Wibi terkejut, ia terbangun, melempar paksa napasnya ke luar hidung. Ia menatap jendela kamar yang ditutupi kain bermotif tokoh spiderman. Meski terhalangi, terlihat sinar matahari ingin menerobos masuk. Matanya menyapu ruangan, lalu ke dekatnya, di samping ranjang, sebuah jam meja klasik bertengger. Jam menunjukkan pukul tujuh.
Wibi menyapu rambut keritingnya dengan kelima jari tangan kanan.
Duh, telat.
“Wibi!!” Benar saja, baru saja mau dipikirkan, rupanya suara cempreng ibunya sudah eksis mewarnai hari baru Wibi. Rambut brokolinya sudah menyumbul di celah pintu kamar.
“Terlambat lagi! Bangun! Salat!!”
“Iya, Mamaaaa, bisa enggak manggil enggak pake tereak?!” gumamnya kesal.
“Apa?!”
“Hehe, enggak Ma.” Wibi bangkit dari kasur berukuran 90 cm itu. Lalu berjalan keluar. Langkah kaki menuju kamar mandi yang hanya berjarak lima langkah ke depan dengan langkah pendeknya kalah, ia menyimpang ke kanan, sebanyak sepuluh langkah karena mencium bau bala-bala haneut dari dapur yang tentunya berjarak lebih jauh dari kamar mandi.
“Kenapa baru bangun jam segini? Semalam ngapain saja? Cepetan ke kamar mandi! Salat!” Rupanya sang ibu mengikutinya dari tadi. Bagaikan dicocok hidung. Wibi menaruh kembali makanan beraroma nikmat itu ke atas piring.
"iya, iya ...." Dan kembali menuju kamar mandi.
***
“Wibiiii!!!!” Kembali perempuan berbadan tambun yang berusia sekitar empat puluh tahunan itu meneriaki anak lelaki satu-satunya. Rambut brokolinya sedang layu, mereka basah dan jatuh ke bawah.
“Iya, Mamaaaa ….” Wibi mendengkus kesal, tetapi tetap berjalan.
Aminah, ibunya berkacak pinggang, satu tangan kanannya menjinjing sebuah plastik berwarna hitam, tak lama ia membuang isinya ke atas meja di ruang televisi. Beberapa plastik kemasan barang-barang bajakan keluar.
Diane, adik Wibi yang sebelumnya lagi asyik membaca majalah remaja kemudian melihat tumpukan plastik itu di atas meja.
“Waaah ... Kak Wibi tontonannya …” liriknya sambil menutup matanya dengan sepuluh jari meski tetap mengintip dari sana.
Wibi yang mencium bahaya, segera berlari ke luar rumah.
***
Roeslan, seorang lelaki berusia lima puluh tahun sedang bersiul sambil menghidupkan mesin motor bebek tua kesayangannya. Bunyi mesin tua itu kini telah menyaingi suara siulannya, tetapi ia tak peduli. Motor itu adalah kesayangan, dimiliki semenjak anak-anaknya masih kecil, dibayar dengan peluh keringat sebagai guru. Setiap anaknya pernah mengalami berjalan-jalan sore, duduk di depan menikmati angin kota Bandung yang berembus sejuk.
Roeslan menatap matahari yang mulai terik, dan Bandung sudah tidak sesejuk dulu, saat ini tahun 2008. Matahari telah besinar terik, kemacetan di mana-mana, juga pemanasan global. Namun begitu, Bandung tetap memberikan kehangatan dalam hati ketika mengingat namanya. Rasa sentimentilnya berubah seketika, dari dalam rumah Roeslan terdengar suara istrinya yang berteriak seperti bebek, semakin lama semakin keras. Ia berdiri, memijakkan sepasang kaki panjangnya di atas halaman yang berlantaikan semen. Perlahan-lahan ia mendekati pintu rumah yang berwarna cokelat, lalu terjatuh ke lantai setelah putranya, Wibi, menabrak.
“Hei!” Meskipun tengah berteriak, tetapi suaranya tetap lembut.
Wibi yang melihat bapaknya jatuh kembali, lalu mengangkat Roeslan agar bangkit kembali. Aminah yang akhirnya sudah sampai di depan pintu membuat Wibi merasa khawatir, ia berlari, mendekati motor kesayangan ayahnya membawa larinya.
“Hei! Wibi! Baliiik!” Aminah berteriak mengejar Wibi sambil mengangkat sapu lidi, “hey, anak nakal! Balik!” Akan tetapi, wujud Wibi telah menghilang beserta hilangnya suara ribut mesin motor.
***
Wibi memarkir motornya di pelataran parkir sebuah toko kelontong, lalu termenung.Perempuan itu … kenapa akhir-akhir ini sering banget bolak-balik mampir di mimpiku.Kemudian memegangi perut yang sedari tadi berbunyi minta diisi. Ia merogoh saku celana pendek berwarna krem, menemukan uang sepuluh ribuan yang kering kerontang karena ikut tercuci bersama celana itu. Jadilah ia masuk ke dalam toko demi membeli sepotong roti dan sekotak susu.Apabila orang melihat cara Wibi memakan roti isi cokelat beserta susu cokelatnya, pasti akan menganggap anak lelaki itu tidak makan selama berhari-hari. Wibi makan dengan lahap di atas motor berwarna hitam kusam yang mesinnya bisa terlihat dari sisi mana pun karena body-nya sudah terbuka. Meski Roeslan menjaga sedemikian rupa, namun rangka besi tetap memiliki masa kedaluarsa. Bila bukan manusia yang merusak, alamlah yang mengikis.Tiba-tiba Wibi merasa ada yang aneh, sepertinya ada
Aku hanyalah gadis kesepian yang haus cinta Kutunggu sosokmu hai pengendara kuda sakti Bukalah tabir kegelapan yang selama ini mengurungku Bawalah gadis ini ke dunia penuh cinta Yang didalamnya hanya ada suka dan cita Dan selamanya aku akan bahagia Sabila telah terperangkap di dalam dilema cinta, sebuah perang batin, pertarungan antara hati, dan pikiran idealismenya. Lelaki yang dicintainya. Mulnya, “Eh!“ Mahesa lalu memperbaiki ketikannya. Mulanya tak pernah disadari. Seorang tetangga yang semenjak kecil bermain dan bertengkar dengannya, menghabiskan masa muda bersama. Lalu kini ia merasakan sakit karena dipaksa harus melupakan cinta yang selama ini dirindui. Bukan karena apa-apa, tetapi karena status. Antara Sabila dan Ragil terda
Mahesa menjejakkan kaki di sebuah lahan parkir sebuah fakultas di Universitas Negeri Jawa Barat yang letaknya berada di Kabupaten Sumedang. Sinar matahari pukul sebelas itu sangatlah terik, ia harus mengernyitkan matanya. Segera ia mengambil sebuah kaca mata hitam yang ditaruh di atas dashboard, menutup pintu, lalu berjalan. Segera diambilnya gawai berwarna merah dari dalam tas selempang yang terbuat dari kulit berwarna cokelat, menghubungi sebuah kontak bernama Kiky. "Ki, aku udah sampai." [Hai, di mana lu?] Suara wanita yang renyah menjawab di sana. "Ini, di gedung perkuliahan." [Eh, tunggu gue di perpus, ya. Gue ke sana bentar lagi.] Mahesa meletakkan kembali gawainya di dalam tas, memasuki sebuah gedung perkuliahan yang pintu kacanya terbuka lebar, belok kanan, menuju ruang perpustakaan. Di depan pintu berdaun kaca yang terbuka lebar itu ada sebuah tangga menuju lantai dua, dua orang pria, satu bertubuh tinggi dan satu
[Mahesa ….] Suara yang lembut menyapanya di pagi hari. Mahesa menunduk, sambil memperlihatkan jari-jari kakinya yang mempermainkan ubin. “Ya, Pa?” [Hari ini ada agenda apa?] “Hmmm … Echa mau ke mall, Pa. Ketemu beberapa temen yang udah bantuin riset aku di buku yang kemaren.” [Gitu.] Suara napas panjang terdengar, sunyi. [Makan siang, yuk!] Mahesa terdiam lama, menghela napas. “Di mana, Pa?” [Di mall aja, habis kamu ketemuan sama temen-temen, mau?] Mahesa mengangguk, “Oke.” [Jam 1?] “Siap, Pa!” *** Mahesa terdiam beberapa lama, kakinya diangkat ke atas sofa, diam memperhatikan pola atap, pola dinding, melamun. Hal yang sangat sering ia lakukan. Berlama-lama padahal agenda lain sudah padat merayap untuk segera dieksekusi. Lalu menyadari kelalaiannya, ia bangun dan melompat. “Ayo, Mahesa! Semangat!!” teriaknya. Lalu berlari melompat-lomp
Mahesa membenarkan duduknya sambil melihat ke sekeliling, seorang pemuda masuk ke dalam foodcourt sambil membawa beberapa textbook, lalu duduk di antara teman-temannya. Dia lagi, batinnya. Lalu kembali berbincang dengan seorang perempuan dengan rambut panjang lurus berwarna hitam yang diberikan highlight berwarna putih di beberapa sisinya. Tengkuknya terasa panas, firasatnya mengatakan ada yang sedang memperhatikan, lalu memandang ke hadapan. Ia tetawa. Wibi sedang membaca sebuah textbook secara terbalik sambil matanya memandang ke arahnya. Kelihatan, tahu. Ia terkekeh. Kemudian perhatiannya tersita oleh sebuah panggilan telepon. Papanya menelepon. “Iya, Pa? Papa di mana? Oke, Eca ke sana, ya?” Mahesa pamit kepada teman-temannya, lalu bangkit dari duduknya, menuju pintu yang terbuat dari kaca, menuju toko roti. Sebuah teriakan menghentikan Mahesa, “Ke mana, Bi? Ker
Lorong yang sepi itu tiba-tiba menjadi semarak, Satu per satu mahasiswa keluar melewati pintu menuju lobby kampus. Suara bising pun perlahan-lahan menjauhi Wibi, Bombom, Zasky, dan Bobby. Kini tinggal mereka dan beberapa kumpulan mahasiswa yang berada di bagian lain dari ruangan perkuliahan yang berkapasitas seratus orang tersebut. Saat itu adalah kesekian kalinya mereka berembuk untuk tugas mata kuliah konstruksi tes atau yang biasa disebut mahasiswanya sebagai Kontes. Mata kuliah ini mengharuskan mahasiswanya untuk membuat alat tes, yang tentu saja memusingkan. “Hohohoho, gua punya ide!“ Bombom bersemangat. Lalu matanya menyapu keadaan untuk melihat reaksi teman-temannya yang ia dapatkan nampak berseri-seri. Mata bombom menerawang ke langit-langit ruangan, sedangkan teman-temannya melongo menunggu ide Bombom keluar dari bibirnya yang sama bulatnya dengan perutnya. “Dimulai dari fenomena pola asuh saja ... Gue lihat cara sepupu men
"Kenapa jadi ragu, ya?" Wibi menarik tangannya kembali, tak jadi memencet bel di pintu rumah Yasmin. "Bodoh sekali aku, ngapain juga harus ke sini, bukannya akan memberikan harapan pada Yasmin sekali lagi?" Masih bergumam sendirian, sambil perlahan mundur. Namun, di saat bersamaan Yasmin yang melihat Wibi akan meninggalkan membuka pintunya. "Wibi! Makasih sudah mau datang." Ia semringah, terkembang senyuman sangat lebar sehingga pipinya menekan matanya menjadi menyipit. "Ah, eh." Gagal kabur, deh. Secinta itu gue sama cewek itu? Sampe bela-belain masuk ke kandang harimau. Wibi menginjak tegel marmer rumah Yasmin. Udara sejuk dari taman di tengah rumah menyapa kehadiran Wibi. Ia berjalan mengikuti Yasmin sambil celingak-celinguk, lalu bersikap lebih tegap, membenarkan pakaian. "Hai, Kak Wibi!!" Rupanya yang menyambut beberapa teman Yasmin yang merupakan senior di kampus, juga teman-teman SMA Yasmin yang juga merupakan adik-adik kelasny
Mahesa akhirnya menerima tawaran ayahnya untuk menginap di rumah itu. Sudah sekitar enam tahun ia tinggalkan. Rumah yang besar dengan lima kamar, setiap kamar dilengkapi kamar mandi, wardrobe, pendingin ruangan, televisi dan segala fasilitas. Namun, tidak bisa merasakan kehangatan di dalamnya. Ia terdiam terpaku. Memandangi kertas dinding berwarna krem, lalu tersenyum. “Rupanya kertasnya diganti.” Kembali terdiam. Dulu ia menggunakan warna kertas dinding yang tak biasa. Hitam, gelap, dengan karpet bulu berwarna hitam. Kini karpet yang dipijaknya berwarna sama dengan dindingnya. Ia membuka-buka wardrobe, laci meja, rak buku. Lalu menggeleng, menyengir, membanting dirinya di atas kasur. “Mahesa Indriawan Kesuma!! Kamu sudah dicoret dari kartu keluarga!! Hahahahah!!” Lalu bangkit, “Ke mana Nenek sihir itu membuang semua barang-barangku?” Membuang napas kasar, lalu mengambil tasnya yang disimpan di pinggir ranjang, mengambil laptop. Menulis adalah cara ter
Rima membuka kacamata hitamnya, lalu berjongkok di depan sebuah pusara yang telah dikelilingi oleh keramik berwarna biru. Jari-jari lentiknya menyisihkan beberapa helai daun kering yang berada di atas tanah menyumbul itu. Nama Zaenal Ibrahim Bin Ali tertera di nisan.“Kamu apa kabar di sana?” Suaranya tercekat, lalu terisak. "Aku kangen. Hidup tanpamu terasa begitu hampa." Baru dua bulan semenjak kepergian Zaenal, tetapi Rima merasa sudah satu abad berlalu. Malam-malam sepi tanpa ada lelakinya di sisi yang terkadang mendengkur, manja, dan memeluknya. Dua bulan yang teramat menyiksa hingga membuatnya terasa sesak. Ia inginkan lelaki yang sebelumnya terkadang menyusahkan dan sulit diatur itu kembali. Namun, apa yang bisa dibuatnya? Takdir berkata sebaliknya. Lelakinya pergi, dengan satu wasiat yang sangat berat untuk bisa ia jalani. Ingatannya berputar pada hari itu, ketika Zaenal baru saja keluar dari rumah sakit. Ia menyuapi lelakinya, meski hany
Wibi mendengkus keras. Bobby, Bombom, Zasky kemudian memandanginya. Mereka sedang duduk melingkar di atas kursi kuliah yang memiliki meja berwarna putih di sebelah kanannya. “Bi, Loe denger enggak?” tanya Bombom agak keras. “Akhir-akhir ini loe kenapa, sih? Bahkan hitung data penelitian kita aja enggak becus. Jadi aja nilai kita Cuma dapet C! Padahal gue udah kerja keras mikirin konsep, Zasky dan Bobby hilir mudik nyari responden penelitian. Tapi kok, elu malah asal-asalan?!” Wibi menggenggam tangannya keras, kembali mendengkus.
“Echa … Echa ….” Suara halus Zaenal membangunkan Mahesa dari tidurnya,. “Papa ….” Ia bangkit dari ranjangnya, “Papa masih hidup?” Mahesa semringah. “Kamu ngomong apa? Ayo pergi ke sekolah,” bujuknya. Mahesa berdiri, tiba-tiba ia sudah mengenakan seragam putih-abu, dari luar ia mencium aroma udang goreng kesukaannya, berjalanlah ia ke dapur, dilihatnya seorang perempuan sedang memasak, yang tak lama kemudian berbalik. “Echa ….” Ia tersenyum, senyum yang sangat didambakan, sangat ia rindukan, “Mama ....” Ia tersenyum bahagia, sambil menangis. “Kamu kenapa, Sayang?” ibunya mendekati. “Echa kangen Mama … bertahun-tahun Echa menunggu kehadiran Mama, mengantar sekolah, berbagi cerita seperti teman-teman lainnya.” “Sayaang ....” “Echa kangen Mama.” Ia menangis. “Bangunlah, Sayang. Hidupmu masih panjang.” Senyumannya lebar. Lalu kemudian Mahesa membuka matanya. Ia menyadari bahwa barusan hanyalah mimpi. Tubuhnya l
Belum lagi Mahesa mengunci kembali pintu rumahnya ia menyadari kehadiran Wibi di sampingnya. Lelaki itu tersenyum seakan-akan tidak terjadi apa-apa semalam, padahal Mahesa sudah mengadakan acara mengunci semua barang-barang yang dapat mengingat hubungan mereka berdua di dalam sebuah kotak kayu berwarna hitam, dan berdoa kepada Tuhan agar perasaannya dibuat tegar, tetapi kini, bukannya tegar yang ia dapatkan, rasa cinta itu kembali mencuat. “Hai,” Wibi menyapanya masih dengan ekspresi yang sama, “tidur nyenyak?” Mahesa menarik napas panjang, ia kesal tidak bisa menjawab apa adanya, tetapi juga tidak dapat berbohong karena terlihat jelas rona-rona hitam di sekeliling matanya. “Kelihatannya?” Ia melemparkan pertanyaan kembali kepada Wibi, lalu berjalan menjauhi lelaki itu. “Kelihatannya sih tidak bisa tidur, atau tidurnya cuma sedikit, atau selama tidur kamu kemimpi-mimpi aku.” Wibi mengejar Mahesa. “Minggir ….” Tangan Mahesa menggeser tubuh Wibi
Rima menyendok makanannya dengan lesu, ia harus makan setelah sebelumnya pingsan, siang dan malam menunggui Zaenal tanpa tidur dan makan yang cukup. Pikirannya menerawang jauh ke kamar suaminya, prihatin akan keadaannya. Dokter meminta agar Zaenal tidak diberi beban pikiran yang terlalu berat, karena kinerja jantungnya melemah. Lalu pikirannya terbang lagi ke rumah, memikirkan anak-anaknya, Aini masih kecil dan Yasmin sedang membutuhkan banyak bantuan. Lalu ia juga mengingat Mahesa, anak pembuat masalah. Dari ujung matanya, Rima dapat melihat Mahesa memasuki kantin rumah sakit, kemudian duduk di hadapannya. Cukup lama mereka terdiam, pertemuan yang hening. Rima dapat melihat wajah Mahesa yang kebingungan. Berkali-kali menahan napas. “Mama ....” Akhirnya Mahesa mengeluarkan suaranya. “Aku tidak tahu, mengapa dulu sulit sekali menyebutmu Mama.” Rima terdiam, tetap menekuri gelasnya. ”Dulu aku sangat sulit diatur, ya? Selalu melawan, membua
Mahesa kecil kecewa, ayahnya menikah lagi, padahal belum lama ini mereka mengubur ibunya, baru minggu kemarin Mahesa bersama Zaenal pergi ke pemakaman mengganti pusara ibunya dengan keramik. Harumnya masih tercium di rumah, suaranya masih terngiang di telinga. Wujudnya selalu ada di hati. Baru saja Mahesa merasakan kebahagiaan bersama ayahnya, berjalan bersama, menunggu Zaenal memasak nasi goreng dan telur hingga gosong, tertawa hingga perut terasa sakit. Pergi ke Dunia Fantasi dan dibelikan banyak mainan. Namun, Zaenal telah menikah lagi, dan Mahesa tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak juga merasa apa-apa. Tidak menangis. “Hei ....” Suara Rima lembut, lalu menyentuh pipi Mahesa yang tirus. “Selamat pagi, Sayang.” Mahesa menelan ludahnya melihat Rima yang berpakaian tidur serba putih, berjalan menjauhinya. “Kita sarapan, yuk.” Ia menoleh ke belakang. “Pagi, Sayang.” Zaenal datang menghadang sambil menciumi kening Rima. “Sssttt, ada
Kaki Zaenal menginjak rumahnya lagi, rumah yang dulunya menjadi tempat baginya dan Sandra menjalani biduk pernikahan. Pernikahan tanpa rasa cinta. “Papa?!” Mahesa terkejut melihat kedatangan ayahnya. Lalu membereskan ruang tamu yang berantakkan. “kenapa enggak ngomong-ngomong mau datang?” ucapnya panik sambil berlari membawa kertas-kertas dalam kardus ke bagian rumah yang lain. “Masa nengok putri sendiri aja harus ngomong-ngomong.” Lalu duduk di sebuah sofa dengan motif batik. “Tunggu, Pa ... Echa buatin minum dulu.” Zaenal terdiam, memperhatikan rumah itu, masih seperti dulu. Mahesa benar-benar tidak mengubah posisi apa pun. Kursi tua yang kini didudukinya, masih seperti dulu meski dengan warna yang kian usang. Foto-foto mereka yang dipajang di meja sudut. Foto pernikahannya, foto bayi Mahesa hingga usianya lima tahun. Cukup membuatnya kembali ke masa itu. Lalu menutup matanya. “Teh dengan gula rendah kalori.” Mahesa datang dari arah dapur sa
Sambil memakan mie instan Mahesa kembali menonton televisi, sekilas berita tentang pembunuhan kejam yang dilakukan seorang perempuan terhadap kekasihnya. Pelakunya berjalan lurus menerobos serbuan wartawan, tanpa terlihat rasa takut, pun rasa bersalah, lalu ia berhenti ketika wartawan menanyainya sebuah pertanyaan. [Apakah anda tidak mencintai kekasih anda?] Rongrongan para wartawan. [Justru karena aku sangat mencintainya, maka aku membunuhnya,] ucapan itu keluar dari bibir mungil seorang perempuan cantik berwajah polos dengan enteng, lalu diakhiri dengan senyuman dingin yang membuat Mahesa bergidik. Cinta memiliki kekuatan ... benarkah? tanyanya pada diri sendiri. Ia lalu mengingat pernah menulis tentang keajaiban cinta. Tapi kekuatan yang seperti apa? Kenapa banyak orang yang saling mencintai tetapi saling menyakiti? Mengapa hasilnya berbeda? Ataukah perasaannya yang salah, sebenarnya yang dirasakan bukanlah rasa cinta? bisakah kita membuat kesimpul
Tangan Mahesa bergetar ketika mengambil cangkir tehnya. Namun, entah masih kurang jelas mengapa rasa di hatinya tidak menentu. “Menikahlah dengan orang yang sepadan denganmu, yang seusia denganmu ....” Bahkan ketika Aminah mengatakan itu, Mahesa belum bisa menangkap kata-katanya. Semua bagaikan huruf-huruf yang berpadu, takada makna. Gelap, dingin, dan bercampur rasa lainnya. “Aaa.” Mahesa terbata. “Mahesa ... Tante minta tolong, Wibi masih terlalu muda, saat ini adalah pengalamannya menghadapi kehidupan nyata, menjejakkan kakinya setelah beranjak dewasa. Tante berharap masa depannya nantinya akan cerah, secerah nilai akademisnya selama ini.” Ia menatap Mahesa, lalu mengulurkan tangan untuk menggapai tangan Mahesa yang sedang duduk di hadapannya. “Kalau dia sudah berpacaran terlalu dini, apalagi denganmu, yang usianya jauh di atasnya, dia akan melupakan pendidikannya, padahal itu masa depannya.” Mahesa terdiam, memandangi Aminah dengan