Share

BAB 3 : Jamuan Makan Siang

BAGIAN sial apa dari hidup yang sangat kalian benci?

Kalau Jessica banyak. Banyak sekali sampai-sampai dua puluh jari yang ia miliki tak cukup untuk menghitungnya. Kendati demikian pun si gadis berponi tersebut paham benar bahwa bernapas bahagia setiap waktu adalah sebuah kemustahilan. Toh, katanya, rasa sedih dan bahagia selalu ditakar seimbang untuk semua manusia. Hanya saja Jessica kurang mempercayainya.

Contohnya seperti acara keluarga besar yang mesti Jessica hadiri setiap dua kali sebulan. Argh! Berada di satu ruangan yang dengan orang-orang yang engkau benci itu sama halnya dengan oksigen ada di depan mata tetapi lehermu dicekik kuat hingga bernapas bebas merupakan fatamorgana belaka. Err! Menjijikan. Menjengkelkan! Membayangkan bagaimana senyuman demi senyuman palsu disunggingkan murah meriah membuat perut Jessica mendadak bergejolak mual bukan main.

Bertempat di sebuah restoran bintang lima milik sang kakek yang tentunya seluruh menu utama dihidangkan di depan mata. Beragam macam tetapi tak satupun yang menggugah selera. Jessica betulan muak berada satu atap yang sama dengan para badutㅡbegitulah dia menyebut sepupu-sepupu terkasihㅡdan dua paman serta dua bibinya.

Astaga! Look at them! Mereka berpakaian rapi luar biasa, bisa jadi mengenakan merk pakaian ternama hanya untuk makan siang yang berlangsung tiga jam ini. Ck! Dasar penjilat!

Jessica itu gampang muak.

Sementara orang-orang di meja yang duduk dengan posisi sopan seolah tengah menjaga keseimbangan tubuh agar tatanan bumi tetap seimbang, barangkali. Lain halnya dengan Jessica yang masih mengenakan seragam sekolah nan kusut, kaki disilangkan di atas kursi dan heboh sendiri memainkan game di ponselnya. Mari biarkan semua sepupunya memandang benci kecuali Bastian yang terkekeh geli diam-diam dari balik punggung tangan.

Eleanor menepuk bahu putrinya saat Demian datang namun si bungsu enggan berdiri guna menyambut kakeknya. Segera Demian memberikan kode agar menantu pertamanya itu berhenti memaksa Jessica untuk bangkit. Pria di penghujung umur 60-an itu lantas mendekati sang cucu dan mengecup puncak kepalanya penuh sayang sebelum meninggalkan usapan hangat.

"Siang, sweetheart?"

Jessica mendongak dan meletakkan ponselnya di sisi meja sembari menurunkan kaki lalu memeluk Demian erat seraya berbisik, "Kalau mau makan bareng aku cukup berdua aja. Aku benci ada di sini, you know that."

Sang kakek terkekeh pelan dan meminta Jessica kembali duduk usai balas berbisik. "Only three hours, can you?"

Gadis serupa boneka hidup itu nyaris mengeluarkan erangan kekesalan kalau-kalau saja ibunya tidak menepuk pelan lengan atasnya; memperingati. Kalau saja Jessica tidak menyayangi Demian sebagaimana kakeknya mencintainya selama ini, mungkin kabur dari sini merupakan perkara mudah. Benar, Jessica. Lakukan saja demi kakek tercintamu. Mari tanamkan niat ituㅡsetidaknya untuk tiga jam ke depan.

Semua orang kembali duduk di kursi mereka masing-masing usai sang tetua keluarga mendaratkan diri dengan nyaman. Butuh beberapa sekon bagi Demian untuk mengedarkan pandangannya menatap satu persatu anggota keluarga sebelum ia mengangguk kecil.

"Ayo mulai makannya."

Usai diberikan kode halus beberapa pelayan mendekati mereka dan membantu menuangkan air. Jessica kira mereka akan betulan tenggelam dalam keheningan menyesakkan kala tak ada satupun orang yang berniat berbicara. Benar-benar sunyi, Jessica seolah menghadiri pemakaman alih-alih jamuan makan siang. Berbeda ketika ia makan bersama ketiga sahabatnya, ada-ada saja yang diributkan. Berisik berlebihan seperti ada di pasar.

Perbedaannya terlalu signifikan.

Orang asing rasa keluarga. Keluarga rasa orang asing.

Yeah, setidaknya sekarang orang-orang asing itu bisa Jessica sebut sahabat sekaligus keluarga kecilnya.

Stelia berdeham sejenak guna memancing perhatian mereka setelah beberapa menit. Wanita tersebut mengusap bahu putranya kemudian dan membuka konversasi. "Oh iya, Pa. Minggu lalu Jeremy juara satu nasional di lomba kecerdasan buatan lho, Pa. Acaranya diadain pemerintah pusat langsung."

Jeremy menyunggingkan senyuman tatkala tahu Demian menaruh minat. "Really? Glad to hear it. Kamu bikin alat apa, Jeremy?"

Sudah Jessica bilang bukan acara ini sepenuhnya memuakkan? Mereka berlomba-lomba menyombongkan prestasi-prestasi yang diraih anak-anak mereka. Tak mau kalah apalagi ketinggalan. Setiap perkataan ditekankan sesekali melirik pada Jessica yang tak pernah menghasilkan atau memberi apapun. Dianggap sampah di keluarganya sendiri bukan hal baru, jadi ia takkan ambil pusing dan menertawakan kepicikan mereka dalam kepala.

Mendadak bertanya-tanya, kira-kira apa yang mereka harapkan setelah menyombongkan diri sebegitu kerasnya?

"Bastian dapet undangan di kampus Jerman, Pa. Dia bisa kuliah di sana tahun ini juga setelah menang lomba sains internasional," tutur Fransisca senang dan mengusap telapak tangan putranya itu. Maka percayalah saat itu Jessica sedang memasang wajah jijik bukan kepalang.

Demian tampak terkejut di kursinya. "Lalu bagaimana, Bastian kamu mau lanjut kuliah di sana?"

"Kalau urusan aku di sekolah udah selesai semua, rencananya aku nerima tawaran itu, Kek," sahut Bastian kalem dan tenang bersama seulas senyum.

Sang kakek manggut-manggut, "Ada baiknya kamu terima. Jarang-jarang ada orang yang bisa loncat kelas kayak kamu. Selamat, Tian," ujar Demian tulus. Ia meneguk minumnya dan menatap Albert kemudian. "Albert, gimana projekㅡ"

"Kalau Kakek mau ngomongin pekerjaan itu bukan pas lagi makan tapi di jam rapat," sela Jessica cuek, seraya memasukkan potongan daging ke dalam mulut ia mendongak menatap Demian. "Kakek mau bikin aku kehilangan selera makan?"

Anggap saja Jessica kurang ajar dan silahkan maki dirinya cucu tidak tahu di untung. Terserah! Jessica takkan repot-repot peduli. Takkan mau pusing-pusing memikirkan tanggapan orang-orang sebab ia memang dilahirkan untuk dibenci sebagian orang, ah, mungkin semua orang.

So funny, tetapi begitulah kehidupan seorang Jessica.

"Jessica, jaga bicara kamu. Kamu tau itu tidak sopan?" tandas Fransisca, irisnya memang tidak melotot namun mutlak menyorot memperingatkan.

Gadis berponi tersebut berpangku dagu dan tersenyum miring menatap sang bibi. "Aku ... nggak minta opini, Tante, tuh."

"Yang sopan lo ngomong sama orang tuaㅡ"

Jessica kembali menyela dengan nada bosan dan mengedikkan bahunya tak acuh ke arah Givan sembari berpaku dagu; total memandang dingin. "Orang tua lo, 'kan? Bukan gue? What's wrong? Toh, mereka juga nggak pernah anggep gue like they daughter, right?"

Sudah tahu belum kalau Jessica sangat-sangat pandai bersilat lidah kala berdebat dengan anggota keluarga besarnya? Kalau belum, maka sekarang kalian sudah tahu.

Givan mengepalkan tangannya dan berusaha keras menahan amarah, baru saja ingin membalas namun nyalinya total menciut ketika Demian memandangnya serius, memberi sinyal untuk menghentikan perdebatan tak bermutu itu. Pria itu menghela napas berat dan melirik Jessica selanjutnya.

"Maaf, Pa," ucap Eleanor menyesal. "Nanti Jessica aku tegur, maaf sekali, Pa."

Stelia mendengus kasar dan sembari meneguk jus dia berkata pelan, "Kelihatan. Anak yang nggak pernah diurus."

Prang!

Satu ruangan menahan napas bergelung teror kuat saat Jessica bangkit, menyambar vas bunga dan melemparnya melewati telinga Stelia. Angello langsung bangkit guna mendekati adiknya namun Jessica menolak untuk disentuh. Gadis berponi tersebut menyeringai memandang tante bungsunya kemudian menyugar rambut panjangnya kasar.

"Itu hasil dari anak yang nggak pernah diurus, Tante," tekannya menahan gelegak emosi. Jeremy baru saja ingin bangkit dan tahu-tahu serta harus rela tangannya tergores pisau yang gadis itu lemparkan secepat kilat. Jessica kembali tersenyum sinting di posisi. "Apa perlu gue potong lidah lo biar diem dan nggak usah ikut campur, Tuan Sok Pintar?"

"Sica, Sayang. Udah ya?" bujuk Angello dan lagi-lagi tepisan kasar yang diterima.

Jessica terbahak-bahak kemudian sampai air matanya keluar. Ia melirik Albert dan Eleanor secara bergantian sebelum tangannya membabi buta membanting apapun yang bisa ia raih. Membuat manusia-manusia yang berada di ruangan melindungi diri dari pecahan kaca yang bisa saja melukai mereka. Angello terpaksa mendekap kuat adiknya bersama Alano tetapi tenaga si bungsu nyatanya jauh lebih kuat untuk kembali lepas.

"I told you then, Grandpa!" seru Jessica, menahan diri untuk tidak mengeluarkan berbagai macam umpatan. Bola matanya berkaca-kaca berang menatap Demian. "Aku nggak suka ada di sini. Satu atap, satu tempat dan harus berbagi oksigen yang sama dengan mereka. I hate them so much, you know that. Kalian bisa makan tanpa aku. Kalian bisa saling ngobrol dengan tenang tanpa ada pengganggu kayak aku. Toh, di sini aku juga nggak ada gunanya, 'kan? Jadi ... please! Sebelum aku menggila dan ngegorok leher menantu Kakek tersayang itu. Jangan coba-coba undang aku ke sini lagi!"

Demian ingin meraih lengan cucunya namun urung kala Jessica menyambar kasar ponselnya dan berderap menjauh dari sana. Suasana sukses memberat dan Eleanor tak tahu harus apa lagi selain menunduk penuh penyesalan ke arah ayah mertuanya.

"Maafin Sica, Pa. Maaf karena aku nggak becus ngejaga dia," sesal Eleanor yang langsung dirangkul putra keduanya.

Stelia yang masih syok dengan apa yang baru saja menimpanya lantas menyahut penuh amarah. "Kak, tolong dong. Jessica Kakak didik baik-baik. Bisa-bisanya anggota keluarga Atriyadinata berbuat sembrono kayak gitu. Ngamuk-ngamuk nggak jelas kayak nggak pernah didik. Kalau kepala saya yang kena, Kakak mau tanggung jawab?"

Namun alih-alih Eleanor, Demian yang menyahut bersama nada suara setenang telaga di posisi sambil memasukkan satu potongan daging ayam ke mulut. "Dan kalau saja kamu bisa menjaga mulut kamu. Cucu saya tidak akan mengamuk dan pergi dari sini, Stelia. Kamu sadar bukan semua ini bermula dari kamu yang menyulut amarahnya?"

Stelia dibungkam telak, tangannya yang bersedekap kini turun ke pangkuan. Demian menarik napas dan menghembuskannya perlahan. "Kita lanjutkan makan siangnya. Silahkan."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status