Share

BAB 7 : Sebuah Harapan

JADI … ” Pria yang menjabat sebagai kepala sekolah tersebut memejamkan mata erat bukan main sembari mengurut pelipisnya. Niat hati ingin mengusir denyutan pening di kepala namun menyadari betul bahwa gadis berponi di depannya tidak merasa bersalah sedikitpun. Pak Henry mulai panas. “ … kamu ngelakuin itu buat bales dendam?”

Tolong katakan bahwa Pak Henry salah lihat saat Jessica tengah memberikan senyuman serta mengangguk penuh keyakinan sekarang?

“Iya, Pak.”

“Ini mainan?” tanya sang kepala sekolah dengan nada serak; nyaris mengalami trauma pada benda hitam di atas mejanya itu.

Jessica lagi-lagi mengirim dua anggukan. “Benar sekali.”

Kehabisan kata. Tak ada lagi kalimat yang sanggup Pak Henry maupun Bu Inda keluarkan untuk Jessica. Kosa kata kemarahan mereka sudah tandas terlempar namun yang menjadi target sangat-sangat gesit menepis. Tentu, gadis biang onar tersebut harus segera diproses lantaran telah membuat satu sekolahan gempar karena senjata mainannya ini. Bahkan korban Jessicaㅡsebut saja Alvinㅡsampai tak sadarkan diri karena ulah si empu.

Atensi kedua orang tua tersebut terpusat lagi pada Jessica yang mendesis, menyilangkan kaki di kursi dan memandang mereka bergantian dengan ekspresi sulit. “Kira-kira Alvin mati nggak ya, Pak?”

Ya Tuhan! Tolong! Kenapa Engkau kirim hamba-Mu yang luar biasa unik dan spesial ini pada kami?! Bukan main stres kami menghadapinya, astaga!

“Jessica, kamu tau kalau bercandaan kamu sekarang itu kelewatan?” ujar Bu Inda, suaranya memberat seiring maniknya yang menatap lekat-lekat pada sang murid. “Kamu bikin orang-orang panik bahkan staf sekolah nyaris nelepon polisi gara-gara … benda mainan ini, Jessica. Apa salahnya kamu bersikap tenang dengan kepala dingin alih-alih bikin keributan begini? Kamu perempuan, Nak. Nggak baik begitu. Kamu ngerti kesalahan kamu nggak, sih?”

“Terus Ibu ngerti perasaan saya gimana?” balas Jessica cepat. Ekspresinya terkontrol sempurna bersama pundaknya yang ditegapkan.

Bu Inda sepenuhnya menatap tak mengerti seraya mengerutkan kening. “Maksud kamuㅡ”

Kalimat sang guru terpotong tatkala Jessica memiringkan kepala, mengepalkan tangan diam-diam dan menyela sembari mengulas senyum tipis. “Alvin nyium saya tanpa izin dan wajar saya ngebales. Saya rasa saya udah ngejelasin detailnya selama lebih kurang sepuluh menit. Bahkan bikin dia pingsan nggak bakalan mengurangi kebencian dan dendam saya. Ini badan saya dan saya berhak ngebalas siapapun yang berani-berani nyentuh saya tanpa izin. Ibu bilang Ibu perempuan, tapi kenapa cuma ngeributin persoalan balas dendam dibandingkan hal berengsek yang Alvin lakuin ke saya?”

Tampaknya Bu Inda tak menyangka akan diserang begini, ia mengerjap kaku. “B-bukan begitu maksud Ibu, Jessica. Ibu cumaㅡ”

“Bu, sebajingan-bajingannya saya, saya nggak pernah tuh bikin ulah sampai masuk BK selain dengan orang-orang yang ngusik saya duluan dan Alvin mulai duluan, Bu. Harga diri saya dianggap enteng sama dia dan Ibu minta saya tenang? Nggak bisa, Bu. Masalah itu ngomong aja ke tembok bukan ke saya,” tandas Jessica, rahangnya mengetat hebat di sana bersama iris meredup dingin.

Mari lewatkan tentang dia yang mengganggu orang-orang tak bersalah hanya karena bosan. Berucap hiperbola kadang kala dibutuhkan di suatu waktu, contohnya seperti siang ini.

Pak Henry memberika kode agar pembina OSIS tersebut tak lagi mendebat Jessica sebab tahu benar, Jessica lebih ahli berbicara dibandingkan mereka berdua. Pria tersebut menghela napas pendek dan mengangguk kecil. “Tapi sesuai aturan, Jessica. Saya harus manggil orang tua kamu ke sini. Tindakan kamu ini kelewatan, saya nggak bisa ngasih kamu toleransi lagi hanya karena kamu cucu Pak Demian.”

“Saya juga nggak pernah minta diistimewakan,” sahutnya ketus.

Sepersekian sekon kemudian usai mencerna kalimat sang kepala sekolah. Dahi Jessica berkerut ketat dan ia sontak mencondongkan tubuhnya ke depan. “Pak! Bapak bilang Bapak manggil orang tua saya? Sekarang? Hari ini? Seriusan diangkat telepon Bapak?” tanya si gadis bertubi-tubi.

Agaknya Pak Henry bingung mengapa Jessica bertanya seantusias ini dan yang bisa dilakukan adalah memberikan jawaban berupa anggukan nan kaku. “Iya. Katanya sebentar lagi wali kamu datang.”

Entah sadar atau tidak Jessica spontan menarik sudut bibirnya dan segera berbalik memposisikan tubuh lurus ke arah pintu. Isi kepalanya menerka-nerka, siapa yang datang? Eleanor yang katanya ada urusan bisnis di Bogor? Ah, atau Albert yang Demian bilang sedang mengurus anak perusahan baru? Siapa-siapa? Jessica bersemangat sekali menunggu salah satu dari mereka datang sampai-sampai kedua telapak tangannya mencengkeram kepala kursi cukup kuat.

Butuh beberapa saat bagi gadis berponi tersebut melambungkan harapan euforianya dan faktanya hanya perlu satu sekon untuk melunturkan senyumannya. Tangannya jatuh terkulai ke atas pangkuan tatkala melihat Alano di sana. Yang datang sang kakak bukan Mama atau Papa.

Diam-diam Jessica tertawa pahit, ia berharap apa, sih? Tidak mungkinlah orang tuanya mau buang-buang waktu datang kemari mengurusi masalah sepelenya ini jika ada proyek miliaran rupiah sedang berada di depan mata.

Jessica-Jessica, masih aja. Gadis tersebut menyugar rambutnya bersama perasaan kecewa yang datang menghampiri. “Lo mikir apaan sih, bangsat? Sakit sendiri 'kan jadinya?” gumam Jessica getir.

Ketika kedua gurunya sibuk menyambut kedatangan Alano dan bahkan Bu Inda buru-buru menyiakan secangkir kopi. Jessica melompat kecil turun dari kursi dan keluar ruangan kepala sekolah secepat mungkin meski namanya terus-menerus dilantangkan. Ekspresinya muram. Hatinya juga terasa demikian. Jessica tahu bila berharap sesuatu, ia seringkali dihadapkan dengan kekecewaan. Jessica sudah tahu tetapi acapkali selalu bertindak begitu, berharap pada sesuatu yang mustahil.

“Sica! Sica! Sweetheart, please, wait me.”

Jessica enggan mendengarkan orang-orang yang juga enggan duduk dan mendengarkannya juga. Maka dari itu kakinya melangkah lebih cepat walau tahu Alano mampu mengejarnya. Sang kakak menarik pelan pergelangan tangan si adik namun gadis berponi tersebut segera menarik lengannya secepat mungkin.

Alano menelan salivanya kasar kala dihadapkan dengan seraut dingin wajah sang adik. “Sica, kamu … i'm sorry.

Pemuda itu yakin untaian kalimat yang dirinya susun sepanjang perjalanan berisikan berbagai macam runtutan penjelasan bukan pernyataan maaf demikian. Lidahnya kelu bila berhadapan dengan adik bungsunya ini. Seolah semua kosa kata yang dimiliki perlahan menguap dan hilang ditelan masa.

Get out of my face!” tandas Jessica dan berbalik pergi.

“Sica, i'm sorry. Really, i don't mean it.

Jessica menarik kasar tangannya yang lagi-lagi sukses digapai, gadis itu buru-buru mengambil jarak lebar antara keduanya. Sementara irisnya menyorot semakin tajam, ia berujar sembari menekan emosi ke titik nol. “Kenapa Ano yang dateng? Pak Henry bilang tadi nelepon mama atau papa terus kenapa Ano yang ke sini?”

“S-sicaㅡ”

See?” Jessica tersenyum penuh luka, mengusap pelan wajahnya dan menatap dengan sorot redup. “Ano nggak perlu merasa bersalah karena mereka aja nggak pernah merasa bersalah dengan apa yang terjadi sekarang. Aku bisa urus diri aku sendiri, dulu ataupun sekarang. Aku mampu. Aku nggak butuh kalian. Silahkan pergi dan jangan usik aku.” Gadis berponi tersebut menarik napas panjang, memejamkan mata sekilas sebelum menambahkan lugas. “Dan jangan ganggu urusan aku. Di sini, aku yang pegang kendali bukan kalian. Permisi!”

Selalu begini.

Selalu berakhir sesuram ini.

Jessica tahu, percakapan mereka takkan pernah berakhir semenyenangkan kakak-beradik lainnya.

Sebab mereka terlalu menciptakan perbedaan besar untuk melakukan itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status