“JADI … ” Kepala berdenyut-denyut. Bahu naik-turun. Jantung masih berdebar-debar. Kemurkaan belum sepenuhnya sirna dari dalam rongga dada. Pria berusia 52 tahun yang telah lama menjabat sebagai kepala sekolah tersebut memejamkan matanya erat bukan main sembari mengurut pelipis nan masih berkedut kejam. Niat hati ingin segera mengusir denyutan pening di kepala akan tetapi menyadari betul bahwa salah satu siswi di hadapan tidak menunjukkan gelagat orang bersalah sedikit pun membuat Pak Henry makin memanas. Ia ingin marah, memaki atau membentak gadis berponi tersebut karena tingkah laku ajaibnya di lapangan sekolah tadi, akan tetapi Pak Henry ingat betul dengan siapa ia berhadapan sekarang. Lebih tepatnya terhadap siapa orang yang berada di belakang Jessica. Tentu saja pemilik yayasan, Demian Atriyadinata. Pria baya itu merasa usia terus berkurang apabila berurusan dengan Jessica dan segudang catatan kenakalannya. "... kamu ngelakuin itu buat bales dendam, Jessica?"
Ha! Siapa saja tolong katakan bahwa sekarang Pak Henry salah lihat tatkala melihat Jessica tengah mengembangkan dan memberikannya senyuman lebar sembari mengangguk-anggukkan kepalanya dengan mantap? Tolong katakan juga bahwa anak muridnya ini tidak sedang menatapnya dengan sorot penuh keyakinan demikian? Tolong!Ya Tuhan, sepertinya jalan pensiun memang lebih baik, bukan?
“Iya, Pak.”
“Ini jadinya mainan?” tanya sang kepala sekolah dengan nada serak setengah tercekat; nyaris mengalami trauma pada benda hitam di atas mejanya itu. "Bukan asli?"
Jessica lagi-lagi mengirim dua anggukan, ia masih mempertahankan senyuman manisnya. “Benar sekali.”
Kehabisan kata. Total tenggelam dengan ketidakhabis pikiran. Ini makin terdengar tidak masuk akal. Tiada lagi sebait kata yang mampu sang kepala sekolah dan Bu Inda selaku salah satu penanggung jawab BP keluarkan dalam menghadapi Jessica. Kosa kata kemarahan dan kemurkaan mereka telah tandas terlempar akan tetapi target terlalu gesit menepis. Luar biasa menguji kesabaran mereka sebagai penegak pendidikan. Tentu, terlepas apa pun status, gadis biang onar ini harus segera di proses lantaran telah membuat satu sekolah geger karena senjata api mainannya ini. Bahkan korban balas dendam Jessica, Alvin, anak itu sampai-sampai di buat tidak sadarkan diri sebab syok berat yang di alami oleh perilaku Jessica.
Atensi kedua orang tua tersebut terpusat lagi pada Jessica yang mendesis, menyilangkan kaki di kursi dan memandang mereka bergantian dengan ekspresi sulit. “Kira-kira Alvin mati nggak ya, Pak?”
Ya Tuhan! Tolong! Kenapa Engkau kirim hamba-Mu yang luar biasa unik dan spesial ini pada kami?! Bukan main stres dan gilanya kami menghadapinya, astaga! Ya Tuhan, tabahkanlah kami!
“Jessica, kamu tau kalau bercandaan kamu sekarang itu kelewatan?” ujar Bu Inda, suaranya memberat seiring maniknya yang menatap lekat-lekat pada sang murid. “Kamu bikin orang-orang panik bahkan staf sekolah nyaris nelepon polisi gara-gara … benda mainan ini, Jessica. Apa salahnya kamu bersikap tenang dengan kepala dingin alih-alih bikin keributan begini? Kamu perempuan, Nak. Nggak baik begitu. Kamu ngerti kesalahan kamu nggak, sih? Ini nggak sesederhana yang kamu pikirin, Jessica.”
“Terus Ibu ngerti perasaan saya gimana?” balas Jessica cepat. Ekspresinya terkontrol sempurna bersama pundaknya yang ditegapkan.
Bu Inda sepenuhnya menatap tak mengerti seraya mengerutkan kening. “Maksud kamuㅡ”
Kalimat sang guru wanita paruh baya itu terpotong ketika Jessica memiringkan kepala, menatap lurus dan datar bersama sekelumit rumit di wajah. Tangannya terkepal kuat diam-diam dan Jessica pun memilih menyela sembari mengulas senyum tipis. Dia menarik napas pendek, “Alvin nyium saya tanpa izin dan wajar saya ngebales. Saya rasa saya udah ngejelasin detailnya selama lebih kurang sepuluh menit. Sedetail mungkin kalau apa yang saya lakuin ini ada alasan dan dasarnya. Bukan di lakuin cuma untuk sebatas bercandaan aja, Pak, Bu. Bahkan bikin dia pingsan nggak bakalan mengurangi kebencian dan dendam saya sedikit pun. Enggak akan. Ini badan saya dan saya berhak ngebalas siapapun yang berani-berani nyentuh saya tanpa izin. Ibu bilang Ibu perempuan, tapi kenapa cuma ngeributin persoalan balas dendam di bandingkan hal berengsek yang Alvin lakuin ke saya? Dia duluan, lho, yang ngelecehin saya. Kenapa poin utama itu nggak Ibu singgung juga?”
Tampaknya Bu Inda tak menyangka akan di serang begini yang mana seperti berperang tanpa bekal sama sekali, ia mengerjap kaku. “B-bukan begitu maksud Ibu, Jessica. Ibu cumaㅡ”
“Bu, sebajingan-bajingannya saya, saya nggak pernah tuh bikin ulah sampai masuk BK selain dengan orang-orang yang ngusik saya duluan dan Alvin mulai duluan, Bu. Harga diri saya di anggap enteng sama dia dan Ibu minta saya tenang? Nggak bisa, Bu. Masalah itu ngomong aja ke tembok bukan ke saya,” tandas Jessica, rahangnya mengetat hebat di sana bersama iris meredup dingin. "Saya cuma mau nekanin apa yang saya lakuin ini adalah konsekuensi yang harus Alvin terima karena udah berani-beraninya dia bersikap tidak bermoral ke saya. Apa yang dia lakuin itu pelecehan, saya nggak terima di gituin dan saya nggak mau diem aja karena itu saya balas dendam ke dia. Ini setimpal bagi saya."
Mari lewatkan tentang dia yang mengganggu orang-orang tak bersalah hanya karena bosan. Berucap hiperbola kadang kala di butuhkan di suatu waktu, contohnya seperti siang ini. Bagaimana pun juga Jessica memiliki alasan kuat mengapa ia harus balas dendam kepada manusia siluman kelinci tersebut dan takkan ada satu pun orang yang bisa mengubah pikirannya. Tidak ada.
Pak Henry memberika kode agar pembina BP tersebut tak lagi mendebat Jessica sebab tahu benar, Jessica lebih ahli berbicara di bandingkan mereka berdua. Terlebih-lebih lagi memperpanjang masalah ini takkan berakhir baik bagi pihak sekolah mau pun Alvin. Ini jaun lebih gawat di bandingkan kelihatannya. Pria tersebut menghela napas pendek dan mengangguk kecil. “Tapi sesuai aturan, Jessica. Saya harus manggil orang tua kamu ke sini. Tindakan kamu ini kelewatan, saya nggak bisa ngasih kamu toleransi lagi hanya karena kamu cucu Pak Demian.”
“Saya juga nggak pernah minta di istimewakan,” sahutnya ketus, ia bersikap cuek di kursinya.
Sepersekian sekon kemudian usai mencerna kalimat sang kepala sekolah. Dahi Jessica berkerut ketat dan ia sontak mencondongkan tubuhnya ke depan. “Pak! Bapak bilang Bapak manggil orang tua saya? Sekarang? Hari ini? Seriusan diangkat telepon Bapak?” tanya si gadis poni bertubi-tubi.
Agaknya Pak Henry bingung mengapa Jessica mendadak bertanya seantusias ini dan yang bisa dilakukan adalah memberikan jawaban berupa anggukan nan kaku. “Iya. Katanya sebentar lagi wali kamu datang.”
Entah sadar atau tidak Jessica spontan menarik sudut bibirnya dan segera berbalik memposisikan tubuh lurus ke arah pintu. Isi kepalanya menerka-nerka, siapa yang datang? Eleanor yang katanya ada urusan bisnis di Bogor? Ah, atau Albert yang Demian bilang sedang mengurus anak perusahan baru? Siapa-siapa? Jessica bersemangat sekali menunggu salah satu dari mereka datang sampai-sampai kedua telapak tangannya mencengkeram kepala kursi cukup kuat.
Butuh beberapa saat bagi gadis berponi tersebut melambungkan harapan euforianya dan faktanya hanya perlu satu sekon untuk melunturkan senyumannya. Tangannya jatuh terkulai ke atas pangkuan tatkala melihat Alano di sana. Yang datang sang kakak bukan Mama atau Papa.
Diam-diam Jessica tertawa pahit, ia berharap apa, sih? Tidak mungkinlah orang tuanya mau buang-buang waktu datang kemari mengurusi masalah sepelenya ini jika ada proyek miliaran rupiah sedang berada di depan mata.
Jessica-Jessica, masih aja. Gadis tersebut menyugar rambutnya bersama perasaan kecewa yang datang menghampiri. “Lo mikir apaan sih, bangsat? Sakit sendiri 'kan jadinya?” gumam Jessica getir.
Ketika kedua gurunya sibuk menyambut kedatangan Alano dan bahkan Bu Inda buru-buru menyiakan secangkir kopi. Jessica melompat kecil turun dari kursi dan keluar ruangan kepala sekolah secepat mungkin meski namanya terus-menerus dilantangkan. Ekspresinya muram. Hatinya juga terasa demikian. Jessica tahu bila berharap sesuatu, ia seringkali dihadapkan dengan kekecewaan. Jessica sudah tahu tetapi acapkali selalu bertindak begitu, berharap pada sesuatu yang mustahil.
“Sica! Sica! Sweetheart please, wait me.”
Jessica enggan mendengarkan orang-orang yang juga enggan duduk dan mendengarkannya juga. Maka dari itu kakinya melangkah lebih cepat walau tahu Alano mampu mengejarnya. Sang kakak menarik pelan pergelangan tangan si adik namun gadis berponi tersebut segera menarik lengannya secepat mungkin.
Alano menelan salivanya kasar kala di hadapkan dengan seraut dingin wajah sang adik. “Sica, kamu … i'm sorry.”
Pemuda itu yakin untaian kalimat yang dirinya susun sepanjang perjalanan berisikan berbagai macam runtutan penjelasan bukan pernyataan maaf demikian. Namun penjelasan takkan mengubah keadaan oleh karena itu hanya permintaan maaf yang mampu ia lontarkan. Lidahnya kelu bila berhadapan dengan adik bungsunya ini. Seolah semua kosa kata yang di miliki perlahan menguap dan hilang di telan masa.
“Get out of my face!” tandas Jessica berang dan berbalik pergi.
“Sica, i'm sorry. Really, i don't mean it.”
Jessica menarik kasar tangannya yang lagi-lagi sukses di gapai lawan yang jauh lebih jangkung di bandingkan dirinya, gadis itu buru-buru mengambil jarak lebar antara keduanya sebelum cengekeraman di tangan makin menguat. Sementara irisnya menyorot semakin tajam, ia berujar sembari berusaha keras menekan emosi ke titik nol. “Kenapa Ano yang dateng? Pak Henry bilang tadi nelepon mama atau papa terus kenapa Ano yang ke sini?! Mereka kemana emangnya?! Alasan apalagi kali ini? Apalagi?! Capek tau nggak ngedenger alasan goblok itu lagi, itu lagi! Muak, Ano, muak!”
“S-sicaㅡ”
“See?” Jessica tersenyum penuh luka, mengusap pelan wajahnya dan menatap dengan sorot redup. “Ano nggak perlu merasa bersalah karena mereka aja nggak pernah merasa bersalah dengan apa yang terjadi sekarang. Aku bisa urus diri aku sendiri, dulu ataupun sekarang. Aku mampu. Aku nggak butuh kalian. Silahkan pergi dan jangan usik aku.” Gadis berponi tersebut menarik napas panjang, memejamkan mata sekilas sebelum menambahkan lugas. “Dan jangan ganggu urusan aku. Di sini, aku yang pegang kendali bukan kalian. Permisi!”
Selalu begini.
Selalu berakhir sesuram ini.
Jessica tahu, percakapan mereka takkan pernah berakhir semenyenangkan kakak-beradik lainnya.
Sebab mereka terlalu menciptakan perbedaan besar untuk melakukan itu.
NYAWANYA rasa-rasanya seolah seperti baru saja di tarik dari tubuh kemudian di lepaskan lagi dan mendatangkan rasa sakit pada sekujur tubuhnya. Desisan lantas lolos dari kedua belah bibir pemuda kelinci tersebut, sembari membuka sepasang tirai matanya secara perlahan-lahan guna menyusaikan kontras cahaya matahari yang masuk, Alvin serta-merta membuka mata hanya untuk merasakan kepalanya berdenyut sakit gila-gilaan. Seakan-akan ia baru saja di hantam gada dengan kekuatan maksimal tepat di atas ubun-ubun kepalanya, menghantarkan rasa berkunang-kunang pada pandangannya tiap kali ia bergerak. Pemuda serupa kelinci tersebut berdecak sebal ketika pening di kepala tidak kunjung membaik bahkan setelah ia berusaha tenang guna menetralisir denyutan demi denyutan nan datang, namun nihil, Alvin malah semakin merasa sakit kepala di buatnya. Tangannya pun beralih mengurut pelipis, berharap dapat mengurangi setidaknya sedikit sakit dari kepalanya yang terasa berputar-putar.Alvin mengerjapkan mata be
APABILA kepala sedang berisik, sama bisingnya dengan ingar bingar pasar malam, barangkali memandang sesuatu hal yang indah akan menetralisirkan segala pening bercampur penat pada sekujur tubuh. Sekurang-kurangnya departemen pikiran di dalam otak sekiranya mau ambil rehat sejenak usai berkelahi dengan departemen hati yang selalu enggan berkompromi. Hari ini angkasa menyuguhkan langit biru yang indah, di temani awan-awan dengan beragam bentuk serta mentari yang tampak gagah di singgsananya. Tidak ketinggalan juga semilir angin menyejukkan cuaca panas nan sedang mendera bumi. Kaki-kaki ramping tersebut berayun-ayun ringan berirama selagi dua telapak tangan bertumpu pada pembatas atap bangunan. Tolong jangan mempermasalahkan atau mempertanyakan alasan Jessica untuk duduk di tempat berbahaya demikian, nan sekali salah salah bergerak, maka tewas bukan lagi sekadar kekhawatiran belaka usai jatuh dari ketinggian 25 meter. Jangan terlalu mencemaskan, Jessica sudah biasa melakukan kegiatan ter
DUNIA memang sedang tidak baik-baik saja. Perempuan mawar tersebut mengerjapkan matanya beberapa kali, ia terpaku akan betapa merahnya wajah sang sahabat berponinya yang satu tersebut. Jessica sedang menahan amarah yang bergumul di bawah kulit, bahu sang gadis bahkan sampai naik-turun dengan tangan terkepal kuat di bawah sana. Jessica seolah tampak bersiap guna melepaskan kemurkaan, mengamuk membabi buta dan menghancurkan apa saja yang berada di dekatnya usai mereka sampai di kelas lantaran mereka mendapati meja puan berponi tersebut dengan dekorasi serba merah muda. Tidak hanya itu saja, ada belasan cokelat dan boneka beruang mini nan tersusun rapi dan sialnyaㅡpoin ini yang semakin membuat dia murkaㅡwajah beruang-beruang merah muda tersebut malah berganti dengan foto wajah Jessica. Terdiri dari ekspresi nyeleneh, penuh amarah dan tertawa sampai mulutnya terbuka. Sungguh, apabila tidak ingat akan situasi dan kondisi yang sedang terjadi maka barangkali Rosa hampir meletuskan gelak t
BUKAN Jessica lagi namanya kalau-kalau tidak pernah di perbincangkan dalam sehari. Minimal satu sekali dalam satu hari. Bina Bangsa akan selalu dan wajib gempar dengan segala macam jenis tingkah laku yang Jessica lakukan. Aksinya akan selalu menjadi berita hangat sekolah setiap harinya. Termasuk juga salah satu korban yang nyaris patang tulang kalau-kalau Chelsie tidak datang tepat waktu menenangkan si gadis berponi itu siang ini. Tengah ramai di perbincangkan pada akun sosial media Bina Bangsa. Terdapat ribuan komentar dengan ragam praduga yang di bahas orang-orang. Mempertanyakan alasan apalagi kali ini sampai-sampai gadis berponi mengamuk sedemikian menyeramkannya?Jenna memantai komentar demi komentar dalam kolom postingan. Dia serta-merta geleng-geleng kepala melihat dugaan demi dugaan yang makin lama justru semakin melenceng. Terlampau banyak orang sinting berkedok baik hati dan malah memaki secara daring begini. Ck, ck! Ini adalah salah satu alasan mengapa Jenna terkadang lebih
APA-APA saja yang berhubungan dengan Jessica memang selalu akan tampak menarik untuk di saksikan. Oleh karenanya pemuda kelinci tersebut tidak dapat lagi menahan diri dan meletuskan tawanya dengan terbahak-bahak usai menonton video berdurasi singkat yang di unggah pada salah satu akun sosial media, di mana Jessica lagi-lagi unjuk kebolehannya dalam patah mematahkan tulang manusia bahkan tak hanya video akan tetapi komentar demi komentar yang terus-menerus mengirim kolom postingan juga kapabel membuat perut Alvin tergelitik bukan main sampai-sampai ia berpikir ia bisa saja menangis di buatnya. Tangan pemuda itu juga sampai memukul-mukul sofa markas dan spontan menunjukkan layar ponselnya pada Gerald. "Liat! Liat! Dia naikin kaki ke bahu si ceweknya terus hampir matahin tangannya tapi Chelsie ke buru dateng," Alvin berdecak sebal kemudian. "Kecewa penonton."Kalau kalian semua tidak tahu maka percayalah bahwa saat ini rasa ingin menghantam Alvin dengan buku-buku di hadapan benar-benar me
ENTAH ada kehebohan atau kegemparan apa pun dan di mana pun, dunia selalu terlihat baik-baik saja. Tidak tersentuh. Tidak terdistraksi. Tidak terusik. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa dan selalu berjalan tanpa mengenal jeda. Yah, entah apa-apa saja yang terjadi memang sudah semestinya semesta bergerak, mau siap atau tidak, dunia akan terus berlanjut dengan atau tanpa segelintir orang. Sepanjang perjalanan alunan melodri dari lagu one last time yang di populerkan oleh Ariana Grande menjadi teman. Mengisi kekosongan dan hampa dalam mobil selagi mesin terus bekerja keras melaju mengikuti rute jalan yang tengah di tuju. Jalanan yang tidak pernah sepi, jalanan yang tidak pernah kehilangan peminat, jalanan yang tidak pernah lengang, jalanan yang tidak pernah di tinggalkan. Jalanan yang selalu di dambakan semua orang meski kadang kala acapkali merenggut nyawa. Ah, filosofinya mulai terasa biru di tengah-tengah perasaan berkecamuk ini. Barangkali hanya sesederhana saja, di mana jalan ini
APAKAH pernah malam terasa senyap dan sunyi? Yang benar-benar senyap tanpa secuil kegaduhan apa pun dan kebisingan tidak berarti nan kapabel mengganggu ketenangan kendati waktu beraktivitas seharusnya telah rampung terlaksanakan tatkala mentari telah usai menyampaikan salah perpisahan, hilang di ufuk barat dan berjanji akan datang keesokan harinya? Apakah pernah? Ia rasa tidak. Malam nan gelap gulita selalu menyimpan cerita akan alur takdir mereka masing-masing.Alur yang tidak pernah bisa di hindari. Jessica tidak punya pilihan lain selain setuju. Meski pun jarum jam telah berdentang-dentang menunjukkan eksistensi kedatangan malam. Segelintir orang barangkali masih merasa enggan untuk berhenti hanya karena masalah batas waktu antara siang dan malam. Akan selalu ada alasan yang mendasari penyataan mereka tersebut nan terasa wajib untuk segera di tuntaskan sebelum mimpi membuai raga saat terlelap. Yah, tidak usah jauh-jauh, contoh nyatanya saja adalah dirinya sendiri malam ini. Ah, sia
SEAKAN tidak mengenal kata jeda, dunia Jessica selalu saja terguncang hebat. Tiada henti-hentinya di guyur hujan badai, petir berkepanjangan dan angin kencang yang tidak pernah mau berdamai. Negosiasi sepenuhnya tertolak. Memporak-porandakan hidup yang di perjuangkan mati-matian oleh gadis manis tersebut merupakan hal yang barangkali sangat menyenangkan untuk alam semesta lakukan. Menarik ulur tempo kehidupan. Merumitkan segala hal. Kadang kala menaikkan raga hingga ke awang-awang, akan tetapi dalam sekejap mata sudah di jatuhkan lagi menuju dasar bumi. Ketenagan selalu sukar di dapati pada Jessica yang juga akhirnya memilih membalas semua penderitaan yang dunia berikan padanya. Di lakukan guna membuat hidupnya terasa lebih berisik daripada apa pun. Di bandingkan apa pun. Membuat dirinya jauh lebih sibuk daripada siapa pun.Dengan cara menghancurkan sekitarnya.Dunia terlalu berengsek untuk bisa ia hargai sistematis cara kerjanya. Angkasa biru terasa jauh lebih cerah hari ini di band
APABILA di umpakan secara gamblang, transparan dan tepat sasaran. Barangkali kejengkelan nan sedang menggerogoti jantung sekaligus hatinya telah menyerupai gunung aktif yang siap memuntahkan lahar panas guna membumi hanguskan sekitarnya. Menghancurkan setiap sentinya. Melenyapkan setiap eksistensi yang terlihat. Begitu pendeskripsian isi hati seorang Alvin sekarang ini. Dia sangat amat muak menghadapi situasi yang sama berulang-ulang kali. Hingga rasanya si lelaki bisa melakukan apa saja untuk menyingkir masalah nan sedang mengganggu kesehariannya tersebut. Jujur saja, bukankah dia lahir tanpa setangki kesabaran melimpah? Hei, dia jelas-jelas bukan badan amal. Mana sudi ia bersikap sabar terhadap orang-orang yang bahkan tidak ingin bersikap sabar atas dirinya; egois memang, akan tetapi Alvin mana mau repot-repot peduli.Emosi yang kini menguasai dadanya benar-benar tidak terbendung lagi, jadi Alvin harus memprioritaskan hati dan batinnya. Ini tidak bisa di tunda-tunda lagi jikalau tida
KABAR kembalinya sang penguasa Bina Bangsa menyebar dengan cepat yang bahkan tidak genap satu hari setelah beritanya masuk menuju masing-masing ponsel warga sekolah. Termasuk adegan epik sang tuan putri dalam melancarkan aksi balas dendamnya begitu menginjakkan kaki di sekolah. Memang tidak ada bukti fisik seperti video atau pun foto, akan tetapi hal ini mutlak mengirim teror bagi siapa-siapa saja yang telah lancang mengusik tiga sahabat gadis penguasa tersebut. Selepas fakta mengenai Chika menjalar bagaikan tanaman rambat, informasi baru dari korban-korban yang Jessica gasak habis di hari yang sama mulai simpang siur terdengar. Bahwa pembalasan dendam Jessica bukanlah lelucon semata. Tiada satu pun dari mereka yang berani membayangkan akan sesuram apa hari esok. Akan setegang dan seberisik apa Bina Bangsa esok, namun yang pasti, Jessica telah mendeklarasikan peperangan dan takkan ada yang bisa kabur dari cengkeramannya.Yah, terserah dengan apa yang akan terjadi. Alvin tidak peduli.
APABILA bundaran oranye tersebut dapat berbicara, barangkali serangkaian kalimat makian sudah terlontar kepada manusia kelinci yang masih bebal melantunkan bola basket nan kusam itu menuju ring walau telah terpeleset berulang kali. Alvin tetap bersikukuh melanjutkan permainan seorang diri di markas kumuh ini. Tempat terakhir ia benar-benar bertemu Jessica. Tempat yang menjadi saksi bisu akan seberapa besar perasaannya untuk gadis nakal tersebut. Oleh sebab itu ujung-ujungnya Alvin melarang keras yang lain datang ke tempat ini. Alasannya karena takut kenangannya dengan Jessica pudar begitu saja. Jelas, awal-awalnya muncul pertentangan akan tetapi jikalau Alvin sudah berkehendak. Siapa yang berani menantang memangnya? Cari mati namanya.Yah, setidaknya sampai Jessica kembali.Iya, begitu.Namun, kapan gadisnya akan kembali?Apa setelah mereka lulus SMA?Ah, sial! Perasaannya semakin memburuk bahkan hanya dengan memikirkannya saja. Alvin tentu saja tidak tahu apa-apa. Dia ini merupakan o
PEMANDANGAN danau indah, secangkir kopi dan sepirinh roti panggang hangat. Perpaduan ini membuat Jessica merasa jauh lebih hidup di bandingkan yang sudah-sudah. Seolah ia baru saja menjadi manusia seutuhnya sekarang. Sebab sepanjang hidup, baru kali ia tidak bangun dengan beban berat pada pundak. Tidak ada lagi mimpi buruk yang mencekam. Tidak ada lagi sesak dalam dada. Tidak ada lagi pening yang menyerang kepala. Tubuhnya sungguh-sungguh terasa ringan hingga menjalani rutinitas santai begini membuat senyuman manis di bibir terbit dengan begitu cerah. Jessica menghembuskan napas pendek, mengeluarkan ponsel yang Bastian berikan padanya dan mulai memotret tiap sudut tempat nan ia rasa tampak cantik untuk di abadikan oleh kamera ponselnya.Jessica memang belum sepenuhnya terbiasa. Bahasa dan budaya mereka jelas berbeda dengan keseharian yang dulu biasa ia jalani. Jessica juga belum pernah tinggal begitu lama di negeri orang lain selain hanya singgah guna menemani sang kakek bekerja atau
DUA minggu. Empat minggu. Kemudian sudah genap satu bulan. Lambat laun bertambah hari demi hari. Tahu-tahu sudah lebih dari satu minggu lagi. Lalu bulan lagi. Begitu terus. Detik berganti menit. Menit berganti jam. Jam berganti hari. Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Tepat lima bulan kepergian Jessica dari hidupnya dan Alvin tidak pernah merasa kehilangan seperti ini sebelumnya. Alvin tidak pernah merasa hidupnya sehampa ini. Tidak pernah merasa jikalau hidupnya akan seberat ini tanpa kehadiran gadis barbar kesayangannya itu. Alvin tidak pernah mengira bahwa ketiadaan Jessica dalam poros dunianya benar-benar melumpuhkan nyaris seluruh engsel kehidupannya, dan membuat dia terus berlari dari getirnya fakta bila saat ini dia benar-benar di tinggalkan tanpa salam perpisahan.Jantungnya berdenyut ngilu.Alvin tidak pernah tahu bahwa merindukan seseorang bisa membuatnya gila seperti ini. Entah sudah berapa orang yang ia pukuli hari ini. Entah sudah berapa kayu yang ia patahkan ka
SEBUT saja dia gila. Bastian tidak keberatan. Sama sekali tidak masalah di maki demikian sebab orang waras mana yang dengan kesadaran penuh membawa kabur seorang cucu perempuan satu-satunya dari keluarga konglomerat Atriyadinata? Cuma dia. Secara teknik memang tidak dapat di sebut menculik akan tetapi tetap saja Bastian terlibat sebagai kaki tangan. Apabila sang kakek tahu, tanpa sempat menjelaskan maka namanya sudah terlebih dahulu terukir di batu nisan. Mengesankan. Bastian tidak belajar mati-matian dari dulu hanya untuk menghancurkan hidupnya di masa depan nanti. Tidak. Enak saja. Bastian belajar seperti kiamat akan datang esok hari karena ingin segera hidup mandiri dan terlepas dari sistem politik keluarga. Dia sudah muak harus mendengarkan sang ibu menjelek-jelekkan anggota keluarga lain. Masih baik dia tidak terkontaminasi, tidak seperti saudaranya yang lain.Kendati demikian, walau sudah membuat heboh keluarga, tampaknya si pelaku tidak terlihat merasa bersalah sedikit pun. Di
GELEGAK amarah. Urat saraf yang menonjol. Wajah memerah penuh resah. Ekspresi keruh terang-terangan menyatakan isi hati. Layar demi layar di depan mata nan menampilkan rekaman CCTV beberapa lokasi tidak berhasil membuatnya puas. Demian makin murka. Dalam satu kali gerakan, dia menghempas kasar benda-benda berteknologi canggih tersebut. "KALIAN SEMUA TIDAK BECUS! UANG YANG SAYA KELUARKAN SELAMA INI UNTUK KALIAN TERNYATA SIA-SIA! SAYA INGIN CUCU SAYA DI TEMUKAN TAPI KALIAN SEMUA TIDAK MAMPU MELAKUKAN ITU! APANYA YANG SULIT MENCARI SEORANG ANAK PEREMPUAN YANG MASIH SMA?! KELUAR KALIAN DARI RUMAH SAYA! DASAR TIKUS-TIKUS KOTOR! JANGAN PIKIR UNTUK KEMBALI MENGINJAKKAN KAKI DI SINI SEBELUM CUCU SAYA DI TEMUKAN ATAU KALIAN AKAN TAU APA AKIBAT GAGAL MENJALANKAN TUGAS DARI SEORANG DEMIAN! CAMKAN ITU!"Satu minggu berlalu sejak menghilangnya Jessica. Entah sesakit apa hati anak malang tersebut sampai-sampai memilih untuk pergi. Demian gagal menjadi rumah bagi cucunya. Demian gagal menjadi zona a
JESSICA benar-benar lenyap begitu saja. Bagaikan di telan bumi dan terdampai di dunia antah berantah. Tidak dapat terdeteksi. Tidak dapat di telusuri. Tidak dapat di temukan. Kabar menghilangnya cucu bungsu dari keluarga konglomerat Atriyadinata memang tidak di beritakan pada surat kabar, berita di TV atau pun pada seluruh platform media sosial. Namun satu hal pasti, ketidakhadiran puan tersebut secara mendadak jelas-jelas menggemparkan seisi sekolah. Entah itu murid-muridnya, guru berserta staff dan sekaligus pedagang di kantin. Ketiadaan eksistensi Jessica sungguh-sungguh menjadi topik hangat bahkan usai genap seminggu sang penguasa sekolah tersebut menghilang tanpa kabar. Beberapa dari mereka berusaha menggali informasi dari sumber pasti, tentu itu adalah tiga sahabat sang topik utama Bina Bangsa, akan tetapi seperti yang telah di terka-terka, mereka sempurna dalam kebungkaman. Lebih tepatnya mereka sama sekali tidak tahu-menahu mengenai keberadaan Jessica sekarang. Hembusan na
ORANG-ORANG dulu berkata bahwa rumah adalah tempat paling aman, nyaman dan tepat untuk beristirahat dari berisiknya hiruk-pikuk dunia. Kehangatannya akan mampu meluruhkan segala penat dan lelah tanpa pamrih. Di semua buku, selebaran, iklan atau penjelasan literatur pun mengatakan hal serupa. Rumah adalah tempat kau untuk pulang. Setidaknya itu yang mereka ingin bagikan ke seluruh umat manusia. Tapi sialnya, tidak semua dari mereka memaparkan lebih detail mengenai rumah macam apa yang baik guna menyambut rusaknya jiwa akan permainan benang takdir. Atas segala ujian alam bagi tiap-tiap mereka yang bernapas. Mereka lupa menambah satu paragraf kenyataan bahwa tidak semua rumah itu terasa seperti pulang. Kadang kala justru mirip seperti neraka. Memang tidak panas, namun gelegak amarah yang terus-menerus mendidih, lontaran makian, teriakan melengking, barang demi barang melayang, tuduh menuduh dan sejenisnya. Mana mungkin tempat yang terasa seperti arena peperangan tersebut cocok di katakan