Mahesa dapat mencium bau tanah, mendengar suara air yang jatuh dengan derasnya dari langit. Penanya kini menari-nari di atas lembaran buku harian berwarna cokelat.
Allah,
Aku, menjalani hidup seperti ini
Tidak kuinginkan
Tapi seandainya inilah takdirku,
Kan kujalani dengan tabah
Apabila esok kau beriku kesempatan
Ubah nasib yang belum tertulis
Kan kuraih dan genggam dengan erat
-MAHESA-
Lamunannya terhenti ketika s
Coba, apa hubungannya disleksia sama salah kasih nama anak laki-laki ke anak perempuan?
Sebuah Penyesalan “Apa?!” Rima berteriak, lalu menggelengkan kepalanya. “Papa kan sudah tahu, seperti apa kacaunya rumah ini kalau ada Mahesa. Enggak, Pa. papa pilih, Mahesa ke sini, atau Mama yang pergi?” Zaenal memandang mata istrinya yang berapi-api. “Iya, Ma.” Ia melepaskan kepergian istrinya dari sampingnya, lalu mengembuskan napas. Netranya memandang jauh ke depan. “Sandra … Maaf.” Pria tua itu berjalan menjauhi kamarnya. Jalannya sangat perlahan, ketuaan, jantung dan asam urat menjadikannya seperti itu, tubuhnya tidak sekuat dulu, posturnya juga tidak segagah dulu lagi ketika ia masih muda. Zaenal memasuki kamar kerjanya yang berada di lantai satu, lalu mengambil sebuah kotak dari dalam laci yang lama terkunci. Kotak itu sudah berdebu. Di dalamnya terdapat beberapa lembar foto, foto seorang wanita cantik yang dulu pernah menjadi istrinya sekaligus ibu dari Mahesa. Sandra. Seluruh wajahnya mirip sekali dengan Mah
Boleh aku tahu, kenapa dulu kamu menyangka aku seorang ojek online? Boleh aku tahu, kenapa dulu kamu memakai kebaya? Kenapa kamu menangis? Mahesa mengembuskan napasnya. Menjauhkan gawai dari telinga, lalu bangun. Sebelumnya ia telungkup di tempat tidur sambil menerimatelepon dari Wibi. “Boleh aku juga bertanya? Kenapa kamu selaluu ingin tahu?” Yang di seberang tertawa terbahak. Apa ya? Aku sebenarnya bukan orang yang selalu ingin tahu. Aku lelaki, selalu ada batasan antara diriku dan kehidupan pribadi orang lain. Lelaki terkenal sebagai manusia yang tidak ingin tahu hal-hal sepele, bukan? Mahesa mengangguk. Memang benar, makanya ia heran mengapa lelaki beda usia dengannya ia betapa ingin tahu mengenai dirinya. Setiap hari bertanya banyak hal, menanyakan apakah ia sudah makan, keluar jam berapa, atau hal-hal lain. Tapi, bagiku kalau segala hal tentang kamu itu selalu penting. Entah kenapa, aku se
Apabila seorang lelaki sudah memiliki seorang perempuan pujaan. Mungkinkah ia tinggalkan kesempatan padahal jarak yang ditempuh untuk sekadar memandang senyumnya bisa ditempuh dalam jarak lima ratus meter saja? Tidak! Wibi mengendarai Arjuna—tentunya setelah meminta izin—motor tua ayahnya melewati rumah-rumah besar di sekitarnya. Ia lalu berhenti di sebuah rumah dengan pagar berwarna abu-abu, dan taman depan yang luas. Segera ia keluarkan gawai dari saku. “Echa ….” Tak lama, terlihat ada gerakan menyingkap kain gorden dari pintu kaca rumah tersebut. Wajah Mahesa yang tersenyum kemudian muncul. Ia melambaikan tangan. Senyum Wibi semringah sambil membalas lambaian. Wibi berjalan membuka pagar, melewati jalan setapak yang terbuat dari batu kali. Lalu duduk di depan teras yang lantainya terbuat dari kayu. Khas rumah tua, namun terawat dengan baik. “Maaf lama.” Mahesa sudah berdiri di samping Wibi, lalu berjalan menuju kursi teras di samping meja k
Mahesa menghentikan langkahnya. Terlihat Zaenal melangkahkan kaki keluar dari ruang guru, sambil menyalami Bu Lena. Ia menunduk, tangannya bergetar, juga berkeringat. Ayahnya hanya lewat sambil memandanginya. Tak lama, sebuah sentuhan halus mendarat di bahunya. Dilihatnya Bu Lena sudah ada di hadapan. Seperti biasa, ia berdiri di lututnya, memberikan senyum tercerah untuk Mahesa. “Besok belajar sama Ibu setelah pulang sekolah, ya? Tadi Papa udah izinin.” Mahesa terdiam, memandang mata cokelat nan bulat yang terlindungi oleh bulu mata panjang dan lentik. Ia mengangguk, sayangnya Bu Lena tidak bisa melihat, hatinya ikut tersenyum. Bagaikan ada bunga-bunga berjatuhan di dalamnya. *** Mahesa masih terpaku, memandangi mata cokelat bulat, tetapi bukan menghiasi wajah Bu Lena, guru kesayangannya, menghiasi wajah Wibi. “Echa …” sapa Wibi lembut, sembari menyentuh punggung tangan perempuan itu lemah. “A!” Mahesa berteriak
Zee masuk ke dalam sedan Yasmin, lalu menutup pintu, dan membuka jendela, tak lama seorang lelaki bertubuh ranum datang dengan bakinya yang berisi dua mangkok bakso. “Tenks, Bang!” Senyum Zee sumringah, dibalas senyuman dari lelaki paruh baya yang menjadi tukang bakso langganan seluruh penduduk kampusnya. Ia dan Yasmin melahap makanannya masing-masing, dengan gaya masing-masing. Yasmin mendiamkan mie yang dijepit garpu di atas mangkok hingga dingin, sedang Zee langsung menerkam, garpu hanyalah sebuah perantara sementara. “Loe tahu? Kata anak-anak Wibi punya cewek baru?” Yasmin refleks menoleh. “Yang bener?” Zee sudah menandaskan mie dan baksonya, sedangkan Zee masih mendinginkan suapan pertamanya. “Gue denger tadi Zaski lagi godain Wibi. Katanya ‘lagi jatuh cintrong, nih yee!’ Dan Wibi menjawab, ‘tahu aja!’” Yasmin meletakkan mienya kembali ke atas kuah bakso, terdiam, memandang jauh ke depan. “Udah, apa gue bilang. Move on, y
Mahesa tersenyum, memegangi benda putih berbulu yang juga termasuk dalam bungkusan yang diberikan oleh Wibi. Ia menimangnya, memeluk boneka Teddy Bear berukuran sedang itu dengan sangat erat, lalu menjauhkannya dari tubuhnya, memeluknya lagi, dan begitu seterusnya. Setelah puas, Mahesa menyambar benda tipis elektroniknya, lalu mengirimkan pesan. Terima kasih, aku suka Om Bear-nya. Alhamdulillah, semoga kamu suka juga puisinya. Tak menunggu lama, balasan dari Wibi sampai. “Puisi?” Dahi Mahesa berdraperi. Ia melirik boneka barunya, dilihatnya boneka itu memiliki saku berwarna merah di bagian depan. Ia menyimpan gawainya, lalu merogoh saku merah tersebut. Sebuah kertas concorde berwarna merah muda yang dilipat dan dilingkari pita berwarna merah berada di sana. Ia membuka lipatannya, lalu tersenyum. Tahukah kau kasih? Kuberdoa setiap malam Menemui Sang Penguasa alam M
Mata bulat Wibi menangkap suatu stimulus yang bermakna baginya. Seorang perempuan yang siang dan malam dirindui. Ia merasa senang, entah mimpi apa semalam. Ia dapat bertemu Mahesa, padahal ia merasa sedang tidak beruntung. Naik angkutan umum tapi harus diturunkan di tengah jalan, belum lagi hari sedang hujan, celananya harus terkena cipratan dari air kubangan yang disebabkan kendaraan roda empat yang melaju dengan cepat. Wibi harus mampir dulu di sebuah mal, yang berada di sebelah utara kota Bandung karena diancam oleh adik semata wayangnya, kalau tidak membeli CD lagu kesukaannya, dia akan dipecat sebagai kakak. Dengan menekan perasaan malu karena bagian tengah hingga bawah celananya yang basah Wibi melangkah masuk. Dari lobby mal, ia melihat ke arah toko CD dan kaset yang dipartisi oleh kaca, ia melihat Mahesa yang sepertinya sedang mencoba CD sambil menggoyang-goyangkan kepala sesuai irama lagu. Wibi tersenyum dari balik kaca sambil melambaikan tangan, berharap ma
Yasmin memacu mobilnya, masuk ke dalam halaman rumahnya yang luas, membanting pintu lalu berlari ke dalam rumah. “Yaya!” Rima menyambutnya dengan ceria, tetapi anaknya masuk dengan muka memerah dan rambut acak-acakan. “Mama…” Ia mendekati ibunya sambil menangis, suaranya parau. “Mama ….” “Yaya, Sayang, kamu kenapa?” Ia biarkan anaknya menangis di dadanya, sambil terus memeluk dan mengelus rambutnya. Yasmin terdiam di atas ranjangnya. Matanya nyalang memandang entah ke mana. Teringat kejadian sore tadi di jalan raya, Wibi memandang Mahesa dengan mesra di sebuah trotoar rindang di daerah Dago. Meski sangat pelan, suara itu terdengar jelas di telinga. “Pacar.” Yasmin meringkuk, menangis tersedu sedan. Membuat bingung perempuan di usia baya itu. “Yaya! Kamu kenapa, sayang?!” Rima ikut menangis sambil memeluk anaknya. *** Mata Mahesa belum l