Ragil ... mmm ... karakternya seperti apa, ya?
Mahesa duduk sambil memandangi layar laptop.
Seorang laki-laki dengan semangat tinggi. Maksudnya gimana, ya?
Mahesa berdiri sambil memegangi kursinya, lalu memutar-mutarnya dangan tangannya.
Dia suka kegiatan berkeringat, basket, taekwondo, panjat tebing, hal-hal yang sulit ditaklukkan, bisa jadi seorang perempuan yang sulit dimiliki, perempuan berhati es, perempuan yang usianya jauh lebih tua darinya hahahah iya-iya benar ….
Lalu Mahesa membuka pintu kamarnya berjalan menuju tangga.
Lelaki yang menyukai tantangan sangat pantas menjadi pasangan Sabila yang berhati dingin, kaku dan terlalu patuh pada peraturan normatif, dia akan mejadi sangat menantang bagi lelaki seperti Ragil, tidak mudah didekati, tidak mudah dimenangkan, seandainya sudah didapatkan, belum tentu dapat dimiliki.
Kali itu Mahesa sudah berada di tepi tangga untuk turun, mukanya menyebarkan senyuman ke seluruh rumah.
Wibi merebahkan tubuhnya di atas ranjang sambil menutup telinga. “Baik banget penulisnya, si Jaski aja dikasih jatah, tau! Nyesel lu enggak dateng, kemarin! Enak enggak makanan di rumah Yasmin? Hahahahah!” Bobby berseloroh, lalu menimpa tubuh Wibi.”Jadinya CLBK, nih?” Matanya kemudian kedap kedip seperti lampu hias. “Ih, naoh sih, Maneh!” Wibi kesal lalu menjatuhkan Bobby ke lantai. “Hahahaha!” tawanya mengejek sambil bersedekap. Bombom hanya menonton dan tertawa sambil duduk di atas kursi belajar Wibi. “Ngapain sih kalian malem-malem ke sini? Mau ngabibita? Enggak ampuh!” “Si Bobby yang ngajakan … pengen nonton bokep6 bareng ceunah.” Bobby masih di posisi semula sambil matanya berkedip-kedip bak kunang-kunang. “Ih! Jangan! Gara-gara video-video bokep Bobby yang kemarin ketinggalan, gue jadi dihukum sama Papa dan Mama! Enggak dapet uang jajan, selain itu, nama baik gue kecoreng di mata keluarga.” Ia mendengkus kesal sambil bersandar di dinding. Bobby bangkit lalu menaruh sekepi
Wibi mengerjapkan matanya seakan tak percaya. Mahesa pun tak kalah terkejut oleh pandangan di depannya, meski hal yang terjadi sudah dapat disangkanya. “Kamu lagi?” tanyanya sambil tersenyum lebar. Wibi pun mengganti mode default wajahnya menjadi semringah, lalu mengikuti Mahesa yang kemudian duduk di balik meja lesehan di restoran jepang itu. “Jadi, kamu mahasiswa Psikologi?” tanya Mahesa sambil tersenyum dan menyimpan beberapa potongan daging bakar ke atas piring Wibi. Wibi mengangguk antusias, “Jadi, kamu adalah penulis?” Mahesa mengangguk sambil tersenyum. “Mungkin kita jodoh, dipertemukan oleh keadaan beberapa kali,” sahut Wibi, membuat Mahesa terbatuk-batuk. “Jodoh? Kamu yakin?” Mata Mahesa berputar-putar, mengingat kejadian sebelumnya ketika Wibi menonjok wajah Ayahnya. Yang kemudian ditangkap maksudnya oleh Wibi dan membuatnya menelan ludah. Wibi menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “Apakah … aku harus secara resmi meminta maaf kepada ayahmu?” Wibi memajukan badannya,
Mahesa membuka pintu rumahnya, lalu berjalan lurus ke depan, mencapai taman belakang rumahnya. Bunyi derit rantai ayunan tua yang digantung di pohon besar terdengar. Ia ditiup angin. Pandangannya menerawang jauh. Sebuah taman belakang yang hanya ditumbuhi rumput gajah yang mulai meninggi di depannya. “Cinta ….” Ia bergumam. 23 Tahun yang Lalu Mahesa kecil sedang berjongkok di depan semak di taman belakang, tangan gendutnya meraup daun berwarna hijau dan bunga berwarna merah, berlari ke teras belakang, lalu memasukkannya ke dalam mainan mini, menmukul-mukulnya dengan batu hingga keluar cairan yang tidak dapat didefinisikan warnanya. Sedangkan ibunya sedang menyirami beraneka macam bunga yang ditanam di taman, dan juga di pot di taman dan yang digantung sambil bersenandung. Lihat kebunku, penuh dengan bunga, Ada yang merah dan ada yang putih Setiap hari ... Suaranya merdu dan indah. Mahesa tersenyum memandang ibunya. Suara yang biasa melelapkan tidurnya setiap malam dengan lagu-
Mahesa dapat mencium bau tanah, mendengar suara air yang jatuh dengan derasnya dari langit. Penanya kini menari-nari di atas lembaran buku harian berwarna cokelat. Allah, Aku, menjalani hidup seperti ini Tidak kuinginkan Tapi seandainya inilah takdirku, Kan kujalani dengan tabah Apabila esok kau beriku kesempatan Ubah nasib yang belum tertulis Kan kuraih dan genggam dengan erat -MAHESA- Lamunannya terhenti ketika s
Sebuah Penyesalan “Apa?!” Rima berteriak, lalu menggelengkan kepalanya. “Papa kan sudah tahu, seperti apa kacaunya rumah ini kalau ada Mahesa. Enggak, Pa. papa pilih, Mahesa ke sini, atau Mama yang pergi?” Zaenal memandang mata istrinya yang berapi-api. “Iya, Ma.” Ia melepaskan kepergian istrinya dari sampingnya, lalu mengembuskan napas. Netranya memandang jauh ke depan. “Sandra … Maaf.” Pria tua itu berjalan menjauhi kamarnya. Jalannya sangat perlahan, ketuaan, jantung dan asam urat menjadikannya seperti itu, tubuhnya tidak sekuat dulu, posturnya juga tidak segagah dulu lagi ketika ia masih muda. Zaenal memasuki kamar kerjanya yang berada di lantai satu, lalu mengambil sebuah kotak dari dalam laci yang lama terkunci. Kotak itu sudah berdebu. Di dalamnya terdapat beberapa lembar foto, foto seorang wanita cantik yang dulu pernah menjadi istrinya sekaligus ibu dari Mahesa. Sandra. Seluruh wajahnya mirip sekali dengan Mah
Boleh aku tahu, kenapa dulu kamu menyangka aku seorang ojek online? Boleh aku tahu, kenapa dulu kamu memakai kebaya? Kenapa kamu menangis? Mahesa mengembuskan napasnya. Menjauhkan gawai dari telinga, lalu bangun. Sebelumnya ia telungkup di tempat tidur sambil menerimatelepon dari Wibi. “Boleh aku juga bertanya? Kenapa kamu selaluu ingin tahu?” Yang di seberang tertawa terbahak. Apa ya? Aku sebenarnya bukan orang yang selalu ingin tahu. Aku lelaki, selalu ada batasan antara diriku dan kehidupan pribadi orang lain. Lelaki terkenal sebagai manusia yang tidak ingin tahu hal-hal sepele, bukan? Mahesa mengangguk. Memang benar, makanya ia heran mengapa lelaki beda usia dengannya ia betapa ingin tahu mengenai dirinya. Setiap hari bertanya banyak hal, menanyakan apakah ia sudah makan, keluar jam berapa, atau hal-hal lain. Tapi, bagiku kalau segala hal tentang kamu itu selalu penting. Entah kenapa, aku se
Apabila seorang lelaki sudah memiliki seorang perempuan pujaan. Mungkinkah ia tinggalkan kesempatan padahal jarak yang ditempuh untuk sekadar memandang senyumnya bisa ditempuh dalam jarak lima ratus meter saja? Tidak! Wibi mengendarai Arjuna—tentunya setelah meminta izin—motor tua ayahnya melewati rumah-rumah besar di sekitarnya. Ia lalu berhenti di sebuah rumah dengan pagar berwarna abu-abu, dan taman depan yang luas. Segera ia keluarkan gawai dari saku. “Echa ….” Tak lama, terlihat ada gerakan menyingkap kain gorden dari pintu kaca rumah tersebut. Wajah Mahesa yang tersenyum kemudian muncul. Ia melambaikan tangan. Senyum Wibi semringah sambil membalas lambaian. Wibi berjalan membuka pagar, melewati jalan setapak yang terbuat dari batu kali. Lalu duduk di depan teras yang lantainya terbuat dari kayu. Khas rumah tua, namun terawat dengan baik. “Maaf lama.” Mahesa sudah berdiri di samping Wibi, lalu berjalan menuju kursi teras di samping meja k
Mahesa menghentikan langkahnya. Terlihat Zaenal melangkahkan kaki keluar dari ruang guru, sambil menyalami Bu Lena. Ia menunduk, tangannya bergetar, juga berkeringat. Ayahnya hanya lewat sambil memandanginya. Tak lama, sebuah sentuhan halus mendarat di bahunya. Dilihatnya Bu Lena sudah ada di hadapan. Seperti biasa, ia berdiri di lututnya, memberikan senyum tercerah untuk Mahesa. “Besok belajar sama Ibu setelah pulang sekolah, ya? Tadi Papa udah izinin.” Mahesa terdiam, memandang mata cokelat nan bulat yang terlindungi oleh bulu mata panjang dan lentik. Ia mengangguk, sayangnya Bu Lena tidak bisa melihat, hatinya ikut tersenyum. Bagaikan ada bunga-bunga berjatuhan di dalamnya. *** Mahesa masih terpaku, memandangi mata cokelat bulat, tetapi bukan menghiasi wajah Bu Lena, guru kesayangannya, menghiasi wajah Wibi. “Echa …” sapa Wibi lembut, sembari menyentuh punggung tangan perempuan itu lemah. “A!” Mahesa berteriak