Wibi memarkir motornya di pelataran parkir sebuah toko kelontong, lalu termenung.
Perempuan itu … kenapa akhir-akhir ini sering banget bolak-balik mampir di mimpiku.
Kemudian memegangi perut yang sedari tadi berbunyi minta diisi. Ia merogoh saku celana pendek berwarna krem, menemukan uang sepuluh ribuan yang kering kerontang karena ikut tercuci bersama celana itu. Jadilah ia masuk ke dalam toko demi membeli sepotong roti dan sekotak susu.
Apabila orang melihat cara Wibi memakan roti isi cokelat beserta susu cokelatnya, pasti akan menganggap anak lelaki itu tidak makan selama berhari-hari. Wibi makan dengan lahap di atas motor berwarna hitam kusam yang mesinnya bisa terlihat dari sisi mana pun karena body-nya sudah terbuka. Meski Roeslan menjaga sedemikian rupa, namun rangka besi tetap memiliki masa kedaluarsa. Bila bukan manusia yang merusak, alamlah yang mengikis.
Tiba-tiba Wibi merasa ada yang aneh, sepertinya ada yang duduk di jok belakang.
“Ada penumpang?” tanya perempuan itu ragu.
“T-t-t-tidak …” jawab Wibi. Sialan! Cakep-cakep gini disangka tukang ojek!
Ia mengucek matanya, lalu memperhatikan perempuan itu lebih saksama. Wajahnya ...
“Ke jalan Stasiun, ya?”
Perempuan itu!
Wibi tidak tahu mengapa. Wajahnya perempuan itu tak asing, selalu datang di mimpi-mimpinya. Beberapa bulan ke belakang lebih sering lagi. Begitu pun pagi ini. Dia juga hadir dalam mimpinya, menggunakan pakaian penari dari Timur Tengah, bibir sensual yang menawan menggunakan lipstick berwarna merah menyala, seperti saat ini. Pipinya yang tinggi membuatnya terlihat tersenyum, matanya yang sayu namun tajam seakan bergerak, menyayat-nyayat hatinya.
Aaaaahhhhh.
Ia pun menyetarter Arjuna yang bertingkah.
Hayu Neng, Aa ajak jalan-jalan ke stasiun. Wibi tersenyum ketika motornya kemudian mulai berjalan.
Mahesa yang sebelumnya kepanasan karena memakai kebaya dan berjalan dalam jangka waktu yang lama, merasakan sejuk setelah motor berjalan. Ia tersenyum sambil memandangi pohon-pohon besar yang kemudian ia lewati. Seketika ia mengingat sesuatu, lalu merogoh tasnya. Diambilnya sebotol toner dan kapas, lalu berkaca di spion motor, membersihkan mukanya. Wajah manisnya yang alamiah kembali, dan Wibi mendapatkan hiburan gratis.
Di benak Wibi ada banyak tanya yang ingin dikeluarkan. Namanya siapa? rumahnya di mana? Kenapa mengenakan kebaya putih dan kainnya? Mau pergi ke mana? dan yang terakhir, nomor teleponnya di mana?
Lidahnya terlalu kelu untuk berkata, apalagi pemandangan dari kaca spion begitu memukau, biarlah ia memanjakan mata saja, daripada membela-bela keinginan hati yang nanti akan berimbas pada hilangnya momen bahagia yang tak setiap hari bisa dinikmati.
Apakah aku salah? Mahesa membatin. Berkata jujur kepada kak Rafi, apakah salah? Kenapa aku tidak berbohong saja, agar pernikahan ini benar terjadi sehingga tak perlulah repot-repot melarikan diri seperti ini? Tidak, bukan ini yang membuatku merasa tidak enak, justru menyakiti hatinya yang membuat hidupku tak tenang. Tapi bukankah berbohong pun membuatnya lebih sakit? Mahesa memandangi dirinya yang terlihat sendu di kaca spion.
"Aaaaaaaah!!" teriaknya. Sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Tentunya teriakan itu membuat supir ojek gadungan tersentak, mengerem mendadak, dan secara otomatis membuat mereka hampir terjatuh. Wibi membanting setir ke kiri sambil mengerem, dalam waktu sepersekian detik, secara refleks satu kakinya ia menahan beban agar perempuan yang diboncengnya tidak terjatuh.
"Aaaa." Wibi merintih.
Mahesa segera turun, melihat Wibi yang kakinya kesakitan, lalu membawanya ke pinggir jalan, dan duduk di trotoar.
"Maaf," Mahesa memohon. Sambil merasa canggung untuk menyentuh kaki Wibi.
"Enggak apa-apa." Wibi nyengir kuda. "Tadi urat-uratku hanya kaget."
Terlihat Mahesa tersenyum lega. Ganteng juga tukang ojeknya, pujinya kemudian.
"Ma-maaf, ya." Kembali ia berkata dengan lirih.
Wibi tersenyum, "Tidak apa-apa," ucapnya dengan lembut. Muka Mahesa yang sebelumnya tunduk terdongak, mata mereka saling menatap, lama, seakan-akan waktu saat itu berhenti. Suara penjaja makanan jalanan kemudian membuat mereka tersadar. Wibi bangkit, Mahesa melompat dari tempatnya berusaha membantu pemuda itu.
"Tidak apa-apa." Wibi tersenyum.
Tak lama mereka kembali berjalan, Wibi mengantarkan Mahesa sampai gerbang depan Stasiun Bandung meski inginnya mengantarnya hingga pelaminan.
"Maaf, ya. Jadi celaka tadi." Mahesa mengulum senyum, lalu mengeluarkan uang dari dompet dan sebuah kartu. "Ini ongkosnya, dan ini kartu nama saya, hubungi saya kalau-kalau nanti ada efek lain dari kakinya, ya. Saya akan bantu pengobatannya."
Batin Wibi berteriak. Yess!!
Wibi memandangi sang putri impian yang semakin menjauh, berjalan dengan mengangkat kainnya, sehingga hanya celana training dan sepatu kets berwarna putihnya yang terlihat.
Cewek unik, suatu saat kita akan bertemu lagi, aku yakin. Ia kembali menyetarter Arjuna yang memang tidak mudah, lalu berjalan dengan diiringi polusi udara yang dihasilkan Arjuna.
Aku hanyalah gadis kesepian yang haus cinta Kutunggu sosokmu hai pengendara kuda sakti Bukalah tabir kegelapan yang selama ini mengurungku Bawalah gadis ini ke dunia penuh cinta Yang didalamnya hanya ada suka dan cita Dan selamanya aku akan bahagia Sabila telah terperangkap di dalam dilema cinta, sebuah perang batin, pertarungan antara hati, dan pikiran idealismenya. Lelaki yang dicintainya. Mulnya, “Eh!“ Mahesa lalu memperbaiki ketikannya. Mulanya tak pernah disadari. Seorang tetangga yang semenjak kecil bermain dan bertengkar dengannya, menghabiskan masa muda bersama. Lalu kini ia merasakan sakit karena dipaksa harus melupakan cinta yang selama ini dirindui. Bukan karena apa-apa, tetapi karena status. Antara Sabila dan Ragil terda
Mahesa menjejakkan kaki di sebuah lahan parkir sebuah fakultas di Universitas Negeri Jawa Barat yang letaknya berada di Kabupaten Sumedang. Sinar matahari pukul sebelas itu sangatlah terik, ia harus mengernyitkan matanya. Segera ia mengambil sebuah kaca mata hitam yang ditaruh di atas dashboard, menutup pintu, lalu berjalan. Segera diambilnya gawai berwarna merah dari dalam tas selempang yang terbuat dari kulit berwarna cokelat, menghubungi sebuah kontak bernama Kiky. "Ki, aku udah sampai." [Hai, di mana lu?] Suara wanita yang renyah menjawab di sana. "Ini, di gedung perkuliahan." [Eh, tunggu gue di perpus, ya. Gue ke sana bentar lagi.] Mahesa meletakkan kembali gawainya di dalam tas, memasuki sebuah gedung perkuliahan yang pintu kacanya terbuka lebar, belok kanan, menuju ruang perpustakaan. Di depan pintu berdaun kaca yang terbuka lebar itu ada sebuah tangga menuju lantai dua, dua orang pria, satu bertubuh tinggi dan satu
[Mahesa ….] Suara yang lembut menyapanya di pagi hari. Mahesa menunduk, sambil memperlihatkan jari-jari kakinya yang mempermainkan ubin. “Ya, Pa?” [Hari ini ada agenda apa?] “Hmmm … Echa mau ke mall, Pa. Ketemu beberapa temen yang udah bantuin riset aku di buku yang kemaren.” [Gitu.] Suara napas panjang terdengar, sunyi. [Makan siang, yuk!] Mahesa terdiam lama, menghela napas. “Di mana, Pa?” [Di mall aja, habis kamu ketemuan sama temen-temen, mau?] Mahesa mengangguk, “Oke.” [Jam 1?] “Siap, Pa!” *** Mahesa terdiam beberapa lama, kakinya diangkat ke atas sofa, diam memperhatikan pola atap, pola dinding, melamun. Hal yang sangat sering ia lakukan. Berlama-lama padahal agenda lain sudah padat merayap untuk segera dieksekusi. Lalu menyadari kelalaiannya, ia bangun dan melompat. “Ayo, Mahesa! Semangat!!” teriaknya. Lalu berlari melompat-lomp
Mahesa membenarkan duduknya sambil melihat ke sekeliling, seorang pemuda masuk ke dalam foodcourt sambil membawa beberapa textbook, lalu duduk di antara teman-temannya. Dia lagi, batinnya. Lalu kembali berbincang dengan seorang perempuan dengan rambut panjang lurus berwarna hitam yang diberikan highlight berwarna putih di beberapa sisinya. Tengkuknya terasa panas, firasatnya mengatakan ada yang sedang memperhatikan, lalu memandang ke hadapan. Ia tetawa. Wibi sedang membaca sebuah textbook secara terbalik sambil matanya memandang ke arahnya. Kelihatan, tahu. Ia terkekeh. Kemudian perhatiannya tersita oleh sebuah panggilan telepon. Papanya menelepon. “Iya, Pa? Papa di mana? Oke, Eca ke sana, ya?” Mahesa pamit kepada teman-temannya, lalu bangkit dari duduknya, menuju pintu yang terbuat dari kaca, menuju toko roti. Sebuah teriakan menghentikan Mahesa, “Ke mana, Bi? Ker
Lorong yang sepi itu tiba-tiba menjadi semarak, Satu per satu mahasiswa keluar melewati pintu menuju lobby kampus. Suara bising pun perlahan-lahan menjauhi Wibi, Bombom, Zasky, dan Bobby. Kini tinggal mereka dan beberapa kumpulan mahasiswa yang berada di bagian lain dari ruangan perkuliahan yang berkapasitas seratus orang tersebut. Saat itu adalah kesekian kalinya mereka berembuk untuk tugas mata kuliah konstruksi tes atau yang biasa disebut mahasiswanya sebagai Kontes. Mata kuliah ini mengharuskan mahasiswanya untuk membuat alat tes, yang tentu saja memusingkan. “Hohohoho, gua punya ide!“ Bombom bersemangat. Lalu matanya menyapu keadaan untuk melihat reaksi teman-temannya yang ia dapatkan nampak berseri-seri. Mata bombom menerawang ke langit-langit ruangan, sedangkan teman-temannya melongo menunggu ide Bombom keluar dari bibirnya yang sama bulatnya dengan perutnya. “Dimulai dari fenomena pola asuh saja ... Gue lihat cara sepupu men
"Kenapa jadi ragu, ya?" Wibi menarik tangannya kembali, tak jadi memencet bel di pintu rumah Yasmin. "Bodoh sekali aku, ngapain juga harus ke sini, bukannya akan memberikan harapan pada Yasmin sekali lagi?" Masih bergumam sendirian, sambil perlahan mundur. Namun, di saat bersamaan Yasmin yang melihat Wibi akan meninggalkan membuka pintunya. "Wibi! Makasih sudah mau datang." Ia semringah, terkembang senyuman sangat lebar sehingga pipinya menekan matanya menjadi menyipit. "Ah, eh." Gagal kabur, deh. Secinta itu gue sama cewek itu? Sampe bela-belain masuk ke kandang harimau. Wibi menginjak tegel marmer rumah Yasmin. Udara sejuk dari taman di tengah rumah menyapa kehadiran Wibi. Ia berjalan mengikuti Yasmin sambil celingak-celinguk, lalu bersikap lebih tegap, membenarkan pakaian. "Hai, Kak Wibi!!" Rupanya yang menyambut beberapa teman Yasmin yang merupakan senior di kampus, juga teman-teman SMA Yasmin yang juga merupakan adik-adik kelasny
Mahesa akhirnya menerima tawaran ayahnya untuk menginap di rumah itu. Sudah sekitar enam tahun ia tinggalkan. Rumah yang besar dengan lima kamar, setiap kamar dilengkapi kamar mandi, wardrobe, pendingin ruangan, televisi dan segala fasilitas. Namun, tidak bisa merasakan kehangatan di dalamnya. Ia terdiam terpaku. Memandangi kertas dinding berwarna krem, lalu tersenyum. “Rupanya kertasnya diganti.” Kembali terdiam. Dulu ia menggunakan warna kertas dinding yang tak biasa. Hitam, gelap, dengan karpet bulu berwarna hitam. Kini karpet yang dipijaknya berwarna sama dengan dindingnya. Ia membuka-buka wardrobe, laci meja, rak buku. Lalu menggeleng, menyengir, membanting dirinya di atas kasur. “Mahesa Indriawan Kesuma!! Kamu sudah dicoret dari kartu keluarga!! Hahahahah!!” Lalu bangkit, “Ke mana Nenek sihir itu membuang semua barang-barangku?” Membuang napas kasar, lalu mengambil tasnya yang disimpan di pinggir ranjang, mengambil laptop. Menulis adalah cara ter
Ragil ... mmm ... karakternya seperti apa, ya? Mahesa duduk sambil memandangi layar laptop. Seorang laki-laki dengan semangat tinggi. Maksudnya gimana, ya? Mahesa berdiri sambil memegangi kursinya, lalu memutar-mutarnya dangan tangannya. Dia suka kegiatan berkeringat, basket, taekwondo, panjat tebing, hal-hal yang sulit ditaklukkan, bisa jadi seorang perempuan yang sulit dimiliki, perempuan berhati es, perempuan yang usianya jauh lebih tua darinya hahahah iya-iya benar …. Lalu Mahesa membuka pintu kamarnya berjalan menuju tangga. Lelaki yang menyukai tantangan sangat pantas menjadi pasangan Sabila yang berhati dingin, kaku dan terlalu patuh pada peraturan normatif, dia akan mejadi sangat menantang bagi lelaki seperti Ragil, tidak mudah didekati, tidak mudah dimenangkan, seandainya sudah didapatkan, belum tentu dapat dimiliki. Kali itu Mahesa sudah berada di tepi tangga untuk turun, mukanya menyebarkan senyuman ke seluruh rumah.