APABILA kepala sedang berisik, sama bisingnya dengan ingar bingar pasar malam, barangkali memandang sesuatu hal yang indah akan menetralisirkan segala pening bercampur penat pada sekujur tubuh. Sekurang-kurangnya departemen pikiran di dalam otak sekiranya mau ambil rehat sejenak usai berkelahi dengan departemen hati yang selalu enggan berkompromi. Hari ini angkasa menyuguhkan langit biru yang indah, di temani awan-awan dengan beragam bentuk serta mentari yang tampak gagah di singgsananya. Tidak ketinggalan juga semilir angin menyejukkan cuaca panas nan sedang mendera bumi. Kaki-kaki ramping tersebut berayun-ayun ringan berirama selagi dua telapak tangan bertumpu pada pembatas atap bangunan. Tolong jangan mempermasalahkan atau mempertanyakan alasan Jessica untuk duduk di tempat berbahaya demikian, nan sekali salah salah bergerak, maka tewas bukan lagi sekadar kekhawatiran belaka usai jatuh dari ketinggian 25 meter.
Jangan terlalu mencemaskan, Jessica sudah biasa melakukan kegiatan tersebut tiap kali kepalanya terlalu berisik dan benang kusut di dalam tidak kunjung bisa ia uraikan dengan benar. Satu-satunya hal yang bisa gadis berponi itu lakukan adalah duduk di sana. Memberi kesempatan bagi cahaya matahari membelai tiap inci kulit bersama sapuan angin sepoi-sepoi nan bersikeras memberikan afeksi tentram, seolah-olah tengah memanggilnya agar segera masuk ke dunia mimpi.Dari atas gedung utama sekolah ini seluruh penjuru Bina Bangsa bisa ia nikmati tanpa penghalang lantaran merupakan bangunan tertinggi. Di bagain barat sana beberapa anak memilih tinggal dan bermain basket dengan masih mengenakan seragam olahraga. Sementara itu tidak jauh dari sana cukup banyak dari mereka yang memilih untuk menyusup masuk ke dalam gelanggang renang guna mencuri kecepatan wi-fi sekolah yang memang mempunyai sinyal paling bagus di sana. Yah, terpujilah interior menakjubkan Bina Bangsa ini sampai-sampai mampu juga mengundang beberapa pasangan dan menjadikannya sebagai tempat-tempat tersudut sekolah untuk berkencan.
Ew! Yang satu ini patut dan harus Jessica hina. Dasar pasangan picisan tak bermodal!Jessica serta-merta menghembuskan napas kasar, barangkali ada bongkahan kecil dalam dada nan tersurat amat getir pada ekspresi wajah yang sedari tadi terlukis muram. Seulas senyuman gadis tersebut tercetak begitu tipis tatkala beralih pandangan menuju arah gerbang, sepasang netra bulatnya menjumpai seorang murid bercengkerama hangat dengan sesosok orang yang jauh lebih tua. Mungkin orang tuanya, mereka kelihatan cukup dekat sekali. Ha! Buat iri saja.
Benaknya sering bertanya, akan sebahagia apa dia kalau berada di posisi mereka?
Di anggap dan tidak di tinggalkan.
Apa hidupnya takkan sehampa ini?
Dahulu sekali, ketika ia berusia empat tahun dan baru saja menginjakkan kakinya di taman kanak-kanak. Jessica kecil bingung dan keheranan menatap polos bertanya-tanya ke arah teman-temannya, mengapa semua orang mendapatkan kotak bekal makan siang lucu nan menggemaskan sementara dia tidak? Gadis cilik itu juga penasaran, mengapa ada seseorang yang dengan hangat merengkuh mereka tatkala jam pulang berdering nyaring akan tetapi dirinya justru menunggu dalam sepi? Tidak ada siapa pun yang menyambutnya pulang. Mengapa? Apakah dia tidak selayak itu untuk mendapatkannya juga? Jessica kecil kebingungan sekali dan suatu waktu Mama menjawab dengan ekspresi bagaikan telur busuk.
“Sica anak baik, 'kan? Harus ngerti dong Mama sibuk kerja karena kamu?” ujar Eleanor. Nada suaranya bahkan tidak terdengar seperti sedang menenangkannya, bahkan atensinya saja tidak terfokus sempurna pada dirinya.Kini tersadar dari buaian kosong, kalimat itu sepenuhnya menuntut bukan semata-mata menenangkan belaka.
Kekehan getir lolos dengan begitu mudah, menghantarkan afeksi sukar lainnya dalam relung hati menuju kepada kepahitan dan rasa sesak absolut. Jessica sudah terlalu muak. Muak sekali rasa-rasanya sampai ia ingin memaki seisi dunia. Jessica juga lelah, lelah bukan main hingga ia ingin sekali menghancurkan sekitarnya. Namun mau di kata apa pun lagi, semuanya terasa percuma dan sia-sia. Mengeluh, melayangkan protes, menangis meraung-raung dan mengamuk besar-besaran juga tidak akan merubah seluruh skenario hidupnya. Takdir hidupnya takkan melenceng sebegitu mudahnya dari alur yang telah di tetapkan. Waktu tidak dapat di ulang lagi. Keadaan tidak dapat di rubah lagi.
Segalanya telah terlanjur terjadi dan Jessica tidak punya kuasa besar untuk mengubah masa lalu.
Hari di mana bermulanya seluruh luka dan air mata. Hari di mana Jessica berangsur-angsur di tinggalkan dalam duka dan kemarau berkepanjangan.
Kepala puan berponi tersebut kemudian menengadah kembali memandangi betapa luasnya langit tanpa tonggak di atas sana, ia serta-merta memaksakan diri membentuk sebuah ulasan manis di bibir. Barangkali luasnya angkasa biru di atas kepala ini merupakan bentuk manifestasi yang memiliki makna dalam, yah, seperti bahwa kesabaran memang sudah seharusnya seluas dan tidak memiliki ujung agar manusia mampu mengurangi tindakan-tindakan yang mana bisa-bisa saja akan di sesali di kemudian hari. Jessica belum mau setuju untuk yang satu ini, setidaknya bukan sekarang, lantaran sang gadis poni sadar betul dia sendiri mempunyai masalah dalam mengontrol amarah. Sumbu emosionalnya terlalu pendek untuk menahan diri dari gelegak murka. Yang ingin Jessica pertanyakan ialah benarkah langit ada tujuh lapis seperti apa yang pernah ia baca dan dengar dari orang-orang? Katanya juga pada setiap lapisnya memiliki sebuah keistimewaan tersendiri.
Jessica sangat penasaran, dia berada di langit lapisan ke berapa?Mengerti benar akan bagaimana takdir mempermainkan hidupnya, seperti tatkala ketenangan yang Jessica berusaha coba genggam takkan bertahan selama yang dia mau. Gadis itu melirik ke samping saat sebuah suara familiar mengusik telinga. Irisnya kontan menyorot datar nan sinis dan kentara sekali enggan berdamai.
“Lo berencana bunuh diri setelah bikin gue malu satu sekolahan?” tanya Alvin memulai konversasi bersama senyum menyebalkan yang tidak pernah berubah dari wajah tampan itu, alisnya naik sebelah kemudian. “Nyesel?”
Sang lawan bicara lantas membalas dengan seulas seringaian tajam. “Masih hidup lo? Gue pikir malah elo yang berniat lompat ke bawah karena saking malunya tapiㅡwell, when you see me at here, lo malu mengakuinya? Bocah menyedihkan yang pingsan di depan satu sekolah, eh?”
Alvin terkekeh-kekeh kecil, mengibaskan tangan di udara seolah sedang mengatakan lewat gestur tangan bahwa provokasi Jessica adalah tindakan paling konyol sekaligus kekanak-kanakan yang pernah ada dan ia bergerak mendekat pelan-pelan. “I like the way you thingking about me. Rrr, so uniq.”
“And i like the way i hate all about you, bastard! You're dead!” seru Jessica gondok sekaligus ketus.
Pemuda serupa kelinci tersebut selalu sukses tertawa atas seluruh sikap penolakan Jessica. Yah, bagaimana gadis itu frustasi ingin sekali mengenyahkannya sekarang juga dan segala macam jenis umpatan yang terus-menerus di layangkan padanya. Jessica stres dan nyaris sinting sementara Alvin menikmati setiap respon sang gadis boneka di sana.
Menyenangkan sekali untuk di pandang lama-lama.
Alvin menelengkan kepalanya kecil, menatap geli dan menyandarkan lengan atas pada dinding. “Gue maafin kelakuan lo hari ini.”
“No, don't give me a shit. You have the right and please go,” balas Jessica ringan bersama seulas senyum miring. Enggan terlibat konversasi jauh lebih lama lagi. “Mungkin itu jalan terbaik. Kita emang nggak ditakdirkan buatㅡyou know, cocok? Ew! Nggak mungkin juga.”
“Tapi gue tetap bakalan maafin loㅡ”
“Gue bilangㅡ”
“Dan tentu, seperti yang lo tau, hutang harus di bayar dalam bentuk apapun dan lo kayaknya ngerasa 'sebersalah itu' sampai duduk di sana. Jadi anggap aja lo ngutang ke gue sekarang dan gue punya cara gimana hutang lo lunas,” selanya cepat, serius, tak mau di ganggu gugat dan sedikit dingin. "Yang ini gue yakin lo bakalan suka, sih, Jes."
Tatkala Jessica mengerutkan dahinya dan berusaha mencerna apa-apa saja yang baru laki-laki sinting itu katakan. Aneh. Omong kosong. Konyol. Kira-kira itulah yang tengah si gadis poni pikirkan. Tahu benar bahwa Alvin tidak pernah sekalipun bersikap normal seperti anak pada umumnya. Akan tetapi baru kali ini Jessica makin yakin bahwa mental pemuda kelinci itu tengah … terguncang hebat! Luar biasa gila!
Bersama dahi berlipat dalam, Jessica memandang pemuda kelinci tersebut tidak habis pikir; total menghina. “Lo gila? Gue nggak butuh maaf lo dan silahkan lo ngebenci gue sepuas lo. Kalau bisa pergi juga yang jauh dari gue supaya kita berhenti ketemu dan berurusan. Toh dari awal kita nggak pernah akur 'kan? Dari awal juga kita saling ngebenci. Apalagi sih mau lo, hah?”
“Gue nggak pernah tuh bilang kalau gue ngebenci lo,” tukas Alvin santai sembari memainkan ponselnya kemudian mendongakkan pandangan agar mereka kembali bersitatap. “Gue cuma suka ngeganggu dan bikin lo ngamuk bukan ngebenci. Tolong bedakan.”
Omong kosong! Itu kalimat lain dari membenci versi terbaru, ya? Astaga! Ya Tuhan! Jessica betulan tidak mengerti bagaimana otak Alvin berpikir. Terlalu gila untuk ia sendiri coba terka.
“Sinting lo makin menjadi-jadi, ya?” Jessica menyahut ketus bukan kepalang dengan tatapan sulit. “Coba pikirin lagi, deh. Lo sehat mental apa enggak, gue rela ngebiayain lo konsultasi di psikiater terbaik dunia supaya otak lo beneran dikit,” sambungnya sangsi sembari mengetuk pelipis dua kali dengan telunjuk.
Alvin tersenyum penuh makna, terkekeh-kekeh geli dan geleng-geleng kepala sendiri seolah si gadis baru saja melemparkan lelucon padanya. Ia menarik napas lalu mengibaskan tangan di udara. “Nggak usah repot-repot. Pake uang lo yang banyak itu buat beli makanan supaya energi lo tetap full setiap kita ketemu. Karena abis ini lo beneran harus bayar hutang lo, Jessica.”
Lagi-lagi tak mengerti dengan ucapan pemuda di sampingnya tersebut, Jessica merotasikan matanya menahan jengkel sementara sebelah tangannya menyugar rambut. Gadis berponi tersebut agaknya baru ingin memaki sang lawan bicara dan mempertanyakan maksud dari kalimat janggal nan kapabel membuat dia marah. Namun semuanya terlambat. Kewaspadaannya menurun tanpa ia sadari dan tubuh Jessica terlebih dahulu didorong kuat ke bawah dalam satu kali hentakan.
Maniknya membola sementara telinga masih mendengar teriakan kesenangan Alvin. “Contohnya kayak gini, pecundang! Haha!”
“ALVIN BANGSAT! GUE MATIIN LO!”
Gelak tawa si pemuda terdengar nyaring dan tentu mengejek padanya. Astaga! Ya Tuhan! Jessica pikir ketika tubuhnya terbang untuk beberapa sekon di udara, ia akan mengalami patah tulang sampai di tanah akan tetapi tubuhnya kembali di lempar ke atas begitu menghantam trampolin. Sial! Alvin membalasnya dengan cara yang persis sama sensasinya!
Jessica melirik tajam Daniel dan Thomas lewat matanya nan membulat sempurna sementara mereka bertugas yang memastikan agar trampolinnya menangkap tubuh Jessica. “Selesai gue bunuh dia. Tunggu giliran kalian! SIALAN! BAJINGAN KALIAN! ARGH! MATI KALIAN DI TANGAN GUE ABIS INI! LIHAT AJA! DASAR MANUSIA-MANUSIA BERENGSEK! ALVINJING!”
Dan masih di rooftop bangunan tertinggi Bina Bangsa, Alvin melipat tangan dengan santainya di atas pembatas dan mengulas senyum geli sebelum melambaikan tangan pada Jessica. “Wait me for the next game, Baby. I love you.”
“BANGSAT LO SILUMAN KELINCI! ARRRRGGGGHHHH!”
DUNIA memang sedang tidak baik-baik saja. Perempuan mawar tersebut mengerjapkan matanya beberapa kali, ia terpaku akan betapa merahnya wajah sang sahabat berponinya yang satu tersebut. Jessica sedang menahan amarah yang bergumul di bawah kulit, bahu sang gadis bahkan sampai naik-turun dengan tangan terkepal kuat di bawah sana. Jessica seolah tampak bersiap guna melepaskan kemurkaan, mengamuk membabi buta dan menghancurkan apa saja yang berada di dekatnya usai mereka sampai di kelas lantaran mereka mendapati meja puan berponi tersebut dengan dekorasi serba merah muda. Tidak hanya itu saja, ada belasan cokelat dan boneka beruang mini nan tersusun rapi dan sialnyaㅡpoin ini yang semakin membuat dia murkaㅡwajah beruang-beruang merah muda tersebut malah berganti dengan foto wajah Jessica. Terdiri dari ekspresi nyeleneh, penuh amarah dan tertawa sampai mulutnya terbuka. Sungguh, apabila tidak ingat akan situasi dan kondisi yang sedang terjadi maka barangkali Rosa hampir meletuskan gelak t
BUKAN Jessica lagi namanya kalau-kalau tidak pernah di perbincangkan dalam sehari. Minimal satu sekali dalam satu hari. Bina Bangsa akan selalu dan wajib gempar dengan segala macam jenis tingkah laku yang Jessica lakukan. Aksinya akan selalu menjadi berita hangat sekolah setiap harinya. Termasuk juga salah satu korban yang nyaris patang tulang kalau-kalau Chelsie tidak datang tepat waktu menenangkan si gadis berponi itu siang ini. Tengah ramai di perbincangkan pada akun sosial media Bina Bangsa. Terdapat ribuan komentar dengan ragam praduga yang di bahas orang-orang. Mempertanyakan alasan apalagi kali ini sampai-sampai gadis berponi mengamuk sedemikian menyeramkannya?Jenna memantai komentar demi komentar dalam kolom postingan. Dia serta-merta geleng-geleng kepala melihat dugaan demi dugaan yang makin lama justru semakin melenceng. Terlampau banyak orang sinting berkedok baik hati dan malah memaki secara daring begini. Ck, ck! Ini adalah salah satu alasan mengapa Jenna terkadang lebih
APA-APA saja yang berhubungan dengan Jessica memang selalu akan tampak menarik untuk di saksikan. Oleh karenanya pemuda kelinci tersebut tidak dapat lagi menahan diri dan meletuskan tawanya dengan terbahak-bahak usai menonton video berdurasi singkat yang di unggah pada salah satu akun sosial media, di mana Jessica lagi-lagi unjuk kebolehannya dalam patah mematahkan tulang manusia bahkan tak hanya video akan tetapi komentar demi komentar yang terus-menerus mengirim kolom postingan juga kapabel membuat perut Alvin tergelitik bukan main sampai-sampai ia berpikir ia bisa saja menangis di buatnya. Tangan pemuda itu juga sampai memukul-mukul sofa markas dan spontan menunjukkan layar ponselnya pada Gerald. "Liat! Liat! Dia naikin kaki ke bahu si ceweknya terus hampir matahin tangannya tapi Chelsie ke buru dateng," Alvin berdecak sebal kemudian. "Kecewa penonton."Kalau kalian semua tidak tahu maka percayalah bahwa saat ini rasa ingin menghantam Alvin dengan buku-buku di hadapan benar-benar me
ENTAH ada kehebohan atau kegemparan apa pun dan di mana pun, dunia selalu terlihat baik-baik saja. Tidak tersentuh. Tidak terdistraksi. Tidak terusik. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa dan selalu berjalan tanpa mengenal jeda. Yah, entah apa-apa saja yang terjadi memang sudah semestinya semesta bergerak, mau siap atau tidak, dunia akan terus berlanjut dengan atau tanpa segelintir orang. Sepanjang perjalanan alunan melodri dari lagu one last time yang di populerkan oleh Ariana Grande menjadi teman. Mengisi kekosongan dan hampa dalam mobil selagi mesin terus bekerja keras melaju mengikuti rute jalan yang tengah di tuju. Jalanan yang tidak pernah sepi, jalanan yang tidak pernah kehilangan peminat, jalanan yang tidak pernah lengang, jalanan yang tidak pernah di tinggalkan. Jalanan yang selalu di dambakan semua orang meski kadang kala acapkali merenggut nyawa. Ah, filosofinya mulai terasa biru di tengah-tengah perasaan berkecamuk ini. Barangkali hanya sesederhana saja, di mana jalan ini
APAKAH pernah malam terasa senyap dan sunyi? Yang benar-benar senyap tanpa secuil kegaduhan apa pun dan kebisingan tidak berarti nan kapabel mengganggu ketenangan kendati waktu beraktivitas seharusnya telah rampung terlaksanakan tatkala mentari telah usai menyampaikan salah perpisahan, hilang di ufuk barat dan berjanji akan datang keesokan harinya? Apakah pernah? Ia rasa tidak. Malam nan gelap gulita selalu menyimpan cerita akan alur takdir mereka masing-masing.Alur yang tidak pernah bisa di hindari. Jessica tidak punya pilihan lain selain setuju. Meski pun jarum jam telah berdentang-dentang menunjukkan eksistensi kedatangan malam. Segelintir orang barangkali masih merasa enggan untuk berhenti hanya karena masalah batas waktu antara siang dan malam. Akan selalu ada alasan yang mendasari penyataan mereka tersebut nan terasa wajib untuk segera di tuntaskan sebelum mimpi membuai raga saat terlelap. Yah, tidak usah jauh-jauh, contoh nyatanya saja adalah dirinya sendiri malam ini. Ah, sia
SEAKAN tidak mengenal kata jeda, dunia Jessica selalu saja terguncang hebat. Tiada henti-hentinya di guyur hujan badai, petir berkepanjangan dan angin kencang yang tidak pernah mau berdamai. Negosiasi sepenuhnya tertolak. Memporak-porandakan hidup yang di perjuangkan mati-matian oleh gadis manis tersebut merupakan hal yang barangkali sangat menyenangkan untuk alam semesta lakukan. Menarik ulur tempo kehidupan. Merumitkan segala hal. Kadang kala menaikkan raga hingga ke awang-awang, akan tetapi dalam sekejap mata sudah di jatuhkan lagi menuju dasar bumi. Ketenagan selalu sukar di dapati pada Jessica yang juga akhirnya memilih membalas semua penderitaan yang dunia berikan padanya. Di lakukan guna membuat hidupnya terasa lebih berisik daripada apa pun. Di bandingkan apa pun. Membuat dirinya jauh lebih sibuk daripada siapa pun.Dengan cara menghancurkan sekitarnya.Dunia terlalu berengsek untuk bisa ia hargai sistematis cara kerjanya. Angkasa biru terasa jauh lebih cerah hari ini di band
UDARA hangat menyelinap masuk melewati jendela yang terbuka setengah. Angin sepoi-sepoi juga tidak mau ketinggalan lantai ketinggian tiga meter dari tanah. Mentari tampaknya ingin sekali menyaingi eksistensi aroma obat-obatan samar dari ruangan seluas lima kali enam meter tersebut. Di kelilingan dinding putih dan satu lemari besar berisi beragam jenis obat. Mulai dari obat cair, tablet mau pun kapsul. Kabar baiknya, berkat salah satu penguasa sekolah yang sedang terbaring tidak sadarkan diri, orang-orang yang sempat menjadikan UKS sebagai tempat bolos lantas dengan cepat mengganti tempat perlarian. Yah, daripada tetap memaksakan diri dan berakhir menjadi samsak hidup manusia monster itu? Menghindar jelas merupakan pilihan yang bagus, bukan? Di salah satu ranjang dengan posisi cukup berdekatan dari letak jendela, Jessica terlelap nyenyak dan cuaca hangat namun menyegarkan ini semakin membuat gadis berponi tersebut makin terbawa arus mimpi. Pun karena itu situasi dan kondisi di luar san
JIKALAU peraturan ada untuk di langgar maka hukuman juga ada untuk di hindari, bukan? Terdengar ironi akan tetapi Jessica dengan senang dan sangat-sangat berlapang hati melakukannya. Persetan akan deretan jenis hukuman yang kepala sekolah siapkan untuk dirinya. Jessica akan melakukannya nanti apabila dia sudah dalam suasana dan kondisi yang tepat serta bagus, setidaknya tidak hari ini. Keinginan hati harus tetap di utamakan, bukan? Hei, ayolah! Hidup ini cuma sekali, oleh karena itu harus di nikmati semaksimal mungkin karena jika telah renta nantinya, jangankan kabur dari hukuman, berbuat masalah saja tidak bisa. Yah, karena apalagi kalau-kalau bukan terhambat tulang demi tulang nan telah keropos di makan usia? Atas dasar pemikiran demikianlah Jessica memilih melarikan diri dari panggilan menghadap ke ruangan kepala sekolah usai membuat gempar Bina Bangsa, untuk ke sekian kalinya tanpa pernah merasa bosan menjadi bintang utama atas segala kerusuhan. Toh, dunia masih bekerja sebagaimana
APABILA di umpakan secara gamblang, transparan dan tepat sasaran. Barangkali kejengkelan nan sedang menggerogoti jantung sekaligus hatinya telah menyerupai gunung aktif yang siap memuntahkan lahar panas guna membumi hanguskan sekitarnya. Menghancurkan setiap sentinya. Melenyapkan setiap eksistensi yang terlihat. Begitu pendeskripsian isi hati seorang Alvin sekarang ini. Dia sangat amat muak menghadapi situasi yang sama berulang-ulang kali. Hingga rasanya si lelaki bisa melakukan apa saja untuk menyingkir masalah nan sedang mengganggu kesehariannya tersebut. Jujur saja, bukankah dia lahir tanpa setangki kesabaran melimpah? Hei, dia jelas-jelas bukan badan amal. Mana sudi ia bersikap sabar terhadap orang-orang yang bahkan tidak ingin bersikap sabar atas dirinya; egois memang, akan tetapi Alvin mana mau repot-repot peduli.Emosi yang kini menguasai dadanya benar-benar tidak terbendung lagi, jadi Alvin harus memprioritaskan hati dan batinnya. Ini tidak bisa di tunda-tunda lagi jikalau tida
KABAR kembalinya sang penguasa Bina Bangsa menyebar dengan cepat yang bahkan tidak genap satu hari setelah beritanya masuk menuju masing-masing ponsel warga sekolah. Termasuk adegan epik sang tuan putri dalam melancarkan aksi balas dendamnya begitu menginjakkan kaki di sekolah. Memang tidak ada bukti fisik seperti video atau pun foto, akan tetapi hal ini mutlak mengirim teror bagi siapa-siapa saja yang telah lancang mengusik tiga sahabat gadis penguasa tersebut. Selepas fakta mengenai Chika menjalar bagaikan tanaman rambat, informasi baru dari korban-korban yang Jessica gasak habis di hari yang sama mulai simpang siur terdengar. Bahwa pembalasan dendam Jessica bukanlah lelucon semata. Tiada satu pun dari mereka yang berani membayangkan akan sesuram apa hari esok. Akan setegang dan seberisik apa Bina Bangsa esok, namun yang pasti, Jessica telah mendeklarasikan peperangan dan takkan ada yang bisa kabur dari cengkeramannya.Yah, terserah dengan apa yang akan terjadi. Alvin tidak peduli.
APABILA bundaran oranye tersebut dapat berbicara, barangkali serangkaian kalimat makian sudah terlontar kepada manusia kelinci yang masih bebal melantunkan bola basket nan kusam itu menuju ring walau telah terpeleset berulang kali. Alvin tetap bersikukuh melanjutkan permainan seorang diri di markas kumuh ini. Tempat terakhir ia benar-benar bertemu Jessica. Tempat yang menjadi saksi bisu akan seberapa besar perasaannya untuk gadis nakal tersebut. Oleh sebab itu ujung-ujungnya Alvin melarang keras yang lain datang ke tempat ini. Alasannya karena takut kenangannya dengan Jessica pudar begitu saja. Jelas, awal-awalnya muncul pertentangan akan tetapi jikalau Alvin sudah berkehendak. Siapa yang berani menantang memangnya? Cari mati namanya.Yah, setidaknya sampai Jessica kembali.Iya, begitu.Namun, kapan gadisnya akan kembali?Apa setelah mereka lulus SMA?Ah, sial! Perasaannya semakin memburuk bahkan hanya dengan memikirkannya saja. Alvin tentu saja tidak tahu apa-apa. Dia ini merupakan o
PEMANDANGAN danau indah, secangkir kopi dan sepirinh roti panggang hangat. Perpaduan ini membuat Jessica merasa jauh lebih hidup di bandingkan yang sudah-sudah. Seolah ia baru saja menjadi manusia seutuhnya sekarang. Sebab sepanjang hidup, baru kali ia tidak bangun dengan beban berat pada pundak. Tidak ada lagi mimpi buruk yang mencekam. Tidak ada lagi sesak dalam dada. Tidak ada lagi pening yang menyerang kepala. Tubuhnya sungguh-sungguh terasa ringan hingga menjalani rutinitas santai begini membuat senyuman manis di bibir terbit dengan begitu cerah. Jessica menghembuskan napas pendek, mengeluarkan ponsel yang Bastian berikan padanya dan mulai memotret tiap sudut tempat nan ia rasa tampak cantik untuk di abadikan oleh kamera ponselnya.Jessica memang belum sepenuhnya terbiasa. Bahasa dan budaya mereka jelas berbeda dengan keseharian yang dulu biasa ia jalani. Jessica juga belum pernah tinggal begitu lama di negeri orang lain selain hanya singgah guna menemani sang kakek bekerja atau
DUA minggu. Empat minggu. Kemudian sudah genap satu bulan. Lambat laun bertambah hari demi hari. Tahu-tahu sudah lebih dari satu minggu lagi. Lalu bulan lagi. Begitu terus. Detik berganti menit. Menit berganti jam. Jam berganti hari. Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Tepat lima bulan kepergian Jessica dari hidupnya dan Alvin tidak pernah merasa kehilangan seperti ini sebelumnya. Alvin tidak pernah merasa hidupnya sehampa ini. Tidak pernah merasa jikalau hidupnya akan seberat ini tanpa kehadiran gadis barbar kesayangannya itu. Alvin tidak pernah mengira bahwa ketiadaan Jessica dalam poros dunianya benar-benar melumpuhkan nyaris seluruh engsel kehidupannya, dan membuat dia terus berlari dari getirnya fakta bila saat ini dia benar-benar di tinggalkan tanpa salam perpisahan.Jantungnya berdenyut ngilu.Alvin tidak pernah tahu bahwa merindukan seseorang bisa membuatnya gila seperti ini. Entah sudah berapa orang yang ia pukuli hari ini. Entah sudah berapa kayu yang ia patahkan ka
SEBUT saja dia gila. Bastian tidak keberatan. Sama sekali tidak masalah di maki demikian sebab orang waras mana yang dengan kesadaran penuh membawa kabur seorang cucu perempuan satu-satunya dari keluarga konglomerat Atriyadinata? Cuma dia. Secara teknik memang tidak dapat di sebut menculik akan tetapi tetap saja Bastian terlibat sebagai kaki tangan. Apabila sang kakek tahu, tanpa sempat menjelaskan maka namanya sudah terlebih dahulu terukir di batu nisan. Mengesankan. Bastian tidak belajar mati-matian dari dulu hanya untuk menghancurkan hidupnya di masa depan nanti. Tidak. Enak saja. Bastian belajar seperti kiamat akan datang esok hari karena ingin segera hidup mandiri dan terlepas dari sistem politik keluarga. Dia sudah muak harus mendengarkan sang ibu menjelek-jelekkan anggota keluarga lain. Masih baik dia tidak terkontaminasi, tidak seperti saudaranya yang lain.Kendati demikian, walau sudah membuat heboh keluarga, tampaknya si pelaku tidak terlihat merasa bersalah sedikit pun. Di
GELEGAK amarah. Urat saraf yang menonjol. Wajah memerah penuh resah. Ekspresi keruh terang-terangan menyatakan isi hati. Layar demi layar di depan mata nan menampilkan rekaman CCTV beberapa lokasi tidak berhasil membuatnya puas. Demian makin murka. Dalam satu kali gerakan, dia menghempas kasar benda-benda berteknologi canggih tersebut. "KALIAN SEMUA TIDAK BECUS! UANG YANG SAYA KELUARKAN SELAMA INI UNTUK KALIAN TERNYATA SIA-SIA! SAYA INGIN CUCU SAYA DI TEMUKAN TAPI KALIAN SEMUA TIDAK MAMPU MELAKUKAN ITU! APANYA YANG SULIT MENCARI SEORANG ANAK PEREMPUAN YANG MASIH SMA?! KELUAR KALIAN DARI RUMAH SAYA! DASAR TIKUS-TIKUS KOTOR! JANGAN PIKIR UNTUK KEMBALI MENGINJAKKAN KAKI DI SINI SEBELUM CUCU SAYA DI TEMUKAN ATAU KALIAN AKAN TAU APA AKIBAT GAGAL MENJALANKAN TUGAS DARI SEORANG DEMIAN! CAMKAN ITU!"Satu minggu berlalu sejak menghilangnya Jessica. Entah sesakit apa hati anak malang tersebut sampai-sampai memilih untuk pergi. Demian gagal menjadi rumah bagi cucunya. Demian gagal menjadi zona a
JESSICA benar-benar lenyap begitu saja. Bagaikan di telan bumi dan terdampai di dunia antah berantah. Tidak dapat terdeteksi. Tidak dapat di telusuri. Tidak dapat di temukan. Kabar menghilangnya cucu bungsu dari keluarga konglomerat Atriyadinata memang tidak di beritakan pada surat kabar, berita di TV atau pun pada seluruh platform media sosial. Namun satu hal pasti, ketidakhadiran puan tersebut secara mendadak jelas-jelas menggemparkan seisi sekolah. Entah itu murid-muridnya, guru berserta staff dan sekaligus pedagang di kantin. Ketiadaan eksistensi Jessica sungguh-sungguh menjadi topik hangat bahkan usai genap seminggu sang penguasa sekolah tersebut menghilang tanpa kabar. Beberapa dari mereka berusaha menggali informasi dari sumber pasti, tentu itu adalah tiga sahabat sang topik utama Bina Bangsa, akan tetapi seperti yang telah di terka-terka, mereka sempurna dalam kebungkaman. Lebih tepatnya mereka sama sekali tidak tahu-menahu mengenai keberadaan Jessica sekarang. Hembusan na
ORANG-ORANG dulu berkata bahwa rumah adalah tempat paling aman, nyaman dan tepat untuk beristirahat dari berisiknya hiruk-pikuk dunia. Kehangatannya akan mampu meluruhkan segala penat dan lelah tanpa pamrih. Di semua buku, selebaran, iklan atau penjelasan literatur pun mengatakan hal serupa. Rumah adalah tempat kau untuk pulang. Setidaknya itu yang mereka ingin bagikan ke seluruh umat manusia. Tapi sialnya, tidak semua dari mereka memaparkan lebih detail mengenai rumah macam apa yang baik guna menyambut rusaknya jiwa akan permainan benang takdir. Atas segala ujian alam bagi tiap-tiap mereka yang bernapas. Mereka lupa menambah satu paragraf kenyataan bahwa tidak semua rumah itu terasa seperti pulang. Kadang kala justru mirip seperti neraka. Memang tidak panas, namun gelegak amarah yang terus-menerus mendidih, lontaran makian, teriakan melengking, barang demi barang melayang, tuduh menuduh dan sejenisnya. Mana mungkin tempat yang terasa seperti arena peperangan tersebut cocok di katakan