JIKALAU peraturan ada untuk di langgar maka hukuman juga ada untuk di hindari, bukan? Terdengar ironi akan tetapi Jessica dengan senang dan sangat-sangat berlapang hati melakukannya. Persetan akan deretan jenis hukuman yang kepala sekolah siapkan untuk dirinya. Jessica akan melakukannya nanti apabila dia sudah dalam suasana dan kondisi yang tepat serta bagus, setidaknya tidak hari ini. Keinginan hati harus tetap di utamakan, bukan? Hei, ayolah! Hidup ini cuma sekali, oleh karena itu harus di nikmati semaksimal mungkin karena jika telah renta nantinya, jangankan kabur dari hukuman, berbuat masalah saja tidak bisa. Yah, karena apalagi kalau-kalau bukan terhambat tulang demi tulang nan telah keropos di makan usia? Atas dasar pemikiran demikianlah Jessica memilih melarikan diri dari panggilan menghadap ke ruangan kepala sekolah usai membuat gempar Bina Bangsa, untuk ke sekian kalinya tanpa pernah merasa bosan menjadi bintang utama atas segala kerusuhan. Toh, dunia masih bekerja sebagaimana
“JESSICA belum mau menurut?” merupakan pertanyaan Eleanor pada putra sulungnya setelah beberapa waktu sampai di sebuah butik ternama ibu kota.Jemari lentiknya memilah-milah pakaian-pakaian dengan harga setinggi langit tergantung rapi. Masih dibalut setelan kerja sekaligus curi-curi waktu di jam kerja, Eleanor tetap ingin turun tangan dalam mencari pakaian yang sekiranya cocok untuk putri bungsunya dalam acara pembukaan cabang anak perusahaan dengan Angello sebagai penanggung jawab. Tangan wanita tiga anak tersebut mengibas di udara guna memberi kode agar seseorang membawakan pilihan baju yang lain.Sembari menunggu, Eleanor menatap putranya yang duduk menyilang kaki di sofa. “Kamu nggak marahin dia, 'kan, Jello?”“I'm not,” jawabnya meragu. Laki-laki jangkung tersebut menggaruk sekilas dahinya dan memandang ibunya penuh putus asa. “Keinginan Sica tetap sama dan aku nggak bisa nurutin, Ma. Nggak bisa.”“Kita bisa, Jello.”“Dan biarin Mama harus makan hati tinggal sama tua bangka itu? E
NAPASNYA terengah-engah seiras dengan irama detak jantung yang berdentum gila-gilaan seolah mampu untuk melompat dari posisi. Kepala pemuda kelinci itu menengadah ke atas sesaat guna merenggangkan otot tengkuk sebelum meludah darah ke tanah. Pukul tujuh malam, kurang sedikit dan rembulan bersinar cukup terang malam ini untuk membantu Alvin membabat habis lima belas orang musuh yang menghadang di jalan. Tahu-tahu datang bagaikan jelangkung.Semua lawannya tumbang memang akan tetapi yang Alvin cemaskan adalah kemarahan Susandra. Bisa habis diceramahi dia kalau sampai ketahuan bertengkar lagi.Perkelahian bersama Jessica saja sudah mujur tidak diungkit-ungkit lagi mengingat posisi penting gadis itu di keluarganya dan Alvin terbebas dari hukuman. Tetapi malah harus berurusan dengan Gala yang marah karena Alvin tak membalas perasaan adiknya. Si pemuda jangkung menginjak kuat pundak Gala yang berada di bawah telapak kaki kemudian menyeringai sementara sang lawan mengerang minta ampun.“Bilan
DUA tahun lalu lebih-kurang.Pendaftaran calon siswa baru di Bina Bangsa telah dibuka secara online. Bagi PPDB yang ingin mendaftar sudah bisa melengkapi data dan mengunggah berkas-berkas yang tertera pada website. Seleksi awal masuknya saja cukup kapabel sekali mengurangi nyaris setengah para pendaftaran saking ketatnya. Jujur, Alvin masuk ke sana karena Susandra bilang akreditasi serta citra Bina Bangsa sudah tersohor di mana-mana. Sekolah swasta terbaik Indonesia. Bila Ibunda sudah bertitah demikian maka Alvin tentu akan melenceng dari jalur yang berbeda dengan teman-temannya yang memilih masuk SMK.Tahapan-tahapan dilalui dan setiap detiknya Alvin tidak pernah merasaㅡyeaah, bersemangat. Pemuda kelinci tersebut mudah bosan. Dia tidak suka hal-hal yang monoton. Alvin suka setiap detik hidupnya berwarna, bergerak aktif dan terlalu sayang bila dilewatkan dengan tidur. Alvin ingin yang seperti itu tetapi melihat bagaimana semua calon peserta didik baru di sekitarnya saat tes tulis. Err!
SEPASANG mata bulat tersebut terpejam erat, napasnya mulai tidak teratur bersama kepalan tangannya yang bertengger di sisi pinggang rampingnya. Boleh tidak sih Jessica meruntuhkan Bina Bangsa sekarang alih-alih melenyapkan Alvin seorang saja? Ya Tuhan! Jessica tidak mengerti lagi bagaimana makhluk sejenis Alvin masih bisa hidup tenang setelah menghias mejanya dengan ratusan jenis bunga. Harumnya menyeruak ke seluruh penjuru kelas dan Jessica tidak bisa untuk tidak emosi sekarang.“Bangsat!” gumamnya pelan, penuh penekanan dengan killer mode on.Rosa terbahak-bahak mengejeknya dan bahkan berfoto ria di meja si Poni sementara sang tuan tengah menahan amarah. “Dia sweet juga ya, Sica? Gue jadi lo baper, deh.”Sang lawan bicara terkekeh hambar dan tersenyum sinis sebelum menarik kerah almamater Arzan yang melewati mereka guna keluar kelas. “Zan, Rosa bilang dia bakalan baper kalau lo hias mejanya pake bunga. So, besok lo bawa bunga setoko-tokonya. Nggak punya duit? Gue talangin.”Rosa melo
SESEORANG pernah menciptakan sebuah konversasi bermakna bersama Jessica di suatu sore, lembayung jingga pekat menggantung manis di atas kepala. Semilir angin tertiup malu-malu membelai kulit sementara gadis berponi tersebut harus menahan sakit ketika sudut bibirnya yang berdarah ditekan menggunakan kapas alkohol. Haical geleng-geleng kepala kemudian meninggalkan dua tepukan hangat di puncak kepala Jessica bersama seulas senyum hangat yang mampu membuat si gadis tersipu sendiri.Sembari menutup kotak P3K Haical bersuara hangat seperti biasanya. “Sica?”“Apa? Mau marah? Ish! Kan aku udah bilang, dia duluan, Caaaal!” ketus Jessica, cemberut bagaikan anak kecil dan mendengus kesal. “Aku nggak suka diejek dan dipandang remeh gitu. Aku bukan cewek gampangan, ya.”Haical tertawa gemas dan mencubit pipi chubby Jessica sebagai bentuk reaksi. “Aku nggak marah tapi sedih ngeliat muka kamu luka-luka gini,” ujarnya, nadanya sedikit lebih lunak dibandingkan tadi seolah menyiratkan dengan benar kekha
MATAsetajam elang itu mengedar ke seluruh penjuru ruangan ketika keluar dari kamarnya. Semenjak pulang Alvin tidak menemukan Susandra di mana pun dan berpikir sang ibu sedang berada di kebun belakang rumah bersama Aleana. Namun tatkala menemukan sang adik baru saja keluar dari kamarnya sontak membuat si pemuda kelinci tersebut bergeming sesaat usai mengenakan jaket kulitnya. Aleana masih tetap sama seperti dulu, menggemaskan dengan pipi chubby kemerahan dan cantik mirip sang ibu.Sangat disayangkan mereka tidak bisa bermain seperti dulu lagi.Alvin bergerak canggung di posisi sementara sang adiknya terlihat biasa saja dan bergerak menuju dapur. Pemuda itu menarik napas gusar sembari mengusap wajahnya. Saat ingin memanjangkan langkah keluar dari rumah suara lembut yang jarang sekali Alvin dengan mengudar
ALVINmemang bukan seorang laki-laki selembut orang-orang di luaran sana. Ia terbiasa berbicara sesuka hati dan bertindak semaunya. Dengan menjunjung tinggi prinsip, “Kebebasan adalah segala-galanya untuk hidup gue yang cuma satu kali ini.” Oleh karena itu bila kini menemukan Jessica menangis terisak-isak sampai pundak sempit itu yang biasanya tegap meluruh sempurna disertai getaran hebat. Alvin merasakan hatinya tercubit, ikut merasa sakit melihat kondisi Jessica sekarang.“Jes, sumpah. Kalau lo sakit hati sama ucapan gue tadi, tabok aja gue sampe mampus, serius.” Alvin berdiri gelisah di tempatnya, bingung harus apa saat perempuan tengah menangis begini. Jika ini ibunya tentu lain cerita tetapi ini Jessica, lho. Yang bahkan masih bisa mengamuk saat Alvin dorong dari ketinggian belasan meter dari tanah. “J-jes, aduh, maaf-maaf.
APABILA di umpakan secara gamblang, transparan dan tepat sasaran. Barangkali kejengkelan nan sedang menggerogoti jantung sekaligus hatinya telah menyerupai gunung aktif yang siap memuntahkan lahar panas guna membumi hanguskan sekitarnya. Menghancurkan setiap sentinya. Melenyapkan setiap eksistensi yang terlihat. Begitu pendeskripsian isi hati seorang Alvin sekarang ini. Dia sangat amat muak menghadapi situasi yang sama berulang-ulang kali. Hingga rasanya si lelaki bisa melakukan apa saja untuk menyingkir masalah nan sedang mengganggu kesehariannya tersebut. Jujur saja, bukankah dia lahir tanpa setangki kesabaran melimpah? Hei, dia jelas-jelas bukan badan amal. Mana sudi ia bersikap sabar terhadap orang-orang yang bahkan tidak ingin bersikap sabar atas dirinya; egois memang, akan tetapi Alvin mana mau repot-repot peduli.Emosi yang kini menguasai dadanya benar-benar tidak terbendung lagi, jadi Alvin harus memprioritaskan hati dan batinnya. Ini tidak bisa di tunda-tunda lagi jikalau tida
KABAR kembalinya sang penguasa Bina Bangsa menyebar dengan cepat yang bahkan tidak genap satu hari setelah beritanya masuk menuju masing-masing ponsel warga sekolah. Termasuk adegan epik sang tuan putri dalam melancarkan aksi balas dendamnya begitu menginjakkan kaki di sekolah. Memang tidak ada bukti fisik seperti video atau pun foto, akan tetapi hal ini mutlak mengirim teror bagi siapa-siapa saja yang telah lancang mengusik tiga sahabat gadis penguasa tersebut. Selepas fakta mengenai Chika menjalar bagaikan tanaman rambat, informasi baru dari korban-korban yang Jessica gasak habis di hari yang sama mulai simpang siur terdengar. Bahwa pembalasan dendam Jessica bukanlah lelucon semata. Tiada satu pun dari mereka yang berani membayangkan akan sesuram apa hari esok. Akan setegang dan seberisik apa Bina Bangsa esok, namun yang pasti, Jessica telah mendeklarasikan peperangan dan takkan ada yang bisa kabur dari cengkeramannya.Yah, terserah dengan apa yang akan terjadi. Alvin tidak peduli.
APABILA bundaran oranye tersebut dapat berbicara, barangkali serangkaian kalimat makian sudah terlontar kepada manusia kelinci yang masih bebal melantunkan bola basket nan kusam itu menuju ring walau telah terpeleset berulang kali. Alvin tetap bersikukuh melanjutkan permainan seorang diri di markas kumuh ini. Tempat terakhir ia benar-benar bertemu Jessica. Tempat yang menjadi saksi bisu akan seberapa besar perasaannya untuk gadis nakal tersebut. Oleh sebab itu ujung-ujungnya Alvin melarang keras yang lain datang ke tempat ini. Alasannya karena takut kenangannya dengan Jessica pudar begitu saja. Jelas, awal-awalnya muncul pertentangan akan tetapi jikalau Alvin sudah berkehendak. Siapa yang berani menantang memangnya? Cari mati namanya.Yah, setidaknya sampai Jessica kembali.Iya, begitu.Namun, kapan gadisnya akan kembali?Apa setelah mereka lulus SMA?Ah, sial! Perasaannya semakin memburuk bahkan hanya dengan memikirkannya saja. Alvin tentu saja tidak tahu apa-apa. Dia ini merupakan o
PEMANDANGAN danau indah, secangkir kopi dan sepirinh roti panggang hangat. Perpaduan ini membuat Jessica merasa jauh lebih hidup di bandingkan yang sudah-sudah. Seolah ia baru saja menjadi manusia seutuhnya sekarang. Sebab sepanjang hidup, baru kali ia tidak bangun dengan beban berat pada pundak. Tidak ada lagi mimpi buruk yang mencekam. Tidak ada lagi sesak dalam dada. Tidak ada lagi pening yang menyerang kepala. Tubuhnya sungguh-sungguh terasa ringan hingga menjalani rutinitas santai begini membuat senyuman manis di bibir terbit dengan begitu cerah. Jessica menghembuskan napas pendek, mengeluarkan ponsel yang Bastian berikan padanya dan mulai memotret tiap sudut tempat nan ia rasa tampak cantik untuk di abadikan oleh kamera ponselnya.Jessica memang belum sepenuhnya terbiasa. Bahasa dan budaya mereka jelas berbeda dengan keseharian yang dulu biasa ia jalani. Jessica juga belum pernah tinggal begitu lama di negeri orang lain selain hanya singgah guna menemani sang kakek bekerja atau
DUA minggu. Empat minggu. Kemudian sudah genap satu bulan. Lambat laun bertambah hari demi hari. Tahu-tahu sudah lebih dari satu minggu lagi. Lalu bulan lagi. Begitu terus. Detik berganti menit. Menit berganti jam. Jam berganti hari. Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Tepat lima bulan kepergian Jessica dari hidupnya dan Alvin tidak pernah merasa kehilangan seperti ini sebelumnya. Alvin tidak pernah merasa hidupnya sehampa ini. Tidak pernah merasa jikalau hidupnya akan seberat ini tanpa kehadiran gadis barbar kesayangannya itu. Alvin tidak pernah mengira bahwa ketiadaan Jessica dalam poros dunianya benar-benar melumpuhkan nyaris seluruh engsel kehidupannya, dan membuat dia terus berlari dari getirnya fakta bila saat ini dia benar-benar di tinggalkan tanpa salam perpisahan.Jantungnya berdenyut ngilu.Alvin tidak pernah tahu bahwa merindukan seseorang bisa membuatnya gila seperti ini. Entah sudah berapa orang yang ia pukuli hari ini. Entah sudah berapa kayu yang ia patahkan ka
SEBUT saja dia gila. Bastian tidak keberatan. Sama sekali tidak masalah di maki demikian sebab orang waras mana yang dengan kesadaran penuh membawa kabur seorang cucu perempuan satu-satunya dari keluarga konglomerat Atriyadinata? Cuma dia. Secara teknik memang tidak dapat di sebut menculik akan tetapi tetap saja Bastian terlibat sebagai kaki tangan. Apabila sang kakek tahu, tanpa sempat menjelaskan maka namanya sudah terlebih dahulu terukir di batu nisan. Mengesankan. Bastian tidak belajar mati-matian dari dulu hanya untuk menghancurkan hidupnya di masa depan nanti. Tidak. Enak saja. Bastian belajar seperti kiamat akan datang esok hari karena ingin segera hidup mandiri dan terlepas dari sistem politik keluarga. Dia sudah muak harus mendengarkan sang ibu menjelek-jelekkan anggota keluarga lain. Masih baik dia tidak terkontaminasi, tidak seperti saudaranya yang lain.Kendati demikian, walau sudah membuat heboh keluarga, tampaknya si pelaku tidak terlihat merasa bersalah sedikit pun. Di
GELEGAK amarah. Urat saraf yang menonjol. Wajah memerah penuh resah. Ekspresi keruh terang-terangan menyatakan isi hati. Layar demi layar di depan mata nan menampilkan rekaman CCTV beberapa lokasi tidak berhasil membuatnya puas. Demian makin murka. Dalam satu kali gerakan, dia menghempas kasar benda-benda berteknologi canggih tersebut. "KALIAN SEMUA TIDAK BECUS! UANG YANG SAYA KELUARKAN SELAMA INI UNTUK KALIAN TERNYATA SIA-SIA! SAYA INGIN CUCU SAYA DI TEMUKAN TAPI KALIAN SEMUA TIDAK MAMPU MELAKUKAN ITU! APANYA YANG SULIT MENCARI SEORANG ANAK PEREMPUAN YANG MASIH SMA?! KELUAR KALIAN DARI RUMAH SAYA! DASAR TIKUS-TIKUS KOTOR! JANGAN PIKIR UNTUK KEMBALI MENGINJAKKAN KAKI DI SINI SEBELUM CUCU SAYA DI TEMUKAN ATAU KALIAN AKAN TAU APA AKIBAT GAGAL MENJALANKAN TUGAS DARI SEORANG DEMIAN! CAMKAN ITU!"Satu minggu berlalu sejak menghilangnya Jessica. Entah sesakit apa hati anak malang tersebut sampai-sampai memilih untuk pergi. Demian gagal menjadi rumah bagi cucunya. Demian gagal menjadi zona a
JESSICA benar-benar lenyap begitu saja. Bagaikan di telan bumi dan terdampai di dunia antah berantah. Tidak dapat terdeteksi. Tidak dapat di telusuri. Tidak dapat di temukan. Kabar menghilangnya cucu bungsu dari keluarga konglomerat Atriyadinata memang tidak di beritakan pada surat kabar, berita di TV atau pun pada seluruh platform media sosial. Namun satu hal pasti, ketidakhadiran puan tersebut secara mendadak jelas-jelas menggemparkan seisi sekolah. Entah itu murid-muridnya, guru berserta staff dan sekaligus pedagang di kantin. Ketiadaan eksistensi Jessica sungguh-sungguh menjadi topik hangat bahkan usai genap seminggu sang penguasa sekolah tersebut menghilang tanpa kabar. Beberapa dari mereka berusaha menggali informasi dari sumber pasti, tentu itu adalah tiga sahabat sang topik utama Bina Bangsa, akan tetapi seperti yang telah di terka-terka, mereka sempurna dalam kebungkaman. Lebih tepatnya mereka sama sekali tidak tahu-menahu mengenai keberadaan Jessica sekarang. Hembusan na
ORANG-ORANG dulu berkata bahwa rumah adalah tempat paling aman, nyaman dan tepat untuk beristirahat dari berisiknya hiruk-pikuk dunia. Kehangatannya akan mampu meluruhkan segala penat dan lelah tanpa pamrih. Di semua buku, selebaran, iklan atau penjelasan literatur pun mengatakan hal serupa. Rumah adalah tempat kau untuk pulang. Setidaknya itu yang mereka ingin bagikan ke seluruh umat manusia. Tapi sialnya, tidak semua dari mereka memaparkan lebih detail mengenai rumah macam apa yang baik guna menyambut rusaknya jiwa akan permainan benang takdir. Atas segala ujian alam bagi tiap-tiap mereka yang bernapas. Mereka lupa menambah satu paragraf kenyataan bahwa tidak semua rumah itu terasa seperti pulang. Kadang kala justru mirip seperti neraka. Memang tidak panas, namun gelegak amarah yang terus-menerus mendidih, lontaran makian, teriakan melengking, barang demi barang melayang, tuduh menuduh dan sejenisnya. Mana mungkin tempat yang terasa seperti arena peperangan tersebut cocok di katakan