Share

BAB 9 : Rooftop

KAKI-KAKI ramping itu mengayun ringan sedangkan kedua telapak tangan bertumpu pada pembatas atap. Tolong jangan mempermasalahkan Jessica yang duduk di atas sana sementara jarak dia dari tanah adalah 13 meter. Tolong juga jangan khawatir. Kegiatan semacam itu acapkali dilakukan ketika kepalanya terlalu berisik dan benang kusut di dalam tak kunjung bisa ia luruskan. Satu-satunya yang bisa gadis berponi itu lakukan adalah duduk di sana. Membiarkan semilir angin mengusap setiap inci kulit hanya untuk bersikeras mengais sebuah afeksi tentram pada semesta.

Dari gedung utama ini seluruh penjuru Bina Bangsa bisa di nikmati lantaran merupakan bangunan tertinggi. Di barat, beberapa anak memilih tinggal dan bermain basket. Atau banyak yang menyusup ke gelanggang renang untuk mencuri wi-fi yang memang cukup kencang di sana. Well, saking bagusnya interior Bina Bangsa, bahkan ada beberapa pasangan yang menjadikan spot-spot tersudut sekolah menjadi tempat berkencan, ew!

Helaan napasnya terhembus kasar, barangkali ada bongkahan kecil dalam dadanya tersurat getir. Seulas senyuman tercetak tipis tatkala sepasang netra Jessica melihat satu persatu murid dijemput orang tua mereka.

Benaknya sering bertanya, akan sebahagia apa dia kalau berada di posisi mereka?

Dianggap dan tidak ditinggalkan.

Apa hidupnya takkan sehampa ini?

Dulu sekali, ketika Jessica baru saja menginjakkan kakinya di taman kanak-kanak. Sica kecil bingung, mengapa semua orang mendapatkan kotak bekal makan siang yang lucu nan menggemaskan sementara dia tidak? Gadis berponi tersebut juga heran, mengapa ada seseorang yang hangat merengkuh mereka tatkala jam pulang berdering nyaring tetapi dirinya malah menunggu dalam sepi? Sica kecil bingung dan suatu waktu Mama menjawab.

“Sica anak baik, 'kan? Harus ngerti dong Mama sibuk kerja karena kamu?” ujar Eleanor saat Jessica mungil bertanya demikian.

Kini tersadar dari buaian, kalimat itu sepenuhnya menuntut bukan semata-mata menenangkan belaka.

Kekehan getir lolos dengan mudah, mengantarkan afeksi lain dalam relung hati yang menuju kepada kepahitan tak berhingga. Jessica muak, muak sekali. Jessica lelah, lelah bukan main. Namun mau apalagi, mengeluh takkan merubah seluruh skenario hidupnya, memaki keadaan takkan membiarkan dia melenceng dari garis takdir, menangis meraung-raung sekalipun takkan melemparkan dirinya ke hari itu.

Hari di mana bermulanya seluruh luka dan air mata. Hari di mana Jessica berangsur-angsur ditinggalkan dalam duka.

Kepalanya menengadah ke atas lalu memaksakan diri mengulas sebuah senyuman. Luasnya langit biru di atas kepala barangkali sebagai bentuk manifestasi yang memiliki makna, bahwa kesabaran harus seluas dan tak berujung agar mengurangi tindakan-tindakan yang bisa saja disesali kemudian hari. Jessica belum mau setuju lantaran sadar betul kalau sumbu amarahnya pendek bukan kepalang. Yang ia ingin pertanyakan, benarkah langit ada tujuh lapis seperti yang dikatakan orang-orang? Katanya juga setiap lapis memiliki sebuah keistimewaan dan Jessica ingin tahu.

Dia berada di langit lapisan ke berapa?

Mengerti benar jika ketenangan yang mencoba Jessica genggam takkan bertahan selama yang dia mau. Gadis itu melirik ke samping saat sebuah suara familiar mengusik telinga. Irisnya kontan menyorot datar dan kentara sekali enggan berdamai.

“Lo berencana bunuh diri setelah bikin gue malu satu sekolahan?” tanya Alvin memulai konversasi, alisnya naik sebelah kemudian. “Nyesel?”

Sang lawan bicara lantas membalas dengan seulas seringaian tajam. “Masih hidup lo? Gue pikir malah elo yang berniat lompat ke bawah karena saking malunya tapiㅡwell, when you see me at here, lo malu mengakuinya?”

Alvin terkekeh-kekeh kecil dan bergerak mendekat pelan-pelan. “I like the way you thingking about me. Rrr, so uniq.

And i like the way i hate all about you, bastard! You're dead!” seru Jessica datar sekaligus ketus.

Pemuda serupa kelinci tersebut selalu sukses tertawa atas seluruh sikap penolakan Jessica. Yeah, bagaimana gadis itu frustasi ingin mengenyahkannya dan segala macam jenis umpatan yang terus-menerus dilayangkan padanya. Jessica stres dan nyaris sinting sementara Alvin menikmati setiap respon sang gadis boneka.

Alvin menelengkan kepalanya kecil, menatap geli dan menyandarkan lengan atas pada dinding. “Gue maafin kelakuan lo hari ini.”

No, don't give me a shit. You have the right and please go,” balas Jessica ringan bersama seulas senyum miring. “Mungkin itu jalan terbaik. Kita emang nggak ditakdirkan buatㅡyou know, cocok? Ew! Nggak mungkin juga.”

“Tapi gue tetap bakalan maafin loㅡ”

“Gue bilangㅡ”

“Dan tentu, seperti yang lo tau, hutang harus dibayar dalam bentuk apapun  dan lo kayaknya ngerasa 'sebersalah itu' sampai duduk di sana. Jadi anggap aja lo ngutang ke gue sekarang dan gue punya cara gimana hutang lo lunas,” selanya cepat, serius, tak mau diganggu gugat dan sedikit dingin.

Tatkala Jessica mengerutkan dahinya dan berusaha mencerna apa-apa saja yang baru laki-laki sinting itu katakan. Aneh. Omong kosong. Konyol. Kira-kira itulah yang tengah si gadis poni pikirkan. Tahu benar bahwa Alvin tidak pernah sekalipun bersikap normal seperti anak pada umumnya. Akan tetapi baru kali ini Jessica makin yakin bahwa mental pemuda kelinci itu tengah … terguncang hebat! Luar biasa gila!

Bersama dahi berlipat dalam, Jessica memandang total menghina. “Lo gila? Gue nggak butuh maaf lo dan silahkan lo ngebenci gue sepuas lo. Kalau bisa pergi juga yang jauh dari gue supaya kita berhenti ketemu dan berurusan. Toh dari awal kita nggak pernah akur 'kan? Dari awal juga kita saling ngebenci. Apalagi sih mau lo, hah?”

“Gue nggak pernah tuh bilang kalau gue ngebenci lo,” tukas Alvin santai sembari memainkan ponselnya kemudian mendongakkan pandangan agar mereka kembali bersitatap. “Gue cuma suka ngeganggu dan bikin lo ngamuk bukan ngebenci. Tolong bedakan.”

Omong kosong! Itu kalimat lain dari membenci versi terbaru, ya? Astaga! Ya Tuhan! Jessica betulan tidak mengerti bagaimana otak Alvin berpikir. Terlalu gila untuk ia sendiri coba terka.

“Sinting lo makin menjadi-jadi, ya?” Jessica menyahut ketus bukan kepalang dengan tatapan sulit. “Coba pikirin lagi, deh. Lo sehat mental apa enggak, gue rela ngebiayain lo konsultasi di psikiater terbaik dunia supaya otak lo beneran dikit,” sambungnya sangsi sembari mengetuk pelipis dua kali dengan telunjuk.

Alvin tersenyum penuh makna, terkekeh-kekeh geli dan geleng-geleng kepala sendiri seolah si gadis baru saja melemparkan lelucon padanya. Ia menarik napas lalu mengibaskan tangan di udara. “Nggak usah repot-repot. Pake uang lo yang banyak itu buat beli makanan supaya energi lo tetap full setiap kita ketemu. Karena abis ini lo beneran harus bayar hutang lo, Jessica.”

Lagi-lagi tak mengerti dengan ucapan pemuda di sampingnya tersebut, Jessica merotasikan matanya menahan jengkel sementara sebelah tangannya menyugar rambut. Gadis berponi tersebut agaknya baru ingin memaki dan mempertanyakan maksud sang lawan bicara. Namun semuanya terlambat. Kewaspadaannya menurun tanpa sadar dan tubuh Jessica terlebih dahulu didorong kuat ke bawah.

Maniknya membola sementara telinga masih mendengar teriakan kesenangan Alvin. “Contohnya kayak gini, pecundang! Haha!”

“ALVIN BANGSAT! GUE MATIIN LO!”

Gelak tawa si pemuda terdengar nyaring dan tentu mengejek padanya. Astaga! Ya Tuhan! Jessica pikir ketika tubuhnya terbang untuk beberapa sekon di udara, ia akan mengalami patah tulang sampai di tanah akan tetapi tubuhnya kembali dilempar ke atas begitu menghantam trampolin. Sial! Alvin membalasnya dengan cara yang persis sama sensasinya!

Jessica melirik tajam Daniel dan Thomas yang memastikan agar trampolinnya menangkap tubuh Jessica. “Selesai gue bunuh dia. Tunggu giliran kalian! SIALAN! BAJINGAN KALIAN! ARGH!”

Dan masih di rooftop bangunan tertinggi Bina Bangsa, Alvin melipat tangan dengan santainya di atas pembatas dan mengulas senyum geli sebelum melambaikan tangan pada Jessica. “Wait me for the next game, Baby. I love you.

“BANGSAT LO SILUMAN KELINCI! ARRRRGGGGHHHH!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status