Share

Dia Wibi

Mahesa menjejakkan kaki di sebuah lahan parkir sebuah fakultas di Universitas Negeri Jawa Barat yang letaknya berada di Kabupaten Sumedang. Sinar matahari pukul sebelas itu sangatlah terik, ia harus mengernyitkan matanya. Segera ia mengambil sebuah kaca mata hitam yang ditaruh di atas dashboard, menutup pintu, lalu berjalan. 

Segera diambilnya gawai berwarna merah dari dalam tas selempang yang terbuat dari kulit berwarna cokelat, menghubungi sebuah kontak bernama Kiky. "Ki, aku udah sampai."

[Hai, di mana lu?] Suara wanita yang renyah menjawab di sana.

"Ini, di gedung perkuliahan."

[Eh, tunggu gue di perpus, ya. Gue ke sana bentar lagi.] 

Mahesa meletakkan kembali gawainya di dalam tas, memasuki sebuah gedung perkuliahan yang pintu kacanya terbuka lebar, belok kanan, menuju ruang perpustakaan. Di depan pintu berdaun kaca yang terbuka lebar itu ada sebuah tangga menuju lantai dua, dua orang pria, satu bertubuh tinggi dan satu lagi gempal sedang menuruni tangga. 

"Bi! Gue ke WC dulu, ya!" Lalu melempar tasnya ke pelukan Wibi. "Banyak barang berharga, jangan sampe hilang!!" Lalu berlari berbelok kanan. Wibi, lelaki berambut keriting itu hanya geleng-geleng. Di depannya seorang perempuan dengan kulit putih bersih, memandanginya, lalu tersenyum. Wibi memberikan seulas senyuman tipis, terpaksa, lalu melengos. 

"Wibi!" panggilnya. "Kita bisa bicara?" 

Wibi terdiam. "Mau ngomongin apalagi?" 

Kini Wibi yang berdiri di bawah, sedangkan Yasmin, gadis cantik itu berada di atas. Samar-samar ia melihat sosok yang dikenalinya sedang berjalan menjauhinya, keluar dari gedung perkuliahan dengan seorang asisten dosen.

"Itu ...." Yasmin menunduk. "Aku punya tiket pertunjukkan ..."

"Kapan?" 

Yasmin melonjak senang. "Akhir pekan ini, Sabtu, malam minggu,” jawabnya semringah.

"Aku ada kerja kelompok, lain kali aja," balasnya dingin, lalu berbalik meninggalkan Yasmin, perempuan cantik yang berbeda angkatan satu tahun dari Wibi. Perempuan cantik idaman laki-laki satu universitas. 

"Wibi ...."

Yang diharapkannya Wibi, kakak angkatan semenjak SMA, pergi menjauh darinya. Yasmin memajukan bibirnya, turun perlahan, lalu duduk di anak tangga terakhir, memandangi mahasiswa dan mahasiswi mondar-mandir.

***

 “Yasmin kenapa?” Zasky, salah seorang teman Wibi, seorang perempuan berkulit putih, dengan rambut lurus dan halus berponi bertanya. Rupanya ia memperhatikan keadaan di dalam kampus, meski berada jauh di luar. Kampus Psikologi memang sangat kecil, mahasiswanya bisa dihitung dengan jari, maka gerak-geriknya sangat mudah diketahui.

“Enggak apa-apa, kita jadi kerja kelompok Sabtu, kan?”

“Ih, berkelit. Kenapa sih, cewek cantik kaya Yasmin itu ngedeketin loe malah ngejauhin? Enggak rugi? Dia kan ngikutin elo dari SMA, masa digantungin?”

“Tau dari mana loe?” tanya Wibi. Dia tak pernah menceritakan soal hubungannya dulu ketika SMA dengan Yasmin. Meski tak bisa dikatakan pacaran, tetapi mereka memang pernah memiliki cerita. Cerita yang sudah tak ingin dilanjutkan lagi olehnya. Namun tidak untuk Yasmin.

“Hai, Bro!” Seorang lelaki dengan rambut panjang diikat, jongkok di antara mereka. Tak lama lelaki gempal yang mereka sebut namanya adalah Bombom datang dan bergabung.

Dari kejauhan, sebuah jendela gedung dekanat, Mahesa menyipitkan matanya.

“Kenapa Loe?” Kiky ikut mengintip ke arah undakan tangga besar di gedung perkuliahan.

“Enggak, perasaan aku pernah ketemu anak itu, tapi di mana ya?” Pupil Mahesa naik ke atas, lalu mengikuti Kiky yang kemudian duduk di kursi yang mengelilingi meja kayu dengan ukurang besar.

“Dia namanya Wibi, memang cowok popular di sini. Banyak yang naksir.”

Mahesa membentuk huruf “o” di bibirnya.

“Naksir juga?” Kiky, perempuan dengan rambut sebahu, mengenakan kemeja longgar berwarna putih mendekatkan wajahnya ke wajah Mahesa, membuat gadis itu kaget.

“Ih, apaan? Berondong!”

“Hahahah! Udah bukan zamannya lagi! Sekarang naksir mah bebas sama siapa aja.”

Mahesa terdiam, lalu tersenyum. Oh, ya Sabilla dan Ragil pun begitu.

 Kiky lalu mengeluarkan sebuah kardus dari tas kertas yang Mahesa bawakan untuknya. “Ini untuk gue?”

“Yup!”

“Asyik!! Terus, gue bisa bantu apa untuk riset novel loe?”

Mahesa tersenyum lebar. Lalu memajukan tubuhnya. “Jadi begini ….”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status