BAGIAN sial apa dari hidup yang sangat kalian benci?
Kalau Jessica banyak. Banyak sekali sampai-sampai dua puluh jari yang ia miliki tak cukup untuk menghitungnya. Kendati demikian pun si gadis berponi tersebut paham benar bahwa bernapas bahagia setiap waktu adalah sebuah kemustahilan. Toh, katanya, rasa sedih dan bahagia selalu ditakar seimbang untuk semua manusia. Hanya saja Jessica kurang mempercayainya. Contohnya seperti acara keluarga besar yang mesti Jessica hadiri setiap dua kali sebulan. Argh! Berada di satu ruangan yang dengan orang-orang yang engkau benci itu sama halnya dengan oksigen ada di depan mata tetapi lehermu dicekik kuat hingga bernapas bebas merupakan fatamorgana belaka. Err! Menjijikan. Menjengkelkan! Membayangkan bagaimana senyuman demi senyuman palsu disunggingkan murah meriah membuat perut Jessica mendadak bergejolak mual bukan main. Bertempat di sebuah restoran bintang lima milik sang kakek yang tentunya seluruh menu utama dihidangkan di depan mata. Beragam macam tetapi tak satupun yang menggugah selera. Jessica betulan muak berada satu atap yang sama dengan para badutㅡbegitulah dia menyebut sepupu-sepupu terkasihㅡdan dua paman serta dua bibinya. Astaga! Look at them! Mereka berpakaian rapi luar biasa, bisa jadi mengenakan merk pakaian ternama hanya untuk makan siang yang berlangsung tiga jam ini. Ck! Dasar penjilat! Jessica itu gampang muak. Sementara orang-orang di meja yang duduk dengan posisi sopan seolah tengah menjaga keseimbangan tubuh agar tatanan bumi tetap seimbang, barangkali. Lain halnya dengan Jessica yang masih mengenakan seragam sekolah nan kusut, kaki disilangkan di atas kursi dan heboh sendiri memainkan game di ponselnya. Mari biarkan semua sepupunya memandang benci kecuali Bastian yang terkekeh geli diam-diam dari balik punggung tangan. Eleanor menepuk bahu putrinya saat Demian datang namun si bungsu enggan berdiri guna menyambut kakeknya. Segera Demian memberikan kode agar menantu pertamanya itu berhenti memaksa Jessica untuk bangkit. Pria di penghujung umur 60-an itu lantas mendekati sang cucu dan mengecup puncak kepalanya penuh sayang sebelum meninggalkan usapan hangat. "Siang, sweetheart?" Jessica mendongak dan meletakkan ponselnya di sisi meja sembari menurunkan kaki lalu memeluk Demian erat seraya berbisik, "Kalau mau makan bareng aku cukup berdua aja. Aku benci ada di sini, you know that." Sang kakek terkekeh pelan dan meminta Jessica kembali duduk usai balas berbisik. "Only three hours, can you?" Gadis serupa boneka hidup itu nyaris mengeluarkan erangan kekesalan kalau-kalau saja ibunya tidak menepuk pelan lengan atasnya; memperingati. Kalau saja Jessica tidak menyayangi Demian sebagaimana kakeknya mencintainya selama ini, mungkin kabur dari sini merupakan perkara mudah. Benar, Jessica. Lakukan saja demi kakek tercintamu. Mari tanamkan niat ituㅡsetidaknya untuk tiga jam ke depan. Semua orang kembali duduk di kursi mereka masing-masing usai sang tetua keluarga mendaratkan diri dengan nyaman. Butuh beberapa sekon bagi Demian untuk mengedarkan pandangannya menatap satu persatu anggota keluarga sebelum ia mengangguk kecil. "Ayo mulai makannya." Usai diberikan kode halus beberapa pelayan mendekati mereka dan membantu menuangkan air. Jessica kira mereka akan betulan tenggelam dalam keheningan menyesakkan kala tak ada satupun orang yang berniat berbicara. Benar-benar sunyi, Jessica seolah menghadiri pemakaman alih-alih jamuan makan siang. Berbeda ketika ia makan bersama ketiga sahabatnya, ada-ada saja yang diributkan. Berisik berlebihan seperti ada di pasar. Perbedaannya terlalu signifikan. Orang asing rasa keluarga. Keluarga rasa orang asing. Yeah, setidaknya sekarang orang-orang asing itu bisa Jessica sebut sahabat sekaligus keluarga kecilnya. Stelia berdeham sejenak guna memancing perhatian mereka setelah beberapa menit. Wanita tersebut mengusap bahu putranya kemudian dan membuka konversasi. "Oh iya, Pa. Minggu lalu Jeremy juara satu nasional di lomba kecerdasan buatan lho, Pa. Acaranya diadain pemerintah pusat langsung." Jeremy menyunggingkan senyuman tatkala tahu Demian menaruh minat. "Really? Glad to hear it. Kamu bikin alat apa, Jeremy?" Sudah Jessica bilang bukan acara ini sepenuhnya memuakkan? Mereka berlomba-lomba menyombongkan prestasi-prestasi yang diraih anak-anak mereka. Tak mau kalah apalagi ketinggalan. Setiap perkataan ditekankan sesekali melirik pada Jessica yang tak pernah menghasilkan atau memberi apapun. Dianggap sampah di keluarganya sendiri bukan hal baru, jadi ia takkan ambil pusing dan menertawakan kepicikan mereka dalam kepala. Mendadak bertanya-tanya, kira-kira apa yang mereka harapkan setelah menyombongkan diri sebegitu kerasnya? "Bastian dapet undangan di kampus Jerman, Pa. Dia bisa kuliah di sana tahun ini juga setelah menang lomba sains internasional," tutur Fransisca senang dan mengusap telapak tangan putranya itu. Maka percayalah saat itu Jessica sedang memasang wajah jijik bukan kepalang. Demian tampak terkejut di kursinya. "Lalu bagaimana, Bastian kamu mau lanjut kuliah di sana?" "Kalau urusan aku di sekolah udah selesai semua, rencananya aku nerima tawaran itu, Kek," sahut Bastian kalem dan tenang bersama seulas senyum. Sang kakek manggut-manggut, "Ada baiknya kamu terima. Jarang-jarang ada orang yang bisa loncat kelas kayak kamu. Selamat, Tian," ujar Demian tulus. Ia meneguk minumnya dan menatap Albert kemudian. "Albert, gimana projekㅡ" "Kalau Kakek mau ngomongin pekerjaan itu bukan pas lagi makan tapi di jam rapat," sela Jessica cuek, seraya memasukkan potongan daging ke dalam mulut ia mendongak menatap Demian. "Kakek mau bikin aku kehilangan selera makan?" Anggap saja Jessica kurang ajar dan silahkan maki dirinya cucu tidak tahu di untung. Terserah! Jessica takkan repot-repot peduli. Takkan mau pusing-pusing memikirkan tanggapan orang-orang sebab ia memang dilahirkan untuk dibenci sebagian orang, ah, mungkin semua orang. So funny, tetapi begitulah kehidupan seorang Jessica. "Jessica, jaga bicara kamu. Kamu tau itu tidak sopan?" tandas Fransisca, irisnya memang tidak melotot namun mutlak menyorot memperingatkan. Gadis berponi tersebut berpangku dagu dan tersenyum miring menatap sang bibi. "Aku ... nggak minta opini, Tante, tuh." "Yang sopan lo ngomong sama orang tuaㅡ" Jessica kembali menyela dengan nada bosan dan mengedikkan bahunya tak acuh ke arah Givan sembari berpaku dagu; total memandang dingin. "Orang tua lo, 'kan? Bukan gue? What's wrong? Toh, mereka juga nggak pernah anggep gue like they daughter, right?" Sudah tahu belum kalau Jessica sangat-sangat pandai bersilat lidah kala berdebat dengan anggota keluarga besarnya? Kalau belum, maka sekarang kalian sudah tahu. Givan mengepalkan tangannya dan berusaha keras menahan amarah, baru saja ingin membalas namun nyalinya total menciut ketika Demian memandangnya serius, memberi sinyal untuk menghentikan perdebatan tak bermutu itu. Pria itu menghela napas berat dan melirik Jessica selanjutnya. "Maaf, Pa," ucap Eleanor menyesal. "Nanti Jessica aku tegur, maaf sekali, Pa." Stelia mendengus kasar dan sembari meneguk jus dia berkata pelan, "Kelihatan. Anak yang nggak pernah diurus." Prang! Satu ruangan menahan napas bergelung teror kuat saat Jessica bangkit, menyambar vas bunga dan melemparnya melewati telinga Stelia. Angello langsung bangkit guna mendekati adiknya namun Jessica menolak untuk disentuh. Gadis berponi tersebut menyeringai memandang tante bungsunya kemudian menyugar rambut panjangnya kasar. "Itu hasil dari anak yang nggak pernah diurus, Tante," tekannya menahan gelegak emosi. Jeremy baru saja ingin bangkit dan tahu-tahu serta harus rela tangannya tergores pisau yang gadis itu lemparkan secepat kilat. Jessica kembali tersenyum sinting di posisi. "Apa perlu gue potong lidah lo biar diem dan nggak usah ikut campur, Tuan Sok Pintar?" "Sica, Sayang. Udah ya?" bujuk Angello dan lagi-lagi tepisan kasar yang diterima. Jessica terbahak-bahak kemudian sampai air matanya keluar. Ia melirik Albert dan Eleanor secara bergantian sebelum tangannya membabi buta membanting apapun yang bisa ia raih. Membuat manusia-manusia yang berada di ruangan melindungi diri dari pecahan kaca yang bisa saja melukai mereka. Angello terpaksa mendekap kuat adiknya bersama Alano tetapi tenaga si bungsu nyatanya jauh lebih kuat untuk kembali lepas. "I told you then, Grandpa!" seru Jessica, menahan diri untuk tidak mengeluarkan berbagai macam umpatan. Bola matanya berkaca-kaca berang menatap Demian. "Aku nggak suka ada di sini. Satu atap, satu tempat dan harus berbagi oksigen yang sama dengan mereka. I hate them so much, you know that. Kalian bisa makan tanpa aku. Kalian bisa saling ngobrol dengan tenang tanpa ada pengganggu kayak aku. Toh, di sini aku juga nggak ada gunanya, 'kan? Jadi ... please! Sebelum aku menggila dan ngegorok leher menantu Kakek tersayang itu. Jangan coba-coba undang aku ke sini lagi!" Demian ingin meraih lengan cucunya namun urung kala Jessica menyambar kasar ponselnya dan berderap menjauh dari sana. Suasana sukses memberat dan Eleanor tak tahu harus apa lagi selain menunduk penuh penyesalan ke arah ayah mertuanya. "Maafin Sica, Pa. Maaf karena aku nggak becus ngejaga dia," sesal Eleanor yang langsung dirangkul putra keduanya. Stelia yang masih syok dengan apa yang baru saja menimpanya lantas menyahut penuh amarah. "Kak, tolong dong. Jessica Kakak didik baik-baik. Bisa-bisanya anggota keluarga Atriyadinata berbuat sembrono kayak gitu. Ngamuk-ngamuk nggak jelas kayak nggak pernah didik. Kalau kepala saya yang kena, Kakak mau tanggung jawab?" Namun alih-alih Eleanor, Demian yang menyahut bersama nada suara setenang telaga di posisi sambil memasukkan satu potongan daging ayam ke mulut. "Dan kalau saja kamu bisa menjaga mulut kamu. Cucu saya tidak akan mengamuk dan pergi dari sini, Stelia. Kamu sadar bukan semua ini bermula dari kamu yang menyulut amarahnya?" Stelia dibungkam telak, tangannya yang bersedekap kini turun ke pangkuan. Demian menarik napas dan menghembuskannya perlahan. "Kita lanjutkan makan siangnya. Silahkan."SESEORANG pernah berkata ketika jiwa tengah diliputi amarah yang harus dilakukan adalah berhitung dalam hati. Jessica pikir itu saran terkonyol dari sekian juta petuah yang ada di dunia. Iya, awalnya si gadis berpikir demikian sebelum kalimat yang disampaikan laki-laki berwajah kalem itu berguna baginya untuk melalui hari-hari berat. Sangat berguna, sekali, dan Jessica menyesal telah menertawakannya sore itu. Jessica akui sumbu emosinya ini pendek, sangat pendek malahan. Dia mudah marah akan sesuatu hal sepele bahkan terkadang suka melepas tantrum besar-besaran kalau-kalau Chelsie tidak datang guna menenangkan. Suatu waktu, ia ingin membenarkan komentar-komentar yang dilontarkan orang secara percuma. Bahwa Jessica mutlak pembawa masalah murni di hidupnya sendiri sekaligus bagi orang-orang sekitarnya. Maka daripada itu si gadis akan melupakan rentetan adegan kemarahannya di restoran secepat mungkin. Napasnya terhembus kasar serta berat lalu mendongak kemudian guna melihat lembayung
"TEMEN lo gila ya, Mas?" celetuk Daniel bertanya sangsi, menjauhkan puntung rokok dari bibirnya dan menatap Thomas yang memasang raut wajah jengkel. Bersama hati yang ringan Thomas membuang rokok Daniel ke tanah. "Thom, anjir, Thom. Mas-mas pale lu!" tukasnya kesal. "Ah, bangsat! Rokok terakhir gue, Mas!" Daniel berencana memungut rokoknya yanh menggelinding mengenaskan di tanah namun Gerald keburu datang dan menginjaknya dengan dramatis. Daniel membeku, "Anjing kalian berdua!" umpatnya. Gerald tersenyum sadis sebelum menendang rokok sang kawan menjauh dari area. "Tobat lo, bangsat! Paru-paru lo item entar, mampus!""Ck, bajinglah! Kan pembahasan kita bukan itu tadi. Argh! Sial!" gerutu Daniel, menggaruk kesal belakang kepalanya lalu menjatuhkan punggung ke sofa. Ditunjuknya Alvin menggunakan dagu. "Noh, liat! Temen lo-lo pada gila ketawa-ketawa sendiri."Di sebelahnya Thomas memasang ekspresi sulit, sembari mengunyah bakwan di mulut ia bertanya, "Lha, Alvin pernah waras emangnyaㅡa
TAHU apa yang dilakukan Alvin ketika bertemu Jessica pukul 08:56 di lapangan Bina Bangsa?Tentu, pemuda kelinci tersebut bersikap sesuka hati sampai-sampai berani datang telat dan berujung dihukum bersama Jessica; lagi-lagi menghormat bendera dengan murid-murid lainnya. Lagi, Alvin seakan lupa atas perbuatan kurang ajarnya tempo hari dan Jessica harus rela tangannya berhenti mengayun tatkala sebuah pertanyaan dilemparkan kepadanya yang dibalut nada suara penasaran bukan kepalang dan seraut wajah serupa.“Lo punya pacar, Jes?”Ya Tuhan! Cobaan macam apalagi ini?!Gadis berponi tersebut memejamkan matanya, menurunkan tangan dan berusaha mengatur napas agar tidak meledakkan bom nuklir di sini. Perasaannya makin jengkel saat ia meniup poninya kasar. Jessica bahkan tidak punya kalimat baru lagi untuk memaki Alvin lantaran semua kosa kata dalam kamus sudah ia keluarkan semua.Pertanyaan ada satu, jadi Jessica dulunya betulan pengkhianat negara, ya? Tolong jawab! Atau setidaknya berikan solu
“JADI… ” Pria yang menjabat sebagai kepala sekolah tersebut memejamkan mata erat bukan main sembari mengurut pelipisnya. Niat hati ingin mengusir denyutan pening di kepala namun menyadari betul bahwa gadis berponi di depannya tidak merasa bersalah sedikitpun. Pak Henry mulai panas. “ … kamu ngelakuin itu buat bales dendam?”Tolong katakan bahwa Pak Henry salah lihat saat Jessica tengah memberikan senyuman serta mengangguk penuh keyakinan sekarang?“Iya, Pak.”“Ini mainan?” tanya sang kepala sekolah dengan nada serak; nyaris mengalami trauma pada benda hitam di atas mejanya itu.Jessica lagi-lagi mengirim dua anggukan. “Benar s
DESISANkesakitan lolos dari keduanya belah bibirnya tatkala sepasang manik itu terbuka. Bagaikan dihantam gada, kepalanya pening bukan main. Tak ada yang bisa pemuda kelinci tersebut lakukan selain meringis ke sekian kalinya sembari mengurut pelipisnya yang makin berkedut tajam.Alvin berkedip beberapa kali guna mencerna, apa yang telah terjadi pada dirinya sampai-sampai ia berbaring di ranjang UKS begini? Satu detik kemudian ketika departemen ingatan melakukan reka ulang adegan sebelum dia tak sadarkan diri. Matanya melotot tak percaya sementara bibirnya sukses dibuat mengumpat tertahan guna memaki-maki dirinya dalam hati karena bisa-bisanya ia pingsan di tengah keramaian.Ck! Menyebalkan! Menjengkelkan!Dan Jessica pelaku utamanya! Ck! Sial! Sial
KAKI-KAKIramping itu mengayun ringan sedangkan kedua telapak tangan bertumpu pada pembatas atap. Tolong jangan mempermasalahkan Jessica yang duduk di atas sana sementara jarak dia dari tanah adalah 13 meter. Tolong juga jangan khawatir. Kegiatan semacam itu acapkali dilakukan ketika kepalanya terlalu berisik dan benang kusut di dalam tak kunjung bisa ia luruskan. Satu-satunya yang bisa gadis berponi itu lakukan adalah duduk di sana. Membiarkan semilir angin mengusap setiap inci kulit hanya untuk bersikeras mengais sebuah afeksi tentram pada semesta.Dari gedung utama ini seluruh penjuru Bina Bangsa bisa di nikmati lantaran merupakan bangunan tertinggi. Di barat, beberapa anak memilih tinggal dan bermain basket. Atau banyak yang menyusup ke gelanggang renang untuk mencuriwi-fiyang memang cukup kencang di sana.Well,sak
MENGERIKAN!Rosa mengerjap beberapa kali melihat wajah sahabat sintingnya memerah menahan amarah, bahunya naik-turun sementara tangan terkepal kuat di bawah sana. Jessica tampak bersiap untuk mengamuk usai mereka sampai di kelas lantaran menemukan meja si gadis penuh dengan dekorasi merah muda. Tak hanya itu, ada belasan cokelat dan boneka mini beruang yang tersusun rapi dan sialnyaㅡwajah si beruang malah berganti dengan foto Jessica.Sungguh, Rosa nyaris terbahak-bahak kalau saja tak mengingat kondisi.Sang pelaku tampaknya tahu benar bagaimana cara memancing kemurkaan seorang Jessica.Jessica mendongam menatap seluruh manusia di kelas sebelum bertanya dengan nada luar biasa dingin
BISA BANGSAakan selalu dan wajib gempar dengan segala macam ulah yang Jessica lakukan. Termasuk salah satu korbannya yang nyaris patah tulang kalau-kalau Chelsie tidak datang menenangkan si gadis siang ini. Tengah ramai diperbincangkan ditwitterpada Bina Bangsa base dan ribuan komentar pun agaknya terisi penuh. Mempertanyakan alasan gadis berponi tersebut mengamuk demikian?Jenna geleng-geleng kepala melihat isi komentarnya, terlalu banyak orang sinting berkedok 'baik hati' dan malah memaki secara online begini. Ck! Inilah salah satu alasan mengapa Jenna lebih menyukai Jessica yang blak-blakan. Sahabatnya yang satu itu tipe-tipe orang yang berterus terang, ogah menye-menye apalagi berbasa-basi kalau tidak diperlukan. Sekali terusik, yaa, langsung dihantam. Meskipun tahu benar bahwa kekerasan tidak dapat dibenarkan dalam bentuk apap