[Mahesa ….] Suara yang lembut menyapanya di pagi hari. Mahesa menunduk, sambil memperlihatkan jari-jari kakinya yang mempermainkan ubin.
“Ya, Pa?”
[Hari ini ada agenda apa?]
“Hmmm … Echa mau ke mall, Pa. Ketemu beberapa temen yang udah bantuin riset aku di buku yang kemaren.”
[Gitu.] Suara napas panjang terdengar, sunyi. [Makan siang, yuk!]
Mahesa terdiam lama, menghela napas. “Di mana, Pa?”
[Di mall aja, habis kamu ketemuan sama temen-temen, mau?]
Mahesa mengangguk, “Oke.”
[Jam 1?]
“Siap, Pa!”
***
Mahesa terdiam beberapa lama, kakinya diangkat ke atas sofa, diam memperhatikan pola atap, pola dinding, melamun. Hal yang sangat sering ia lakukan. Berlama-lama padahal agenda lain sudah padat merayap untuk segera dieksekusi.
Lalu menyadari kelalaiannya, ia bangun dan melompat. “Ayo, Mahesa! Semangat!!” teriaknya. Lalu berlari melompat-lompat seperti kangguru, mengambil handuk, dan masuk ke dalam toilet.
Tidak butuh waktu lama bagi Mahesa mempersiapkan diri. Ia bukan tipe perempuan yang harus tampil sempurna dan selalu cantik. Muka hanya dipoles pelembab wajah, pelembab bibir sudah cukup baginya. Pakaian pun ala kadarnya, kaos oblong berwarna hitam, dan celana jeans belel dipadukan dengan sepatu kets berwarna merah, warna kesukaannya. Ia mengendarai sedan merah kesayangannya ke arah Dago, di sana ada sebuah mal tua yang merupakan ikon pemuda kota Bandung. Dikunjungi muda-mudi hingga yang sudah berumur. Namun, bukan mal itu yang akan dia datangi.
[Food court biasa, ya genk!]
Mahesa harus menyebrang jalan, lalu masuk ke dalam sebuah foodcourt kecil di belakang toko kue legenda di kota. Di sana sekumpulan anak muda berpakaian hitam-hitam, beberapa mengenakan rantai di celananya sebagai aksesoris, mengenakan make-up gothic. Ia mendekati mereka.
“Halo!” sapanya cerita, lalu disambut dengan ramai oleh mereka. Mereka bersenda gurau, berbincang, terkadang berteriak, dan main fisik. Mahesa tersenyum, teman-teman barunya memang seperti itu. Namun, jauh di dalam hati mereka, di balik tampilan nyentrik, mereka memiliki hati yang baik. Ia memandang keluar foodcourt, dan melihat seorang pemuda jangkung berambut ikal memasuki foodcourt, menemui dua orang temannya yang sudah datang sekitar sepuluh menit yang lalu, bersamaan dengan kedatangan Mahesa. Ia tersenyum, dan kembali berbincang dengan teman-temannya.
***
Wibi menaruh beberapa textbook di atas meja. “Si Bombom belum dateng?” tanyanya sambil duduk di atas kursi berwarna kuning.
“Teu acan.” Bobby, lelaki yang rambutnya panjang lalu diikat itu menjawab acuh, matanya tak pernah lepas dari layar LCD gawai monokromnya.
“Kenapa sih, dimajuin segala kerja kelompoknya? Katanya mau malam?”
“Dia ada kencam sama sesecewek, hihi,” jawab Zasky. “tuh!” Dia memperlihatkan wajah seorang gadis di layar gawai polifoniknya.
“Jiaaah.” Lalu memandang ke depannya. Di depan, ia melihat seorang perempuan yang sangat ia kenal. Wajahnya hampir setiap hadir dalam mimpinya, dan pernah ditemui dua bulan sebelumnya. Mengenakan kebaya putih dan kain batik serta sepatu kets. Dia …. Cewek itu! Wibi lalu menarik salah satu textbook, dan mulai mengintip dari baliknya.
Dua puluh menit telah berlalu.
“Euleuh, si Bombom teu baleg1, minta ketemuan jam segini, maksa-maksa, eh sekarang dianya enggak bisa!” keluh Zasky sambil membuang napas kesal.
“Masa??!” Bobby akhirnya teralihkan matanya dari game di gawainya. “tau gitu urang molor dupi ka poe2!”
“Diiih, tidur mulu!” Zasky gemes sambil membenamkan kepala sobatnya ke dalam capucon kesayangan yang entah berapa tahun tidak dicuci.
Sedangkan lelaki satu lagi matanya tak pernah lepas dari memandang perempuan bertubuh langsing yang duduk tak jauh dari tempatnya duduk. Ia ikut bangkit ketika mereka bubar. Lalu ikut berjalan.
“Ke mana, Bi?!” teriak Zasky. “Kerja kelompok kumaha?”
“Besok aja, nungguin Bombom,” jawab Wibi tanpa menengok, kembali berjalan mengikuti perempuan yang kemudian menyebrangi jalan, kembali masuk ke dalam mal.
Wibi mengikuti Mahesa sampai bagian belakang mal, tempat yang lebih teduh dengan banyak pohon besar di sisi-sisi jalan. Gadis itu mendekati sebuah sedan keluaran Eropa sambil memegang gawai yang sebelumnya ia gunakan untuk bertelepon. Sebelum ia sampai, seorang lelaki paruh baya dengan wajah tampan dan gagah keluar, tangannya terentang, dan Mahesa jatuh ke pelukannya.
Sejenak Wibi menghentikan langkah, hendak berbalik. Namun, dahinya berdraperi, beberapa lintasan visual dipanggil. Seperti yang tersihir, ia berlari mendekati Mahesa, meraih tangannya, menonjok sang lelaki tua itu dan membawa lari sang gadis.
“Hei!!!” teriak Mahesa.
Mahesa membenarkan duduknya sambil melihat ke sekeliling, seorang pemuda masuk ke dalam foodcourt sambil membawa beberapa textbook, lalu duduk di antara teman-temannya. Dia lagi, batinnya. Lalu kembali berbincang dengan seorang perempuan dengan rambut panjang lurus berwarna hitam yang diberikan highlight berwarna putih di beberapa sisinya. Tengkuknya terasa panas, firasatnya mengatakan ada yang sedang memperhatikan, lalu memandang ke hadapan. Ia tetawa. Wibi sedang membaca sebuah textbook secara terbalik sambil matanya memandang ke arahnya. Kelihatan, tahu. Ia terkekeh. Kemudian perhatiannya tersita oleh sebuah panggilan telepon. Papanya menelepon. “Iya, Pa? Papa di mana? Oke, Eca ke sana, ya?” Mahesa pamit kepada teman-temannya, lalu bangkit dari duduknya, menuju pintu yang terbuat dari kaca, menuju toko roti. Sebuah teriakan menghentikan Mahesa, “Ke mana, Bi? Ker
Lorong yang sepi itu tiba-tiba menjadi semarak, Satu per satu mahasiswa keluar melewati pintu menuju lobby kampus. Suara bising pun perlahan-lahan menjauhi Wibi, Bombom, Zasky, dan Bobby. Kini tinggal mereka dan beberapa kumpulan mahasiswa yang berada di bagian lain dari ruangan perkuliahan yang berkapasitas seratus orang tersebut. Saat itu adalah kesekian kalinya mereka berembuk untuk tugas mata kuliah konstruksi tes atau yang biasa disebut mahasiswanya sebagai Kontes. Mata kuliah ini mengharuskan mahasiswanya untuk membuat alat tes, yang tentu saja memusingkan. “Hohohoho, gua punya ide!“ Bombom bersemangat. Lalu matanya menyapu keadaan untuk melihat reaksi teman-temannya yang ia dapatkan nampak berseri-seri. Mata bombom menerawang ke langit-langit ruangan, sedangkan teman-temannya melongo menunggu ide Bombom keluar dari bibirnya yang sama bulatnya dengan perutnya. “Dimulai dari fenomena pola asuh saja ... Gue lihat cara sepupu men
"Kenapa jadi ragu, ya?" Wibi menarik tangannya kembali, tak jadi memencet bel di pintu rumah Yasmin. "Bodoh sekali aku, ngapain juga harus ke sini, bukannya akan memberikan harapan pada Yasmin sekali lagi?" Masih bergumam sendirian, sambil perlahan mundur. Namun, di saat bersamaan Yasmin yang melihat Wibi akan meninggalkan membuka pintunya. "Wibi! Makasih sudah mau datang." Ia semringah, terkembang senyuman sangat lebar sehingga pipinya menekan matanya menjadi menyipit. "Ah, eh." Gagal kabur, deh. Secinta itu gue sama cewek itu? Sampe bela-belain masuk ke kandang harimau. Wibi menginjak tegel marmer rumah Yasmin. Udara sejuk dari taman di tengah rumah menyapa kehadiran Wibi. Ia berjalan mengikuti Yasmin sambil celingak-celinguk, lalu bersikap lebih tegap, membenarkan pakaian. "Hai, Kak Wibi!!" Rupanya yang menyambut beberapa teman Yasmin yang merupakan senior di kampus, juga teman-teman SMA Yasmin yang juga merupakan adik-adik kelasny
Mahesa akhirnya menerima tawaran ayahnya untuk menginap di rumah itu. Sudah sekitar enam tahun ia tinggalkan. Rumah yang besar dengan lima kamar, setiap kamar dilengkapi kamar mandi, wardrobe, pendingin ruangan, televisi dan segala fasilitas. Namun, tidak bisa merasakan kehangatan di dalamnya. Ia terdiam terpaku. Memandangi kertas dinding berwarna krem, lalu tersenyum. “Rupanya kertasnya diganti.” Kembali terdiam. Dulu ia menggunakan warna kertas dinding yang tak biasa. Hitam, gelap, dengan karpet bulu berwarna hitam. Kini karpet yang dipijaknya berwarna sama dengan dindingnya. Ia membuka-buka wardrobe, laci meja, rak buku. Lalu menggeleng, menyengir, membanting dirinya di atas kasur. “Mahesa Indriawan Kesuma!! Kamu sudah dicoret dari kartu keluarga!! Hahahahah!!” Lalu bangkit, “Ke mana Nenek sihir itu membuang semua barang-barangku?” Membuang napas kasar, lalu mengambil tasnya yang disimpan di pinggir ranjang, mengambil laptop. Menulis adalah cara ter
Ragil ... mmm ... karakternya seperti apa, ya? Mahesa duduk sambil memandangi layar laptop. Seorang laki-laki dengan semangat tinggi. Maksudnya gimana, ya? Mahesa berdiri sambil memegangi kursinya, lalu memutar-mutarnya dangan tangannya. Dia suka kegiatan berkeringat, basket, taekwondo, panjat tebing, hal-hal yang sulit ditaklukkan, bisa jadi seorang perempuan yang sulit dimiliki, perempuan berhati es, perempuan yang usianya jauh lebih tua darinya hahahah iya-iya benar …. Lalu Mahesa membuka pintu kamarnya berjalan menuju tangga. Lelaki yang menyukai tantangan sangat pantas menjadi pasangan Sabila yang berhati dingin, kaku dan terlalu patuh pada peraturan normatif, dia akan mejadi sangat menantang bagi lelaki seperti Ragil, tidak mudah didekati, tidak mudah dimenangkan, seandainya sudah didapatkan, belum tentu dapat dimiliki. Kali itu Mahesa sudah berada di tepi tangga untuk turun, mukanya menyebarkan senyuman ke seluruh rumah.
Wibi merebahkan tubuhnya di atas ranjang sambil menutup telinga. “Baik banget penulisnya, si Jaski aja dikasih jatah, tau! Nyesel lu enggak dateng, kemarin! Enak enggak makanan di rumah Yasmin? Hahahahah!” Bobby berseloroh, lalu menimpa tubuh Wibi.”Jadinya CLBK, nih?” Matanya kemudian kedap kedip seperti lampu hias. “Ih, naoh sih, Maneh!” Wibi kesal lalu menjatuhkan Bobby ke lantai. “Hahahaha!” tawanya mengejek sambil bersedekap. Bombom hanya menonton dan tertawa sambil duduk di atas kursi belajar Wibi. “Ngapain sih kalian malem-malem ke sini? Mau ngabibita? Enggak ampuh!” “Si Bobby yang ngajakan … pengen nonton bokep6 bareng ceunah.” Bobby masih di posisi semula sambil matanya berkedip-kedip bak kunang-kunang. “Ih! Jangan! Gara-gara video-video bokep Bobby yang kemarin ketinggalan, gue jadi dihukum sama Papa dan Mama! Enggak dapet uang jajan, selain itu, nama baik gue kecoreng di mata keluarga.” Ia mendengkus kesal sambil bersandar di dinding. Bobby bangkit lalu menaruh sekepi
Wibi mengerjapkan matanya seakan tak percaya. Mahesa pun tak kalah terkejut oleh pandangan di depannya, meski hal yang terjadi sudah dapat disangkanya. “Kamu lagi?” tanyanya sambil tersenyum lebar. Wibi pun mengganti mode default wajahnya menjadi semringah, lalu mengikuti Mahesa yang kemudian duduk di balik meja lesehan di restoran jepang itu. “Jadi, kamu mahasiswa Psikologi?” tanya Mahesa sambil tersenyum dan menyimpan beberapa potongan daging bakar ke atas piring Wibi. Wibi mengangguk antusias, “Jadi, kamu adalah penulis?” Mahesa mengangguk sambil tersenyum. “Mungkin kita jodoh, dipertemukan oleh keadaan beberapa kali,” sahut Wibi, membuat Mahesa terbatuk-batuk. “Jodoh? Kamu yakin?” Mata Mahesa berputar-putar, mengingat kejadian sebelumnya ketika Wibi menonjok wajah Ayahnya. Yang kemudian ditangkap maksudnya oleh Wibi dan membuatnya menelan ludah. Wibi menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “Apakah … aku harus secara resmi meminta maaf kepada ayahmu?” Wibi memajukan badannya,
Mahesa membuka pintu rumahnya, lalu berjalan lurus ke depan, mencapai taman belakang rumahnya. Bunyi derit rantai ayunan tua yang digantung di pohon besar terdengar. Ia ditiup angin. Pandangannya menerawang jauh. Sebuah taman belakang yang hanya ditumbuhi rumput gajah yang mulai meninggi di depannya. “Cinta ….” Ia bergumam. 23 Tahun yang Lalu Mahesa kecil sedang berjongkok di depan semak di taman belakang, tangan gendutnya meraup daun berwarna hijau dan bunga berwarna merah, berlari ke teras belakang, lalu memasukkannya ke dalam mainan mini, menmukul-mukulnya dengan batu hingga keluar cairan yang tidak dapat didefinisikan warnanya. Sedangkan ibunya sedang menyirami beraneka macam bunga yang ditanam di taman, dan juga di pot di taman dan yang digantung sambil bersenandung. Lihat kebunku, penuh dengan bunga, Ada yang merah dan ada yang putih Setiap hari ... Suaranya merdu dan indah. Mahesa tersenyum memandang ibunya. Suara yang biasa melelapkan tidurnya setiap malam dengan lagu-