Share

BAB 4 : Little Kiss

SESEORANG pernah berkata ketika jiwa tengah diliputi amarah yang harus dilakukan adalah berhitung dalam hati. Jessica pikir itu saran terkonyol dari sekian juta petuah yang ada di dunia. Iya, awalnya si gadis berpikir demikian sebelum kalimat yang disampaikan laki-laki berwajah kalem itu berguna baginya untuk melalui hari-hari berat. Sangat berguna, sekali, dan Jessica menyesal telah menertawakannya sore itu.

Jessica akui sumbu emosinya ini pendek, sangat pendek malahan. Dia mudah marah akan sesuatu hal sepele bahkan terkadang suka melepas tantrum besar-besaran kalau-kalau Chelsie tidak datang guna menenangkan. Suatu waktu, ia ingin membenarkan komentar-komentar yang dilontarkan orang secara percuma. Bahwa Jessica mutlak pembawa masalah murni di hidupnya sendiri sekaligus bagi orang-orang sekitarnya.

Maka daripada itu si gadis akan melupakan rentetan adegan kemarahannya di restoran secepat mungkin.

Napasnya terhembus kasar serta berat lalu mendongak kemudian guna melihat lembayung jingga mewarnai langit. Seulas senyumnya terulas tipis, tipis sekali sampai-sampai ragu kalau itu bisa disebut sebuah senyuman. Jessica mengambil jeda dalam perjalanan kakinya, mengambil oksigen sebanyak yang ia mampu dan menghembuskan napas perlahan-lahan. Rasa tenang agaknya mulai menggenggam hati.

Kata laki-laki itu benar juga untuk yang satu ini, "Coba kamu take a time for yourself. Cuma ada kamu dan jiwa kamu. Jalan-jalan sendiri dan perhatiin bagaimana dunia berjalan di sekitar. Maka kamu, Sicaku, akan tau seberapa tenangnya bumi jika kita ingin lihat."

Ah, Jessica bahkan sampai mendengar suara hangat itu di gendang telinganya. Kepalanya tertunduk, terkekeh hambar sebelum mulai merasa jantungnya berdenyar pahit bukan kepalang. Dirinya seolah-olah kehilangan tujuan sekarang. Namun seberapapun brengseknya Jessica terhadap semesta, ia takkan sudi mengasihani dirinya sendiri dan mengeluh, sekurang-kurangnya ia perlu dan wajib mensyukuri apa yang dirinya miliki. Setidaknya gadis berponi itu akan menggenggam kalimat pemuda tersebut dan mempercayainya.

"Menurut kamu, aku bisa bahagia?" lirihnya bertanya menatap langit. Berharap ada balasan akan tetapi hal sesinting itu takkan pernah terjadi.

Jessica pikir ia betul-betul akan merasakan tentramnya bumi. Sekurang-kurangnya menilik bagaimana orang-orang sibuk berlalu-lalang usai pekerjaan mereka yang menyita cukup waktu serta tenaga selesai. Yeah, awalnya ia berpikir demikian kalau-kalau saja maniknya tidak menangkap sesosok familiar nan menyebalkan di depan sana. Dalam satu gerakan gesit Jessica berbalik dan berderap menjauh seolah-olah tak melihat apapun, sesekali mengutuk alur kisah hidupnya yang cenderung aneh.

"Orang-orang pernah bilang kalau nggak ada yang kebetulan di dunia ini," Sebuah suara berat berceletuk ringan di sisi si gadis, kepalanya tertunduk kecil guna menyamakan posisi wajah mereka. "Berarti kita jodoh dong?"

Ya Tuhan! Manusia di bumi memangnya cuma Alvin saja sampai-sampai engkau kirim dia lagi dan lagi kepada Jessica? Jessica cuma berharap sisa harinya sedikit lebih tenang, astaga!

"Jes, cogan lo anggurin?"

Jessica enggan menyahut sungguh! Akan tetapi Alvin malah lancang merangkul pundaknya dan cemberut masam. "Babe, orang ganteng nggak boleh dicuekin. Pamali."

Buru-buru gadis berponi itu melepaskan diri dan memberikan jarak selebar mungkin di antara kita. Irisnya kontan memandang tajam pemuda serupa kelinci tersebut. "Pertama, lo bacot. Kedua, gue lagi nggak dalam keadaan mood ngeladenin lo. Ketiga ... permisi, ngomong sama lo nggak guna, cuma buang-buang waktu."

Dan bukan Alvin namanya jika tidak memancing kemarahan Jessica dalam waktu relatif singkat. Tangan kekar pemuda itu kemudian lancang memanjang guna menarik lengan Jessica lalu memeluk posesif pinggang ramping gadis serupa boneka tersebut di pinggir taman. Disaksikan jingga menawan langit dan pejalan kaki sebagai saksi bisu adegan bak film romansa itu. Manik bulat Jessica membulat sempurna menatap penuh teror kepada Alvin yang justru terkekeh geli bahkan dengan kurang ajarnya menipiskan jarak antara wajah mereka.

"SINTING YA LO?! LEPAS!"

Alvin makin mengeratkan pelukannya dan mengukir senyum miring. "Gue udah pernah bilang belum kalau lo itu cantik, hm?"

Keyakinannya meningkat drastis akan dugaan Alvin itu pasien rumah sakit jiwa yang berhasil kabur dan hidup dengan identitas baru. Jessica berusaha mendorong kuat-kuat dada si pemuda namunㅡsial! Mengapa dekapan Alvin kuat sekali mengukungnya, astaga?!

Jessica semakin menatap tajam pemuda di depannya ini. "Lepas selagi gue ngomong baik-baik, Alvin. Lepasin!"

"Gimana kita dinner? Sebentar lagi jam makan malam, lho," tawarnya tiba-tiba, nada suaranya masih terdengar ringan seakan-akan si empunya tidak melakukan tindakan menyebalkan apapun.

Tangan gadis berponi terkepal kuat-kuat dan tanpa tedeng aling-aling langsung menghadiahi Alvin tamparan kuat. Hal tersebut sukses membuat pemuda tidak sopan itu mundur beberapa langkah.

"Denger ya, bangsat! Jangan pernah sama-samain gue dengan cewek-cewek tolol yang lo mainin itu! Gue bukan mereka! Silahkan main dengan mereka bukan gue!" tandasnya berang bukan kepalang.

Alih-alih marah apalagi merasa jengkel Alvin malah terkekeh dan itu semakin memperkuat title kurang warasnya. Sembari memegangi pipinya yang memerah, Alvin membalas kelewat santai tanpa beban. "Gue nggak pernah merasa apalagi bilang lo itu sama kayak cewek luaran sana. Nggak pernah, sekalipun."

Jessica menghela napas kasar. Benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikirin pemuda sinting di hadapannya ini. Ia menyugar rambutnya kasar. "Masih untung tangan lo nggak gue patahin karena berani-beraninya megang-megang gue. Sialan! Enyah lo!"

"Dan seharusnya lo berterima kasih ke gue karena gue masih waras nggak nyium bibir ... seksi lo itu," sahut Alvin sekenanya.

Percayalah! Jessica tengah memaki-maki Alvin di dalam benaknya lantaran tenaganya seolah menguap begitu cepat hanya untuk mengumpat sekarang. Jessica mengibaskan tangannya dan berbalik pergi seraya berkata jengah.

"Silahkan cium cewek lain. Di klub banyak cewek yang mau dikasih cumbuan murahan itu."

Seharusnya Jessica memberikan laki-laki siluman kelinci itu pelajaran seperti patah tulang di tangan. Karena beberapa sekon usai si gadis berderap ingin menjauh Alvin kembali menarik lengan Jessica dan kali ini bukan hanya mendekapnya. Pemuda tersebut menunduk dalam guna memberikan sebuah kecupan singkat di sudut bibir Jessica.

Alvin mengusak gemas puncak kepala si gadis yang sepenuhnya membeku di posisi. "Kalau ada lo, kenapa harus nyari yang lain, hm?"

Mungkin Jessica terlalu syok dan kaget sampai-sampai membiarkan Alvin menghilang begitu saja dari sana. Sadar betul akan situasi si gadis buru-buru mencegat taksi, menyodorkan ponselnya yang berisi sebuah alamat dan butuh belasan menit untuk sampai yang mana Jessica langsung meloncat turun meski sang sopir berteriak meminta bayaran. Gadis itu menulikan pendengaran dan tergopoh-gopoh masuk ke dalam rumah Chelsie hanya untukㅡ

"BERENGSEK! MATI LO ABIS INI, SIALAN! ANAK SETAN! BERENGSEK! ARRRGHHHH! BANGSAT! ANJㅡ@#¥%**@&¥@¥*"

Chelsie berkedip berkali-kali di ujung tangga, tentu, kedatangan Jessica dan teriakan penuh umpatannya itu bukanlah salah satu dari makanan fast food yang ia pesan sore ini. Sembari meneguk sebotol jamu di tangan, ia bergumam, "Stres ya, Sica?" tanyanya lempeng.

Jessica menatapnya dengan sepasang mata berkobar marah dan menyeringai. "Tolong cariin cara pembunuhan paling sadis dan tragis, hehe. Gue harus matiin hama. Tolong!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status