Rima membuka kacamata hitamnya, lalu berjongkok di depan sebuah pusara yang telah dikelilingi oleh keramik berwarna biru. Jari-jari lentiknya menyisihkan beberapa helai daun kering yang berada di atas tanah menyumbul itu. Nama Zaenal Ibrahim Bin Ali tertera di nisan.
“Kamu apa kabar di sana?” Suaranya tercekat, lalu terisak. "Aku kangen. Hidup tanpamu terasa begitu hampa."Baru dua bulan semenjak kepergian Zaenal, tetapi Rima merasa sudah satu abad berlalu. Malam-malam sepi tanpa ada lelakinya di sisi yang terkadang mendengkur, manja, dan memeluknya. Dua bulan yang teramat menyiksa hingga membuatnya terasa sesak. Ia inginkan lelaki yang sebelumnya terkadang menyusahkan dan sulit diatur itu kembali. Namun, apa yang bisa dibuatnya? Takdir berkata sebaliknya. Lelakinya pergi, dengan satu wasiat yang sangat berat untuk bisa ia jalani.
Ingatannya berputar pada hari itu, ketika Zaenal baru saja keluar dari rumah sakit. Ia menyuapi lelakinya, meski hany
Raffi memandang tajam wajah Mahesa, gadis yang dicintainya. Gadis itu kemudian menundukkan wajah ovalnya, menghindari tatapan Raffi yang menusuk hatinya. Ia harus menjawab pertanyaan Raffi sebelumnya. "Apakah kau mencintaiku?" Sungguh sulit ia menjelaskan. "A-a-a ...aku ... nyaman sama Kakak, Kakak bagaikan ...." Apakah aku mencintainya? Aku tak boleh berbohong, tak boleh, kalau tidak pernikahan ini akan menjadi pernikahan pura-pura. Aku harus jujur, sesulit, semenyakitkan apa pun. "Ka-kakak bagiku." Lirih suaranya. Maaf .... Raffi memberikan seulas senyum, meski keluarnya dengan dipaksa. Dia sudah tahu apa yang dirasakan gadis yang akan menjadi istrinya dalam hitungan hari. Tak pernah ia melihat pucuk cinta di mata sayu Mahesa saat sedang memandangnya. Jangankan pucuk, benih pun nampaknya tak ada. Mereka hanya bersama karena faktor keadaan. Pada saat Raffi mengungkapkan rasanya kepada Mahesa, gadis itu pun seda
Wibi terkejut, ia terbangun, melempar paksa napasnya ke luar hidung. Ia menatap jendela kamar yang ditutupi kain bermotif tokoh spiderman. Meski terhalangi, terlihat sinar matahari ingin menerobos masuk. Matanya menyapu ruangan, lalu ke dekatnya, di samping ranjang, sebuah jam meja klasik bertengger. Jam menunjukkan pukul tujuh. Wibi menyapu rambut keritingnya dengan kelima jari tangan kanan. Duh, telat. “Wibi!!” Benar saja, baru saja mau dipikirkan, rupanya suara cempreng ibunya sudah eksis mewarnai hari baru Wibi. Rambut brokolinya sudah menyumbul di celah pintu kamar. “Terlambat lagi! Bangun! Salat!!” “Iya, Mamaaaa, bisa enggak manggil enggak pake tereak?!” gumamnya kesal. “Apa?!” “Hehe, enggak Ma.” Wibi bangkit dari kasur berukuran 90 cm itu. Lalu berjalan keluar. Langkah kaki menuju kamar mandi yang hanya berjarak lima langkah ke depan dengan langkah pendeknya kalah, ia menyimpang ke kanan, sebanyak sepuluh langk
Wibi memarkir motornya di pelataran parkir sebuah toko kelontong, lalu termenung.Perempuan itu … kenapa akhir-akhir ini sering banget bolak-balik mampir di mimpiku.Kemudian memegangi perut yang sedari tadi berbunyi minta diisi. Ia merogoh saku celana pendek berwarna krem, menemukan uang sepuluh ribuan yang kering kerontang karena ikut tercuci bersama celana itu. Jadilah ia masuk ke dalam toko demi membeli sepotong roti dan sekotak susu.Apabila orang melihat cara Wibi memakan roti isi cokelat beserta susu cokelatnya, pasti akan menganggap anak lelaki itu tidak makan selama berhari-hari. Wibi makan dengan lahap di atas motor berwarna hitam kusam yang mesinnya bisa terlihat dari sisi mana pun karena body-nya sudah terbuka. Meski Roeslan menjaga sedemikian rupa, namun rangka besi tetap memiliki masa kedaluarsa. Bila bukan manusia yang merusak, alamlah yang mengikis.Tiba-tiba Wibi merasa ada yang aneh, sepertinya ada
Aku hanyalah gadis kesepian yang haus cinta Kutunggu sosokmu hai pengendara kuda sakti Bukalah tabir kegelapan yang selama ini mengurungku Bawalah gadis ini ke dunia penuh cinta Yang didalamnya hanya ada suka dan cita Dan selamanya aku akan bahagia Sabila telah terperangkap di dalam dilema cinta, sebuah perang batin, pertarungan antara hati, dan pikiran idealismenya. Lelaki yang dicintainya. Mulnya, “Eh!“ Mahesa lalu memperbaiki ketikannya. Mulanya tak pernah disadari. Seorang tetangga yang semenjak kecil bermain dan bertengkar dengannya, menghabiskan masa muda bersama. Lalu kini ia merasakan sakit karena dipaksa harus melupakan cinta yang selama ini dirindui. Bukan karena apa-apa, tetapi karena status. Antara Sabila dan Ragil terda
Mahesa menjejakkan kaki di sebuah lahan parkir sebuah fakultas di Universitas Negeri Jawa Barat yang letaknya berada di Kabupaten Sumedang. Sinar matahari pukul sebelas itu sangatlah terik, ia harus mengernyitkan matanya. Segera ia mengambil sebuah kaca mata hitam yang ditaruh di atas dashboard, menutup pintu, lalu berjalan. Segera diambilnya gawai berwarna merah dari dalam tas selempang yang terbuat dari kulit berwarna cokelat, menghubungi sebuah kontak bernama Kiky. "Ki, aku udah sampai." [Hai, di mana lu?] Suara wanita yang renyah menjawab di sana. "Ini, di gedung perkuliahan." [Eh, tunggu gue di perpus, ya. Gue ke sana bentar lagi.] Mahesa meletakkan kembali gawainya di dalam tas, memasuki sebuah gedung perkuliahan yang pintu kacanya terbuka lebar, belok kanan, menuju ruang perpustakaan. Di depan pintu berdaun kaca yang terbuka lebar itu ada sebuah tangga menuju lantai dua, dua orang pria, satu bertubuh tinggi dan satu
[Mahesa ….] Suara yang lembut menyapanya di pagi hari. Mahesa menunduk, sambil memperlihatkan jari-jari kakinya yang mempermainkan ubin. “Ya, Pa?” [Hari ini ada agenda apa?] “Hmmm … Echa mau ke mall, Pa. Ketemu beberapa temen yang udah bantuin riset aku di buku yang kemaren.” [Gitu.] Suara napas panjang terdengar, sunyi. [Makan siang, yuk!] Mahesa terdiam lama, menghela napas. “Di mana, Pa?” [Di mall aja, habis kamu ketemuan sama temen-temen, mau?] Mahesa mengangguk, “Oke.” [Jam 1?] “Siap, Pa!” *** Mahesa terdiam beberapa lama, kakinya diangkat ke atas sofa, diam memperhatikan pola atap, pola dinding, melamun. Hal yang sangat sering ia lakukan. Berlama-lama padahal agenda lain sudah padat merayap untuk segera dieksekusi. Lalu menyadari kelalaiannya, ia bangun dan melompat. “Ayo, Mahesa! Semangat!!” teriaknya. Lalu berlari melompat-lomp
Mahesa membenarkan duduknya sambil melihat ke sekeliling, seorang pemuda masuk ke dalam foodcourt sambil membawa beberapa textbook, lalu duduk di antara teman-temannya. Dia lagi, batinnya. Lalu kembali berbincang dengan seorang perempuan dengan rambut panjang lurus berwarna hitam yang diberikan highlight berwarna putih di beberapa sisinya. Tengkuknya terasa panas, firasatnya mengatakan ada yang sedang memperhatikan, lalu memandang ke hadapan. Ia tetawa. Wibi sedang membaca sebuah textbook secara terbalik sambil matanya memandang ke arahnya. Kelihatan, tahu. Ia terkekeh. Kemudian perhatiannya tersita oleh sebuah panggilan telepon. Papanya menelepon. “Iya, Pa? Papa di mana? Oke, Eca ke sana, ya?” Mahesa pamit kepada teman-temannya, lalu bangkit dari duduknya, menuju pintu yang terbuat dari kaca, menuju toko roti. Sebuah teriakan menghentikan Mahesa, “Ke mana, Bi? Ker
Lorong yang sepi itu tiba-tiba menjadi semarak, Satu per satu mahasiswa keluar melewati pintu menuju lobby kampus. Suara bising pun perlahan-lahan menjauhi Wibi, Bombom, Zasky, dan Bobby. Kini tinggal mereka dan beberapa kumpulan mahasiswa yang berada di bagian lain dari ruangan perkuliahan yang berkapasitas seratus orang tersebut. Saat itu adalah kesekian kalinya mereka berembuk untuk tugas mata kuliah konstruksi tes atau yang biasa disebut mahasiswanya sebagai Kontes. Mata kuliah ini mengharuskan mahasiswanya untuk membuat alat tes, yang tentu saja memusingkan. “Hohohoho, gua punya ide!“ Bombom bersemangat. Lalu matanya menyapu keadaan untuk melihat reaksi teman-temannya yang ia dapatkan nampak berseri-seri. Mata bombom menerawang ke langit-langit ruangan, sedangkan teman-temannya melongo menunggu ide Bombom keluar dari bibirnya yang sama bulatnya dengan perutnya. “Dimulai dari fenomena pola asuh saja ... Gue lihat cara sepupu men