MATA setajam elang itu mengedar ke seluruh penjuru ruangan ketika keluar dari kamarnya. Semenjak pulang Alvin tidak menemukan Susandra di mana pun dan berpikir sang ibu sedang berada di kebun belakang rumah bersama Aleana. Namun tatkala menemukan sang adik baru saja keluar dari kamarnya sontak membuat si pemuda kelinci tersebut bergeming sesaat usai mengenakan jaket kulitnya. Aleana masih tetap sama seperti dulu, menggemaskan dengan pipi chubby kemerahan dan cantik mirip sang ibu.
Sangat disayangkan mereka tidak bisa bermain seperti dulu lagi.
Alvin bergerak canggung di posisi sementara sang adiknya terlihat biasa saja dan bergerak menuju dapur. Pemuda itu menarik napas gusar sembari mengusap wajahnya. Saat ingin memanjangkan langkah keluar dari rumah suara lembut yang jarang sekali Alvin dengan mengudar
ALVINmemang bukan seorang laki-laki selembut orang-orang di luaran sana. Ia terbiasa berbicara sesuka hati dan bertindak semaunya. Dengan menjunjung tinggi prinsip, “Kebebasan adalah segala-galanya untuk hidup gue yang cuma satu kali ini.” Oleh karena itu bila kini menemukan Jessica menangis terisak-isak sampai pundak sempit itu yang biasanya tegap meluruh sempurna disertai getaran hebat. Alvin merasakan hatinya tercubit, ikut merasa sakit melihat kondisi Jessica sekarang.“Jes, sumpah. Kalau lo sakit hati sama ucapan gue tadi, tabok aja gue sampe mampus, serius.” Alvin berdiri gelisah di tempatnya, bingung harus apa saat perempuan tengah menangis begini. Jika ini ibunya tentu lain cerita tetapi ini Jessica, lho. Yang bahkan masih bisa mengamuk saat Alvin dorong dari ketinggian belasan meter dari tanah. “J-jes, aduh, maaf-maaf.
BISAKAHwaktu berjalan lebih cepat dari apa yang tengah Jessica rasakan sekarang? Rasanya terlalu malas menghabiskan sisa sore cerah ini melangkah beriringan dengan Angello. Gadis berponi itu berharap yang datang hanyalah Demian akan tetapi malah si sulung yang datang. Walaupun sang kakak tiba bersama seraut wajah khawatir bukan main Jessica takkan luluh semudah itu.“Sica, kamu nggak papa?” adalah pertanyaan pertama Angello setelah beberapa menit dibungkam hening sepanjang perjalanan menuju kamar inap.“Aku nggak terlalu butuh Jello sama sekali, kenapa dateng?” tukas Jessica sinis.Angello menarik napas panjang, gusar sekaligus getir di saat yang bersamaan mendengar sepenggal kalimat penolakan tersebut. “Sica, kamu mas
ERR!Pemandangan janggal macam apa yang disuguhkan di depan mata sekarang? Rasanya aneh sekaligus ajaib menemukan pemuda kelinci yang selalu diancam mati oleh Jessica tengah menggigil kedinginan sembari menyesap teh herbal hangat yang Chelsie seduh semenit lalu. Oke, ketiga gadis tersebut barangkali menolak percaya bahwa orang yang menyelamatkan Jessica adalah Alvin. Mereka tahu kegilaan Alvin akan tetapi tidak segila itu sampai-sampai mempertaruhkan nyawa di detik-detik terakhir mobil ingin meledak.Tetapi ini apa?!Rosa menyugar rambut panjangnya, agak terperangah dan kembali menatap Alvin dengan sorot tidak percaya. “Jadi … lo yang nyelamatin Jessica?”“Itu pertanyaan lo beberapa menit lalu,” balas Alvin malas, mendongak jengah kemudian memandang gadis chipmunk itu. “Nggak bosen?” tanyanya sarkas.“Cuma menolak percaya aja,” sahut Rosa, mengedikkan bahu kemudian sebelum berderap mendekati meja makan. “Lo 'kan rada sinting tapi gue nggak percaya lo sesinting itu.”Alvin mendengus pe
JESSICAmasih ingat benar dalam benak, masih segar seolah terjadi baru-baru ini. Di mana ketika gadis berponi itu berusia lima tahun seluruh waktu sang ibu tercurahkan begitu hangat untuk putri bungsunya. Semua adegan semasa itu betulan berbahagia tiada tara alih-alih remuk redam seperti sekarang; terlalu berbanding terbalik. Senyumannya sering terulas lebar alih-alih makian kasar.Sore itu tatkala Jessica cilik memiliki misi 'rahasia', katanya, untuk menjelajahi festival film kartun bergenre aksi pahlawan berhasil digagalkan lantaran hujan deras mendadak mengguyur bumi. Anginnya cukup kencang bersama derit jendela yang ikut meramaikan hari. Wajah gadis serupa boneka tersebut berlipat-lipat, muram dan mungkin suram. Ingin merajuk pun percuma, Jessica tidak bisa marah pada siapapun.Sang ibu tersenyum gem
KETIKAmatahari perlahan-lahan merangkak naik guna menyinari sebagian tempat di bumi. Cahayanya bersinar terang seakan mengetuk jendela agar tuan serta nyonya di setengah bagian dunia terjaga dan mulai menjalankan aktivitas. Seperti biasa. Seperti yang sudah-sudah. Suka tidak suka. Apapun yang disuguhkan di depan mata harus tetap dituntaskan sebelum hal-hal yang tidak diinginkan terjadi tanpa diduga-duga.Barangkali dunia terkadang 'semengejutkan' dan 'semisterius' itu sampai-sampai tepat pukul sembilan tatkala kelas 11 MIPA 4 tengah jam kosong lantaran guru yang bersangkutan harus menemani istrinya yang akan melahirkan. Seisi kelas dikejutkan dengan kedatangan Jessica dengan jaket denim sewarna biru laut dan tolong jangan lupakan plester karakter yang tertempel manis di pelipisnya.Seluruh warga kelas t
BERTEMUdan kenal dengan Alvin barangkali sebuah musibah besar bagi Jessica. Laki-laki itu … luar biasa sinting. Enam belas bulan. Ratusan cara dilancarkan untuk mengusir pemuda gila itu dari hidupnya akan tetapi Alvin selalu bermunculan bagaikan jerawat pada masa period. Karena itu lah usai Jessica melayangkan bogem mentah dua sampai tiga kali lalu diakhiri dengan tendangan kasar sampai pemuda kelinci tersebut terkapar di atas tanah.Jessica memaki; tidak habis pikir. “Ke rumah sakit lo mendingan, sinting lo bener-bener nggak bisa gue hadepin lagi.F you, bastard!”Sang lawan bicara justru tertawa geli sambil menyorot dalam lurus ke angkasa biru. “Asalkan bisa berantem di kasur sama lo. Gue jabanin semua syaratnya.”
BILAada yang bertanya kebahagiaan itu dalam bentuk apa, maka dengan lancarnya Jessica akan menjawab Haical. Pemuda sehangat mentari itu selalu dan akan menjadi kebahagiaannya. Sukanya. Sayangnya. Cintanya. Hanya saja selepas Tuhan mengambil lelaki itu dari dekapan Haical juga membuat Jessica berjabat tangan dengan rasa pedih tak berujung. Mana ada individu yang siap dengan perpisahan menyakitkan tanpa mampu bersua selain kematian menjemput raga.Jessica ingin curang.Mencurangi Tuhan dan pergi menyusul Haical setelah dua hari terpuruk bukan main kehilangan laki-laki dari genggaman. Hatinya nyeri, merongrong bagaikan penyakit mematikan ke setiap jengkal kulit bersama air mata yang tidak pernah mau berhenti saat terjaga.Jessica ingin curang
SETIAPyang bernyawa memang betul akan kembali kepada Sang Khaliq. Suka tidak suka, mau tidak mau, ingin tidaknya adalah Sang Pencipta yang mengatur kapan, di mana dan sedang apa. Jessica tidak punya pilihan selain menggenggam retakan hatinya lantaran cinta pertamanya di bawa pergi tanpa perpisahan yang layak. Jessica dipaksa untuk bangun keesokan harinya bersama perasaan kosong yang sukses menampar jiwa.Jessica tidak pernah sembuh.Lukanya masih basah, menganga lebar dan membusuk sempurna. Hanya menunggu waktu sampai dirinya lah yang dijemput. Bukankah begitu?Pemulihan yang orang-orang bilang tentang kita yang mengikuti alur takdir sembari menghitung waktu yang berlalu justru bagi Jessica sebuah lelucon belaka. Omong kosong menjengkelkan namun be
APABILA di umpakan secara gamblang, transparan dan tepat sasaran. Barangkali kejengkelan nan sedang menggerogoti jantung sekaligus hatinya telah menyerupai gunung aktif yang siap memuntahkan lahar panas guna membumi hanguskan sekitarnya. Menghancurkan setiap sentinya. Melenyapkan setiap eksistensi yang terlihat. Begitu pendeskripsian isi hati seorang Alvin sekarang ini. Dia sangat amat muak menghadapi situasi yang sama berulang-ulang kali. Hingga rasanya si lelaki bisa melakukan apa saja untuk menyingkir masalah nan sedang mengganggu kesehariannya tersebut. Jujur saja, bukankah dia lahir tanpa setangki kesabaran melimpah? Hei, dia jelas-jelas bukan badan amal. Mana sudi ia bersikap sabar terhadap orang-orang yang bahkan tidak ingin bersikap sabar atas dirinya; egois memang, akan tetapi Alvin mana mau repot-repot peduli.Emosi yang kini menguasai dadanya benar-benar tidak terbendung lagi, jadi Alvin harus memprioritaskan hati dan batinnya. Ini tidak bisa di tunda-tunda lagi jikalau tida
KABAR kembalinya sang penguasa Bina Bangsa menyebar dengan cepat yang bahkan tidak genap satu hari setelah beritanya masuk menuju masing-masing ponsel warga sekolah. Termasuk adegan epik sang tuan putri dalam melancarkan aksi balas dendamnya begitu menginjakkan kaki di sekolah. Memang tidak ada bukti fisik seperti video atau pun foto, akan tetapi hal ini mutlak mengirim teror bagi siapa-siapa saja yang telah lancang mengusik tiga sahabat gadis penguasa tersebut. Selepas fakta mengenai Chika menjalar bagaikan tanaman rambat, informasi baru dari korban-korban yang Jessica gasak habis di hari yang sama mulai simpang siur terdengar. Bahwa pembalasan dendam Jessica bukanlah lelucon semata. Tiada satu pun dari mereka yang berani membayangkan akan sesuram apa hari esok. Akan setegang dan seberisik apa Bina Bangsa esok, namun yang pasti, Jessica telah mendeklarasikan peperangan dan takkan ada yang bisa kabur dari cengkeramannya.Yah, terserah dengan apa yang akan terjadi. Alvin tidak peduli.
APABILA bundaran oranye tersebut dapat berbicara, barangkali serangkaian kalimat makian sudah terlontar kepada manusia kelinci yang masih bebal melantunkan bola basket nan kusam itu menuju ring walau telah terpeleset berulang kali. Alvin tetap bersikukuh melanjutkan permainan seorang diri di markas kumuh ini. Tempat terakhir ia benar-benar bertemu Jessica. Tempat yang menjadi saksi bisu akan seberapa besar perasaannya untuk gadis nakal tersebut. Oleh sebab itu ujung-ujungnya Alvin melarang keras yang lain datang ke tempat ini. Alasannya karena takut kenangannya dengan Jessica pudar begitu saja. Jelas, awal-awalnya muncul pertentangan akan tetapi jikalau Alvin sudah berkehendak. Siapa yang berani menantang memangnya? Cari mati namanya.Yah, setidaknya sampai Jessica kembali.Iya, begitu.Namun, kapan gadisnya akan kembali?Apa setelah mereka lulus SMA?Ah, sial! Perasaannya semakin memburuk bahkan hanya dengan memikirkannya saja. Alvin tentu saja tidak tahu apa-apa. Dia ini merupakan o
PEMANDANGAN danau indah, secangkir kopi dan sepirinh roti panggang hangat. Perpaduan ini membuat Jessica merasa jauh lebih hidup di bandingkan yang sudah-sudah. Seolah ia baru saja menjadi manusia seutuhnya sekarang. Sebab sepanjang hidup, baru kali ia tidak bangun dengan beban berat pada pundak. Tidak ada lagi mimpi buruk yang mencekam. Tidak ada lagi sesak dalam dada. Tidak ada lagi pening yang menyerang kepala. Tubuhnya sungguh-sungguh terasa ringan hingga menjalani rutinitas santai begini membuat senyuman manis di bibir terbit dengan begitu cerah. Jessica menghembuskan napas pendek, mengeluarkan ponsel yang Bastian berikan padanya dan mulai memotret tiap sudut tempat nan ia rasa tampak cantik untuk di abadikan oleh kamera ponselnya.Jessica memang belum sepenuhnya terbiasa. Bahasa dan budaya mereka jelas berbeda dengan keseharian yang dulu biasa ia jalani. Jessica juga belum pernah tinggal begitu lama di negeri orang lain selain hanya singgah guna menemani sang kakek bekerja atau
DUA minggu. Empat minggu. Kemudian sudah genap satu bulan. Lambat laun bertambah hari demi hari. Tahu-tahu sudah lebih dari satu minggu lagi. Lalu bulan lagi. Begitu terus. Detik berganti menit. Menit berganti jam. Jam berganti hari. Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Tepat lima bulan kepergian Jessica dari hidupnya dan Alvin tidak pernah merasa kehilangan seperti ini sebelumnya. Alvin tidak pernah merasa hidupnya sehampa ini. Tidak pernah merasa jikalau hidupnya akan seberat ini tanpa kehadiran gadis barbar kesayangannya itu. Alvin tidak pernah mengira bahwa ketiadaan Jessica dalam poros dunianya benar-benar melumpuhkan nyaris seluruh engsel kehidupannya, dan membuat dia terus berlari dari getirnya fakta bila saat ini dia benar-benar di tinggalkan tanpa salam perpisahan.Jantungnya berdenyut ngilu.Alvin tidak pernah tahu bahwa merindukan seseorang bisa membuatnya gila seperti ini. Entah sudah berapa orang yang ia pukuli hari ini. Entah sudah berapa kayu yang ia patahkan ka
SEBUT saja dia gila. Bastian tidak keberatan. Sama sekali tidak masalah di maki demikian sebab orang waras mana yang dengan kesadaran penuh membawa kabur seorang cucu perempuan satu-satunya dari keluarga konglomerat Atriyadinata? Cuma dia. Secara teknik memang tidak dapat di sebut menculik akan tetapi tetap saja Bastian terlibat sebagai kaki tangan. Apabila sang kakek tahu, tanpa sempat menjelaskan maka namanya sudah terlebih dahulu terukir di batu nisan. Mengesankan. Bastian tidak belajar mati-matian dari dulu hanya untuk menghancurkan hidupnya di masa depan nanti. Tidak. Enak saja. Bastian belajar seperti kiamat akan datang esok hari karena ingin segera hidup mandiri dan terlepas dari sistem politik keluarga. Dia sudah muak harus mendengarkan sang ibu menjelek-jelekkan anggota keluarga lain. Masih baik dia tidak terkontaminasi, tidak seperti saudaranya yang lain.Kendati demikian, walau sudah membuat heboh keluarga, tampaknya si pelaku tidak terlihat merasa bersalah sedikit pun. Di
GELEGAK amarah. Urat saraf yang menonjol. Wajah memerah penuh resah. Ekspresi keruh terang-terangan menyatakan isi hati. Layar demi layar di depan mata nan menampilkan rekaman CCTV beberapa lokasi tidak berhasil membuatnya puas. Demian makin murka. Dalam satu kali gerakan, dia menghempas kasar benda-benda berteknologi canggih tersebut. "KALIAN SEMUA TIDAK BECUS! UANG YANG SAYA KELUARKAN SELAMA INI UNTUK KALIAN TERNYATA SIA-SIA! SAYA INGIN CUCU SAYA DI TEMUKAN TAPI KALIAN SEMUA TIDAK MAMPU MELAKUKAN ITU! APANYA YANG SULIT MENCARI SEORANG ANAK PEREMPUAN YANG MASIH SMA?! KELUAR KALIAN DARI RUMAH SAYA! DASAR TIKUS-TIKUS KOTOR! JANGAN PIKIR UNTUK KEMBALI MENGINJAKKAN KAKI DI SINI SEBELUM CUCU SAYA DI TEMUKAN ATAU KALIAN AKAN TAU APA AKIBAT GAGAL MENJALANKAN TUGAS DARI SEORANG DEMIAN! CAMKAN ITU!"Satu minggu berlalu sejak menghilangnya Jessica. Entah sesakit apa hati anak malang tersebut sampai-sampai memilih untuk pergi. Demian gagal menjadi rumah bagi cucunya. Demian gagal menjadi zona a
JESSICA benar-benar lenyap begitu saja. Bagaikan di telan bumi dan terdampai di dunia antah berantah. Tidak dapat terdeteksi. Tidak dapat di telusuri. Tidak dapat di temukan. Kabar menghilangnya cucu bungsu dari keluarga konglomerat Atriyadinata memang tidak di beritakan pada surat kabar, berita di TV atau pun pada seluruh platform media sosial. Namun satu hal pasti, ketidakhadiran puan tersebut secara mendadak jelas-jelas menggemparkan seisi sekolah. Entah itu murid-muridnya, guru berserta staff dan sekaligus pedagang di kantin. Ketiadaan eksistensi Jessica sungguh-sungguh menjadi topik hangat bahkan usai genap seminggu sang penguasa sekolah tersebut menghilang tanpa kabar. Beberapa dari mereka berusaha menggali informasi dari sumber pasti, tentu itu adalah tiga sahabat sang topik utama Bina Bangsa, akan tetapi seperti yang telah di terka-terka, mereka sempurna dalam kebungkaman. Lebih tepatnya mereka sama sekali tidak tahu-menahu mengenai keberadaan Jessica sekarang. Hembusan na
ORANG-ORANG dulu berkata bahwa rumah adalah tempat paling aman, nyaman dan tepat untuk beristirahat dari berisiknya hiruk-pikuk dunia. Kehangatannya akan mampu meluruhkan segala penat dan lelah tanpa pamrih. Di semua buku, selebaran, iklan atau penjelasan literatur pun mengatakan hal serupa. Rumah adalah tempat kau untuk pulang. Setidaknya itu yang mereka ingin bagikan ke seluruh umat manusia. Tapi sialnya, tidak semua dari mereka memaparkan lebih detail mengenai rumah macam apa yang baik guna menyambut rusaknya jiwa akan permainan benang takdir. Atas segala ujian alam bagi tiap-tiap mereka yang bernapas. Mereka lupa menambah satu paragraf kenyataan bahwa tidak semua rumah itu terasa seperti pulang. Kadang kala justru mirip seperti neraka. Memang tidak panas, namun gelegak amarah yang terus-menerus mendidih, lontaran makian, teriakan melengking, barang demi barang melayang, tuduh menuduh dan sejenisnya. Mana mungkin tempat yang terasa seperti arena peperangan tersebut cocok di katakan