Mahesa membenarkan duduknya sambil melihat ke sekeliling, seorang pemuda masuk ke dalam foodcourt sambil membawa beberapa textbook, lalu duduk di antara teman-temannya.
Dia lagi, batinnya.
Lalu kembali berbincang dengan seorang perempuan dengan rambut panjang lurus berwarna hitam yang diberikan highlight berwarna putih di beberapa sisinya. Tengkuknya terasa panas, firasatnya mengatakan ada yang sedang memperhatikan, lalu memandang ke hadapan. Ia tetawa. Wibi sedang membaca sebuah textbook secara terbalik sambil matanya memandang ke arahnya.
Kelihatan, tahu. Ia terkekeh. Kemudian perhatiannya tersita oleh sebuah panggilan telepon. Papanya menelepon.
“Iya, Pa? Papa di mana? Oke, Eca ke sana, ya?”
Mahesa pamit kepada teman-temannya, lalu bangkit dari duduknya, menuju pintu yang terbuat dari kaca, menuju toko roti.
Sebuah teriakan menghentikan Mahesa, “Ke mana, Bi? Kerja kelompok jadi?” Ia melihat dari kaca, bahwa pemuda yang sedari tadi memperhatikannya ikut berdiri, ia menggelengkan kepala lalu tersenyum. Meski tahu sedang diikuti, ia tak peduli. Tak biasanya.
Sambil berbicara di telepon Mahesa terus berjalan, melalui keramaian, gerai-gerai yang terang dengan penerangan lampu berpuluh watt. Lalu berjalan menuju bagian belakang, ia melihat mobil ayahnya parkir tak jauh dari bundaran yang ada di seberang pintu gerbang belakang, bersegera ia berjalan, memeluk ayahnya. Namun, seketika tubuhnya terasa melambung, sebuah tangan kekar tengah menariknya. Ia mengenali wajah itu, tersenyum ia dibuatnya. Setelahnya ia a\diajak berlari beberapa meter ke depan.
Selama beberapa detik, mereka mengatur napas mereka yang tersengal. Wibi sambil memegangi lututnya, dan Mahesa duduk di trotoar.
Tak lama gadis itu menoleh, memandangi Wibi. “Rupanya kamu bukan tukang ojek?” Mahesa bangkit dari duduknya, mendekati Wibi yang sedang memperhatikannya.
“Mahesa.” Tangannya menjulur, lalu digapai oleh Wibi, lama.
“Wibi.” Lelaki itu mencengkram tangan Mahesa.
Mahesa memperhatikan Wibi dari atas ke bawah sambil tersenyum. “Kamu kenapa? Kamu suka aku?”
Wajah Wibi merah padam. “A-a-apa?”
“Mau nikah?”
Nikah? Makan pake apa? Eh, tapi kemarin aku dapat uang lumayan dari proyekan dosen. Lalu ia mengangguk.
Mahesa terkekeh, “Berarti kamu harus kerja keras, supaya dapat restu Papa aku.” Mahesa melipat tangannya di dada. “tadi kan, kamu baru saja menonjoknya.” Mahesa tersenyum, lalu berbalik, dan berlalu dari hadapan Wibi.
“Papa? Jadi, ah … eh!!”
***
Bandung, 2005
Wibi berdiri di depan rumah Yasmin sambil memandang arlojinya. Sudah terlambat, batinnya. Ia berjanji akan menjemput Yasmin pada pukul 17.00, sedangkan saat itu sudah pukul 19.00. Ibunya memintanya menemani pergi ke pasar karena ingin membuat kejutan perpisahan kepada adik satu-satunya, bibi Lena, yang akan berangkat ke luar negeri menemani suaminya yang mendapatkan beasiswa pendidikan di sana.
Pintu dibuka, seorang gadis berkulit sawo matang dengan wajah datar menyambut. Tangannya memegang sebuah buku fiksi di atas tiga ratus halaman, cukup kuat untuk melempar maling hingga terjatuh.
“Siapa?” tanya Mahesa singkat. Tubuhnya disandarkan pada kusen pintu. Sambil tetap acuh, membaca lembaran demi lembaran.
Wibi yang terengah berusaha mengatur napasnya. Ini pasti kakak tiri Yasmin yang katanya memiliki sifat buruk dan tidak sopan dan sering kabur dari rumah.
“Maaf, Kak. Ada Yasmin?”
Mahesa hanya diam, menggeser tubuhnya ke pinggir, memberi ruang untuk Wibi lewat seraya kepalanya dimiringkan, seakan memberikan arah dan izin masuk, tetap sambil membaca buku yang sedang dipegangnya.
“Ada di taman belakang,” jawab Mahesa acuh, lalu kembali berjalan menunduk, melewati lantai marmer yang mengilap. Wibi terdiam, memandangi perempuan yang memiliki wajah unik, kecantikan yang berbeda dengan Yasmin. Dia lalu bersegera menuju taman belakang. Rumah Yasmin memang sangat bagus baginya yang hanya anak seorang PNS kecil. Yasmin sendiri adalah anak seorang pengusaha, seorang ningrat yang harta kekayaannya sepertinya tak akan habis tujuh turunan. Hal ini juga yang membuat ia ragu-ragu mendekati Yasmin, meski Yasmin telah mengakui perasaannya duluan.
“Aku suka kamu.” Suara yang dikenalinya membuat Wibi otomatis bersembunyi di belakang pintu geser. Suara itu adalah suara sahabatnya, Wildan. Dimulai kedekatan Yasmin yang minta diajarkan oleh Wibi mengenai seluk-beluk teater, mereka pun semakin dekat. Wildan yang merupakan sahabat Wibi dan sama-sama menyukai teater dan dunia pementasan otomatis juga semakin dekat.
Dilihatnya wajah Yasmin yang tersipu malu, sambil menunduk. Wibi mundur, lalu berlalu, meninggalkan rumah Yasmin dalam hening. Tak disadari Mahesa memperhatikan sambil membawa senampan miniman dan camilan untuknya. Melihat tamunya pergi, Mahesa duduk, memakan dan meminum sajian yang sudah ia siapkan.
“Giliran mau rajin menjamu tamu, tamunya pergi tanpa pamit.” Dia menggelengkan kepala.
Lorong yang sepi itu tiba-tiba menjadi semarak, Satu per satu mahasiswa keluar melewati pintu menuju lobby kampus. Suara bising pun perlahan-lahan menjauhi Wibi, Bombom, Zasky, dan Bobby. Kini tinggal mereka dan beberapa kumpulan mahasiswa yang berada di bagian lain dari ruangan perkuliahan yang berkapasitas seratus orang tersebut. Saat itu adalah kesekian kalinya mereka berembuk untuk tugas mata kuliah konstruksi tes atau yang biasa disebut mahasiswanya sebagai Kontes. Mata kuliah ini mengharuskan mahasiswanya untuk membuat alat tes, yang tentu saja memusingkan. “Hohohoho, gua punya ide!“ Bombom bersemangat. Lalu matanya menyapu keadaan untuk melihat reaksi teman-temannya yang ia dapatkan nampak berseri-seri. Mata bombom menerawang ke langit-langit ruangan, sedangkan teman-temannya melongo menunggu ide Bombom keluar dari bibirnya yang sama bulatnya dengan perutnya. “Dimulai dari fenomena pola asuh saja ... Gue lihat cara sepupu men
"Kenapa jadi ragu, ya?" Wibi menarik tangannya kembali, tak jadi memencet bel di pintu rumah Yasmin. "Bodoh sekali aku, ngapain juga harus ke sini, bukannya akan memberikan harapan pada Yasmin sekali lagi?" Masih bergumam sendirian, sambil perlahan mundur. Namun, di saat bersamaan Yasmin yang melihat Wibi akan meninggalkan membuka pintunya. "Wibi! Makasih sudah mau datang." Ia semringah, terkembang senyuman sangat lebar sehingga pipinya menekan matanya menjadi menyipit. "Ah, eh." Gagal kabur, deh. Secinta itu gue sama cewek itu? Sampe bela-belain masuk ke kandang harimau. Wibi menginjak tegel marmer rumah Yasmin. Udara sejuk dari taman di tengah rumah menyapa kehadiran Wibi. Ia berjalan mengikuti Yasmin sambil celingak-celinguk, lalu bersikap lebih tegap, membenarkan pakaian. "Hai, Kak Wibi!!" Rupanya yang menyambut beberapa teman Yasmin yang merupakan senior di kampus, juga teman-teman SMA Yasmin yang juga merupakan adik-adik kelasny
Mahesa akhirnya menerima tawaran ayahnya untuk menginap di rumah itu. Sudah sekitar enam tahun ia tinggalkan. Rumah yang besar dengan lima kamar, setiap kamar dilengkapi kamar mandi, wardrobe, pendingin ruangan, televisi dan segala fasilitas. Namun, tidak bisa merasakan kehangatan di dalamnya. Ia terdiam terpaku. Memandangi kertas dinding berwarna krem, lalu tersenyum. “Rupanya kertasnya diganti.” Kembali terdiam. Dulu ia menggunakan warna kertas dinding yang tak biasa. Hitam, gelap, dengan karpet bulu berwarna hitam. Kini karpet yang dipijaknya berwarna sama dengan dindingnya. Ia membuka-buka wardrobe, laci meja, rak buku. Lalu menggeleng, menyengir, membanting dirinya di atas kasur. “Mahesa Indriawan Kesuma!! Kamu sudah dicoret dari kartu keluarga!! Hahahahah!!” Lalu bangkit, “Ke mana Nenek sihir itu membuang semua barang-barangku?” Membuang napas kasar, lalu mengambil tasnya yang disimpan di pinggir ranjang, mengambil laptop. Menulis adalah cara ter
Ragil ... mmm ... karakternya seperti apa, ya? Mahesa duduk sambil memandangi layar laptop. Seorang laki-laki dengan semangat tinggi. Maksudnya gimana, ya? Mahesa berdiri sambil memegangi kursinya, lalu memutar-mutarnya dangan tangannya. Dia suka kegiatan berkeringat, basket, taekwondo, panjat tebing, hal-hal yang sulit ditaklukkan, bisa jadi seorang perempuan yang sulit dimiliki, perempuan berhati es, perempuan yang usianya jauh lebih tua darinya hahahah iya-iya benar …. Lalu Mahesa membuka pintu kamarnya berjalan menuju tangga. Lelaki yang menyukai tantangan sangat pantas menjadi pasangan Sabila yang berhati dingin, kaku dan terlalu patuh pada peraturan normatif, dia akan mejadi sangat menantang bagi lelaki seperti Ragil, tidak mudah didekati, tidak mudah dimenangkan, seandainya sudah didapatkan, belum tentu dapat dimiliki. Kali itu Mahesa sudah berada di tepi tangga untuk turun, mukanya menyebarkan senyuman ke seluruh rumah.
Wibi merebahkan tubuhnya di atas ranjang sambil menutup telinga. “Baik banget penulisnya, si Jaski aja dikasih jatah, tau! Nyesel lu enggak dateng, kemarin! Enak enggak makanan di rumah Yasmin? Hahahahah!” Bobby berseloroh, lalu menimpa tubuh Wibi.”Jadinya CLBK, nih?” Matanya kemudian kedap kedip seperti lampu hias. “Ih, naoh sih, Maneh!” Wibi kesal lalu menjatuhkan Bobby ke lantai. “Hahahaha!” tawanya mengejek sambil bersedekap. Bombom hanya menonton dan tertawa sambil duduk di atas kursi belajar Wibi. “Ngapain sih kalian malem-malem ke sini? Mau ngabibita? Enggak ampuh!” “Si Bobby yang ngajakan … pengen nonton bokep6 bareng ceunah.” Bobby masih di posisi semula sambil matanya berkedip-kedip bak kunang-kunang. “Ih! Jangan! Gara-gara video-video bokep Bobby yang kemarin ketinggalan, gue jadi dihukum sama Papa dan Mama! Enggak dapet uang jajan, selain itu, nama baik gue kecoreng di mata keluarga.” Ia mendengkus kesal sambil bersandar di dinding. Bobby bangkit lalu menaruh sekepi
Wibi mengerjapkan matanya seakan tak percaya. Mahesa pun tak kalah terkejut oleh pandangan di depannya, meski hal yang terjadi sudah dapat disangkanya. “Kamu lagi?” tanyanya sambil tersenyum lebar. Wibi pun mengganti mode default wajahnya menjadi semringah, lalu mengikuti Mahesa yang kemudian duduk di balik meja lesehan di restoran jepang itu. “Jadi, kamu mahasiswa Psikologi?” tanya Mahesa sambil tersenyum dan menyimpan beberapa potongan daging bakar ke atas piring Wibi. Wibi mengangguk antusias, “Jadi, kamu adalah penulis?” Mahesa mengangguk sambil tersenyum. “Mungkin kita jodoh, dipertemukan oleh keadaan beberapa kali,” sahut Wibi, membuat Mahesa terbatuk-batuk. “Jodoh? Kamu yakin?” Mata Mahesa berputar-putar, mengingat kejadian sebelumnya ketika Wibi menonjok wajah Ayahnya. Yang kemudian ditangkap maksudnya oleh Wibi dan membuatnya menelan ludah. Wibi menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “Apakah … aku harus secara resmi meminta maaf kepada ayahmu?” Wibi memajukan badannya,
Mahesa membuka pintu rumahnya, lalu berjalan lurus ke depan, mencapai taman belakang rumahnya. Bunyi derit rantai ayunan tua yang digantung di pohon besar terdengar. Ia ditiup angin. Pandangannya menerawang jauh. Sebuah taman belakang yang hanya ditumbuhi rumput gajah yang mulai meninggi di depannya. “Cinta ….” Ia bergumam. 23 Tahun yang Lalu Mahesa kecil sedang berjongkok di depan semak di taman belakang, tangan gendutnya meraup daun berwarna hijau dan bunga berwarna merah, berlari ke teras belakang, lalu memasukkannya ke dalam mainan mini, menmukul-mukulnya dengan batu hingga keluar cairan yang tidak dapat didefinisikan warnanya. Sedangkan ibunya sedang menyirami beraneka macam bunga yang ditanam di taman, dan juga di pot di taman dan yang digantung sambil bersenandung. Lihat kebunku, penuh dengan bunga, Ada yang merah dan ada yang putih Setiap hari ... Suaranya merdu dan indah. Mahesa tersenyum memandang ibunya. Suara yang biasa melelapkan tidurnya setiap malam dengan lagu-
Mahesa dapat mencium bau tanah, mendengar suara air yang jatuh dengan derasnya dari langit. Penanya kini menari-nari di atas lembaran buku harian berwarna cokelat. Allah, Aku, menjalani hidup seperti ini Tidak kuinginkan Tapi seandainya inilah takdirku, Kan kujalani dengan tabah Apabila esok kau beriku kesempatan Ubah nasib yang belum tertulis Kan kuraih dan genggam dengan erat -MAHESA- Lamunannya terhenti ketika s
Rima membuka kacamata hitamnya, lalu berjongkok di depan sebuah pusara yang telah dikelilingi oleh keramik berwarna biru. Jari-jari lentiknya menyisihkan beberapa helai daun kering yang berada di atas tanah menyumbul itu. Nama Zaenal Ibrahim Bin Ali tertera di nisan.“Kamu apa kabar di sana?” Suaranya tercekat, lalu terisak. "Aku kangen. Hidup tanpamu terasa begitu hampa." Baru dua bulan semenjak kepergian Zaenal, tetapi Rima merasa sudah satu abad berlalu. Malam-malam sepi tanpa ada lelakinya di sisi yang terkadang mendengkur, manja, dan memeluknya. Dua bulan yang teramat menyiksa hingga membuatnya terasa sesak. Ia inginkan lelaki yang sebelumnya terkadang menyusahkan dan sulit diatur itu kembali. Namun, apa yang bisa dibuatnya? Takdir berkata sebaliknya. Lelakinya pergi, dengan satu wasiat yang sangat berat untuk bisa ia jalani. Ingatannya berputar pada hari itu, ketika Zaenal baru saja keluar dari rumah sakit. Ia menyuapi lelakinya, meski hany
Wibi mendengkus keras. Bobby, Bombom, Zasky kemudian memandanginya. Mereka sedang duduk melingkar di atas kursi kuliah yang memiliki meja berwarna putih di sebelah kanannya. “Bi, Loe denger enggak?” tanya Bombom agak keras. “Akhir-akhir ini loe kenapa, sih? Bahkan hitung data penelitian kita aja enggak becus. Jadi aja nilai kita Cuma dapet C! Padahal gue udah kerja keras mikirin konsep, Zasky dan Bobby hilir mudik nyari responden penelitian. Tapi kok, elu malah asal-asalan?!” Wibi menggenggam tangannya keras, kembali mendengkus.
“Echa … Echa ….” Suara halus Zaenal membangunkan Mahesa dari tidurnya,. “Papa ….” Ia bangkit dari ranjangnya, “Papa masih hidup?” Mahesa semringah. “Kamu ngomong apa? Ayo pergi ke sekolah,” bujuknya. Mahesa berdiri, tiba-tiba ia sudah mengenakan seragam putih-abu, dari luar ia mencium aroma udang goreng kesukaannya, berjalanlah ia ke dapur, dilihatnya seorang perempuan sedang memasak, yang tak lama kemudian berbalik. “Echa ….” Ia tersenyum, senyum yang sangat didambakan, sangat ia rindukan, “Mama ....” Ia tersenyum bahagia, sambil menangis. “Kamu kenapa, Sayang?” ibunya mendekati. “Echa kangen Mama … bertahun-tahun Echa menunggu kehadiran Mama, mengantar sekolah, berbagi cerita seperti teman-teman lainnya.” “Sayaang ....” “Echa kangen Mama.” Ia menangis. “Bangunlah, Sayang. Hidupmu masih panjang.” Senyumannya lebar. Lalu kemudian Mahesa membuka matanya. Ia menyadari bahwa barusan hanyalah mimpi. Tubuhnya l
Belum lagi Mahesa mengunci kembali pintu rumahnya ia menyadari kehadiran Wibi di sampingnya. Lelaki itu tersenyum seakan-akan tidak terjadi apa-apa semalam, padahal Mahesa sudah mengadakan acara mengunci semua barang-barang yang dapat mengingat hubungan mereka berdua di dalam sebuah kotak kayu berwarna hitam, dan berdoa kepada Tuhan agar perasaannya dibuat tegar, tetapi kini, bukannya tegar yang ia dapatkan, rasa cinta itu kembali mencuat. “Hai,” Wibi menyapanya masih dengan ekspresi yang sama, “tidur nyenyak?” Mahesa menarik napas panjang, ia kesal tidak bisa menjawab apa adanya, tetapi juga tidak dapat berbohong karena terlihat jelas rona-rona hitam di sekeliling matanya. “Kelihatannya?” Ia melemparkan pertanyaan kembali kepada Wibi, lalu berjalan menjauhi lelaki itu. “Kelihatannya sih tidak bisa tidur, atau tidurnya cuma sedikit, atau selama tidur kamu kemimpi-mimpi aku.” Wibi mengejar Mahesa. “Minggir ….” Tangan Mahesa menggeser tubuh Wibi
Rima menyendok makanannya dengan lesu, ia harus makan setelah sebelumnya pingsan, siang dan malam menunggui Zaenal tanpa tidur dan makan yang cukup. Pikirannya menerawang jauh ke kamar suaminya, prihatin akan keadaannya. Dokter meminta agar Zaenal tidak diberi beban pikiran yang terlalu berat, karena kinerja jantungnya melemah. Lalu pikirannya terbang lagi ke rumah, memikirkan anak-anaknya, Aini masih kecil dan Yasmin sedang membutuhkan banyak bantuan. Lalu ia juga mengingat Mahesa, anak pembuat masalah. Dari ujung matanya, Rima dapat melihat Mahesa memasuki kantin rumah sakit, kemudian duduk di hadapannya. Cukup lama mereka terdiam, pertemuan yang hening. Rima dapat melihat wajah Mahesa yang kebingungan. Berkali-kali menahan napas. “Mama ....” Akhirnya Mahesa mengeluarkan suaranya. “Aku tidak tahu, mengapa dulu sulit sekali menyebutmu Mama.” Rima terdiam, tetap menekuri gelasnya. ”Dulu aku sangat sulit diatur, ya? Selalu melawan, membua
Mahesa kecil kecewa, ayahnya menikah lagi, padahal belum lama ini mereka mengubur ibunya, baru minggu kemarin Mahesa bersama Zaenal pergi ke pemakaman mengganti pusara ibunya dengan keramik. Harumnya masih tercium di rumah, suaranya masih terngiang di telinga. Wujudnya selalu ada di hati. Baru saja Mahesa merasakan kebahagiaan bersama ayahnya, berjalan bersama, menunggu Zaenal memasak nasi goreng dan telur hingga gosong, tertawa hingga perut terasa sakit. Pergi ke Dunia Fantasi dan dibelikan banyak mainan. Namun, Zaenal telah menikah lagi, dan Mahesa tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak juga merasa apa-apa. Tidak menangis. “Hei ....” Suara Rima lembut, lalu menyentuh pipi Mahesa yang tirus. “Selamat pagi, Sayang.” Mahesa menelan ludahnya melihat Rima yang berpakaian tidur serba putih, berjalan menjauhinya. “Kita sarapan, yuk.” Ia menoleh ke belakang. “Pagi, Sayang.” Zaenal datang menghadang sambil menciumi kening Rima. “Sssttt, ada
Kaki Zaenal menginjak rumahnya lagi, rumah yang dulunya menjadi tempat baginya dan Sandra menjalani biduk pernikahan. Pernikahan tanpa rasa cinta. “Papa?!” Mahesa terkejut melihat kedatangan ayahnya. Lalu membereskan ruang tamu yang berantakkan. “kenapa enggak ngomong-ngomong mau datang?” ucapnya panik sambil berlari membawa kertas-kertas dalam kardus ke bagian rumah yang lain. “Masa nengok putri sendiri aja harus ngomong-ngomong.” Lalu duduk di sebuah sofa dengan motif batik. “Tunggu, Pa ... Echa buatin minum dulu.” Zaenal terdiam, memperhatikan rumah itu, masih seperti dulu. Mahesa benar-benar tidak mengubah posisi apa pun. Kursi tua yang kini didudukinya, masih seperti dulu meski dengan warna yang kian usang. Foto-foto mereka yang dipajang di meja sudut. Foto pernikahannya, foto bayi Mahesa hingga usianya lima tahun. Cukup membuatnya kembali ke masa itu. Lalu menutup matanya. “Teh dengan gula rendah kalori.” Mahesa datang dari arah dapur sa
Sambil memakan mie instan Mahesa kembali menonton televisi, sekilas berita tentang pembunuhan kejam yang dilakukan seorang perempuan terhadap kekasihnya. Pelakunya berjalan lurus menerobos serbuan wartawan, tanpa terlihat rasa takut, pun rasa bersalah, lalu ia berhenti ketika wartawan menanyainya sebuah pertanyaan. [Apakah anda tidak mencintai kekasih anda?] Rongrongan para wartawan. [Justru karena aku sangat mencintainya, maka aku membunuhnya,] ucapan itu keluar dari bibir mungil seorang perempuan cantik berwajah polos dengan enteng, lalu diakhiri dengan senyuman dingin yang membuat Mahesa bergidik. Cinta memiliki kekuatan ... benarkah? tanyanya pada diri sendiri. Ia lalu mengingat pernah menulis tentang keajaiban cinta. Tapi kekuatan yang seperti apa? Kenapa banyak orang yang saling mencintai tetapi saling menyakiti? Mengapa hasilnya berbeda? Ataukah perasaannya yang salah, sebenarnya yang dirasakan bukanlah rasa cinta? bisakah kita membuat kesimpul
Tangan Mahesa bergetar ketika mengambil cangkir tehnya. Namun, entah masih kurang jelas mengapa rasa di hatinya tidak menentu. “Menikahlah dengan orang yang sepadan denganmu, yang seusia denganmu ....” Bahkan ketika Aminah mengatakan itu, Mahesa belum bisa menangkap kata-katanya. Semua bagaikan huruf-huruf yang berpadu, takada makna. Gelap, dingin, dan bercampur rasa lainnya. “Aaa.” Mahesa terbata. “Mahesa ... Tante minta tolong, Wibi masih terlalu muda, saat ini adalah pengalamannya menghadapi kehidupan nyata, menjejakkan kakinya setelah beranjak dewasa. Tante berharap masa depannya nantinya akan cerah, secerah nilai akademisnya selama ini.” Ia menatap Mahesa, lalu mengulurkan tangan untuk menggapai tangan Mahesa yang sedang duduk di hadapannya. “Kalau dia sudah berpacaran terlalu dini, apalagi denganmu, yang usianya jauh di atasnya, dia akan melupakan pendidikannya, padahal itu masa depannya.” Mahesa terdiam, memandangi Aminah dengan