Share

BAB 6 : Pistol

TAHU apa yang dilakukan Alvin ketika bertemu Jessica pukul 08:56 di lapangan Bina Bangsa?

Tentu, pemuda kelinci tersebut bersikap sesuka hati sampai-sampai berani datang telat dan berujung dihukum bersama Jessica; lagi-lagi menghormat bendera dengan murid-murid lainnya. Lagi, Alvin seakan lupa atas perbuatan kurang ajarnya tempo hari dan Jessica harus rela tangannya berhenti mengayun tatkala sebuah pertanyaan dilemparkan kepadanya yang dibalut nada suara penasaran bukan kepalang dan seraut wajah serupa.

“Lo punya pacar, Jes?”

Ya Tuhan! Cobaan macam apalagi ini?!

Gadis berponi tersebut memejamkan matanya, menurunkan tangan dan berusaha mengatur napas agar tidak meledakkan bom nuklir di sini. Perasaannya makin jengkel saat ia meniup poninya kasar. Jessica bahkan tidak punya kalimat baru lagi untuk memaki Alvin lantaran semua kosa kata dalam kamus sudah ia keluarkan semua.

Pertanyaan ada satu, jadi Jessica dulunya betulan pengkhianat negara, ya? Tolong jawab! Atau setidaknya berikan solusi bagaimana caranya mendepak Alvin jauh-jauh dari hidupnya.

Alvin mendesis samar seiring maniknya menerawang, menerka-nerka jawaban yang akan ia terima tampaknya sebelum menunduk dan tahu-tahu sudah dihadapkan dengan wajah beringas Jessica. Ia perlahan bergerak keluar dari barisan sembari mengangkat tangan dan nyengir lebar, “Nggak mau damai di pagi cerah iniㅡ”

“MIKIR, BANGSAT! ELO MULU YANG MANCING EMOSI GUE! DEKETAN LO, ANJING!”

Seperti yang sudah-sudah.

Jessica mengamuk lagi. Gadis itu menyambar kumpulan tas milik para murid yang telat dan melemparkannya secara membabi-buta ke arah Alvin. Pemuda itu bergerak lincah sekali menghindari serangan demi serangan dan hal itu sukses membuat Jessica makin murka. Kalau kalian ingin tahu, Jessica persis seperti hulk versi perempuan dan … syukurnya tidak hijau.

Sementara orang-orang ikut sibuk memungut tas mereka yang menjadi korban keganasan Jessica. Mereka buru-buru keluar memberi jarak tatkala gadis barbar tersebut tahu-tahu mengeluarkan pistol dari saku dalam almamaternya dan langsung menodongkannya pada Alvin.

Alvin melotot sempurna. Satu lapangan syok berat. Mereka buru-buru berjongkok dalam-dalam, total ketakutan dan kaki-kaki mereka tak mampu beranjak pergi sebab membeku di posisi. Bukan rumor lagi. Jessica betulan gila! Astaga! Nyawa mereka tengah terancam apalagi Alvin yang menjadi target utama.

“Jes, gila lo, anjing! Gue masih mau hidup!” seru Alvin panik.

Helaan kasar napas si gadis menjadi respon awal, pistol berwarna hitam legam itu ia gesekkan ke pelipis kepalanya dan menatap nyalang pada Alvin. “Lo duluan yang mulai ya, anjing! Jangan belaga bego lo!”

“Itu senjata api, berengsek! Lo dapet di mana tuh senjata?! Di pasar gelap, 'kan? Ngaku lo?! Ilegal, Jessica! Istighfar!” Alvin pelan-pelan melangkah mundur, sungguh, ia takut kabur jika hanya akan menimbulkan lubang di perutnya nanti. Tidak! Terima kasih! Alvin masih ingin hidup sehat danㅡsial! Perkataannya malam tadi sepenuhnya bercanda! Alvin masih mau hidup!

Jessica menyeringai selayaknya psikopat, terkekeh-kekeh kecil dan terbahak ujungnya. “Bukannya gue udah bilang ya kalau lo bakalan mampus kalau megang-megang gue?”

Ya Tuhan! Kaki Alvin tremor parah! Bagaimana kalau Jessica tidak bercanda dan menembaknya dengan pistol itu? Lolos dari hukum atas pembunuhan berencana tentu akan sangat mudah bagi si gadis sementara membeli senjata api itu saja bisa dilakukan dalam semalam. Tapi … kalau ditanya Alvin menyesal telah mengecup Jessica maka jawabannyaㅡIYALAH! Hidupnya tengah dipertaruhkan sekarang.

Pemuda kelinci tersebut mengangkat telapak tangannya yang berkeringat dingin, memberikan sinyal agar setidaknya Jessica tenang. “J-jes, kita omongin baik-baik, ya. Gue kasih kompensasi, deh. Anjing, Jes! Gue masih mau nikahin lo di masa depan, bangsat! Gue masih punya mimpi buat jadi menantu konglomerat, sial!”

Alvin sadar posisi tidak sih sekarang?! Nyawanya sedang dalam bahaya dan malah sempat-sempatnya berkata demikian? Mau sinting sampai akhir hayat, ya?!

“Mati lo, bangsat!”

Ketika Jessica mengarahkan pistolnya lagi secara akurat pada pemuda kelinci tersebut. Teriakan familiar menggema di lorong koridor. Jenna melotot tak percaya. Sejak kapan Jessica berani membeli senjata api itu?!

“SICA! GILA LO, HAH?! PISTOL SIAPA ITU, SIAL! BUANG! BUANGㅡhmmph.”

Mulut gadis kucing tersebut dibekap dari belakang dan menemukan Chelsie sebagai pelaku. Alih-alih panik seperti biasanya bila Jessica mengamuk atau menggila. Sang sahabat malah tenang dan mengiriminya seulas senyuman menyejukkan. “Biarin aja. Dia bisa tanggung jawab sendiri.”

Jenna menatap tak percaya. “Lo mau dia jadi pembunuh, Sie? Gila lo, ndrooo!”

“Sudahlah, Jennady. Biarkan dia masuk penjara, entar penjaranya juga disulap jadi hotel berbintang 99. Jangan khawatir gitu, ah,” sahut Rosa ringan yang sibuk mengigit sosis ayam di tangan.

Orang-orang sudah mulai berhamburan keluaran sebab berita Jessica menodongkan pistol telah tersebar secepat hembusan angin ke seluruh penjuru Bina Bangsa. Pekikan kaget bersahutan di lorong sekitar lapangan bahkan kepala sekolah, Pak Henry, sampai-sampai berlari tergopoh-gopoh ke lapangan utama guna mendapati cucu pemilik yayasan menggenggam senjata api dengan tekad kuat di arahkan pada salah satu muridnya.

Jenna menggeleng samar, mulai menyusun teka-teki dalam benak. “Kalian beneran ikutan sintingㅡhmmph.”

Rosa buru-buru menyumpal mulut sang sahabat dengan sosis bekas gigitannya. “Saksikan saja sambil makan sosis, Nady. Ssstt!”

“Mending lo sebutin kata-kata terakhir lo sebelum gue kirim ke tanah. Cepat!” tandas Jessica tajam tanpa memperdulikan bisikan-bisikan mengatainya di sekeliling.

Wajah Alvin makin pucat. Mungkin nyawanya sudah hilang setengah sekarang. “J-jes, kita omongin secara kekeluargaan aja, ya. Anjir, Jes. Gue masih SMA! Yakali mesti mati mengenaskan begini! Yang elit dikit, kek!”

Jessica berdeham agak lama sebelum mengarahkan pistolnya ke sekitar dan sukses menyulut teriakan ketakutan. Ia berkacak pinggang dan sebelah tangannya kembali menodongkan benda itu ke arah Alvin. “Awalnya gue mau nyulik lo terus gue tenggelamin lo di selat malaka setelah gue ngasih lo makan di kapal yacht kesayangan nyokap gue. Tapi nggak jadi,” ujarnya sembari menatap datar. “Lo terlalu bajingan buat dapet hal mewah itu. Sekarang, ucapkan selamat tinggal kepada dunia! HAHAHAH! MATI LO!”

“Jes, ampun!”

“HAHAHAH! MATI LO, BANGSAT! HAHAHAHAHAHAHAH!”

“JESSICA! JANGAAAN, NAK!”

“SICA, JANGAAAAAN!”

Dor!

Ketika seluruh manusia di sana sibuk menutupi matanya lantaran tak ingin melihat mayat bersama genangan darah. Rosa dan Chelsie bertepuk tangan meriah seolah mendukung aksi gila sahabatnya sementara Jenna mematung. Cengo parah! Iris kucingnya menatap tak percaya pada pistol di tangan Jessica yang alih-alih mengeluarkan peluru seperti di film-film laga malah mengeluarkan gelembung balon yang banyak usai suara tembakan mengudara keras.

Jenna terperangah, “Pa-palsu?”

Rosa berteriak bagaikan seremoni kemenangan. “WOOO! GOOD JOB, BITCH!

Gadis berponi tersebut melirik lucu sejenak kepada tiga sahabatnya kemudian merunduk kecil ke arah seluruh orang seolah melakukan salam penutup dengan hormat. “Silahkan datang di pertunjukan selanjutnya.”

Yeaah, pistol balon yang di jual-belikan secara murah dan mudah pada online shop. Jessica pikir cara ini takkan berhasil membalas perbuatan kurang ajar Alvin. Ternyata ide Chelsie cukup bahkan sangat-sangat ampuh dijadikan solusi bagi Jessica yang berniat mau membunuh Alvin betulan tadi malam.

Jessica menatap Alvin lucu kemudian. “Goodbye, loser?

Bruk!

“PAK! ALVIN PINGSAN, PAK!”

Jessica membuka mulutnya terkejut, tak tahu kalau Alvin akan sekaget dan sesyok itu sampai-sampai … mentalnya terguncang? Pingsan betulan lagi. Wow! Pembalasan dendamnya sukses besar.

“JESSICA! KE RUANGAN SAYA SEKARANG!”

Jessica tersenyum meringis setengah bergidik. “Whoopsie! Sorry, Headmaster.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status