KENDATI tahu dan mengenal diri sendiri dengan baik, maka lebih dari siapa pun Alvin mengetahui dengan benar bahwa dalam hidupnya tantangan nan memicu adrenaline merupakan kegiatan harian yang paling ia sukai. Lebih dari apa pun. Karena dengan melakukannya ia dapat menikmati hidup penuh keseruan tiada tara dan tidak perlu mendekam di dalam kamar di gelung kebosanan. Ew! Alvin tidak ingin menghabiskan waktu mudanya hanya dengan menatap dinding kamar, buku-buku, bangunan sekolah dan bersikap baik sebagai seorang murid. Tidak, tidak. Alvin menolak untuk hidup semembosankan itu. Jadi oleh sebab itu, tahu apa yang Alvin lakukan ketika bertemu Jessica pada puku. 08:56 WIB di lapangan utama Bina Bangsa?
Tentu saja. Pemuda kelinci tersebut bertingkang laku sesuka hati sampai-sampai berani datang telat dan berujung di hukum bersama Jessica; lagi-lagi menghormat bendera, bedanya kali ini ada beberapa murid yang juga menemani mereka berdua, dua penguasa sekolah. Pun laki-laki itu seolah lupa atas perbuatan kurang ajarnya tempo hari dan Jessica harus rela tangannya berhenti mengayun penuh kemarahan tatkala sebuah pertanyaan di luar nalar di lemparkan kepadanya yang mana di balut dengan nada suara penasaran bukan kepalang dan juga seraut wajah serupa. Berharap mendapat jawaban atas tanda tanya besar di kepala.
“Lo punya pacar, Jes?”
Ya Tuhan! Cobaan macam apalagi ini?!
Gadis berponi tersebut memejamkan matanya erat-erat, spontan menurunkan tangan dan berusaha mengatur napas agar perasaan emosionalnya terkendali untuk tidak meledakkan bom nuklir di sini. Rasa jengkelnya makin menjadi-jadi saat ia meniup poninya kasar. Total tidak mengerti akan bagaimana sebenarnya Alvin dan otak laki-laki itu bekerja. Jessica betulan tidak punya kalimat baru lagi guna di jadikan sumpah serapah kepada siluman kelinci tersebut lantaran semua kosa kata dalam kamus telah ia keluarkan tanpa sisa.
Ini semakin di luar kendalinya. Jessica benar-benar tidak sanggup lagi.
Hingga satu pertanyaan muncul di benaknya tiap kali ia merasa seperti sedang sial tak sengaja memakan makanan basi. Apakah dahulu kala Jessica adalah seorang pengkhianat negara sampai-sampai mendapat ujian coba berupa makhluk hidup sinting berupa Alvin itu?! Tolong jawab! Jessica berhak mendapat penjelasan atas kondisi tidak masuk akal ini atau setidaknya berikan ia solusi bagaimana caranya agar dapat mendepak Alvin jauh-jauh dari hidupnya? Sederhana aja. Jessica ingin manusia gila ini segera enyah atau punah dari bumi!Tidak kunjung mendapat jawaban dari si empu nan sepenuhnya terdiam pada posisi, Alvin lantas mendesis samar seiring maniknya menerawang bebas ke atas langit, mulai menerka-nerka jawaban yang barangkali akan ia terima dari lawan bicara. Ketika baru saja menunduk ia tahu-tahu telah di hadapkan dengan wajah beringas Jessica. Ia meringis, tersenyum kaku dan perlahan bergerak keluar dari barisan sembari mengangkat tangan di udara tanda menyerah. Alvin melempar cengiran lebar. "Nggak mau damai di pagi cerah ini gitu? Nggak baik, lho, pagi-pagi udahㅡ"
“MIKIR, BANGSAT! ELO MULU YANG MANCING EMOSI GUE! DEKETAN LO, ANJING!”
Seperti yang sudah-sudah.
Jessica mengamuk lagi. Untuk ke sekian ribu kalinya dengan penyebab yang sama, yaitu Alvin. Gadis berponi tersebut langsung menyambar kumpulan tas milik murid-murid nan ikut terlambat bersamanya dan mulai melemparkan tas-tas tidak bersalah tersebut secara membabi buta ke arah Alvin laksana tengah membayangkan bahwa dia sedang melempar bom granat agar manusia menyebalkan itu meledak dan tercerai berai tubuhnya tanpa sisa. Sementara itu laki-laki kelinci di sana bergerak lincah sekali guna menghindari serangan demi serangan dan berkat itu kemurkaan Jessica semakin berapi-api. Kalau-kalau ingin tahu, Alvin bisa katakan bahwasanya Jessica sekarang terlihat persis sama seperti hulk versi perempuan dan syukurnya tidak hijau. Itu saja.
Di sisi lain, anak-anak yang terlambat tadi ikut sibuk pula, mereka berusaha keras memungut tas yang menjadi senjata amukan sembari melindungi diri agar tidak menarik perhatian dan berujung menjadi sasaran amarah Jessica. Cukup tas mereka saja yang bernasib malang menjadi korban keganasan perempuan bar-bar berponi itu. Namun baru saja ingin keluar dari area teritorial peperangan, mereka semua di kagetkan tatkala Jessica tahu-tahu mengeluarkan pistol dari saku dalam almamaternya dan kemudian menodongkannya lurus-lurus kepada Alvin. Mereka semua langsung terpekik ketakutan sampai-sampai seorang anggota OSIS yang berjaga berlari pontang-panting memanggil siapa saja yang dapat menenangkan amukan Jessica sekarang. "PANGGIL CHELSIE SEKARANG! WOY, SIAPA YANG LARINYA CEPET PANGGILIN CHELSIE SEKARANG!"
Di posisinya Alvin melebarkan mata sempurna. Syok berat di buatnya, bahkan tak hanya ia tetapi juga manusia-manusia yang berada di sana dan melihat tindak-tanduk mengerikan Jessica sekarang. orang-orang itu buru-buru berjongkok serendah mungkin, total di telan ketakutan dan kaki-kaki mereka tak mampu beranjak apalagi berlari menjauh pergi sebab membeku di tempat. Ini bukan rumor lagi. Jessica betulan gila! Astaga! Nyawa para manusia di lapangan ini tengah berada di bawah ancaman nyata Jessica apalagi Alvin yang menjadi biang sekaligus target utama amukan gadis itu.
“Jes, gila lo, anjing! Gue masih mau hidup!” seru Alvin panik luar biasa.
Helaan kasar napas si gadis menjadi respon awal, pistol berwarna hitam legam itu ia gesekkan ke pelipis kepalanya dengan gerakan santai dan menatap nyalang pada Alvin. “Lo duluan yang mulai ya, anjing! Jangan belaga bego lo! Ini semua terjadi karena lo mancing emosi gue mulu, sialan!”
“Itu senjata api, berengsek! Lo dapet di mana tuh senjata?! Di pasar gelap, 'kan? Ngaku lo?! Ilegal, Jessica! Istighfar!” Alvin pelan-pelan melangkah mundur, sungguh, ia takut kabur jika hanya akan menimbulkan lubang di perutnya nanti. Tidak! Terima kasih! Alvin masih ingin hidup sehat danㅡsial! Perkataannya malam tadi sepenuhnya bercanda! Alvin masih mau hidup! Dia masih memiliki segudang harapan yang ingin di wujudkan. Yang benar saja gadis gila ini!
Jessica menyeringai dingin selayaknya psikopat, terkekeh-kekeh kecil dan terbahak keras-keras ujungnya. “Bukannya gue udah bilang ya kalau lo bakalan mampus kalau megang-megang gue? Masa lupa, sih? Udah sering gue bilang padahal. Jadi jangan nyalahin gue sekarang, setan!”
Ya Tuhan, apakah ini benar-benar akhir hidupnya? Kedua tungkai Alvin tremor parah. Tubuhnya mendadak terasa dingin di bawah tekanan emosional yang ia dapatkan berkat kalimat Jessica tadi. Bagaimana jikalau Jessica benar-benar tidak sedang bercanda dan menembaknya dengan pistol itu? Lolos dari hukum atas tuduhan pembunuhan berencana dan pembelian senjata api ilegal tentu akan sangat mudah bagi si gadis poni yang berasal dari keluarga konglomerat. Lihat saja bagaimana Jessica mendapatkan senjata api itu dalam semalam. Jessica akan mudah lepas dari tuntutan hukum sementara Alvin? Nyawanya takkan pernah kembali lagi. Kalau kalian bertanya, apa Alvin sungguh menyesal telah mengecup Jessica maka jawabannyaㅡTENTU SAJA IYA! Lihat, hidupnya tengah di pertaruhkan sekarang!
Pemuda kelinci tersebut mengangkat telapak tangannya yang berkeringat dingin, memberikan sinyal agar setidaknya Jessica mau tenang dan mereka akan berkomunikasi sebaik mungkin setelah ini. “J-jes, kita omongin baik-baik, ya. Gue kasih kompensasi, deh. Anjing, Jes! Gue masih mau nikahin lo di masa depan, bangsat! Gue masih punya mimpi buat jadi menantu konglomerat, sial!”
Jessica menatap datar pada pemuda itu. Muak sekali rasanya ia saat ini. Alvin sekarang ini sadar posisi atau tidak, sih?! Nyawanya sedang dalam bahay dan masih bisa sempat-sempatnya berkata demikian? Masih mau sinting sampai akhir hayat, ya?! Yang benar saja.
Alvin sadar posisi tidak sih sekarang?! Nyawanya sedang dalam bahaya dan malah sempat-sempatnya berkata demikian? Mau sinting sampai akhir hayat, ya?!
“Mati lo, bangsat!”
Ketika Jessica mengarahkan pistolnya lagi secara akurat pada pemuda kelinci tersebut. Teriakan familiar menggema di lorong koridor. Jenna melotot tak percaya. Sejak kapan Jessica berani membeli senjata api itu?!
“SICA! GILA LO, HAH?! PISTOL SIAPA ITU, SIAL! BUANG! BUANGㅡhmmph.”
Mulut gadis kucing tersebut dibekap dari belakang dan menemukan Chelsie sebagai pelaku. Alih-alih panik seperti biasanya bila Jessica sedang mengamuk atau menggila. Sang sahabat malah tenang dan mengiriminya seulas senyuman menyejukkan. “Biarin aja. Dia bisa tanggung jawab sendiri.”
Jenna menatap tak percaya pada penuturan sang sahabat, iris kucingnya total melotot panik bukan main. “Lo mau dia jadi pembunuh, Sie? Gila lo, ndrooo!”
“Sudahlah, Jennady. Biarkan dia masuk penjara, entar penjaranya juga di sulap jadi hotel berbintang 99. Jangan khawatir gitu, ah,” sahut Rosa ringan yang sibuk mengigit sosis ayam di tangan.
Orang-orang sudah mulai berhamburan keluaran memenuhi sekitaran lapangan sebab berita Jessica menodongkan pistol telah tersebar secepat hembusan angin ke seluruh penjuru Bina Bangsa. Pekikan kaget bersahutan di lorong sekitar lapangan bahkan kepala sekolah, Pak Henry, sampai-sampai berlari tergopoh-gopoh dari ruangannya ke lapangan utama setelah mendapat informasi di luar akal sehat guna mendapati cucu pemilik yayasan tengah menggenggam senjata api bersama tekad kuat di arahkan pada salah satu muridnya. Pak Henry merasa jantungnya berdetak dua kali lipat lebih cepat dan bertanya-tanya apakah keputusannya menjadi kepala sekolah sudah tepat?
Jenna menggeleng samar, mulai menyusun teka-teki dalam benak. “Kalian beneran ikutan sintingㅡhmmph.”
Rosa buru-buru menyumpal mulut sang sahabat dengan sosis bekas gigitannya. Ia mengirimkan anggukan menenangkan dan menatap tanpa sarat kekhawatiran sedikit pun. “Saksikan saja sambil makan sosis, Nady. Ssstt!”
“Mending lo sebutin kata-kata terakhir lo sebelum gue kirim ke tanah. Cepat!” tandas Jessica tajam tanpa memperdulikan bisikan-bisikan mengatainya di sekeliling. "Sebelum lo liat sendiri nantinya darah lo berceceran di lapangan. Gue bakal bantuin lo berbuat baik buat terakhir kalinya dengan jadiin darah lo sebagai cat dinding sekolah. Jangan khawatir. Jadi buruan bilang wasiat terakhir lo! BURUAN!"
Wajah Alvin makin pucat. Mungkin nyawanya sudah hilang setengah sekarang. “J-jes, kita omongin secara kekeluargaan aja, ya. Anjir, Jes. Gue masih SMA! Yakali mesti mati mengenaskan begini! Yang elit dikit, kek!”
Jessica berdeham agak lama sebelum mengarahkan pistolnya ke sekitar dan sukses menyulut teriakan ketakutan. Ia berkacak pinggang dan sebelah tangannya kembali menodongkan benda itu ke arah Alvin. “Awalnya gue mau nyulik lo terus gue tenggelamin lo di selat malaka setelah gue ngasih lo makan di kapal yacht kesayangan nyokap gue. Tapi nggak jadi,” ujarnya sembari menatap datar. “Lo terlalu bajingan buat dapet hal mewah itu. Sekarang, ucapkan selamat tinggal kepada dunia! HAHAHAHA! MATI LO!”
“Jes, ampun!”
“HAHAHAHA! MATI LO, BANGSAT! HAHAHAHAHAHAHAH!”
“JESSICA! JANGAAAN, NAK!”
“SICA, JANGAAAAAN!”
Dor!
Ketika seluruh manusia di sana sibuk menutupi matanya lantaran tak ingin melihat mayat bersama genangan darah memenuhi lapangan sekolah. Rosa dan Chelsie bertepuk tangan meriah seolah mendukung aksi gila sahabatnya sementara Jenna mematung. Cengo parah! Iris kucingnya menatap tak percaya pada pistol di tangan Jessica yang alih-alih mengeluarkan peluru seperti di film-film laga malah mengeluarkan gelembung balon yang banyak usai suara tembakan mengudara keras.
Jenna terperangah, “Pa-palsu?”
Rosa berteriak bagaikan seremoni kemenangan. “WOOO! GOOD JOB, BITCH!”
Gadis berponi tersebut melirik lucu sejenak kepada tiga sahabatnya kemudian merunduk kecil ke arah seluruh orang seolah melakukan salam penutup dengan hormat. “Silahkan datang di pertunjukan selanjutnya.”
Yah, pistol balon yang di jual-belikan secara murah dan mudah pada online shop. Jessica pikir cara ini takkan berhasil membalas perbuatan kurang ajar Alvin. Ternyata ide Chelsie cukup bahkan sangat-sangat ampuh di jadikan solusi bagi Jessica yang berniat mau membunuh Alvin betulan tadi malam.
Jessica menatap Alvin lucu kemudian. “Goodbye, loser?”
Alvin jatuh ke tanah kemudian.
“PAK! ALVIN PINGSAN, PAK!”
Jessica membuka mulutnya terkejut, tak tahu kalau Alvin akan sekaget dan sesyok itu sampai-sampai … mentalnya terguncang? Pingsan betulan lagi. Wow! Pembalasan dendamnya sukses besar.
“JESSICA! KE RUANGAN SAYA SEKARANG!”
Jessica tersenyum meringis setengah bergidik. “Whoopsie! Sorry, Headmaster.”
“JADI … ” Kepala berdenyut-denyut. Bahu naik-turun. Jantung masih berdebar-debar. Kemurkaan belum sepenuhnya sirna dari dalam rongga dada. Pria berusia 52 tahun yang telah lama menjabat sebagai kepala sekolah tersebut memejamkan matanya erat bukan main sembari mengurut pelipis nan masih berkedut kejam. Niat hati ingin segera mengusir denyutan pening di kepala akan tetapi menyadari betul bahwa salah satu siswi di hadapan tidak menunjukkan gelagat orang bersalah sedikit pun membuat Pak Henry makin memanas. Ia ingin marah, memaki atau membentak gadis berponi tersebut karena tingkah laku ajaibnya di lapangan sekolah tadi, akan tetapi Pak Henry ingat betul dengan siapa ia berhadapan sekarang. Lebih tepatnya terhadap siapa orang yang berada di belakang Jessica. Tentu saja pemilik yayasan, Demian Atriyadinata. Pria baya itu merasa usia terus berkurang apabila berurusan dengan Jessica dan segudang catatan kenakalannya. "... kamu ngelakuin itu buat bales dendam, Jessica?" Ha! Siapa saja tolong
NYAWANYA rasa-rasanya seolah seperti baru saja di tarik dari tubuh kemudian di lepaskan lagi dan mendatangkan rasa sakit pada sekujur tubuhnya. Desisan lantas lolos dari kedua belah bibir pemuda kelinci tersebut, sembari membuka sepasang tirai matanya secara perlahan-lahan guna menyusaikan kontras cahaya matahari yang masuk, Alvin serta-merta membuka mata hanya untuk merasakan kepalanya berdenyut sakit gila-gilaan. Seakan-akan ia baru saja di hantam gada dengan kekuatan maksimal tepat di atas ubun-ubun kepalanya, menghantarkan rasa berkunang-kunang pada pandangannya tiap kali ia bergerak. Pemuda serupa kelinci tersebut berdecak sebal ketika pening di kepala tidak kunjung membaik bahkan setelah ia berusaha tenang guna menetralisir denyutan demi denyutan nan datang, namun nihil, Alvin malah semakin merasa sakit kepala di buatnya. Tangannya pun beralih mengurut pelipis, berharap dapat mengurangi setidaknya sedikit sakit dari kepalanya yang terasa berputar-putar.Alvin mengerjapkan mata be
APABILA kepala sedang berisik, sama bisingnya dengan ingar bingar pasar malam, barangkali memandang sesuatu hal yang indah akan menetralisirkan segala pening bercampur penat pada sekujur tubuh. Sekurang-kurangnya departemen pikiran di dalam otak sekiranya mau ambil rehat sejenak usai berkelahi dengan departemen hati yang selalu enggan berkompromi. Hari ini angkasa menyuguhkan langit biru yang indah, di temani awan-awan dengan beragam bentuk serta mentari yang tampak gagah di singgsananya. Tidak ketinggalan juga semilir angin menyejukkan cuaca panas nan sedang mendera bumi. Kaki-kaki ramping tersebut berayun-ayun ringan berirama selagi dua telapak tangan bertumpu pada pembatas atap bangunan. Tolong jangan mempermasalahkan atau mempertanyakan alasan Jessica untuk duduk di tempat berbahaya demikian, nan sekali salah salah bergerak, maka tewas bukan lagi sekadar kekhawatiran belaka usai jatuh dari ketinggian 25 meter. Jangan terlalu mencemaskan, Jessica sudah biasa melakukan kegiatan ter
DUNIA memang sedang tidak baik-baik saja. Perempuan mawar tersebut mengerjapkan matanya beberapa kali, ia terpaku akan betapa merahnya wajah sang sahabat berponinya yang satu tersebut. Jessica sedang menahan amarah yang bergumul di bawah kulit, bahu sang gadis bahkan sampai naik-turun dengan tangan terkepal kuat di bawah sana. Jessica seolah tampak bersiap guna melepaskan kemurkaan, mengamuk membabi buta dan menghancurkan apa saja yang berada di dekatnya usai mereka sampai di kelas lantaran mereka mendapati meja puan berponi tersebut dengan dekorasi serba merah muda. Tidak hanya itu saja, ada belasan cokelat dan boneka beruang mini nan tersusun rapi dan sialnyaㅡpoin ini yang semakin membuat dia murkaㅡwajah beruang-beruang merah muda tersebut malah berganti dengan foto wajah Jessica. Terdiri dari ekspresi nyeleneh, penuh amarah dan tertawa sampai mulutnya terbuka. Sungguh, apabila tidak ingat akan situasi dan kondisi yang sedang terjadi maka barangkali Rosa hampir meletuskan gelak t
BUKAN Jessica lagi namanya kalau-kalau tidak pernah di perbincangkan dalam sehari. Minimal satu sekali dalam satu hari. Bina Bangsa akan selalu dan wajib gempar dengan segala macam jenis tingkah laku yang Jessica lakukan. Aksinya akan selalu menjadi berita hangat sekolah setiap harinya. Termasuk juga salah satu korban yang nyaris patang tulang kalau-kalau Chelsie tidak datang tepat waktu menenangkan si gadis berponi itu siang ini. Tengah ramai di perbincangkan pada akun sosial media Bina Bangsa. Terdapat ribuan komentar dengan ragam praduga yang di bahas orang-orang. Mempertanyakan alasan apalagi kali ini sampai-sampai gadis berponi mengamuk sedemikian menyeramkannya?Jenna memantai komentar demi komentar dalam kolom postingan. Dia serta-merta geleng-geleng kepala melihat dugaan demi dugaan yang makin lama justru semakin melenceng. Terlampau banyak orang sinting berkedok baik hati dan malah memaki secara daring begini. Ck, ck! Ini adalah salah satu alasan mengapa Jenna terkadang lebih
APA-APA saja yang berhubungan dengan Jessica memang selalu akan tampak menarik untuk di saksikan. Oleh karenanya pemuda kelinci tersebut tidak dapat lagi menahan diri dan meletuskan tawanya dengan terbahak-bahak usai menonton video berdurasi singkat yang di unggah pada salah satu akun sosial media, di mana Jessica lagi-lagi unjuk kebolehannya dalam patah mematahkan tulang manusia bahkan tak hanya video akan tetapi komentar demi komentar yang terus-menerus mengirim kolom postingan juga kapabel membuat perut Alvin tergelitik bukan main sampai-sampai ia berpikir ia bisa saja menangis di buatnya. Tangan pemuda itu juga sampai memukul-mukul sofa markas dan spontan menunjukkan layar ponselnya pada Gerald. "Liat! Liat! Dia naikin kaki ke bahu si ceweknya terus hampir matahin tangannya tapi Chelsie ke buru dateng," Alvin berdecak sebal kemudian. "Kecewa penonton."Kalau kalian semua tidak tahu maka percayalah bahwa saat ini rasa ingin menghantam Alvin dengan buku-buku di hadapan benar-benar me
ENTAH ada kehebohan atau kegemparan apa pun dan di mana pun, dunia selalu terlihat baik-baik saja. Tidak tersentuh. Tidak terdistraksi. Tidak terusik. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa dan selalu berjalan tanpa mengenal jeda. Yah, entah apa-apa saja yang terjadi memang sudah semestinya semesta bergerak, mau siap atau tidak, dunia akan terus berlanjut dengan atau tanpa segelintir orang. Sepanjang perjalanan alunan melodri dari lagu one last time yang di populerkan oleh Ariana Grande menjadi teman. Mengisi kekosongan dan hampa dalam mobil selagi mesin terus bekerja keras melaju mengikuti rute jalan yang tengah di tuju. Jalanan yang tidak pernah sepi, jalanan yang tidak pernah kehilangan peminat, jalanan yang tidak pernah lengang, jalanan yang tidak pernah di tinggalkan. Jalanan yang selalu di dambakan semua orang meski kadang kala acapkali merenggut nyawa. Ah, filosofinya mulai terasa biru di tengah-tengah perasaan berkecamuk ini. Barangkali hanya sesederhana saja, di mana jalan ini
APAKAH pernah malam terasa senyap dan sunyi? Yang benar-benar senyap tanpa secuil kegaduhan apa pun dan kebisingan tidak berarti nan kapabel mengganggu ketenangan kendati waktu beraktivitas seharusnya telah rampung terlaksanakan tatkala mentari telah usai menyampaikan salah perpisahan, hilang di ufuk barat dan berjanji akan datang keesokan harinya? Apakah pernah? Ia rasa tidak. Malam nan gelap gulita selalu menyimpan cerita akan alur takdir mereka masing-masing.Alur yang tidak pernah bisa di hindari. Jessica tidak punya pilihan lain selain setuju. Meski pun jarum jam telah berdentang-dentang menunjukkan eksistensi kedatangan malam. Segelintir orang barangkali masih merasa enggan untuk berhenti hanya karena masalah batas waktu antara siang dan malam. Akan selalu ada alasan yang mendasari penyataan mereka tersebut nan terasa wajib untuk segera di tuntaskan sebelum mimpi membuai raga saat terlelap. Yah, tidak usah jauh-jauh, contoh nyatanya saja adalah dirinya sendiri malam ini. Ah, sia
APABILA di umpakan secara gamblang, transparan dan tepat sasaran. Barangkali kejengkelan nan sedang menggerogoti jantung sekaligus hatinya telah menyerupai gunung aktif yang siap memuntahkan lahar panas guna membumi hanguskan sekitarnya. Menghancurkan setiap sentinya. Melenyapkan setiap eksistensi yang terlihat. Begitu pendeskripsian isi hati seorang Alvin sekarang ini. Dia sangat amat muak menghadapi situasi yang sama berulang-ulang kali. Hingga rasanya si lelaki bisa melakukan apa saja untuk menyingkir masalah nan sedang mengganggu kesehariannya tersebut. Jujur saja, bukankah dia lahir tanpa setangki kesabaran melimpah? Hei, dia jelas-jelas bukan badan amal. Mana sudi ia bersikap sabar terhadap orang-orang yang bahkan tidak ingin bersikap sabar atas dirinya; egois memang, akan tetapi Alvin mana mau repot-repot peduli.Emosi yang kini menguasai dadanya benar-benar tidak terbendung lagi, jadi Alvin harus memprioritaskan hati dan batinnya. Ini tidak bisa di tunda-tunda lagi jikalau tida
KABAR kembalinya sang penguasa Bina Bangsa menyebar dengan cepat yang bahkan tidak genap satu hari setelah beritanya masuk menuju masing-masing ponsel warga sekolah. Termasuk adegan epik sang tuan putri dalam melancarkan aksi balas dendamnya begitu menginjakkan kaki di sekolah. Memang tidak ada bukti fisik seperti video atau pun foto, akan tetapi hal ini mutlak mengirim teror bagi siapa-siapa saja yang telah lancang mengusik tiga sahabat gadis penguasa tersebut. Selepas fakta mengenai Chika menjalar bagaikan tanaman rambat, informasi baru dari korban-korban yang Jessica gasak habis di hari yang sama mulai simpang siur terdengar. Bahwa pembalasan dendam Jessica bukanlah lelucon semata. Tiada satu pun dari mereka yang berani membayangkan akan sesuram apa hari esok. Akan setegang dan seberisik apa Bina Bangsa esok, namun yang pasti, Jessica telah mendeklarasikan peperangan dan takkan ada yang bisa kabur dari cengkeramannya.Yah, terserah dengan apa yang akan terjadi. Alvin tidak peduli.
APABILA bundaran oranye tersebut dapat berbicara, barangkali serangkaian kalimat makian sudah terlontar kepada manusia kelinci yang masih bebal melantunkan bola basket nan kusam itu menuju ring walau telah terpeleset berulang kali. Alvin tetap bersikukuh melanjutkan permainan seorang diri di markas kumuh ini. Tempat terakhir ia benar-benar bertemu Jessica. Tempat yang menjadi saksi bisu akan seberapa besar perasaannya untuk gadis nakal tersebut. Oleh sebab itu ujung-ujungnya Alvin melarang keras yang lain datang ke tempat ini. Alasannya karena takut kenangannya dengan Jessica pudar begitu saja. Jelas, awal-awalnya muncul pertentangan akan tetapi jikalau Alvin sudah berkehendak. Siapa yang berani menantang memangnya? Cari mati namanya.Yah, setidaknya sampai Jessica kembali.Iya, begitu.Namun, kapan gadisnya akan kembali?Apa setelah mereka lulus SMA?Ah, sial! Perasaannya semakin memburuk bahkan hanya dengan memikirkannya saja. Alvin tentu saja tidak tahu apa-apa. Dia ini merupakan o
PEMANDANGAN danau indah, secangkir kopi dan sepirinh roti panggang hangat. Perpaduan ini membuat Jessica merasa jauh lebih hidup di bandingkan yang sudah-sudah. Seolah ia baru saja menjadi manusia seutuhnya sekarang. Sebab sepanjang hidup, baru kali ia tidak bangun dengan beban berat pada pundak. Tidak ada lagi mimpi buruk yang mencekam. Tidak ada lagi sesak dalam dada. Tidak ada lagi pening yang menyerang kepala. Tubuhnya sungguh-sungguh terasa ringan hingga menjalani rutinitas santai begini membuat senyuman manis di bibir terbit dengan begitu cerah. Jessica menghembuskan napas pendek, mengeluarkan ponsel yang Bastian berikan padanya dan mulai memotret tiap sudut tempat nan ia rasa tampak cantik untuk di abadikan oleh kamera ponselnya.Jessica memang belum sepenuhnya terbiasa. Bahasa dan budaya mereka jelas berbeda dengan keseharian yang dulu biasa ia jalani. Jessica juga belum pernah tinggal begitu lama di negeri orang lain selain hanya singgah guna menemani sang kakek bekerja atau
DUA minggu. Empat minggu. Kemudian sudah genap satu bulan. Lambat laun bertambah hari demi hari. Tahu-tahu sudah lebih dari satu minggu lagi. Lalu bulan lagi. Begitu terus. Detik berganti menit. Menit berganti jam. Jam berganti hari. Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Tepat lima bulan kepergian Jessica dari hidupnya dan Alvin tidak pernah merasa kehilangan seperti ini sebelumnya. Alvin tidak pernah merasa hidupnya sehampa ini. Tidak pernah merasa jikalau hidupnya akan seberat ini tanpa kehadiran gadis barbar kesayangannya itu. Alvin tidak pernah mengira bahwa ketiadaan Jessica dalam poros dunianya benar-benar melumpuhkan nyaris seluruh engsel kehidupannya, dan membuat dia terus berlari dari getirnya fakta bila saat ini dia benar-benar di tinggalkan tanpa salam perpisahan.Jantungnya berdenyut ngilu.Alvin tidak pernah tahu bahwa merindukan seseorang bisa membuatnya gila seperti ini. Entah sudah berapa orang yang ia pukuli hari ini. Entah sudah berapa kayu yang ia patahkan ka
SEBUT saja dia gila. Bastian tidak keberatan. Sama sekali tidak masalah di maki demikian sebab orang waras mana yang dengan kesadaran penuh membawa kabur seorang cucu perempuan satu-satunya dari keluarga konglomerat Atriyadinata? Cuma dia. Secara teknik memang tidak dapat di sebut menculik akan tetapi tetap saja Bastian terlibat sebagai kaki tangan. Apabila sang kakek tahu, tanpa sempat menjelaskan maka namanya sudah terlebih dahulu terukir di batu nisan. Mengesankan. Bastian tidak belajar mati-matian dari dulu hanya untuk menghancurkan hidupnya di masa depan nanti. Tidak. Enak saja. Bastian belajar seperti kiamat akan datang esok hari karena ingin segera hidup mandiri dan terlepas dari sistem politik keluarga. Dia sudah muak harus mendengarkan sang ibu menjelek-jelekkan anggota keluarga lain. Masih baik dia tidak terkontaminasi, tidak seperti saudaranya yang lain.Kendati demikian, walau sudah membuat heboh keluarga, tampaknya si pelaku tidak terlihat merasa bersalah sedikit pun. Di
GELEGAK amarah. Urat saraf yang menonjol. Wajah memerah penuh resah. Ekspresi keruh terang-terangan menyatakan isi hati. Layar demi layar di depan mata nan menampilkan rekaman CCTV beberapa lokasi tidak berhasil membuatnya puas. Demian makin murka. Dalam satu kali gerakan, dia menghempas kasar benda-benda berteknologi canggih tersebut. "KALIAN SEMUA TIDAK BECUS! UANG YANG SAYA KELUARKAN SELAMA INI UNTUK KALIAN TERNYATA SIA-SIA! SAYA INGIN CUCU SAYA DI TEMUKAN TAPI KALIAN SEMUA TIDAK MAMPU MELAKUKAN ITU! APANYA YANG SULIT MENCARI SEORANG ANAK PEREMPUAN YANG MASIH SMA?! KELUAR KALIAN DARI RUMAH SAYA! DASAR TIKUS-TIKUS KOTOR! JANGAN PIKIR UNTUK KEMBALI MENGINJAKKAN KAKI DI SINI SEBELUM CUCU SAYA DI TEMUKAN ATAU KALIAN AKAN TAU APA AKIBAT GAGAL MENJALANKAN TUGAS DARI SEORANG DEMIAN! CAMKAN ITU!"Satu minggu berlalu sejak menghilangnya Jessica. Entah sesakit apa hati anak malang tersebut sampai-sampai memilih untuk pergi. Demian gagal menjadi rumah bagi cucunya. Demian gagal menjadi zona a
JESSICA benar-benar lenyap begitu saja. Bagaikan di telan bumi dan terdampai di dunia antah berantah. Tidak dapat terdeteksi. Tidak dapat di telusuri. Tidak dapat di temukan. Kabar menghilangnya cucu bungsu dari keluarga konglomerat Atriyadinata memang tidak di beritakan pada surat kabar, berita di TV atau pun pada seluruh platform media sosial. Namun satu hal pasti, ketidakhadiran puan tersebut secara mendadak jelas-jelas menggemparkan seisi sekolah. Entah itu murid-muridnya, guru berserta staff dan sekaligus pedagang di kantin. Ketiadaan eksistensi Jessica sungguh-sungguh menjadi topik hangat bahkan usai genap seminggu sang penguasa sekolah tersebut menghilang tanpa kabar. Beberapa dari mereka berusaha menggali informasi dari sumber pasti, tentu itu adalah tiga sahabat sang topik utama Bina Bangsa, akan tetapi seperti yang telah di terka-terka, mereka sempurna dalam kebungkaman. Lebih tepatnya mereka sama sekali tidak tahu-menahu mengenai keberadaan Jessica sekarang. Hembusan na
ORANG-ORANG dulu berkata bahwa rumah adalah tempat paling aman, nyaman dan tepat untuk beristirahat dari berisiknya hiruk-pikuk dunia. Kehangatannya akan mampu meluruhkan segala penat dan lelah tanpa pamrih. Di semua buku, selebaran, iklan atau penjelasan literatur pun mengatakan hal serupa. Rumah adalah tempat kau untuk pulang. Setidaknya itu yang mereka ingin bagikan ke seluruh umat manusia. Tapi sialnya, tidak semua dari mereka memaparkan lebih detail mengenai rumah macam apa yang baik guna menyambut rusaknya jiwa akan permainan benang takdir. Atas segala ujian alam bagi tiap-tiap mereka yang bernapas. Mereka lupa menambah satu paragraf kenyataan bahwa tidak semua rumah itu terasa seperti pulang. Kadang kala justru mirip seperti neraka. Memang tidak panas, namun gelegak amarah yang terus-menerus mendidih, lontaran makian, teriakan melengking, barang demi barang melayang, tuduh menuduh dan sejenisnya. Mana mungkin tempat yang terasa seperti arena peperangan tersebut cocok di katakan