Lorong yang sepi itu tiba-tiba menjadi semarak, Satu per satu mahasiswa keluar melewati pintu menuju lobby kampus. Suara bising pun perlahan-lahan menjauhi Wibi, Bombom, Zasky, dan Bobby. Kini tinggal mereka dan beberapa kumpulan mahasiswa yang berada di bagian lain dari ruangan perkuliahan yang berkapasitas seratus orang tersebut.
Saat itu adalah kesekian kalinya mereka berembuk untuk tugas mata kuliah konstruksi tes atau yang biasa disebut mahasiswanya sebagai Kontes. Mata kuliah ini mengharuskan mahasiswanya untuk membuat alat tes, yang tentu saja memusingkan.
“Hohohoho, gua punya ide!“ Bombom bersemangat. Lalu matanya menyapu keadaan untuk melihat reaksi teman-temannya yang ia dapatkan nampak berseri-seri.
Mata bombom menerawang ke langit-langit ruangan, sedangkan teman-temannya melongo menunggu ide Bombom keluar dari bibirnya yang sama bulatnya dengan perutnya. “Dimulai dari fenomena pola asuh saja ... Gue lihat cara sepupu menangani anaknya yang sedang menangis, prot!“ Tangan Bombom yang terkepal bertingkah seolah-olah memasukkan botol susu pada anak bayi. “langsung ia memasukkan botol susu pada anaknya atau diberikanlah ASI, dengan cara yang konsisten, walau apa pun penyebab tangisan anaknya, apakah itu karena lapar, haus, takut ditinggalkan sendiri, jidat-nya kepentok mainannya sendiri, wah pokoknya apa punlah, dan itu ternyata terjadi pada banyak anak-anak di dunia. Tentunya hal itu akan membuat suatu pola kepribadian kan?“ Bombom memperhatikan teman-temannya secara bergantian. Mereka pun mengangguk-angguk secara antusias.
“Woiiii!!” Suara sapaan yang keras mengejutkan mereka, pandangan mereka secara kompak memandang ke arah sumber suara. Kiky asisten dosen Psikologi Klinis sedang ada di mulut pintu. “Alhamdulillah masih ada mangsa!!” serunya bahagia.
“Emang kita anak itik, Ky!!” tanggap Bombom. Sistem perkuliahan di sana memang dibuat simpel, dosen, senior semua tidak mau dipanggil ‘Pak’, yang tua ingin dipanggil Kak, Mbak, Mpok, Kang, Bang, yang muda dipanggil namanya saja.
“Hihihi, kalau mau, gue jadi musang.” Dosen muda itu melebarkan kakinya yang terbalut jins berwarna putih dan mengeluarkan cakarnya. “Wibi, Bombom, Bobby, kemarenan lu kan pada isi kuesioner dari penulis Indonesia tea, nah, dia mau ada sesi interview, nih. Di kota, sambil ditraktir makan, ada yang mau enggak?” Karena kampus mereka berada di kabupaten di luar Bandung, sering kali mereka mengatakan kota bandung dengan sebutan “kota”.
“Mauuuu!!” Ketiga lelaki yang inginnya selalu dapat makan siang gratisan langsung berteriak dengan koor yang sedikit falls, juga wajah semringah yang alami.
“Yah, kenapa hanya laki-laki sih, Mbak? Cewek kagak diajak-ajak?” Zasky memanyunkan bibirnya. Meski diharuskan menyebut nama ia tetap memanggil asisten dosennya dengan panggilan “Mbak”, dan dosen-dosennya dengan “Pak”, dan “Bu”. Sudah kebiasaan katanya, Tidak bisa diubah.
“Lu ikut aja, entar jatah kita bertiga disisihin sedikit-sedikit untuk loe,” bujuk Bobby, sahabatnya semenjak kecil.
“Lu aja kali, bukan gue!” Bombom tiba-tiba nyolot enggak terima. Wibi tertawa, lalu berhenti ketika ia menangkap sosok Yasmin di jendela sedang melambaikan tangan kepadanya. Ia memberikan senyuman tipis pada Yasmin. Apa perlu pura-pura nganter Yasmin ke rumah biar bisa ketemu Mahesa, ya?
“Pelit, lo!” Bobby ngacak rambut Bombom.
“Emang gue kucing, dikasih sedikit-sedikit. Mending gue pergi sama Alma deh, jalan-jalan makan es krim.” Zasky mengeluarkan lidahnya.
Wibi memeriksa gawainya, sebuah SMS datang, dari Yasmin.
Yasmin
[Besok aku ulang tahun, ada pesta kecil di rumah bareng temen-temen, aku ngundang kamu. Semoga mau datang.]
Wibi
[Jam berapa?]
Yasmin
[Malem.]
Wibi terdiam. “Kapan wawancaranya, Ky?”
Wibi kembali mengetik pesan.
Wibi
[Siapa aja yang datang selain temen-temen loe?]
Yasmin
[Enggak ada, paling keluarga gue.]
Wibi
[Kakak loe juga?]
“Hmm … besok malem, jam 7, ya! Kabari selambatnya nanti malam, karena satu sesi hanya lima orang, jadi harus yang kudu, wajib bisa dateng! Enggak bisa, ya gue cut, ganti yang lain, yang ragu, gue ceburin ke empang sono!”
“Dih, ngeri!” Bombom tertawa, “Gue mah, kalau soal makan, gratisan pula, kagak ada istilah kagak bisa. Hidup gue buat makan!! Ya kan, Bi?”
Wibi terdiam, terlihat menimbang. Dia akan ada di pesta ulang tahun Yasmin? Eh tapi, mereka enggak akrab ya?
“Dih, galau die!” Lu Bob?”
“Sebelas dua belas gue sama lo!” Mereka pun langsung tos. Tertawa melihat teman mereka yang masih ragu.
“Gue coret lo, Bi! Bingung gitu! Hahahah!!” Kiky lalu pergi meninggalkan keempat sekawan itu, lalu mencari mangsa lainnya di luar gedung yang mulai sepi. Beberapa mahasiswa sudah pergi ke kantin, ada juga yang kuliah lagi di ruangan lain, atau duduk-duduk di plaza batu, yaitu jejeran anak tangga yang terbuat dari batu.
Wibi masih menimbang sambil melihat ketiga sobatnya yang masih asyik bercanda. Sebuah getaran dari handphone memalingkan wajahnya, warna kuning dari layar nampak. Dibukanya SMS terbaru dari Yasmin. Dan matanya membulat sempurna.
Yasmin
[Katanya sih mau datang, kenapa? Kamu fans dia juga?]
"Kenapa jadi ragu, ya?" Wibi menarik tangannya kembali, tak jadi memencet bel di pintu rumah Yasmin. "Bodoh sekali aku, ngapain juga harus ke sini, bukannya akan memberikan harapan pada Yasmin sekali lagi?" Masih bergumam sendirian, sambil perlahan mundur. Namun, di saat bersamaan Yasmin yang melihat Wibi akan meninggalkan membuka pintunya. "Wibi! Makasih sudah mau datang." Ia semringah, terkembang senyuman sangat lebar sehingga pipinya menekan matanya menjadi menyipit. "Ah, eh." Gagal kabur, deh. Secinta itu gue sama cewek itu? Sampe bela-belain masuk ke kandang harimau. Wibi menginjak tegel marmer rumah Yasmin. Udara sejuk dari taman di tengah rumah menyapa kehadiran Wibi. Ia berjalan mengikuti Yasmin sambil celingak-celinguk, lalu bersikap lebih tegap, membenarkan pakaian. "Hai, Kak Wibi!!" Rupanya yang menyambut beberapa teman Yasmin yang merupakan senior di kampus, juga teman-teman SMA Yasmin yang juga merupakan adik-adik kelasny
Mahesa akhirnya menerima tawaran ayahnya untuk menginap di rumah itu. Sudah sekitar enam tahun ia tinggalkan. Rumah yang besar dengan lima kamar, setiap kamar dilengkapi kamar mandi, wardrobe, pendingin ruangan, televisi dan segala fasilitas. Namun, tidak bisa merasakan kehangatan di dalamnya. Ia terdiam terpaku. Memandangi kertas dinding berwarna krem, lalu tersenyum. “Rupanya kertasnya diganti.” Kembali terdiam. Dulu ia menggunakan warna kertas dinding yang tak biasa. Hitam, gelap, dengan karpet bulu berwarna hitam. Kini karpet yang dipijaknya berwarna sama dengan dindingnya. Ia membuka-buka wardrobe, laci meja, rak buku. Lalu menggeleng, menyengir, membanting dirinya di atas kasur. “Mahesa Indriawan Kesuma!! Kamu sudah dicoret dari kartu keluarga!! Hahahahah!!” Lalu bangkit, “Ke mana Nenek sihir itu membuang semua barang-barangku?” Membuang napas kasar, lalu mengambil tasnya yang disimpan di pinggir ranjang, mengambil laptop. Menulis adalah cara ter
Ragil ... mmm ... karakternya seperti apa, ya? Mahesa duduk sambil memandangi layar laptop. Seorang laki-laki dengan semangat tinggi. Maksudnya gimana, ya? Mahesa berdiri sambil memegangi kursinya, lalu memutar-mutarnya dangan tangannya. Dia suka kegiatan berkeringat, basket, taekwondo, panjat tebing, hal-hal yang sulit ditaklukkan, bisa jadi seorang perempuan yang sulit dimiliki, perempuan berhati es, perempuan yang usianya jauh lebih tua darinya hahahah iya-iya benar …. Lalu Mahesa membuka pintu kamarnya berjalan menuju tangga. Lelaki yang menyukai tantangan sangat pantas menjadi pasangan Sabila yang berhati dingin, kaku dan terlalu patuh pada peraturan normatif, dia akan mejadi sangat menantang bagi lelaki seperti Ragil, tidak mudah didekati, tidak mudah dimenangkan, seandainya sudah didapatkan, belum tentu dapat dimiliki. Kali itu Mahesa sudah berada di tepi tangga untuk turun, mukanya menyebarkan senyuman ke seluruh rumah.
Wibi merebahkan tubuhnya di atas ranjang sambil menutup telinga. “Baik banget penulisnya, si Jaski aja dikasih jatah, tau! Nyesel lu enggak dateng, kemarin! Enak enggak makanan di rumah Yasmin? Hahahahah!” Bobby berseloroh, lalu menimpa tubuh Wibi.”Jadinya CLBK, nih?” Matanya kemudian kedap kedip seperti lampu hias. “Ih, naoh sih, Maneh!” Wibi kesal lalu menjatuhkan Bobby ke lantai. “Hahahaha!” tawanya mengejek sambil bersedekap. Bombom hanya menonton dan tertawa sambil duduk di atas kursi belajar Wibi. “Ngapain sih kalian malem-malem ke sini? Mau ngabibita? Enggak ampuh!” “Si Bobby yang ngajakan … pengen nonton bokep6 bareng ceunah.” Bobby masih di posisi semula sambil matanya berkedip-kedip bak kunang-kunang. “Ih! Jangan! Gara-gara video-video bokep Bobby yang kemarin ketinggalan, gue jadi dihukum sama Papa dan Mama! Enggak dapet uang jajan, selain itu, nama baik gue kecoreng di mata keluarga.” Ia mendengkus kesal sambil bersandar di dinding. Bobby bangkit lalu menaruh sekepi
Wibi mengerjapkan matanya seakan tak percaya. Mahesa pun tak kalah terkejut oleh pandangan di depannya, meski hal yang terjadi sudah dapat disangkanya. “Kamu lagi?” tanyanya sambil tersenyum lebar. Wibi pun mengganti mode default wajahnya menjadi semringah, lalu mengikuti Mahesa yang kemudian duduk di balik meja lesehan di restoran jepang itu. “Jadi, kamu mahasiswa Psikologi?” tanya Mahesa sambil tersenyum dan menyimpan beberapa potongan daging bakar ke atas piring Wibi. Wibi mengangguk antusias, “Jadi, kamu adalah penulis?” Mahesa mengangguk sambil tersenyum. “Mungkin kita jodoh, dipertemukan oleh keadaan beberapa kali,” sahut Wibi, membuat Mahesa terbatuk-batuk. “Jodoh? Kamu yakin?” Mata Mahesa berputar-putar, mengingat kejadian sebelumnya ketika Wibi menonjok wajah Ayahnya. Yang kemudian ditangkap maksudnya oleh Wibi dan membuatnya menelan ludah. Wibi menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “Apakah … aku harus secara resmi meminta maaf kepada ayahmu?” Wibi memajukan badannya,
Mahesa membuka pintu rumahnya, lalu berjalan lurus ke depan, mencapai taman belakang rumahnya. Bunyi derit rantai ayunan tua yang digantung di pohon besar terdengar. Ia ditiup angin. Pandangannya menerawang jauh. Sebuah taman belakang yang hanya ditumbuhi rumput gajah yang mulai meninggi di depannya. “Cinta ….” Ia bergumam. 23 Tahun yang Lalu Mahesa kecil sedang berjongkok di depan semak di taman belakang, tangan gendutnya meraup daun berwarna hijau dan bunga berwarna merah, berlari ke teras belakang, lalu memasukkannya ke dalam mainan mini, menmukul-mukulnya dengan batu hingga keluar cairan yang tidak dapat didefinisikan warnanya. Sedangkan ibunya sedang menyirami beraneka macam bunga yang ditanam di taman, dan juga di pot di taman dan yang digantung sambil bersenandung. Lihat kebunku, penuh dengan bunga, Ada yang merah dan ada yang putih Setiap hari ... Suaranya merdu dan indah. Mahesa tersenyum memandang ibunya. Suara yang biasa melelapkan tidurnya setiap malam dengan lagu-
Mahesa dapat mencium bau tanah, mendengar suara air yang jatuh dengan derasnya dari langit. Penanya kini menari-nari di atas lembaran buku harian berwarna cokelat. Allah, Aku, menjalani hidup seperti ini Tidak kuinginkan Tapi seandainya inilah takdirku, Kan kujalani dengan tabah Apabila esok kau beriku kesempatan Ubah nasib yang belum tertulis Kan kuraih dan genggam dengan erat -MAHESA- Lamunannya terhenti ketika s
Sebuah Penyesalan “Apa?!” Rima berteriak, lalu menggelengkan kepalanya. “Papa kan sudah tahu, seperti apa kacaunya rumah ini kalau ada Mahesa. Enggak, Pa. papa pilih, Mahesa ke sini, atau Mama yang pergi?” Zaenal memandang mata istrinya yang berapi-api. “Iya, Ma.” Ia melepaskan kepergian istrinya dari sampingnya, lalu mengembuskan napas. Netranya memandang jauh ke depan. “Sandra … Maaf.” Pria tua itu berjalan menjauhi kamarnya. Jalannya sangat perlahan, ketuaan, jantung dan asam urat menjadikannya seperti itu, tubuhnya tidak sekuat dulu, posturnya juga tidak segagah dulu lagi ketika ia masih muda. Zaenal memasuki kamar kerjanya yang berada di lantai satu, lalu mengambil sebuah kotak dari dalam laci yang lama terkunci. Kotak itu sudah berdebu. Di dalamnya terdapat beberapa lembar foto, foto seorang wanita cantik yang dulu pernah menjadi istrinya sekaligus ibu dari Mahesa. Sandra. Seluruh wajahnya mirip sekali dengan Mah