan. Pernikahan tanpa rasa cinta. “Papa?!” Mahesa terkejut melihat kedatangan ayahnya. Lalu membereskan ruang tamu yang berantakkan. “kenapa enggak ngomong-ngomong mau datang?” ucapnya panik sambil berlari membawa kertas-kertas dalam kardus ke bagian rumah yang lain. “Masa nengok putri sendiri aja harus ngomong-ngomong.” Lalu duduk di sebuah sofa dengan motif batik. “Tunggu, Pa ... Echa buatin minum dulu.” Zaenal terdiam, memperhatikan rumah itu, masih seperti dulu. Mahesa benar-benar tidak mengubah posisi apa pun. Kursi tua yang kini didudukinya, masih seperti dulu meski dengan warna yang kian usang. Foto-foto mereka yang dipajang di meja sudut. Foto pernikahannya, foto bayi Mahesa hingga usianya lima tahun. Cukup membuatnya kembali ke masa itu. Lalu menutup matanya. “Teh dengan gula rendah kalori.” Mahesa datang dari arah dapur sa
Sambil memakan mie instan Mahesa kembali menonton televisi, sekilas berita tentang pembunuhan kejam yang dilakukan seorang perempuan terhadap kekasihnya. Pelakunya berjalan lurus menerobos serbuan wartawan, tanpa terlihat rasa takut, pun rasa bersalah, lalu ia berhenti ketika wartawan menanyainya sebuah pertanyaan. [Apakah anda tidak mencintai kekasih anda?] Rongrongan para wartawan. [Justru karena aku sangat mencintainya, maka aku membunuhnya,] ucapan itu keluar dari bibir mungil seorang perempuan cantik berwajah polos dengan enteng, lalu diakhiri dengan senyuman dingin yang membuat Mahesa bergidik. Cinta memiliki kekuatan ... benarkah? tanyanya pada diri sendiri. Ia lalu mengingat pernah menulis tentang keajaiban cinta. Tapi kekuatan yang seperti apa? Kenapa banyak orang yang saling mencintai tetapi saling menyakiti? Mengapa hasilnya berbeda? Ataukah perasaannya yang salah, sebenarnya yang dirasakan bukanlah rasa cinta? bisakah kita membuat kesimpul
Tangan Mahesa bergetar ketika mengambil cangkir tehnya. Namun, entah masih kurang jelas mengapa rasa di hatinya tidak menentu. “Menikahlah dengan orang yang sepadan denganmu, yang seusia denganmu ....” Bahkan ketika Aminah mengatakan itu, Mahesa belum bisa menangkap kata-katanya. Semua bagaikan huruf-huruf yang berpadu, takada makna. Gelap, dingin, dan bercampur rasa lainnya. “Aaa.” Mahesa terbata. “Mahesa ... Tante minta tolong, Wibi masih terlalu muda, saat ini adalah pengalamannya menghadapi kehidupan nyata, menjejakkan kakinya setelah beranjak dewasa. Tante berharap masa depannya nantinya akan cerah, secerah nilai akademisnya selama ini.” Ia menatap Mahesa, lalu mengulurkan tangan untuk menggapai tangan Mahesa yang sedang duduk di hadapannya. “Kalau dia sudah berpacaran terlalu dini, apalagi denganmu, yang usianya jauh di atasnya, dia akan melupakan pendidikannya, padahal itu masa depannya.” Mahesa terdiam, memandangi Aminah dengan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments